Aidan tak menjalankan niatnya untuk menemui Malikha, ia malah kembali ke New York. Turun dari pesawatnya, Aidan mengarahkan mobilnya untuk pergi ke klub First, tempat The Seven Wolves biasa berkumpul.
"Tanganmu baik-baik saja?" tanya Jayden yang juga baru datang menghentakkan Aidan dari lamunannya. Aidan hanya mendehem saja dan mengangguk. Ia meminum lagi birnya dan melamun kembali.
"Aidan, aku khawatir padamu," ujar Jayden dengan wajah cemas.
"Aku baik-baik saja, Jay," jawab Aidan tanpa menoleh.
"Aku tidak bilang kamu sakit, tapi jiwamu terluka. Dan aku sudah sangat jarang melihat kamu tersenyum sekarang. Kamu jadi tidak imut lagi, tau!" Aidan tersenyum tipis mendengar Jayden yang menggodanya. Ia tak menjawab dan hanya terus memandang ujung botol bir di depannya.
"Kamu sudah mencari Malikha?" tanya Jayden setelah diam cukup lama. Aidan mengangguk.
"Kamu menemukannya?" Aidan mengangguk lagi.
"Lalu kenapa kamu bersedih?" Aidan menghela
Aidan tiba dengan mobil BMW M4 berwarna hitam di dekat jalan di depan rumah Malikha. Ia sengaja tak memakai mobil sport mewah agar tak terlalu mencolok. Aidan sudah berada di sana pagi-pagi sekali. Ia bahkan membawa sandwich untuk sarapan paginya. Hanya saja ia berharap tidak muntah tiba-tiba ketika sedang menguntit begini. Sambil berada di dalam mobilnya, dengan sabar Aidan menunggu Malikha keluar untuk beraktivitas.Malikha baru keluar dari rumahnya sekitar pukul 8.30 pagi dengan pakaian dress biasa dan cardigan. Ia menggunakan sepatu converse dan terlihat seperti anak kuliahan dari pada pekerja kantoran. Malikha memang membiasakan agar tak lagi memakai hak tinggi karena sedang hamil dan juga karena setiap hari ia memilih berjalan kaki. Keluar dari beranda rumah dan mengunci pintu pagar, Malikha kemudian berjalan di pinggir jalan melewati mobil Aidan ke arah yang berlawanan.Aidan menggigit bibir bawahnya sambil memundurkan posisi tubuhnya agar tak ketahuan oleh Mali
Aidan berhenti beberapa meter dari tempat Malikha dan Bruce memarkirkan mobil mereka. Bruce terlihat menggandeng Malikha dengan mesra untuk masuk ke dalam sebuah restoran. Aidan menelan lagi rasa kecewa dan pahitnya harus melihat Malikha bersama pria lain. Ia akhirnya membayar dan keluar dari taksi untuk ikut masuk ke dalam.Dari depan pintu masuk, Aidan menoleh ke kiri dan menemukan Malikha dan Bruce telah mengambil tempat mereka di sudut kiri restoran. Aidan menarik lebih ke bawah topinya dan memperbaiki kaca matanya. Sebuah meja di depan meja Malikha belum memiliki tamu, Aidan langsung memesan meja tersebut untuk dirinya. Ia duduk tepat di belakang Bruce yang saling memunggungi. Jika ingin menguntit tak boleh setengah-setengah. Ia harus bisa mendengarkan pembicaraan Malikha dan Bruce.Sangat kebetulan sekali jika Aidan memesan menu yang sama dengan Malikha, Tuna Pasta Salad. Belakangan selera Aidan dan Malikha makin sama terutama soal makanan. Terlebih banyak pantan
Yang paling dibenci Lucy di dunia ini mungkin hanyalah Glenn Matthews seorang. Pria itu seperti penyakit yang paling ingin Lucy hindari. Masalahnya ia ada dimana-mana.Tak hanya itu, Lucy beberapa kali mencoba menjatuhkan Glenn namun tak pernah berhasil. Terakhir kejadian ia harus mengobati Glenn adalah hal paling menyebalkan yang pernah ia lakukan. Hari ini Lucy yang sudah terlanjur senang terpaksa kecewa dengan yang ia lihat di ruangan Aidan.Niat Lucy ingin mengambil kesempatan untuk berdua saja dengan Aidan langsung berakhir kecewa."Apa yang kamu lakukan di sini!" bentak Lucy dengan suara meninggi membuat Glenn begitu kaget bahkan harus memegang dadanya karena jantungnya mau copot."Apa kamu tau kenapa pintu diciptakan? Itu agar orang mengetuk dulu sebelum masuk ke dalam, Nona Lucy McClaine!" sembur Glenn kesal. Matanya melotot pada Lucy yang tak memiliki sopan santu sama sekali."Aku tidak perlu mengetuk pintu!" Glenn mengibaskan kedua tangan
BULAN KE EMPATLucy McClaine tak lagi bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya setelah pergi dari ruangan Aidan. Ia mendapatkan hadiah yang tak terduga dari Glenn. Dan itu membuatnya termenung seperti orang bodoh. Tak hanya termenung dan kebingungan, ia bahkan melupakan banyak hal.Ciuman Glenn bukanlah ciuman yang biasa. Siapa pun yang merasakan pasti tahu jika ciuman penuh gairah itu adalah impian semua wanita. Bagaimana bisa Lucy melewatkan Glenn yang sebenarnya menjadi incaran paling atas dalam daftar pegawai wanita di Orcanza?"Tidak ... ini tidak boleh terjadi. Tuan Aidan adalah yang trseksi. Aku tidak bisa membuat orang lain menggantikan tempatnya," gumam Lucy sambil menepuk-nepuk pipinya. Ia mencoba menyadarkan dirinya sendiri bahwa yang terjadi di ruangan Aidan hanyalah mimpi. Namun semakin ia menghindar, semakin pipinya menjadi merah. Ciuman itu masih melekat di bibirnya dan seperti tak mau hilang sama sekali."Aaahh ... apa yang terjadi padaku!" L
Glenn kemudian membawa Lucy makan malam di sebuah restoran dan pub di Manhattan. Keduanya tak bicara apapun selain hanya duduk dan memesan makanan lalu mulai makan malam. Perasaan gugup terus melanda Lucy dan Glenn sebenarnya menyadarinya. Ia hanya mencoba bersikap biasa agar Lucy tak bersikap defensif."Apa kamu ... " Lucy berhenti dan tak jadi melanjutkan kalimatnya."Apa? Kamu mau tanya apa?" potong Glenn dan Lucy yang gugup malah mengigit bibir bawahnya."Apa kamu tahu ke mana Tuan Aidan pergi?" tanya Lucy mengalihkan pembicaraan dari maksud yang sebenarnya. Glenn mendengus dengan wajah kesal."Kamu benar-benar belum menyerah ya? Tuan Aidan sudah menolakmu ratusan kali. Jika pria yang menyukaimu melihatmu seperti ini, dia pasti akan kabur!" jawab Glenn menyindir lalu meminum air di dalam gelas. Bibir Lucy langsung mengerucut begitu mendengar jawaban sarkas itu."Apa salahku, dia kan sudah sendiri?" bantah Lucy membela dirinya."Kesalahan
"Oke, sekarang katakan apa rencanamu, Joona!" ujar Shawn kemudian menagih Arjoona. Arjoona menggesekkan kedua telapak tangannya dan mengajak teman-temannya mendekat. Aidan pun akhirnya ikut menggeser kursi dan berkumpul bersama keenam orang sahabatnya. Arjoona memberi petunjuk, gambaran dan rencana yang akan dilakukan oleh masing-masing anggota The Seven Wolves."Tapi Aidan, kamu harus siap dengan kemungkinan Malikha akan menolakmu pada akhirnya. Hanya yang harus kamu ingat, kamu adalah Ayah dari bayi yang dikandung Malikha, Bruce takkan bisa merebut tempat itu darimu, mengerti!" ujar Joona memberikan semangatnya pada Aidan. Aidan tersenyum dan mengangguk mantap."Baik, kita mulai rencananya besok. Pertama, membobol adalah tugasmu Bryan Alexander. Lakukan seperti yang aku katakan." Bryan memberikan jempolnya pada Arjoona dan menyengir lebar.Keesokan hari, Bryan dan seluruh anggota The Seven Wolves yang menginap di apartemen Aidan mulai menjalankan rencana Arjoo
"Sudah-sudah jangan tertawa lagi. Sekarang bagian seriusnya. Bryan, nyalakan kameramu." Arjoona memberi perintah. Dari tertawa keras kini mereka dengan serius menyaksikan sebuah layar televisi yang dipakai Bryan menjadi mata dan telinga."Audionya sudah ku nyalakan. Shawn, apa kamu bisa mendengarku?" tanya Bryan mengetes alat komunikasi mereka."Yup. Aku berangkat sekarang!" jawab Shawn menghidupkan kamera di tubuhnya lalu mulai menyetir. Arjoona ikut menaikkan level suara agar semua orang di ruangan itu mendengar. Shawn kemudian berkendara 30 menit sebelum sampai di lingkungan tempat tinggal Malikha. Shawn terus melaporkan keberadaannya selama perjalanan sampai ia tiba di lingkungan rumah Malikha."Lakukan, Bryan!" perintah Arjoona. Bryan kemudian meretas dengan cepat jaringan TV kabel milik Malikha dan mematikan sinyalnya."Sekarang sudah mati!" lapor Bryan. Arjoona lalu mengangguk."Tunggu di tempatmu Shawn. Bersiaplah dalam 10 menit." Tak lama
Gara-gara hadiah dadakan hasil undian kupon yang tak pernah dibeli Malikha, ia terpaksa tak pergi bekerja. Tak hanya peralatan bayi, Malikha juga mendapat seluruh paket dan perawatan lengkap Ibu hamil. Dari pakaian, makanan, snack, susu, hingga sofa pijat dan toilet khusus."Apa yang sebenarnya terjadi?" Malikha jadi kebingungan karena rumahnya kini jadi setengah direnovasi karena dipasangi beberapa peralatan. Malikha jadi melihat tubuhnya yang belum membesar dan perutnya yang masih rata."Tapi kan aku belum hamil besar," keluh Malikha pada dirinya sendiri. Setelah seluruh orang pergi, Malikha masuk ke kamar bayi dan Aidan hanya bisa memperhatikan dari ujung pintu. Terlihat pnggung Malikha dari depan pintu kamar sedang memegang beberapa mainan yang penuh diisi dalam kamar."Apa mungkin mereka salah kirim? Tapi alamatnya ... bagaimana bisa sama?" Malikha masih bingung dan segera mengambil ponsel dan mengecek email. Ternyata benar, kupon itu bukan bohong. Tapi mas