Aidan Caesar tiba rumah sakit tempat Ibu Malikha dirawat setelah mendapatkan laporan dari Glenn. Aidan memilih untuk menuntaskan rasa penasarannya tentang Malikha. Seperti janji, Glenn berhasil menemukan dimana Ibu Malikha, Fiona Swan dirawat.
Beruntung Aidan bisa melihat dengan Malikha yang tidak lagi mengenalinya. Sayangnya, di dalam kamar itu juga hadir Brandon Caesar, ayah Aidan. Gadis itu mengunjungi Ibunya tepat saat Brandon sedang berusaha melamar Fiona, Ibu Malikha. Dan itu semua terjadi di depan Aidan yang mengintip dari balik tembok. Tangan Aidan lalu mengepal saat ia harus menyaksikan senyum bahagia ketiganya. Mereka seperti sebuah keluarga lengkap, Ayah, Ibu dan anak perempuannya.
"Akan kuhancurkan kalian semua!" gumamnya berbalik dan pergi. Aidan keluar dari rumah sakit tersebut. Ia menunggu di dalam mobilnya yang terparkir masih di parkiran luar rumah sakit. Dengan tenang seperti hewan buas tengah menunggu mangsa, Aidan duduk tak melepaskan pandangannya sama sekali pada pintu keluar rumah sakit. Setelah beberapa jam menunggu, Aidan mendapatkan buruannya.
Gadis polos dan cantik itu akhirnya keluar bersama Brandon. Mereka masih terlihat tertawa berdua dan terus bercengkrama.
"Ikuti mobil itu!"
Mobil Aidan mengekori sampai akhirnya mereka tiba di sebuah toko roti kecil. Malikha terlihat turun disana lalu masuk ke dalam toko roti tersebut.
"Jadi dia bekerja di sana? Apa toko itu miliknya? Jangan-jangan itu adalah pemberian Brandon! Dasar brengsek!" maki Aidan bergumam sambil terus melihat pada toko tersebut. Aidan kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi Glenn, asistennya.
"Glenn, aku sudah mendapatkan tempat Malikha Swan bekerja. Aku ingin kamu membuatnya dipecat dan kehilangan pekerjaan. Akan kukirimkan alamatnya padamu," ujar Aidan memberi perintah tanpa basa basi.
"Baik, Tuan Caesar. Aku akan segera melakukannya."
"Kamu takkan pernah lolos dariku, Malikha. Kamu akan membayar semuanya bahkan lebih sakit dari yang kamu lakukan padaku!" geram Aidan bergumam dengan senyuman licik penuh dendam.
Glenn Matthews berhasil membuat Malikha dipecat dari pekerjaannya. Malikha bahkan diusir karena dianggap sudah hampir meracuni pelanggan. Glenn menjebak Malikha yang lugu dengan kecoa mainan yang masuk ke dalam kue yang dipesannya. Glenn menuntut ganti rugi dan toko itu pun memecat Malikha.
Dengan wajah sedih serta kebingungan, Malikha terpaksa pergi karena pemilik toko tak mau mendengar penjelasannya. Dari balik jendela mobil, Aidan tertawa terbahak-bahak saat melihat Malikha yang dipecat dengan wajah kebingungan meninggalkan toko tersebut.
"Hahaha ... rasakan itu!" umpat Aidan sambil bertepuk tangan dan terus memandang ke arah jalan. Glenn yang ikut bersama Aidan, ikut menoleh pada Aidan menatapnya dengan kening mengernyit.
"Tuan, untuk apa capek-capek membuatnya dipecat?" tanya Glenn keheranan.
"Ini baru permulaannya saja, Glenn. Setelah ini, akan kubuat dia menangis darah. Ini belum seberapa," jawab Aidan dengan percaya diri yang luar biasa lalu menoleh lagi pada sosok Malikha yang kebingungan.
Tak cukup sekali, Aidan akhirnya juga ikut membuat Malikha dipecat di dua tempat lainnya. Sebuah mini market dan toko gadai ikut memecat bahkan melarang Malikha masuk toko mereka lagi. Uangnya juga semakin menipis dan itu membuat Malikha harus mencari pekerjaan lain. Sebuah Pub di pinggiran New York tempatnya tinggal akhirnya menerimanya menjadi pramusaji.
Selama dua minggu ia bekerja disana, semua tampak baik-baik saja. Sejauh ini tak ada hal buruk yang terjadi. Malikha mulai merasa nyaman karena pemiliknya adalah seorang pria paruh baya yang baik hati. Akan tetapi, Aidan masih belum berhenti.
"Apa dia di sini?" tanya Aidan begitu ia turun dari mobilnya. Glenn mengangguk dan menoleh pada bangunan bar yang bersebelahan dengan bangunan toko lain dan terlihat kumuh. Aidan sempat mengernyitkan keningnya lalu mendengus sinis. Ia akhirnya berjalan mendekati Pub tersebut.
Aidan Caesar masuk dengan pandangan jijik pada Pub yang menjadi tempat mencari nafkah warga disekitar. Ia mencari pemilik Pub untuk memaksanya untuk menjual Pub tersebut.
"Selamat datang, Tuan Caesar," ujar si pemilik pub─Richard Winter
"Aku tidak ingin berbasa basi lebih lama. Aku mau tanda tanganmu sekarang!" sahut Aidan angkuh.
"D-duduklah terlebih dahulu, kita bisa bicarakan kembali."
"Aku tak ingin membuang waktu lebih lama, aku sudah membeli seluruh lingkungan ini, hanya tinggal bangunanmu saja yang belum," ujar Aidan setelah meletakkan surat perjanjian pembelian di atas meja.
"Aku perlu waktu Tuan Caesar." Aidan menoleh ke arah lain lalu berbalik dan mengintimidasi pria paruh baya itu.
"Aku beri kamu waktu 15 menit sebelum pemimpin gengster triad Cina Golden Dragon datang dan meratakan tempatmu tanpa kompensasi. Pikirkan itu. Jangan membuat keputusan yang salah," ucapnya tanpa pikir panjang.
Pria itu ketakutan dan mengambil surat pembelian tersebut. Aidan menyengir jahat lalu menoleh ke salah satu sudut Pub. Seorang gadis terlihat tengah membersihkan meja. Rahang Aidan menggeras melihat gadis itu. Dialah yang ia cari selama ini, Malikha Swan.
Tak lama Malikha datang dan seperti biasa bertugas melayani pengunjung dengan menanyakan pesanan mereka.
"Boleh aku mengambil pesananmu, Tuan?" tanya Malikha dengan senyuman dan suara lembut. Sahabat Aidan yaitu Jayden yang merupakan pemimpin gangster Cina yang ditakuti berada satu meja dengannya hendak bicara, tapi Aidan memotong.
"Aku minta menu yang spesial. Apa kalian punya sesuatu yang bisa aku makan?" tanya Aidan dengan nada angkuh. Jayden jadi mengernyitkan kening melihat gaya Aidan. Ia memandang Malikha dengan pandangan sinis.
"Tentu saja, Tuan. Apa yang bisa aku ambilkan untukmu?" Aidan mendengus sambil menyengir.
"Bagaimana jika tubuhmu saja?" mata Malikha membesar. Ia bergeser agak menjauh dari tempat berdirinya semula. Aidan lalu berdiri dan masih dengan pandangan sinisnya.
"Berapa hargamu, Nona Malikha Swan?" tanya Aidan lagi sengaja menjeda kata perkata untuk menghina Malikha. Kini Malikha dan Aidan saling berhadapan. Tapi sepertinya hanya Aidan yang mengenal Malikha namun tidak sebaliknya.
"Jika terlalu murah, aku bisa membeli tempat ini dengan dirimu di dalamnya. Aku tidak keberatan dengan bonusnya," tambah Aidan lagi makin menyudutkan Malikha sambil melihat tubuhnya dari atas hingga bawah. Aidan sebenarnya merasa sangat tersinggung karena Malikha tak mengenalinya sama sekali. Tapi sudut hatinya ada getaran yang membuatnya tertegun melihat wajah gadis itu. Dia sangat cantik – bisik hati Aidan, suara itu sangat kecil tapi Aidan menyadarinya.
"Aidan ... cukup!" tegur Jayden dengan suara rendah pada Aidan. Malikha mulai menitikkan airmata. Aidan begitu melecehkannya dengan kata-kata yang menyakitkan. Malikha belum pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya. Ia lalu pergi tanpa mengambil pesanan Aidan sama sekali.
Dari kejauhan terlihat pria berparas Cina itu seolah sedang memarahi Aidan sambil sesekali melihat pada Malikha. Entah apa yang mereka bicarakan, Malikha hanya bisa menoleh sesaat lalu menunduk lagi.
"Aku akan membeli tempat ini beserta dia di dalamnya. Dan akan kuratakan dengan tanah bangunan ini!" ujar Aidan lagi dengan nada marah pada Jayden.
"Apa maksudmu bicara seperti itu? Apa yang sedang kamu rencanakan Aidan?" tanya Jayden dengan nada mulai tinggi. Mereka masih dalam posisi berdiri dengan raut wajah Aidan yang mulai berubah.
"Aku mengajakmu kemari untuk melihat lokasi pembangunan hotel baru kita. Di sinilah aku akan membangun hotel Pegasus yang selanjutnya," sahut Aidan dengan ekspresi jahat. Jayden jadi mengernyitkan kening.
"Kenapa?"
"Karena aku ingin meratakan tempat ini. Jadi orang-orang rendahan ini bisa mencari pekerjaan di tempat lain," sahutnya angkuh lalu duduk kembali di kursinya dengan ekspresi jijik.
Richard Winter si pemilik Pub kemudian datang menghampiri mereka. Ia terlihat ketakutan ketika melihat Aidan datang bersama pemimpin kelompok gengster Golden Dragon.
Setelah diancam oleh Aidan dan disaksikan oleh para pegawainya yang berkumpul di salah satu sudut ruangan, pria itu terlihat pasrah dan akhirnya setuju untuk menandatanganinya.
Malikha yang dilecehkan oleh Aidan sebelumnya juga berdiri diantara para pegawai itu. Sambil mendengarkan bosnya berbicara tentang pekerjaan mereka, gadis itu menatap Aidan dengan pandangan sedih penuh airmata.
“Maafkan aku, kalian harus kehilangan pekerjaan,” ucap Richard dengan wajah sedih. Malikha hanya bisa diam menahan air matanya melihat si pemilik pub kembali pada Aidan menyerahkan surat yang sudah ditandatanganinya.
"Panggil pelayanmu yang bernama Malikha Swan." Richard pun memanggil Malikha yang mendekat perlahan. Aidan mengeluarkan sebuah cek yang sudah ia tanda tangani dan memberikannya pada pria pemilik Pub.
"Ini uangmu, dan ini ..." Aidan mengeluarkan beberapa lembar uang seratus dolar dan meletakkan di atas meja.
"Kamu bisa memilikinya jika kamu mau ke hotelku, Estrela malam ini, Nona Swan," ujar Aidan menawar tanpa malu. Malikha membuka mulutnya terkejut, ia tidak menyangka jika pria yang tak dikenalnya itu ternyata adalah pemilik Estrela, tempatnya dulu pernah bekerja.
"Ambil uangmu Tuan. Aku bukan pelacur!" sahut Malikha dengan airmata yang semakin menetes. Aidan terkekeh sinis.
"Kamu mau tarif yang mahal ya?" ejek Aidan sambil menyisiri tubuh Malikha dengan pandangannya.
"Aku takkan menjual kehormatanku untuk orang sepertimu." Aidan semakin berang dan mendekat.
"Jangan sok jual mahal, Nona Swan. Aku tahu kamu semurah dan serendah apa," geram Aidan membuat Malikha mengernyitkan keningnya. Kenapa ia merasa pria di hadapannya bukan orang asing. Tapi di mana mereka pernah bertemu?
"Aidan ..." tegur Jayden makin keras. Ia tidak tahan melihat Mlaikha dihina oleh Aidan seperti itu.
"Ayolah, Jay. Jangan menceramahiku sekarang!" bantah Aidan berdiri dan mengambil uang itu lalu melemparnya ke kepala Malikha.
"Aku memberinya gratis sebagai pesangon karena temanku," ujar Aidan sambil menunjuk pada Jayden.
"Kamu memang cocok di tempat kotor seperti ini, Nona Swan. Dasar sampah!" umpat Aidan lalu menolak tubuh Malikha dengan sebelah lengannya dan berjalan melewatinya begitu saja. Jayden yang melihat sikap tidak terpuji Aidan pun kemudian ikut berdiri.
"Aku minta maaf, Nona Swan. Permisi!" ujar Jayden dengan sopan. Malikha mulai terisak dan tak tahan lagi selain berlari ke belakang Pub dan menangis. Ia mengeluarkan segala luka yang diberikan oleh pria asing itu dengan kata-katanya.
"Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa dia menghinaku?" Malikha menangisi dirinya dan kemiskinan dan ia miliki saat ini. Tak memiliki uang membuatnya kerap dihina dan dilecehkan.
"Apakah salah menjadi orang miskin? Aku juga manusia," isak Malikha menundukkan kepala pada dirinya sendiri.
Gara-gara kejadian tadi siang, Aidan tidak menyapa Jayden saat bertemu di bar. Jayden memilih menceritakan semuanya pada Arjoona, sahabat mereka. Arjoona sudah mengenal Aidan dari masa SMA, ia tahu benar apa yang terjadi."Ia dijebak oleh Malikha Swan untuk berjalan melewati sebuah lorong saat mau ke toko ice cream. Dia tidak pernah sampai ke toko itu malah diculik oleh Jason, kekasih Malikha dan dibawa ke sebuah pemakaman tua di dekat lorong tersebut," ujar Arjoona bercerita pada Jayden. Arjoona ikut menuangkan segelas Whiskey pada gelas Jayden. Jayden masih mendengar dengan seksama apa yang tengah diceritakan oleh Joona."Di sana dia dipukuli, diikat dan dibekap. Lalu dimasukkan ke dalam sebuah makam berbentuk ruangan." Jayden mengangguk lalu melirik pada Aidan yang tengah tertawa bersama Mars, James dan Shawn."Dia ditinggal di dalam makam itu sendirian, tanpa cahaya ataupun udara bebas. Aidan memiliki fobia pada kegelapan dan ruang sempit dulunya, dan karena itu dia hampir mati,"
Aidan tak ingin keluar lagi kemana pun dan berharap bisa beristirahat usai kejadian di depan bangunan apartemen Malikha tadi sore. Sesungguhnya ia tidak bahagia. Niatnya adalah membuat Malikha terus mendapatkan kemalangan tapi rasa puas itu tak kunjung muncul.“Pasti ada yang aneh padaku─” bunyi bel apartemen membuat Aidan harus mengurungkan niat untuk masuk kamar dan tidur. Ia membuka sendiri pintu apartemennya dan menemukan senyuman Jayden yang terluka."Ada apa denganmu?" tanya Aidan menyahut separuh memekik saat melihat keadaan Jayden yang terluka. Tanpa menunggu Jayden menjawab, Aidan langsung menarik lengan Jayden dan membawanya ke dalam apartemen mewahnya."Biasa, perkelahian antar geng," jawab Jayden singkat dan masuk ke apartemen Aidan seolah mereka baik-baik saja. Keduanya padahal belum berbicara satu sama lain usai bertengkar karena Malikha Swan. Akan tetapi sikap Aidan pun sama saja seperti kejadian sebelumnya."Siapa yang sudah menyerangmu?" tanya Aidan dengan wajah kesal
Hari ini, Mars King sedang mengendarai mobilnya menuju Estrela sendirian utnuk mengikuti sebuah konsorsium meeting yang melibatkan King Enterprise. Caleb sudah kembali ke LA sementara untuk mengurus King Enterprise di kantor pusatnya. Sedangkan Mars sedang di New York untuk mengurus beberapa proyek bersama Arjoona, Aidan dan Jayden yang tergabung dalam satu asosiasi pengusaha yang sama.Sebenarnya ia sudah sedikit terlambat karena Vanylla sedikit uring-uringan di rumah. Istrinya itu masih berusaha untuk segera hamil dan Mars mulai stress karena Vanylla yang terus memaksakan dirinya. Sambil menghela napas dan sesekali membunyikan klakson karena mobil di depannya tak bergerak, Mars tak sengaja menoleh ke samping kanan. Musim gugur akan berganti musim dingin sekarang. Beberapa gelandangan terlihat membakar beberapa barang di dalam drum untuk menghangatkan diri.Di sanalah Mars melihat Malikha Swan yang terlihat cukup lusuh dan sedang menghangatkan diri."Apa yang d
Malikha masih tertegun tak mengerti saat melihat Aidan memberikan sejumlah uang untuknya. Ia sampai mengernyitkan kening dan tak bicara namun juga tak bergerak. "Ambilah." Mars mengatakan sesuatu dan sedikit mengejutkan Malikha. Tapi Malikha kemudian menggeleng dan tak mau menerima. "Untuk apa? Aku tidak berhak atas kompensasi apapun. Apartemen itu bukan milikku." Malikha masih bersikeras tak mau mengambil. Itu membuat Aidan kesal lalu tangannya menarik sebelah tangan Malikha dan meletakkan uang itu di telapak tangannya. "Sewalah tempat dan belilah beberapa makanan untukmu. Di luar dingin, kamu bisa mati kedinginan nanti," ujar Aidan dengan nada simpati yang datar. Matanya terus memperhatikan Malikha dan ketika ia tak tahan ia cenderung membuang pandangannya ke arah lain. Mars sedikit menyengir dan memperhatikan sahabatnya itu mengatasi perasaannya sendiri. Malikha masih menggeleng dan hendak mengembalikan uang itu. "Ambil saja. Sebagai permintaan maa
"Lalu ... apa yang sedang kamu lakukan sekarang?" tanya Aidan ingin berbasa basi."Bicara denganmu." Malikha menjawab lalu menyengir sinis. Aidan menatapnya dengan ujung mata dan hembusan napas kesal."Kamu mengolokku ya!" sahut Aidan dengan ketus."Tidak. Bukannya kamu yang tanya aku sedang apa," balas Malikha dengan polosnya. Aidan sedikit memicingkan matanya lalu menoleh ke arah ranjang Malikha yang kecil."Bagaimana kamu bisa tidur di ranjang sekecil itu?" Aidan berdiri dari tempat duduknya lalu pindah ke tempat duduk Malikha. Aidan sedikit menggenjot dan tempat tidur langsung berbunyi. Malikha yang tak menyangka Aidan duduk di sana lantas sedikit memekik untuk melarang. Aidan tertegun saat ia pikir ia sudah merusak ranjang itu."Apa ranjang ini patah?" tanya Aidan dengan wajah kaget. Malikha meringis lalu menarik lengan Aidan agar berdiri saja."Ini ranjang bekas, tidak boleh digenjot atau aku harus memperbaikinya lagi," keluh Malikha separuh merengek pada Aidan sudah berdiri. Ai
Aidan tak ingin membuang waktunya untuk membuat Malikha menyukainya. Mungkin terlalu terburu-buru mengingat beberapa hari yang lalu ia sudah membuat Malikha kehilangan segalanya. Aidan masih berdiri di depan Malikha sambil menggenggam kedua tangannya dengan nafas beku dan senyuman hangat. "Aku pikir kamu terlalu terburu-buru, Tuan Orlando," ujar Malikha dengan nada lembut dan terus memandang Aidan. Aidan tersenyum lagi dan mengangguk. "Kamu tidak percaya padaku kan?" Malikha tak menjawab ia malah menundukkan pandangannya. 'Aku sudah membuat dia kehilangan semuanya, tentu saja ia takkan percaya padaku begitu saja. Apa yang aku pikirkan?' ujar batin Aidan masih terus memandang Malikha. "Aku mengerti jika kamu membutuhkan waktu untuk berpikir. Aku tidak keberatan. Tapi ... aku ingin kamu memberikan aku kesempatan untuk bisa dekat denganmu dan mengenalmu lebih jauh, bagaimana?" tanya Aidan masih belum menyerah. Malikha memang masih memandang curiga pada A
Aidan sudah pulang dari mengantar Malikha dan masih memakai jas mahalnya saat ia mengambil sebotol Whiskey lalu menuangkannya ke dalam sebuah gelas. Aidan membawa gelasnya lalu mulai minum sambil berdiri di depan salah satu jendela yang memisahkannya dengan pemandangan indah di Brooklyn. Tak lama kemudian, Glenn Matthews baru masuk beberapa saat kemudian setelah ia dipanggil oleh Aidan."Tuan memanggilku?" tanya Glenn begitu ia berhenti. Aidan kemudian berbalik dan mengangguk dengan ekspresi datar seperti biasa."Aku butuh bantuanmu. Belikan aku beberapa furniture baru serta penghangat ruangan." Glenn mengernyitkan keningnya pada permintaan Aidan tapi kemudian mengangguk."Jika aku boleh tau, untuk apa semua itu?""Apartemen Malikha. Aku rasa untuk saat ini aku tak bisa membuatnya pindah ke tempat yang lebih luas tapi aku bisa mengubah ruang mungilnya menjadi lebih layak dan bagus," jawab Aidan lalu duduk di sofanya setelah meletakkan gelas minuman. Glenn mengangguk mengerti.“Kenapa
"Kenapa kamu tidak memakai sarung tangan. Di luar cuaca semakin dingin." tanya Aidan dengan nada lembut."Aku hanya punya satu sarung tangan yang kamu berikan. Tapi itu sarung tangan bermerek mahal jadi aku tidak berani memakainya. Jika para pekerja lain melihat maka mereka akan berpikir jika aku memiliki banyak uang," jawab Malikha memberi alasannya. Aidan tersenyum sambil mendengus lalu mengangguk mengerti."Aku tidak akan memberikan barang-barang murah pada gadis yang aku sukai. Aku harap kamu mengerti," balas Aidan sedikit menyombongkan dirinya dan membuat Malikha kembali tertegun. Tapi Malikha tak mendengar seperti itu.‘Apa dia baru saja mengatakan jika dia menyukaiku?’ pikir Malikha dalam hatinya.Aidan tak lagi melepaskan tangan Malikha setelh mencoba membuatnya hangat. Malikha pun tak menarik tangannya kembali yang terus diusap oleh Aidan agar hangat. Mereka saling berpegangan tangan sampai mobil yang mereka tumpangi tiba di sebuah restoran berbintang empat Michelin di Manhat