Ceklek! Krriiiieeettt….
Dengan perlahan aku mendorong pintu kayu yang sudah tua itu.
“Permisi…” ucapku. Namun tidak ada balasan. Aku pun berjalan memasuki ruangan. Tidak lupa untuk menutup pintu.
“Huu.. huu huu huu…”
“Astaga!”
Aku dikejutkan dengan seekor burung hantu yang sedang bertengger di atas sebuah tiang yang terletak persis di sebelah kiri pintu. Bulunya putih seperti salju. Matanya yang hitam bundar membuat keberadaannya menjadi menakutkan. Aku langsung menjauhkan diri darinya. Setelah berjarak kurang lebih lima langkah besar, mata burung hantu itu perlahan terpejam.
“Dia… tidur?”
Merasa sedikit aman, aku mulai melihat-lihat sekeliling ruangan. Sebagian besar isi ruangan tersebut ialah… buku. Sisanya hanyalah rak buku, kedua pintu, tiang beserta burung hantu itu, dan… aku. Tidak ada jendela satupun. Aku mendongak untuk melihat satu-satunya penerangan di ruangan itu.
“Lah.. dimana atapnya..?”
Aku menyipitkan mata untuk melihat langit-langit, tapi tidak menemukan ujungnya. Yang terlihat hanyalah barisan-barisan buku yang menjulang hingga entah berapa meter ke atas sana. Aku yakin barisan terakhir yang terlihat jelas di mataku bukanlah barisan buku yang paling atas. Lupakan tentang atap. Aku jadi penasaran dengan orang yang mengoleksi ribuan buku ini sekarang.
“Satu buku saja sudah sangat tebal, butuh berapa tahun untuk membaca semua yang ada disini…”
Ketika sedang melihat-lihat, mataku menangkap sebuah buku yang berada di baris keempat belas dari bawah. Aku menjinjit untuk mengambilnya, namun tetap tidak sampai. Tidak ada tangga ataupun bangku yang bisa digunakan sebagai pijakan pula. “Satu.. dua.. tiga.. hup!” Segere setelah kakiku menolak, jantungku kembali diburu. Bagaimana tidak, tubuhku seperti menjadi sangat ringan dan terhempas begitu saja ke atas.
Jadi begini rasanya terbang…
Dua puluh baris telah kulewati. Tiga puluh… empat puluh.. sampai-sampai aku tidak terhitung lagi. “Eh, eh, ini gimana berentinya..!?” Segera setelah kuteriakkan kalimat itu, dapat kurasakan seseorang berhasil menangkap dan menarik pergelangan kakiku. “Terima ka, eeh!!?” Dengan tenaga yang luar biasa kuat, orang itu menarikku bersamanya ke arah bawah. “Waaaa!!!” teriakku merasa takut karena akan menabrak lantai dengan keras. “Sshhh…” Tanpa kusadari kecepatan jatuh kami melambat dan aku telah berhasil mendarat di lantai tanpa luka fisik sedikitpun.
Tapi mentalku yang kenapa-napa!!
“Bagaimana terbangnya? Seru..?”
Aku langsung menengok ke sumber suara. Berdiri seseorang berambut hitam panjang terikat dengan kemeja putih dipadu dengan jas serta celana panjang hitam. Sebuah topeng berbentuk wajah dari burung hantu menutupi bagian atas wajahnya.
Pria?
“Bukan,” jawabnya seakan mengetahui isi pikiranku. Mendengar itu, aku tidak terkejut. Sepertinya aku sudah terbiasa dengan hal-hal tak lazim seperti terbang dan semacamnya disini.
Suaranya tidak seperti perempuan, tuh? Tunggu, memangnya suaranya tadi seperti pria? Sebentar, kenapa aku jadi tidak bisa membedakan suaranya ini suara pria atau wanita?
“Aku juga bukan wanita.”
Oke, sekarang, barulah aku terkejut.
“Tapi dulunya aku adalah wanita, dan juga pria.” Ia menyeringai lebar.
Dia ini suka membuat orang lain bingung ya..?
“Ah, sudah pasti bukan waria juga ya.. hahahaha!” lanjutnya membuatku semakin bingung.
“Jadi, apa kau ingat kenapa kau bisa sampai disini? Aiyaa, Sonou terbangun ya? Utututu...” ucapnya sambil mengelus-elus kepala burung hantu yang terbangun ketika mendengarnya tertawa tadi.
Iya juga..
Aku darimana?
“Tidak...?” jawabku ragu.
“Tidak? Hmm… kalau namamu?” Aku menggeleng pelan.
“Umurmu?” Aku menggeleng lagi.
“Jadi, apa yang kau ingat?” Mendengar pertanyaan itu, aku terdiam.
Apa yang kuingat? Bahkan nama dan umurku sendiri, aku tidak bisa mengingatnya… Aneh, apakah ingatanku dihapus? Tapi dihapus siapa?
“Huu.. huu..”
“Oh, oke Sonou, oke..” jawab orang itu seolah-olah mengerti perkataan dari burung hantu tersebut.
“Mohon maaf nona yangtidakbisamengingatnamanyasendiri, tapi waktumu hampir habis. Selanjutnya, aku beri dua pilihan, masuk ke pintu itu atau… membantuku mencari sebuah buku.” ujarnya sambil tersenyum. Tangannya menunjuk sebuah pintu yang berseberangan dengan pintu masukku tadi.
Pasti ada sesuatu di balik pintu itu, pasti! Tapi bagaimana kalau ternyata tempatnya lebih buruk dari tempat ini? Bagaimana kalau aku tidak bisa kembali? Tidak menutup kemungkinan kalau itu pintu keluar sih.. Tapi kalau disana nanti tidak ada makanan dan air gimana? Ah, aku kan bawa botol min-
Aku tidak bisa menemukan tasku.
“Hoo..? Kenapa? Kau mengingat sesuatu?” ujarnya yang masih bermain dengan burung hantu itu sementara aku memeriksa kantung dan punggungku.
“Iya, ranselku.”
“Ransel? Untuk apa?”
“Botol minumku di dalamnya.”
“Kau mau minum?”
“Tidak, aku hanya ingin mengecek barang.”
“Oh, nyerah aja. Lagipula kau juga tidak bisa minum lagi.”
“Kenapa begitu?”
“Kenapa? Yaah.. kau kan, sudah mati?”
Taman Air Mancur, nama dari ruangan seluas 418 meter itu. Bentuknya setengah lingkaran dan jarak antara lantai ke atap kira-kira delapan meter. Puluhan lampu menyinari seisi ruangan. Sesuai namanya, di pusat ruangan berdiri sebuah air mancur besar yang khas. Memang tempat yang tepat untuk bermain dan menghirup udara segar. Banyak anak-anak berkunjung ke tempat ini bersama dengan orang tua atau pengasuh mereka. “Satu…dua…tiga…” “Aah! Mama ngintipp! Ulang itungnya!” teriak seorang anak perempuan yang usianya masih bisa dihitung dengan jari. “Iya.. Iya.. ulang nih ya..? Satu.. dua.. jangan jauh-jauh nyumputnya! Empat..” ujar wanita muda yang merupakan ibu kandung dari anak tersebut. Kalo ga jauh, nanti cepet ketauan lah! balas anak itu dalam hati sambil berlari. Melewati jalan setapak berkelok-kelok, ia berhasil menemukan tempat persembunyiannya, di balik semak-semak. Satu menit.. dua menit.. tiga menit.. Hihihi.. mama pasti
Namanya Dan. Orang pertama yang kutemui ketika berhasil sampai di lantai ini. | “Kkhh!” Satu per satu tetesan darah jatuh ke lantai. Gapapa.. ini ga sakit.. ini.. ga.. sakit.. Ditekannya kuat-kuat tangan kanannya itu dengan kain. “Darahnya akan berhenti.. darahnya pasti berhenti..” gumamnya hingga kain yang ia gunakan itu memerah hampir seluruhnya. Krriett… Perlahan pintu yang ada di hadapannya terbuka. Klak! Lampu pun menyala, menerangi seisi ruangan, termasuk dirinya dan seorang lelaki yang baru saja masuk itu. “Ha?” ucap lelaki itu dengan wajah bingungnya. Ah.. Apakah aku akan mati..? Penglihatannya menggelap dan tubuhnya terjatuh ke lantai. Sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, samar-samar ia mendengar sebuah suara memanggil namanya. *** “Haa… pada akhirnya garam kita gabisa diambil lagi…” gumam Dan
Tap.. tap.. tap.. Daritadi dia ga merespon apa-apa… ucap Dan dalam hati sambil melirik ke arah kanannya beberapa kali. Membawa Lizo yang masih tidak sadarkan diri, Dan dan Visera telah sampai di lorong penghubung Primus dengan Secundus. Dia terlihat seperti sudah tahu cara untuk menghentikan Kak Goden tadi itu. Aku yakin tadi itu… dia mengetahui sesuatu.. dia pasti mengetahui sesuatu! Apa… dia pernah ketemu AMAH yang menggila seperti Kak Goden tadi? Dan melirik kanan-nya lagi. Kalau dipikir, aku masih tidak tahu apapun tentangnya... Tentang perempuan ini... yang tiba-tiba muncul hari itu entah darimana. | Tingtung tingtung tingtung..! “Kak..! Kak..!” teriak Dan di depan pintu ruangan J3. Dododok! Ceklek.. “Kau mau menghancurkan bel dan pintuku?” Seorang wanita dewasa yang mengenakan piyama muncul dar
-Lantai 11- Ting! Pintu lift terbuka, para penumpang yang berada di dalamnya mengantri untuk keluar. Yang pertama adalah dua orang pria dewasa bertubuh tegap dan kekar. Kemudian disusul oleh tiga orang wanita. Samala–yang di kiri, memiliki sorot mata tajam dan postur tubuh tegap sepeti dua pria sebelumnya, sedangkan Kimberly–yang di kanan, memiliki sorot mata yang sayu dan terlihat sangat feminim seperti wanita pada umumnya. Keempatnya sama-sama mengiringi satu orang wanita yang kini telah berjalan di depan dan di samping mereka. Wanita tersebut mengenakan setelan blazer berwarna biru dongker yang dipadukan dengan kaus dan sepatu oxford hitam. Kalau bukan karena rambutnya yang telah memutih sebagian, orang-orang pasti akan sangat terkejut ketika mengetahui fakta bahwa usianya hampir menginjak kepala enam. “Memindai Identity Chip.” Terdengar sebuah suara mesin yang khas dari speaker yang ada di langit-langit.
Hari ini hari keenam setelah kejadian di ruangan Secundus F6. Setelah memastikan Lizo mendapat perawatan di Lantai Medis lima hari yang lalu, Dan dan aku kembali menjalani rutinitas kami masing-masing seperti biasa.|-Lantai 75-Pip! “Silahkan masuk.”Terdengar suara bunyi mesin setiap kali terdeteksi keberadaan Identity Chip di antaranya. Pengunjung yang hendak masuk harus meletakkan terlebih dahulu lengan kanannya ke antara dua batang besi yang berdiri di atas sebuah meja itu. Tentu saja mereka yang merupakan AMAH tidak perlu mengikuti prosedur ini.Pip! “Silahkan masuk.”Hari ini juga ada petugasnya ya… pikir Visera dalam hati sambil mengintip-intip dari balik dinding. Kemudian dari dalam ranselnya, iamengeluarkan sebuah gelang tipis berwarna hitam. Dipasangnya gelang tersebut ke lengan kanannya. Lalu ia mengenakan jaket kuning khas miliknya sembari berj
-Lantai 132, reaktor pendingin V- Cssshhhh…! Bunyi uap yang keluar dari sebuah mesin besar menuju sebuah pipa besi lebar yang mengarah ke atas. Tidak ada yang pernah melihat ujungnya, termasuk mereka yang sudah lama bekerja di sana. Namun, dalam buku manual dijelaskan bahwa ujung pipa yang lainnya berada di atas permukaan bumi. Dong..! Dong..! Dong..! Mendengar alarm khas itu, puluhan petugas yang tersebar dalam lantai tersebut langsung meninggalkan tempatnya dan bergegas menuju satu tempat untuk membuat tiga bersaf barisan. Setelah semuanya bergeming di barisan masing-masing, seorang pria paruh baya berjalan keluar dari ruangan yang ada di hadapan mereka. Tidak ada yang berani menatap matanya langsung. Ketika telah berdiri tepat di depan barisan, pria itu berdeham. “Mulai laporannya.” “Siap! Unit A, normal!’ “Unit B, normal!” “Unit C, normal!” “Unit D, normal!” Begitu seterusnya hingga
Syuush! Trang! Sebilah pisau melesat melewati pelipis kirinya dan terjatuh akibat berbenturan dengan pintu. Saat itu belumlah lima menit sedari ia sampai di dalam ruangan blok H nomor 7. “Sa, sambutan yang sangat ramah y-ya, Sa-sangria..!” ucapnya tergagap karena masih mencerna situasi. Cimot? Cimot..? Cimot..??!! Dengan panik ia memanggil rekan suaranya yang tidak memiliki raga itu. Namun tidak ada jawaban. Pandangannya pun mulai menjadi waspada akan perempuan yang berdiri di hadapannya. “Kamu pikir aku akan mempercayaimu semudah itu?” tanya Visera sinis. Tangannya memegang ujung benang yang terikat pada ujung pisau tadi. Sambil menggulung benangnya, ia berjalan mendekat. Dan ketika pisau telah kembali berada di tangannya, ia menempelkan mata pisau tersebut ke leher wanita yang tadi menjadi salah satu pelanggannya itu. Normalnya seorang perempuan pasti sudah teriak ketakutan... pikir Visera. “Aku tanya sekali lagi,
Tes… tes… tes… Satu per satu tetesan air infus jatuh memasuki selang yang terhubung dengan lengan kanan bawahnya. Hari ini genap sudah seminggu Lizo dirawat. Selama tujuh hari itu juga, Megan lah yang secara rutin menjenguk teman dari sepupu jauhnya itu. Grrekk!! Dengan santai Dan membuka pintu gesernya. “Kamu ini buka pintu kenceng-kenceng…! Nanti Lizo kebangun..!” ujar Megan dari sofa di sudut ruangan. Terlihat sebuah jendela hologram yang memuat sebuah dokumen berisi penuh kalimat di depan matanya. “Lho? Dia tidur lagi?” tanya Dan menutup pintu ruangan kembali. Sekitar dua jam yang lalu Megan menghubunginya dan mengatakan kalau Lizo telah sadarkan diri. Di saat itu juga Dan secepat kilat mengganti pakaiannya dan bergegas menuju lantai tiga puluh enam, lantai medis tingkat tiga. “Iya, sehabis makan tadi. Sekarang sudah setengah jam. Waktu bangun tadi katanya kaki tangan badannya pegel semua, jadi si dokter nyuruh di
Fungus Co. , salah satu dari lima perusahaan terbesar se-nasional yang bergerak di bidang jasa. Didirikan oleh seorang pebisnis misterius yang sampai saat ini hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Jasa yang mereka tawarkan ini sedikit unik. Meskipun memiliki ribuan pekerja (termasuk AMAH & AMAPOB), tetapi mereka hanya melayani satu jenis layanan, yakni membasmi musuh-musuh kecil yang terus muncul di sepanjang dinding-dinding bunker yang lazim disebut jamur. Memang tersebut terdengar sederhana, bahkan sepele. Namun, mengingat maraknya pertumbuhan jamur di dinding-dinding bunker yang terus menerus muncul semenjak tiga puluh tahun yang lalu membuat mereka selalu mendapatkan permintaan setiap harinya. Entah jam berapa pun itu. Budi, salah satu pekerja di Fungus Co., sedang melaksanakan pekerjaannya. Namun, ruangan tempat ia berada saat itu sangat gelap meskipun waktu menunjukkan jam satu siang. Hanya ada lampu-lampu kecil berwarna merah yang memiliki jarak sejauh empat meter dengan
-Lantai 33, kediaman utama Gray, ruang tidur tamu- Klang! “Aduh, jatuh deh, haha!” Tuan Anomen tertawa canggung sembari membungkuk untuk mengambil sendok yang terjatuh. “Sepertinya kita harus menambahkan fitur di bagian telapak tangan. Para AMAH masih susah untuk menggenggam benda-benda yang kecil.” ujarnya. “Apa karena aku sudah terlalu tua…?” lanjutnya bergumam. “Toras!” serunya. Robot berang-berang yang berdiri di sampingnya sedari tadi langsung menyala kembali. “Ya, tuan?” “Ambilkan sendok yang baru.” “Baik, tuan.” Kemudian robot itu langsung bergerak meninggalkan ruangan. “Kita tunggu dulu ya…!” ucap Tuan Anomen menoleh ke arah kirinya. Rosa yang sedari tadi menyaksikan monolog yang tidak bisa dipahaminya itu hanya mengangguk pelan. . Beberapa menit kemudian… . Wungg…. Pintu terbuka. “Ini, tuan.” Robot berang-berang itu membuka bagian perutnya dan memperlihatkan sebuah ruang kecil yang menampung sebuah sendok di dalamnya. Tuan Anomen langsung mengambil dan menyendok
-Lantai 130, ruang kelas- Di atas tempat duduknya Visera termenung. Saat itu, waktu terasa sangat amat lambat baginya. Entah sudah berapa kali ia memeriksa jadwal pembelajarannya itu- berharap agar jam istirahat segera datang. Penjelasan yang dilontarkan oleh gurunya pun sama sekali tidak ada yang masuk di otaknya. Tau gitu aku telat-telatin aja tadi… batinnya yang tadi terburu-buru karena bangun kesiangan. Ia menoleh ke sebelah kiri dan kanannya. Pantas saja banyak kursi yang kosong- Eh, ngga sih, cuma delapan… Mana gurunya cuma rekaman lagi…! Canggih apanya! Ini mah namanya pembodohan! batinnya menatap sinis hologram bergerak yang menyerupai seorang wanita dewasa itu. Yaah, wajar sih. Toh biaya pembelajarannya gratis. Mana mungkin mereka menyediakan pengajar yang berpendidikan tinggi. Memutar rekaman materi dari internet yang sudah diubah ke bentuk hologram saja sudah cukup. Memang cara yang jenius, paman Gray. “Demikian pemaparan materi untuk hari ini, selanjutnya kita akan m
TheBarr : Sebelum melewati perbatasan lantai, jangan lupa ganti jaringanmu ke privat. Sangria : roger. | Klang! "Ups.." Untung di atas tempat yang sepi... batin Visera menghela napas. Di dalam terowongan setinggi 60 cm itu ia merangkak. Beberapa barang bawaannya ia rekatkan erat pada tubuhnya. Dengan penuh hati-hati, ia bergerak menuju ke atas sembari sesekali memeriksa peta hasil tiruannya itu. Sepuluh meter lagi.... batinnya mengusap keringat dingin yang mengalir di pelipisnya. [ Berhasil tersambung ke jaringan Privat. ] Ting! TheBarr : Ikuti saja navigasi ini [ TheBarr mengirimkan berkas ] Ia menekan dokumen itu dan muncul sebuah layar baru yang berisikan peta dari area yang telah, sedang, dan akan dilaluinya tersebut, termasuk tempat yang menjadi tujuan perjalanannya. TheBarr : kalau ada gang yang berkedap-kedip merah, itu tandanya ada orang lain di sana. Orang... Lain? Visera terdiam selama beberapa saat. Oh, para pekerja... (tukang AC seperti Dan) Kemudian ia mela
Jika ada suatu gagasan dikumandangkan ke orang banyak… Menurutmu apa yang akan terjadi setelahnya? | “…kembali ke permukaan, bukanlah sekedar angan-angan belaka lagi…” Semuanya terdiam, membuat Tuan Anomen menjadi sedikit ragu akan pendapat semuanya tentang gagasan darinya itu, terlebih ketika ia menatap ketiga orang yang sama sekali tidak disangka-sangka olehnya sebelumnya untuk datang menghadiri pertemuan itu. Prok… prok…! Tiba-tiba terdengar suara tepukan dari seseorang. Lantas yang lainnya pun ikut bertepuk tangan. “Ide yang sangat luar biasa, Tuan Anomen! Brilliant! Bukan begitu, para hadirin sekalian??” sahut Tuan Gray mengambil alih panggung sementara yang lainnya sibuk berbisik-bisik ke kanan dan kirinya. “…Saya paham, beberapa di antara anda sekalian pasti masih mempertimbangkan apakah hidup di permukaan dapat menjamin kehidupan yang aman dan nyaman seperti dulu ataukah sebaliknya.” Tuan Anomen kembali buka suara. “Tapi bukan berarti keraguan itu harus dijadikan halan
Hari itu, aku menyaksikan semuanya dari dalam ventilasi… . . . Duk… duk… duk… Dengan merangkak, ia terus maju melewati terowongan yang tingginya hanya sebatas 60 cm itu. Mata ambernya terlihat mengkilap setiap kali melewati cahaya menembus penutup ventilasi di bawahnya. Klang! “Ups-!” Tidak sengaja lututnya mengenai bagian besi yang mencembung keluar. Ia langsung terdiam, berusaha mendengar kalau-kalau ada suara lain dari arah ujung depan dan belakangnya. Merasa tidak ada suara apapun, ia pun lanjut merangkak ke depan hingga menemukan satu penutup ventilasi lain yang menjadi tempat tujuannya itu. Duk… Ia merendahkan tubuhnya untuk melihat sisi bagian yang lain dengan jelas. Terlihat sekumpulan beberapa orang dewasa yang sedang berdiri di bawah sebuah panggung. Beberapa dari mereka tengah berbincang dan tertawa. Salah satu suara terdengar familiar di telinganya. ‘Ah, itu papa…’ pikirnya. Begitu menemukan sosok ayahnya yang tengah tersenyum lebar di antara barisan tersenyum, i
-Lantai 44, pintu masuk bagian Barat- Yo, kembali bersama denganku, "(-%&!. Ga kebaca kan? Itu karena namaku… Ra. ha. si. a~ “KyaaAAHahahaHAHA!” tawanya tanpa sadar, membuat pengunjung yang sedang mengantri di kiri, kanan, depan, dan belakangnya menoleh ke arahnya. Ia pun langsung terdiam dan menunduk malu. Huff… Biar kuulang…. Yo! Kembali lagi Bersama denganku, sss… Satu! Ya, Satu! Hari ini H-1 sebelum misi kesekian kami dimulai~! Jadi waktunya untuk apa itu…? ….Ya! Waktunya untuk menghambur-hamburkan uang sebelum menerima gaji yang akan datang! Dan karena aku termasuk senior paling senior di sini, ekhem. Aku jadi diberi wewenang untuk belanja di lantai atas deh! Pip! “Silahkan masuk.” Nah… Kita mulai dari mana ya… Matanya bergerak kesana dan kemari, melirik setiap toko yang berlomba-lomba memasarkan barang dagangannya. Setiap toko setidaknya memiliki satu alat ini yang memiliki fungsi untuk menampilkan produk-produk penjualan mereka dalam bentuk hologram. Baginya, ba
Dor! Suara tembakan itu cukup untuk membuat seluruh pasang mata tertuju ke arah belakangnya. Seorang siswa yang berada di barisan paling belakang berdiri mematung dan menatap balik setiap pasang mata yang tertuju ke arahnya dengan raut wajah yang cemas. Beberapa orang siswa di samping kiri dan kanannya terlihat sedang menahan tawa, dan di depan ketika terpampang sebuah layar hologram yang menunjukkan tampilan seperti… game online… Healah… cuma game toh…. batin Rosa mengelus dadanya, merasa lega karena pemikirannya ternyata hanyalah sebatas pemikiran belaka. Kemudian, ia pun lanjut menuruni kendaraan secara perlahan dan bergabung dengan para siswa siswi yang telah berbaris di depan sebuah pintu besar dan tinggi. “Wuah… megah sekali…” gumamnya secara tidak sadar. “-iya, kediaman daerah Quartus memang berbeda ya!” celetuk siswi di sampingnya, orang yang sama dengan siswi yang duduk di sebelahnya tadi. Rosa hanya membalas “O, oh…”. Quartus… Berarti lantai ini dekat dengan lantai bas
-Lantai 33, kediaman Gray- “Memindai Identity Chip.” Nguunngg… “Memindai sidik jari.” Nguunngg… “Memindai retina.” Nguunngg… “Pemindaian berhasil. Silahkan masuk.” Tap... tap... tap… Suara langkah kaki yang berjalan hingga ke tengah-tengah ruangan. “Lapor, tuan.” ujar seorang pria berjas hitam dengan atribut-atribut yang lengkap. “Hmm.” jawab seorang pria lain yang tak lain dan tak bukan adalah sang tuan yang dimaksud tersebut. Dengan menggenggam segelas minuman yang berwarna kebiru-biruan, ia bersandar di atas sebuah kursi. “Berikut laporan yang barusan telah kami terima dari Mister Osmus…” lanjut bawahannya itu yang kemudian mengeluarkan sebuah layar hologram dan mengantarkan layar tersebut hingga ke hadapan matanya. “…..” ia mengerutkan dahinya. “Sudah berapa kali kubilang, jauhkan sedikit layarmu itu…!” Mendengar perintah itu, bawahannya langsung menggeser layar tersebut menjauhi matanya. “Baik. Mohon maaf, tuan.” Mood-nya sedang buruk… “…..” Sang tuan menatap isi l