"AAAAHHH ... jangan, lepaskan aku!" ucap Aidan terus meronta meminta agar ia dilepaskan di dalam mimpinya. Aidan berkeringat dan terus mengalir dengan deras. Ia benar-benar seperti tengah tersiksa dalam tidur yang seolah hanya ada gelap.
Tiba-tiba kemudian, ia tersentak dan duduk di ranjang dengan napas tersengal seolah sudah berlari berkilo meter tanpa henti. Napas berat, peluh mengalir dan mimpi buruk adalah makanan Aidan dalam tidur-tidur malamnya jika ia sendiri. Ia meringis dengan kesal dan meremas selimut yang menutupi tubuhnya.
Itu sebabnya mengapa ia lebih suka mencari teman tidur agar tak ada lagi mimpi buruk dari bayangan masa lalunya yang traumatis.
Sambil mengatur napasnya, Aidan memegang kepala dengan kedua tangannya. Ia mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya turun dari ranjang berjalan keluar kamar. Ia masuk ke dapur dan mengambil sebotol air minum dari dalam kulkas. Dengan kesal, ia membanting pintu kulkas itu lalu berbalik dan meletakkan botol minumnya di atas konter dapur. Aidan mengambil ponsel dan menghubungi Glenn untuk datang ke kamar hotelnya.
Asisten pribadinya, Glenn datang tak lama kemudian. Begitu ia melihat Aidan berdiri dengan kedua tangan menopang di atas konter dapur, ia sudah tahu jika Aidan pasti sehabis bermimpi buruk.
"Apa yang kamu dapatkan, Glenn?" tanya Aidan dengan nada dingin. Glenn mendekat dan menyodorkan sebuah tablet ke hadapan Aidan yang sedang minum dari botol air mineral.
"Ini adalah yang kamu cari, Tuan. Jason Holland, alamat itu benar miliknya," ujar Glenn menunjukkan beberapa foto dan profil Jason. Aidan masih terengah mengatur napas dan melepaskan bibirnya dari ujung botol lalu meletakkannya di atas konter.
"Jadi dia punya perusahaan konstruksi?" tanya Aidan masih melihat-lihat beberapa foto.
"Ya, tapi sudah hampir bangkrut." Aidan menyengir jahat. Ia pun menghabiskan sisa air di dalam botol.
“Aku mau bertemu dengannya besok!" Glenn mengangguk. Aidan kemudian meremas botol air mineral tersebut sebelum melemparkan ke tong sampah.
Keesokan harinya, Glenn benar-benar menculik Jason Holland dan istrinya dari rumah mereka. Jason mengira yang datang adalah para penagih hutang. Ia sedang bersembunyi beberapa hari ini. Namun malang, itu bukan mereka tapi Aidan Caesar.
Jason dibawa ke salah satu gudang tua yang dibeli oleh Aidan agar ia bisa memuaskan dendamnya pada Jason.
"Aku mohon lepaskan aku, aku akan membayar utang-utangku. Aku berjanji!" ujar Jason sudah lusuh karena sudah dipukuli beberapa kali. Aidan baru datang setelah beberapa saat lalu berdiri di depan Jason. Dengan sebelah kaki menekan kursi yang tengah diduduki Jason, Aidan menyengir jahat.
"Kamu benar-benar tidak ingat siapa aku ya?" ejek Aidan menyengir dengan lebarnya. Pria bernama Jason itu menggeleng dan terengah. Sambil tersenyum seperti pemburu berdarah dingin ia mencengkram rahang Jason Holland dan menyeringai.
"Aku adalah si gendut yang kamu kurung di Hope Park Cemetry 12 tahun yang lalu. Masih ingat?" Aidan menghempaskan rahang Jason dengan keras sampai ia berpaling. Jason membuka mulutnya tidak percaya, ia membuka matanya lebar-lebar tidak menyangka kesalahan masa lalunya kembali datang membalaskan semuanya.
"T-tidak mungkin, kamu ... kamu seharusnya sudah mati," ucap Jason terbata dengan wajah horor penuh ketakutan. Seolah wajah Angel (malaikat) Aidan berubah menjadi wajah malaikat kematian, Jason begitu ketakutan.
"Aku mohon, maafkan aku. Aku tidak bermaksud melakukan itu padamu."
"Kalian sudah membunuhku!" geram Aidan dengan suara menakutkan. Jason terus menggelengkan kepalanya.
"Aku akan membuatmu merasakan semua kegelapan yang aku dapatkan selama bertahun-tahun aku hidup." Aidan lalu berbalik pada anak buahnya memberi perintah.
"Bawa istrinya kemari!"
"JANGAN!" teriak Jason. Seorang wanita ditarik oleh salah satu anak buah Aidan ke dalam ruangan itu. Ia dihempaskan ke lantai dan terduduk di dekat kaki Aidan. Aidan melihat wajah wanita itu lalu mengernyitkan kening. Ia kemudian menatap Jason lagi.
"Aku pikir kamu menikahi Malikha Swan," ujar Aidan. Jason mulai menangis dan menggeleng.
"Di mana pacarmu itu?" tanya Aidan lagi.
"Aku tidak tahu, kami sudah tidak pacaran lagi sejak kejadian itu." Jason menunduk menangis menjawab pertanyaan Aidan.
"Katakan padaku di mana, Malikha Swan!" Aidan makin menggeram dan menakutkan. Jason masih menolak memberitahu. Aidan yang tak sabaran akhirnya menarik tangan istri Jason lalu menghempaskannya ke sebuah ranjang.
"Buka bajumu!" perintah Aidan sambil membuka jasnya. Wanita itu tak terlihat takut pada Aidan. Ia melihat pada suaminya yang menggelengkan kepala.
"Mau tidur denganku?" tawar Aidan dengan pandangan mata tajam. Wanita itu malah tersenyum menggoda dan mulai membuka gaun malamnya. Aidan tahu benar pesonanya, ia bisa dengan mudah membuat wanita manapun bertekuk lutut padanya bahkan wanita bersuami sekalipun. Aidan tertawa dan berbalik melihat Jason lagi.
"Jason, aku akan menikmati tubuh istrimu sekarang. Bagaimana menurutmu?" Jason menggeleng dan menangis. Sementara istrinya sudah setengah telanjang. Aidan membuka beberapa kancing kemejanya dan mulai merebahkan diri hendak menindih wanita tersebut. Tangan wanita itu sudah meraba pinggang dan bibirnya mencium garis rahang Aidan.
"New York ... dia ada di New York. Tapi aku tidak tahu alamatnya!" sahut Jason sambil menangis.
"Aku tahu dia di New York, aku mau alamatnya Jason Holland." Jason masih menggeleng.
"Aku benar-benar tidak tahu. Aku sudah lama tak mendengar kabarnya. Dia pindah dari Boston untuk mengobati Ibunya, rumah sakit yang mengurus semuanya. Hanya itu yang aku tahu."
"Rumah sakit apa?" tanya Aidan lagi.
"Boston Sacred Heart, hanya itu yang aku tau aku bersumpah. Aku tak tahu lagi di mana dia sekarang," jawab Jason. Aidan tau Jason sudah mengatakan semuanya. Kini ia tau bahwa ada rumah sakit yang menyimpan catatan Malikha. Ia akan semakin dekat dengan Malikha kini.
Aidan tersenyum lalu tangannya meraba wajah istri Jason. Jemarinya membelai lembut dengan wajah yang begitu dekat namun tak menciumnya. Begitu wanita itu hendak mencium, Aidan berdiri dan melepaskan dirinya.
Setelah selesai, Aidan tinggal menunggu kabar dari Glenn soal Ibu Malikha yang dirawat di rumah sakit. Selama menunggu, Aidan berlatih kick boxing dengan keras untuk meluapkan amarahnya. Sambil terengah, ia berhenti dan membuka sound buds sport dari kedua telinga lalu berbalik pada Glenn dengan wajah marah.
"Apa kamu mendapatkannya?"
Pelatih yang menjadi Sparing Partner-nya ikut berhenti lalu menoleh pada Glenn. Ia sedikit bergeser dan menjauh dari Aidan.
"Belum, Tuan. Rumah sakit itu tidak mau memberitahukan informasi pribadi. Aku akan mencari cari lain," jawab Glenn kemudian. Sambil mendengus kesal, Aidan berjalan menghampiri Glenn.
"Apa aku harus membakar rumah sakit itu juga!" hardik Aidan dengan suara kesal, marah dan terengah.
"Beri aku waktu sampai besok, Tuan. Aku akan mendapatkannya," ujar Glenn menanggapi Aidan. Aidan tak menjawab dan masih memandang Glenn dengan wajah tanpa senyum.
"Jangan buang waktuku, Glenn. Perempuan itu harus kutemukan secepatnya, kamu mengerti!" geram Aidan tanpa ampun. Glenn mengangguk tanpa ragu.
"Aku pasti akan bisa menemukannya."
"Dia tidak akan bisa bersembunyi di New York dariku. Aku tidak akan membiarkannya!" dengus Aidan berbalik lalu berlatih lagi. Kekuatannya kini lebih besar dari sebelumnya. Sparing Partnernya bahkan sampai bergeser ke belakang. Glenn yang menyaksikan betapa marahnya Aidan, tak ingin membayangkan apa yang akan diperbuatnya pada Malikha Swan jika bertemu nanti.
Setelah pindah ke New York untuk beberapa minggu ke depan Aidan akan sibuk mempersiapkan pembukaan hotel berbintang miliknya─Estrella. Ulasan awal tentang hotel itu sangat diperlukannya agar ia bisa memperluas jaringan ke seluruh Amerika. Aidan memulai semuanya dari New York sehingga menjadi awal dari perjalanan hidupnya yang baru. Beberapa pembangunan hotel di bawah Orcanza Enterprise di Eropa seperti Jerman dan Italia juga mulai mendekati tahap akhir. Jika berhasil, Aidan akan jadi salah satu pengusaha perhotelan paling kaya di dunia. Aidan juga tengah melirik bisnis olahraga, mungkin dengan membangun stadion atau menjadi pemilik salah satu klub football bisa menjadi pilihan. Ia kini jadi makin tinggi melewati awan dengan kekayaan yang begitu besar yang ia miliki saat ini. Wajah Aidan juga sering muncul di majalah terkenal dan disebut-sebut menjadi salah satu pengusaha paling sukses abad ini. Namun sudut hatinya sesungguhnya ia tak tenang. Aidan masih sangat ingin bisa menemukan
Aidan Caesar tiba rumah sakit tempat Ibu Malikha dirawat setelah mendapatkan laporan dari Glenn. Aidan memilih untuk menuntaskan rasa penasarannya tentang Malikha. Seperti janji, Glenn berhasil menemukan dimana Ibu Malikha, Fiona Swan dirawat. Beruntung Aidan bisa melihat dengan Malikha yang tidak lagi mengenalinya. Sayangnya, di dalam kamar itu juga hadir Brandon Caesar, ayah Aidan. Gadis itu mengunjungi Ibunya tepat saat Brandon sedang berusaha melamar Fiona, Ibu Malikha. Dan itu semua terjadi di depan Aidan yang mengintip dari balik tembok. Tangan Aidan lalu mengepal saat ia harus menyaksikan senyum bahagia ketiganya. Mereka seperti sebuah keluarga lengkap, Ayah, Ibu dan anak perempuannya. "Akan kuhancurkan kalian semua!" gumamnya berbalik dan pergi. Aidan keluar dari rumah sakit tersebut. Ia menunggu di dalam mobilnya yang terparkir masih di parkiran luar rumah sakit. Dengan tenang seperti hewan buas tengah menunggu mangsa, Aidan duduk tak melepaskan pandangannya sama sekali pad
Gara-gara kejadian tadi siang, Aidan tidak menyapa Jayden saat bertemu di bar. Jayden memilih menceritakan semuanya pada Arjoona, sahabat mereka. Arjoona sudah mengenal Aidan dari masa SMA, ia tahu benar apa yang terjadi."Ia dijebak oleh Malikha Swan untuk berjalan melewati sebuah lorong saat mau ke toko ice cream. Dia tidak pernah sampai ke toko itu malah diculik oleh Jason, kekasih Malikha dan dibawa ke sebuah pemakaman tua di dekat lorong tersebut," ujar Arjoona bercerita pada Jayden. Arjoona ikut menuangkan segelas Whiskey pada gelas Jayden. Jayden masih mendengar dengan seksama apa yang tengah diceritakan oleh Joona."Di sana dia dipukuli, diikat dan dibekap. Lalu dimasukkan ke dalam sebuah makam berbentuk ruangan." Jayden mengangguk lalu melirik pada Aidan yang tengah tertawa bersama Mars, James dan Shawn."Dia ditinggal di dalam makam itu sendirian, tanpa cahaya ataupun udara bebas. Aidan memiliki fobia pada kegelapan dan ruang sempit dulunya, dan karena itu dia hampir mati,"
Aidan tak ingin keluar lagi kemana pun dan berharap bisa beristirahat usai kejadian di depan bangunan apartemen Malikha tadi sore. Sesungguhnya ia tidak bahagia. Niatnya adalah membuat Malikha terus mendapatkan kemalangan tapi rasa puas itu tak kunjung muncul.“Pasti ada yang aneh padaku─” bunyi bel apartemen membuat Aidan harus mengurungkan niat untuk masuk kamar dan tidur. Ia membuka sendiri pintu apartemennya dan menemukan senyuman Jayden yang terluka."Ada apa denganmu?" tanya Aidan menyahut separuh memekik saat melihat keadaan Jayden yang terluka. Tanpa menunggu Jayden menjawab, Aidan langsung menarik lengan Jayden dan membawanya ke dalam apartemen mewahnya."Biasa, perkelahian antar geng," jawab Jayden singkat dan masuk ke apartemen Aidan seolah mereka baik-baik saja. Keduanya padahal belum berbicara satu sama lain usai bertengkar karena Malikha Swan. Akan tetapi sikap Aidan pun sama saja seperti kejadian sebelumnya."Siapa yang sudah menyerangmu?" tanya Aidan dengan wajah kesal
Hari ini, Mars King sedang mengendarai mobilnya menuju Estrela sendirian utnuk mengikuti sebuah konsorsium meeting yang melibatkan King Enterprise. Caleb sudah kembali ke LA sementara untuk mengurus King Enterprise di kantor pusatnya. Sedangkan Mars sedang di New York untuk mengurus beberapa proyek bersama Arjoona, Aidan dan Jayden yang tergabung dalam satu asosiasi pengusaha yang sama.Sebenarnya ia sudah sedikit terlambat karena Vanylla sedikit uring-uringan di rumah. Istrinya itu masih berusaha untuk segera hamil dan Mars mulai stress karena Vanylla yang terus memaksakan dirinya. Sambil menghela napas dan sesekali membunyikan klakson karena mobil di depannya tak bergerak, Mars tak sengaja menoleh ke samping kanan. Musim gugur akan berganti musim dingin sekarang. Beberapa gelandangan terlihat membakar beberapa barang di dalam drum untuk menghangatkan diri.Di sanalah Mars melihat Malikha Swan yang terlihat cukup lusuh dan sedang menghangatkan diri."Apa yang d
Malikha masih tertegun tak mengerti saat melihat Aidan memberikan sejumlah uang untuknya. Ia sampai mengernyitkan kening dan tak bicara namun juga tak bergerak. "Ambilah." Mars mengatakan sesuatu dan sedikit mengejutkan Malikha. Tapi Malikha kemudian menggeleng dan tak mau menerima. "Untuk apa? Aku tidak berhak atas kompensasi apapun. Apartemen itu bukan milikku." Malikha masih bersikeras tak mau mengambil. Itu membuat Aidan kesal lalu tangannya menarik sebelah tangan Malikha dan meletakkan uang itu di telapak tangannya. "Sewalah tempat dan belilah beberapa makanan untukmu. Di luar dingin, kamu bisa mati kedinginan nanti," ujar Aidan dengan nada simpati yang datar. Matanya terus memperhatikan Malikha dan ketika ia tak tahan ia cenderung membuang pandangannya ke arah lain. Mars sedikit menyengir dan memperhatikan sahabatnya itu mengatasi perasaannya sendiri. Malikha masih menggeleng dan hendak mengembalikan uang itu. "Ambil saja. Sebagai permintaan maa
"Lalu ... apa yang sedang kamu lakukan sekarang?" tanya Aidan ingin berbasa basi."Bicara denganmu." Malikha menjawab lalu menyengir sinis. Aidan menatapnya dengan ujung mata dan hembusan napas kesal."Kamu mengolokku ya!" sahut Aidan dengan ketus."Tidak. Bukannya kamu yang tanya aku sedang apa," balas Malikha dengan polosnya. Aidan sedikit memicingkan matanya lalu menoleh ke arah ranjang Malikha yang kecil."Bagaimana kamu bisa tidur di ranjang sekecil itu?" Aidan berdiri dari tempat duduknya lalu pindah ke tempat duduk Malikha. Aidan sedikit menggenjot dan tempat tidur langsung berbunyi. Malikha yang tak menyangka Aidan duduk di sana lantas sedikit memekik untuk melarang. Aidan tertegun saat ia pikir ia sudah merusak ranjang itu."Apa ranjang ini patah?" tanya Aidan dengan wajah kaget. Malikha meringis lalu menarik lengan Aidan agar berdiri saja."Ini ranjang bekas, tidak boleh digenjot atau aku harus memperbaikinya lagi," keluh Malikha separuh merengek pada Aidan sudah berdiri. Ai
Aidan tak ingin membuang waktunya untuk membuat Malikha menyukainya. Mungkin terlalu terburu-buru mengingat beberapa hari yang lalu ia sudah membuat Malikha kehilangan segalanya. Aidan masih berdiri di depan Malikha sambil menggenggam kedua tangannya dengan nafas beku dan senyuman hangat. "Aku pikir kamu terlalu terburu-buru, Tuan Orlando," ujar Malikha dengan nada lembut dan terus memandang Aidan. Aidan tersenyum lagi dan mengangguk. "Kamu tidak percaya padaku kan?" Malikha tak menjawab ia malah menundukkan pandangannya. 'Aku sudah membuat dia kehilangan semuanya, tentu saja ia takkan percaya padaku begitu saja. Apa yang aku pikirkan?' ujar batin Aidan masih terus memandang Malikha. "Aku mengerti jika kamu membutuhkan waktu untuk berpikir. Aku tidak keberatan. Tapi ... aku ingin kamu memberikan aku kesempatan untuk bisa dekat denganmu dan mengenalmu lebih jauh, bagaimana?" tanya Aidan masih belum menyerah. Malikha memang masih memandang curiga pada A