Home / Sci-Fi / Penyintas / #5 Monokrom

Share

#5 Monokrom

Author: Mint.Nata
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Hari ini hari keenam setelah kejadian di ruangan Secundus F6. Setelah memastikan Lizo mendapat perawatan di Lantai Medis lima hari yang lalu, Dan dan aku kembali menjalani rutinitas kami masing-masing seperti biasa.

|

-Lantai 75-

Pip! “Silahkan masuk.”

Terdengar suara bunyi mesin setiap kali terdeteksi keberadaan Identity Chip di antaranya. Pengunjung yang hendak masuk harus meletakkan terlebih dahulu lengan kanannya ke antara dua batang besi yang berdiri di atas sebuah meja itu. Tentu saja mereka yang merupakan AMAH tidak perlu mengikuti prosedur ini.

Pip! “Silahkan masuk.”

Hari ini juga ada petugasnya ya… pikir Visera dalam hati sambil mengintip-intip dari balik dinding. Kemudian dari dalam ranselnya, iamengeluarkan sebuah gelang tipis berwarna hitam. Dipasangnya gelang tersebut ke lengan kanannya. Lalu ia mengenakan jaket kuning khas miliknya sembari berjalan menuju antrean.

Pip! “Silahkan masuk.”

Fyuh… batin Visera lega. Ia berhasil memasuki ruangan dengan lancar, tanpa hambatan.

Tetot!

Deg!

“Maaf nona, lengan yang sebelah kanan, bukan yang sebelah kiri.” tutur petugas keamanan–yang tentunya merupakan seorang AMAH–kepada salah seorang pengunjung. Penampilan wanita itu cukup mencolok dikarenakan rambut putih panjang mengkilapnya. Atasan yang dikenakannya adalah kemeja ruffle berwarna putih, sedangkan bawahannya ialah celana slacks berwarna hitam. Sepatu stilleto, pump atau moccasin mungkin akan cocok untuk digunakan sebagai alas kakinya. Namun, yang terpasang pada kaki wanita tersebut sayangnya adalah sepasang sandal jepit polos dan tipis berwarna abu-abu tua.

“Ah.. iya iya, aku tidak fokus tadi..!” balas wanita itu langsung mengganti lengan kiri dengan lengan kanannya.

“……” Tapi mesin malah tidak berbunyi sama sekali.

“Pss! Bagaimana caranya ini..?!” wanita itu terlihat sedang berbisik-bisik meskipun tidak ada seseorang di dekatnya. Ia lalu menggerak-gerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah. Namun, mesin masih tetap tidak berbunyi.

“Nona-”

Pip! “Silahkan masuk.”

Wanita itu tersenyum kepada si petugas dan langsung melangkah masuk ke dalam ruangan. Matanya menangkap sebuah cctv yang berada di pojok langit-langit kanannya. Kemudian dengan semangat, ia melambai-lambaikan tangan ke arah kamera.

Perempuan aneh... batin Visera yang tanpa sadar ikut menyeringai. Sedari tadi pandangannya selalu tertuju kepada perempuan tersebut. Apakah karena kesepuluh jari-jemari yang dibalut perban itu? Atau karena ada yang salah dengan lengan kanan wanita itu? Yang manapun, ketika menyadarinya, Visera memutuskan untuk tidak memperdulikan dan berbalik melanjutkan perjalanannya.

***

-Lantai 75, Brown’s Manipedi-

Klining… bunyi lonceng tanda pintu dibuka.

“Selamat da-oh…” sambut seseorang dari balik meja respsionis. ‘Hazel’, itulah kode namanya. Rambut panjangnya berwarna pirang. Sebuah topeng menyerupai wajah rubah menutupi wajahnya-mulai dari dahi hingga ujung hidung.

“Tumben kamu lebih lama tiga menit hari ini, yaa walau shift-mu masih sepuluh menit lagi sih…” lanjutnya.

“Iya, antrian masuknya lebih panjang dari biasanya, senior.”

Lebih panjang dua orang sih… lanjut Visera dalam hati. Sampai delapan hari yang lalu, dia selalu datang jam satu lewat empat puluh tepat. Tidak lebih, tidak kurang.

“Begitu rupanya…”

“Iya, saya siap-siap dulu, senior.”

“Yaa.”

Visera memasuki sebuah ruangan yang lebih kecil. Sebuah papan bertuliskan ‘khusus staff perempuan’ terpasang di pintu bagian depannya. Ia membuka loker pribadi miliknya dan mulai mengganti pakaiannya dengan satu setel kemeja-celana panjang berwarna hijau fern. Ditambah sebuah apron berbahan plastik dan kartu tanda pengenal yang yang wajib dikenakan selama berada di ruang kerja, serta topeng yang memiliki bentuk wajah dari maskot toko tersebut–binatang rubah. Setelah memastikan dirinya sudah siap sepenuhnya, Visera pun berjalan memasuki ruang kerjanya dan mulai melayani pelanggan yang telah menunggu satu demi satu.

‘Brown’s Manipedi’, tempat perawatan dan kecantikan kuku–baik itu adalah kuku tangan maupun kuku kaki. Namanya saja ‘kecantikan’. Jadi, tentulah pengunjung yang datang mayoritas berasal dari kaum hawa, terutama mereka yang dari kalangan tertius ke atas. Sangat jarang menemukan mereka yang berasal dari Primus. Bahkan, hanya Viseralah satu-satunya staff yang berasal dari Primus. Untunglah dia pernah mengikuti kursus seni kuku di tempat ini sewaktu kecil, jadi, manajer yang merekrutnya tidak perlu meragukan keahliannya lagi. Tidak pernah terpikirkan olehnya jika pada akhirnya dia akan ikut bekerja disini demi menunjang kebutuhan sehari-harinya.

“Selesai..!” sahutnya setelah memoleskan top coat pada kuku jari terakhir.

“Silahkan tunggu sampai cat-nya mengering ya kak, paling cepat lima belas menit. Tapi, untuk kualitas yang maksimal, kami anjurkan ditunggu dua puluh sampai dua puluh lima menit.”

(semua pelanggan dipanggil dengan sebutan ‘kakak’ disini.)

“Ini…” gumam sang pelanggan memperhatikan kuku-kuku baru miliknya dengan seksama.

“Cakep banget ..!! Rapih, nggak keliatan simple, tapi juga nggak keliatan norak, Bagus banget! Bagus! Oh, siapa namamu? Lain kali aku mau pakai jasamu lagi deh!” teriak pelanggan wanita tersebut kegirangan.

“A-anda bisa memanggil saya Sangria..” jawab Visera memperlihatkan kartu tanda pengenalnya. Dari sekitarnya, bisa ia rasakan tatapan-tatapan penuh rasa ingin tahu yang ditujukan kepadanya.

Heboh banget sih..

“Sangria, Sangria… Oke! Next time ya!

“Terimakasih atas kepercayaannya kak.” Balas Visera menampilkan senyum bisnisnya.

“Baiklah kak, sebelum saya permisi, apa kakak ingin menunggu sambil mendengarkan lagu atau nonton film? Untuk game, karena ini kuku tangan, jadi tidak diperbolehkan dulu ya kak.”

“Tidak usah, saya sambil istirahat saja.”

“Oke, kak. Kalau begitu, saya permisi dulu. Jangan lupa untuk membawa token yang ada di depan cermin sebagai syarat untuk melakukan pembayaran ya, kak. Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya…” jelas Visera yang kemudian berbalik meninggalkan si pelanggan.

Tap.. Tap.. Tap…

Matanya melirik ke arah kiri dan kanan, memeriksa apakah ada pelanggan yang belum mendapat pelayanan. Setelah memastikan bahwa semua pelanggan telah dilayani oleh masing-masing rekan kerjanya, Visera pun bergegas menuju meja resepsionis. Terlihat Hazel yang masih sibuk melayani pengunjung yang hendak membayar.

“Silahkan letakkan token anda pada salah satu alat berikut untuk mengakses nota pembayaran…! Jika anda memiliki kartu anggota Brown’s Manipedi, silahkan letakkan juga di atas token anda untuk mendapatkan potongan harga sebesar dua puluh persen...! Selanjutnya, tekan tombol ‘benar’ untuk melakukan proses pembayaran..!” jelas Hazel kepada tiga orang pengunjung dengan pelafalan yang lancar dan tidak terpeleset sedikitpun.

Tepat di bagian depan meja, berdiri lima meja kecil-tapi tingginya sama, yang memiliki kubus tipis transparan di atasnya. Masing-masing kubus mengeluarkan cahaya warna warni. Ketika token pengunjung diletakkan, muncul sebuah layar hologram kecil berwarna kebiruan. Ketika kartu anggota ikut diletakkan, layar hologram akan berubah warna menjadi keungu-unguan, dan akan berubah menjadi hijau ketika pembayaran berhasil.

“Terimakasih telah menggunakan jasa kami!”

Klining…

Setelah ketiga pengunjung tersebut meninggalkan ruangan, Hazel mengambil sebotol minuman miliknya dan menjatuhkan diri ke atas sebuah sofa yang berada tidak jauh di belakang meja respsionis. Disaat yang bersamaan, ia menyadari keberadaan juniornya, Sangria, yang telah duduk memperhatikannya sedari tadi.

“Wah.. Akhirnya bisa santai sebentar… Rahangku mau copot rasanya! Dasar bos sialan, kenapa sih tidak pakai alat perekam saja?! Kayak aku bakal makan gaji buta saja...!”

“Ahaha…” Visera tertawa canggung.

“Cuma kamu sendiri yang senggang?”

“Sepertinya begitu, senior.”

“Ooh...”

Kemudian percakapan tidak berlanjut. Keduanya sudah pe'we duduk bersandar di sofa sambil mengistirahatkan mata mereka masing-masing.

|

“Pss! Kau yakin dia ada disini?” bisik seorang wanita yang berdiri di dekat pintu toko.

“Iya! Tidak salah lagi!” jawab sebuah suara tanpa raga di telinga wanita tersebut.

“Tapi yang mana? Itu semuanya pake topeng itu..!”

“Kau masuk kedalam dan kau akan bertemu dengannya, percaya padaku!”

“Haiya! kasih tau saja yang mana, kasih aku clue, oke?”

“…tidak bisa. Itu di luar yang seharusnya.”

“Aah.. merepotkan..!”

Klining…

“Selamat datang di Brown’s Manipedi!” Secepat kilat Hazel telah kembali ke posisinya. Sambutannya yang antusias itu mengejutkan Visera yang sedikit lagi hampir terlelap.

“Ada yang bisa kami bantu, kak?”

“Jadi begini..” gumam wanita tersebut sambil menggenggam lengan kirinya.

“I..ya..?”

|

Ctik..! Ctik..! Ctik..!

Cuma kuku panjang saja.. sampai diperban-perban segala… batin Visera yang sedang melayani pelanggan barunya itu.

Eh, ini…

“Maaf, ini kakak pakai kuteks ya?”

Sang pelanggan membuka mata dan mengangkat kepalanya. Ia memeriksa kuku jari-jari tangannya yang telah rapih dan sedang diperhalus.

“Eh? Ah, iya..”

“Apa mau sekalian diperbarui kak?”

“Oh, boleh, boleh...”

“Baik kak, mohon tunggu sebentar.”

Visera bangkit berdiri dan mengambil sebuah alat dari atas meja yang ada di hadapannya. Kemudian, dipasangkannya alat tersebut ke kelima jari tangan pelanggannya.

Pip… Pip… Pip… bunyi alat yang menghitung mundur selama tiga puluh detik itu.

Csshhh…

Secara perlahan, Visera menarik alat tersebut dari tangan pelanggannya.

“Lho..?”

Ia terkejut ketika melihat kuku-kuku jari yang berwarna ungu kebiru-biruan.

“Ah, ini…”

“Apakah sudah diperiksa ke dokter kak?”

“Tenang, ini bukan karena penyakit apapun, kakak sangat sehat total sekali!”

“…..” Visera bergeming dengan senyum bisnisnya.

“Eh... ini cuma karena faktor genetik dari keluarga saya saja..! Ahaha..” sang pelanggan tertawa canggung.

“Baiklah, kalau begitu.. saya lanjutkan treatment-nya ya kak.” balas Visera memasangkan alat ke jari tangan yang satunya. Tiga puluh detik kemudian, ia menarik sebuah troli berisikan segala macam pewarna dan aksesoris-aksesoris kuku.

“Mau request desain apa kak?”

“Hmm…”

“……”

“mmmm…”

“……”

“Lumba-lumba, bisa?”

“Maaf?”

“Lumba-kumba.”

“Lum..ba-lumba..?”

“Iya, lumba-lumba.”

“Apakah itu sejenis bunga, kak?”

“Hah? Kamu tidak tau lumba-lumba?”

Visera menggeleng.

“Ini, hewan ini..!” Wanita itu menunjukkan kalung berbandul hewan laut yang disebut ‘lumba-lumba’ itu padanya.

“A..akan saya coba sebisa saya..”

.

[Empat puluh menit kemudian…]

.

“Terimakasih telah menggunakan jasa kami!”

Klining…

“Aku lupa, disini kan gaada laut. Wajar dia kebingungan.” ujar wanita itu dalam hati. Dilihatnya kuku-kuku barunya itu dengan puas. Berwarna putih–seputih porselen, dengan siluet lumba-lumba di kedua kuku jari tengahnya.

|

“Hey, bagaimana caramu membuat gelangnya?” pertanyaan darinya membuat pelayan yang sedang mewarnai kukunya itu tersentak.

“Maaf..? Gelang apa kak?”

“Aku blak-blakan saja...” gumamnya mendekatkan wajahnya.

“Bagaimana caramu membuat Identity Chip palsu itu?”

“!”

Dia tersenyum menunggu jawabannya.

“Apa tujuanmu? Siapa yang menyuruhmu?” Sorot mata pelayan itu berubah menjadi tajam.

“Tenang, tenang... tidak ada yang menyuruhku. Aku... hanya..” Dia menggulung kemejanya dan memperlihatkan lengan kanan bawahnya. Tidak ada bekas jahitan satupun di kulitnya. “Aku juga butuh satu yang seperti itu.” lanjutnya memelankan suara.

“Jadi, dimana dan kapan kita bisa berkenalan dengan lebih dalam?”

“…….” Kalimatnya membuat pelayan itu begidik merinding. Terlebih senyumannya yang terlihat hangat, tetapi membuatmu merasa seakan ditusuk-tusuk. Merasa tidak nyaman dengan itu, lawan bicaranya akhirnya angkat suara.

“Lantai satu tiga delapan, H tujuh, lima jam lagi.”  jawab pelayan tersebut dengan intonasi yang dingin sebelum lanjut mewarnai kukunya.

“Deal.”

Kemudian dia kembali bersandar di kursinya.

“Ah iya, aku lupa. Siapa namamu?”

“Kakak bisa memanggil saya Sangri-”

“Bukan kode nama, tapi nama-mu.”

“Itu.. maaf kak, nama setiap staff semua dirahasiakan disini.”

“Haha..! Toko kalian punya aturan yang unik ya. Pertama wajah, lalu nama…”

“Ahahaha…” Visera menampilkan senyum bisnisnya. Dia bingung, apakah kalimat untuknya itu merupakan sarkasme atau hanya lelucon semata. Namun, satu hal yang ia tahu pasti.

Aku harus berhati-hati dengannya.

----------------

Bersambung…

Related chapters

  • Penyintas   #6 Isu

    -Lantai 132, reaktor pendingin V- Cssshhhh…! Bunyi uap yang keluar dari sebuah mesin besar menuju sebuah pipa besi lebar yang mengarah ke atas. Tidak ada yang pernah melihat ujungnya, termasuk mereka yang sudah lama bekerja di sana. Namun, dalam buku manual dijelaskan bahwa ujung pipa yang lainnya berada di atas permukaan bumi. Dong..! Dong..! Dong..! Mendengar alarm khas itu, puluhan petugas yang tersebar dalam lantai tersebut langsung meninggalkan tempatnya dan bergegas menuju satu tempat untuk membuat tiga bersaf barisan. Setelah semuanya bergeming di barisan masing-masing, seorang pria paruh baya berjalan keluar dari ruangan yang ada di hadapan mereka. Tidak ada yang berani menatap matanya langsung. Ketika telah berdiri tepat di depan barisan, pria itu berdeham. “Mulai laporannya.” “Siap! Unit A, normal!’ “Unit B, normal!” “Unit C, normal!” “Unit D, normal!” Begitu seterusnya hingga

  • Penyintas   #7 Permintaan

    Syuush! Trang! Sebilah pisau melesat melewati pelipis kirinya dan terjatuh akibat berbenturan dengan pintu. Saat itu belumlah lima menit sedari ia sampai di dalam ruangan blok H nomor 7. “Sa, sambutan yang sangat ramah y-ya, Sa-sangria..!” ucapnya tergagap karena masih mencerna situasi. Cimot? Cimot..? Cimot..??!! Dengan panik ia memanggil rekan suaranya yang tidak memiliki raga itu. Namun tidak ada jawaban. Pandangannya pun mulai menjadi waspada akan perempuan yang berdiri di hadapannya. “Kamu pikir aku akan mempercayaimu semudah itu?” tanya Visera sinis. Tangannya memegang ujung benang yang terikat pada ujung pisau tadi. Sambil menggulung benangnya, ia berjalan mendekat. Dan ketika pisau telah kembali berada di tangannya, ia menempelkan mata pisau tersebut ke leher wanita yang tadi menjadi salah satu pelanggannya itu. Normalnya seorang perempuan pasti sudah teriak ketakutan... pikir Visera. “Aku tanya sekali lagi,

  • Penyintas   #8 Cengkerama

    Tes… tes… tes… Satu per satu tetesan air infus jatuh memasuki selang yang terhubung dengan lengan kanan bawahnya. Hari ini genap sudah seminggu Lizo dirawat. Selama tujuh hari itu juga, Megan lah yang secara rutin menjenguk teman dari sepupu jauhnya itu. Grrekk!! Dengan santai Dan membuka pintu gesernya. “Kamu ini buka pintu kenceng-kenceng…! Nanti Lizo kebangun..!” ujar Megan dari sofa di sudut ruangan. Terlihat sebuah jendela hologram yang memuat sebuah dokumen berisi penuh kalimat di depan matanya. “Lho? Dia tidur lagi?” tanya Dan menutup pintu ruangan kembali. Sekitar dua jam yang lalu Megan menghubunginya dan mengatakan kalau Lizo telah sadarkan diri. Di saat itu juga Dan secepat kilat mengganti pakaiannya dan bergegas menuju lantai tiga puluh enam, lantai medis tingkat tiga. “Iya, sehabis makan tadi. Sekarang sudah setengah jam. Waktu bangun tadi katanya kaki tangan badannya pegel semua, jadi si dokter nyuruh di

  • Penyintas   #9 Tempesse (bagian 1)

    -Ruang Sondaica, dunia virtual- “Nah…” “Bisa kita mulai laporannya?” Semua yang ada di ruangan, baik yang sedang dibisukan maupun yang tidak, mengangguk tanda setuju. “Baiklah, kalau begitu mari kita mulai dengarkan laporannya dari…” matanya menangkap seorang peserta yang baru pertama kali ini ditemui secara langsung olehnya. Walaupun tidak bisa dibilang secara langsung karena sekarang mereka sedang berada di dalam dunia maya, sih. “Ah, Mister Osmus! Selamat datang di Konferensi Majelis Triwulan! Terimakasih telah setuju untuk bergabung dengan pemerintahan. Anda tentu telah diinformasikan mengenai prosedur dari kegiatan rapat ini bukan? Waktu dan tempat saya persilahkan…!” Sambutan dari Madame Dendrich itu membuat beberapa peserta lain begidik merinding. “Hyii! Benar-benar tidak dikasih napas..!” Sementara itu, peserta yang dipanggil beranjak dari duduknya dengan tetap mempertahankan senyuman bisnisnya. “Terima

  • Penyintas   #10 Tempesse (bagian 2)

    -ruang rahasia 11, dunia virtual- “Bisa memindahkan jiwa?” ujar Mister Gray takjub. “Dapat diinterpretasikan demikian. Namun, fungsi utama dari Tempesse ini ialah untuk menyimpan, untuk mempertahankan, satu jiwa makhluk hidup-” jawab Miss Briece. “baik itu hewan maupun manusia…” lanjutnya. “……” Ruangan menjadi sunyi selama beberapa saat. Entah itu Mister Henders ataupun Mister Gray, keduanya menatap benda yang berotasi konstan itu lekat-lekat. Bahkan Samala sampai membelalakkan matanya. Namun tidak dengan satu orang. “Hewan maupun manusia…? Jiwa siapa yang berhasil kalian pindahkan?" “Baik, menjawab pertanyaan Madame Dendrich, setelah percobaan menggunakan lebah dan kupu-kupu itu berhasil, kami mulai merencanakan penelitian ini kepada manusia. Butuh waktu berminggu-minggu untuk menemukan relawannya. Dan beruntungnya, setelah tiga hari relawan pertama berhasil kami temukan, salah seorang pasien di lantai medis dinyatakan wafat.

  • Penyintas   #11 X9

    -Blok H, Primus, Lantai 138- Ceklek! “Hup!” Membawa sebuah kotak besar dengan kedua tangannya, Visera berjalan menuju sebuah kotak yang jauh lebih besar yang berdiri di ujung jalan. Setelah meninggalkan kotak yang dibawanya itu di sana, ia berjalan kembali ke ruangan. Sewaktu berbalik, dari kejauhan, terlihat seseorang yang sedang duduk di kursi umum yang berada di persimpangan menghadap ke arah ruangannya. Postur tubuhnya terlihat familiar. Tep tep tep tep…! Dengan langkah terburu-buru Visera mendekati orang itu. Namun tiba-tiba ia memelankan langkahnya lantaran mengetahui bahwa orang itu sedang tertidur. “Hmmm…” gumamnya memperhatikan penampilan orang itu dengan cermat, terutama dua jemarinya yang terdapat siluet hewan bernama lumba-lumba itu. Apa-apaan nih, kemarin kayaknya wajahnya serem banget… . . . “hmmm..?” Secara perlahan ia membuka matanya dan

  • Penyintas   #12 Mujur

    -Lantai 146, pintu masuk utama Kawah Pemurnian, beberapa jam yang lalu- Terlihat banyak warga yang lalu lalang masuk ke dan keluar dari tempat itu. Namun tidak dengan seorang perempuan ini yang duduk diam sedari tadi di pojokan. Matanya mengamati barang-barang yang dibawa masuk oleh para komuter ke dalam aula besar itu. "Dua juta Am... seratus enam puluh juta... Dua juta Am... seratus enam puluh juta...” gumamnya tidak karuan. Pengunjung lain yang berlalu lalang di sekitarnya pun menatap ke arahnya dengan wajah yang prihatin. Uh… Nyari satu chip aja kok gini amat… keluhnya dalam hati. Kenapa tidak ada yang buang alat elektronik sih…? Mana Cimot ngilang lagi… Tiba-tiba, seperti digerakkan oleh sebuah tangan yang besar, kepalanya menoleh ke arah sebuah pintu yang lebih kecil yang jaraknya tidak jauh dari pintu utama. “Sudah? Jelas?” terdengar suara tanpa raga itu di telinganya. “Sebenarnya belum sih, tapi th

  • Penyintas   #13 Barter

    Tatatatatak…! Setelah mengumpulkan informasi pribadi dari wanita bernama Rosa itu, Visera kembali mengetik papan tombol dengan gesit dan cepat, mengejar proses pembuatan Identity Chip versinya itu. Portable Identity Chip (PIC), begitulah sebutan yang ia berikan. Tidak ada hukum untuk tindakan ilegal ini. Karena tidak pernah ada kasus kepemilikan Identity Chip ilegal yang terungkap. Selain itu, hampir tidak ada satupun yang mengetahui dan mampu untuk membuat PIC-nya kecuali dirinya sendiri dan satu orang lagi, yang sekaligus merupakan orang yang mengajarinya. . . . Tak! “Ini minum…” ucap sang pemilik ruangan menyodorkan segelas soda padanya. Keduanya diusir dari ruang komputer oleh Visera. “Ini jaket, ini kursi…” lanjut laki-laki itu menyerahkan sebuah jaket tebal padanya sembari menggeser kursi menjauhi meja. “Duduk dengan tenang disini sambil meminum minumanmu. Daah. Hoaahm

Latest chapter

  • Penyintas   #55 Bayang

    Fungus Co. , salah satu dari lima perusahaan terbesar se-nasional yang bergerak di bidang jasa. Didirikan oleh seorang pebisnis misterius yang sampai saat ini hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Jasa yang mereka tawarkan ini sedikit unik. Meskipun memiliki ribuan pekerja (termasuk AMAH & AMAPOB), tetapi mereka hanya melayani satu jenis layanan, yakni membasmi musuh-musuh kecil yang terus muncul di sepanjang dinding-dinding bunker yang lazim disebut jamur. Memang tersebut terdengar sederhana, bahkan sepele. Namun, mengingat maraknya pertumbuhan jamur di dinding-dinding bunker yang terus menerus muncul semenjak tiga puluh tahun yang lalu membuat mereka selalu mendapatkan permintaan setiap harinya. Entah jam berapa pun itu. Budi, salah satu pekerja di Fungus Co., sedang melaksanakan pekerjaannya. Namun, ruangan tempat ia berada saat itu sangat gelap meskipun waktu menunjukkan jam satu siang. Hanya ada lampu-lampu kecil berwarna merah yang memiliki jarak sejauh empat meter dengan

  • Penyintas   #54 Sambungan

    -Lantai 33, kediaman utama Gray, ruang tidur tamu- Klang! “Aduh, jatuh deh, haha!” Tuan Anomen tertawa canggung sembari membungkuk untuk mengambil sendok yang terjatuh. “Sepertinya kita harus menambahkan fitur di bagian telapak tangan. Para AMAH masih susah untuk menggenggam benda-benda yang kecil.” ujarnya. “Apa karena aku sudah terlalu tua…?” lanjutnya bergumam. “Toras!” serunya. Robot berang-berang yang berdiri di sampingnya sedari tadi langsung menyala kembali. “Ya, tuan?” “Ambilkan sendok yang baru.” “Baik, tuan.” Kemudian robot itu langsung bergerak meninggalkan ruangan. “Kita tunggu dulu ya…!” ucap Tuan Anomen menoleh ke arah kirinya. Rosa yang sedari tadi menyaksikan monolog yang tidak bisa dipahaminya itu hanya mengangguk pelan. . Beberapa menit kemudian… . Wungg…. Pintu terbuka. “Ini, tuan.” Robot berang-berang itu membuka bagian perutnya dan memperlihatkan sebuah ruang kecil yang menampung sebuah sendok di dalamnya. Tuan Anomen langsung mengambil dan menyendok

  • Penyintas   #53 Pertanyaan

    -Lantai 130, ruang kelas- Di atas tempat duduknya Visera termenung. Saat itu, waktu terasa sangat amat lambat baginya. Entah sudah berapa kali ia memeriksa jadwal pembelajarannya itu- berharap agar jam istirahat segera datang. Penjelasan yang dilontarkan oleh gurunya pun sama sekali tidak ada yang masuk di otaknya. Tau gitu aku telat-telatin aja tadi… batinnya yang tadi terburu-buru karena bangun kesiangan. Ia menoleh ke sebelah kiri dan kanannya. Pantas saja banyak kursi yang kosong- Eh, ngga sih, cuma delapan… Mana gurunya cuma rekaman lagi…! Canggih apanya! Ini mah namanya pembodohan! batinnya menatap sinis hologram bergerak yang menyerupai seorang wanita dewasa itu. Yaah, wajar sih. Toh biaya pembelajarannya gratis. Mana mungkin mereka menyediakan pengajar yang berpendidikan tinggi. Memutar rekaman materi dari internet yang sudah diubah ke bentuk hologram saja sudah cukup. Memang cara yang jenius, paman Gray. “Demikian pemaparan materi untuk hari ini, selanjutnya kita akan m

  • Penyintas   #52 Paternal

    TheBarr : Sebelum melewati perbatasan lantai, jangan lupa ganti jaringanmu ke privat. Sangria : roger. | Klang! "Ups.." Untung di atas tempat yang sepi... batin Visera menghela napas. Di dalam terowongan setinggi 60 cm itu ia merangkak. Beberapa barang bawaannya ia rekatkan erat pada tubuhnya. Dengan penuh hati-hati, ia bergerak menuju ke atas sembari sesekali memeriksa peta hasil tiruannya itu. Sepuluh meter lagi.... batinnya mengusap keringat dingin yang mengalir di pelipisnya. [ Berhasil tersambung ke jaringan Privat. ] Ting! TheBarr : Ikuti saja navigasi ini [ TheBarr mengirimkan berkas ] Ia menekan dokumen itu dan muncul sebuah layar baru yang berisikan peta dari area yang telah, sedang, dan akan dilaluinya tersebut, termasuk tempat yang menjadi tujuan perjalanannya. TheBarr : kalau ada gang yang berkedap-kedip merah, itu tandanya ada orang lain di sana. Orang... Lain? Visera terdiam selama beberapa saat. Oh, para pekerja... (tukang AC seperti Dan) Kemudian ia mela

  • Penyintas   #51 Pertemuan di Kuartus (bagian 2)

    Jika ada suatu gagasan dikumandangkan ke orang banyak… Menurutmu apa yang akan terjadi setelahnya? | “…kembali ke permukaan, bukanlah sekedar angan-angan belaka lagi…” Semuanya terdiam, membuat Tuan Anomen menjadi sedikit ragu akan pendapat semuanya tentang gagasan darinya itu, terlebih ketika ia menatap ketiga orang yang sama sekali tidak disangka-sangka olehnya sebelumnya untuk datang menghadiri pertemuan itu. Prok… prok…! Tiba-tiba terdengar suara tepukan dari seseorang. Lantas yang lainnya pun ikut bertepuk tangan. “Ide yang sangat luar biasa, Tuan Anomen! Brilliant! Bukan begitu, para hadirin sekalian??” sahut Tuan Gray mengambil alih panggung sementara yang lainnya sibuk berbisik-bisik ke kanan dan kirinya. “…Saya paham, beberapa di antara anda sekalian pasti masih mempertimbangkan apakah hidup di permukaan dapat menjamin kehidupan yang aman dan nyaman seperti dulu ataukah sebaliknya.” Tuan Anomen kembali buka suara. “Tapi bukan berarti keraguan itu harus dijadikan halan

  • Penyintas   #50 Pertemuan di Kuartus (bagian 1)

    Hari itu, aku menyaksikan semuanya dari dalam ventilasi… . . . Duk… duk… duk… Dengan merangkak, ia terus maju melewati terowongan yang tingginya hanya sebatas 60 cm itu. Mata ambernya terlihat mengkilap setiap kali melewati cahaya menembus penutup ventilasi di bawahnya. Klang! “Ups-!” Tidak sengaja lututnya mengenai bagian besi yang mencembung keluar. Ia langsung terdiam, berusaha mendengar kalau-kalau ada suara lain dari arah ujung depan dan belakangnya. Merasa tidak ada suara apapun, ia pun lanjut merangkak ke depan hingga menemukan satu penutup ventilasi lain yang menjadi tempat tujuannya itu. Duk… Ia merendahkan tubuhnya untuk melihat sisi bagian yang lain dengan jelas. Terlihat sekumpulan beberapa orang dewasa yang sedang berdiri di bawah sebuah panggung. Beberapa dari mereka tengah berbincang dan tertawa. Salah satu suara terdengar familiar di telinganya. ‘Ah, itu papa…’ pikirnya. Begitu menemukan sosok ayahnya yang tengah tersenyum lebar di antara barisan tersenyum, i

  • Penyintas   #49.5 Ekstra1

    -Lantai 44, pintu masuk bagian Barat- Yo, kembali bersama denganku, "(-%&!. Ga kebaca kan? Itu karena namaku… Ra. ha. si. a~ “KyaaAAHahahaHAHA!” tawanya tanpa sadar, membuat pengunjung yang sedang mengantri di kiri, kanan, depan, dan belakangnya menoleh ke arahnya. Ia pun langsung terdiam dan menunduk malu. Huff… Biar kuulang…. Yo! Kembali lagi Bersama denganku, sss… Satu! Ya, Satu! Hari ini H-1 sebelum misi kesekian kami dimulai~! Jadi waktunya untuk apa itu…? ….Ya! Waktunya untuk menghambur-hamburkan uang sebelum menerima gaji yang akan datang! Dan karena aku termasuk senior paling senior di sini, ekhem. Aku jadi diberi wewenang untuk belanja di lantai atas deh! Pip! “Silahkan masuk.” Nah… Kita mulai dari mana ya… Matanya bergerak kesana dan kemari, melirik setiap toko yang berlomba-lomba memasarkan barang dagangannya. Setiap toko setidaknya memiliki satu alat ini yang memiliki fungsi untuk menampilkan produk-produk penjualan mereka dalam bentuk hologram. Baginya, ba

  • Penyintas   #49 Tugas

    Dor! Suara tembakan itu cukup untuk membuat seluruh pasang mata tertuju ke arah belakangnya. Seorang siswa yang berada di barisan paling belakang berdiri mematung dan menatap balik setiap pasang mata yang tertuju ke arahnya dengan raut wajah yang cemas. Beberapa orang siswa di samping kiri dan kanannya terlihat sedang menahan tawa, dan di depan ketika terpampang sebuah layar hologram yang menunjukkan tampilan seperti… game online… Healah… cuma game toh…. batin Rosa mengelus dadanya, merasa lega karena pemikirannya ternyata hanyalah sebatas pemikiran belaka. Kemudian, ia pun lanjut menuruni kendaraan secara perlahan dan bergabung dengan para siswa siswi yang telah berbaris di depan sebuah pintu besar dan tinggi. “Wuah… megah sekali…” gumamnya secara tidak sadar. “-iya, kediaman daerah Quartus memang berbeda ya!” celetuk siswi di sampingnya, orang yang sama dengan siswi yang duduk di sebelahnya tadi. Rosa hanya membalas “O, oh…”. Quartus… Berarti lantai ini dekat dengan lantai bas

  • Penyintas   #48 Gundah

    -Lantai 33, kediaman Gray- “Memindai Identity Chip.” Nguunngg… “Memindai sidik jari.” Nguunngg… “Memindai retina.” Nguunngg… “Pemindaian berhasil. Silahkan masuk.” Tap... tap... tap… Suara langkah kaki yang berjalan hingga ke tengah-tengah ruangan. “Lapor, tuan.” ujar seorang pria berjas hitam dengan atribut-atribut yang lengkap. “Hmm.” jawab seorang pria lain yang tak lain dan tak bukan adalah sang tuan yang dimaksud tersebut. Dengan menggenggam segelas minuman yang berwarna kebiru-biruan, ia bersandar di atas sebuah kursi. “Berikut laporan yang barusan telah kami terima dari Mister Osmus…” lanjut bawahannya itu yang kemudian mengeluarkan sebuah layar hologram dan mengantarkan layar tersebut hingga ke hadapan matanya. “…..” ia mengerutkan dahinya. “Sudah berapa kali kubilang, jauhkan sedikit layarmu itu…!” Mendengar perintah itu, bawahannya langsung menggeser layar tersebut menjauhi matanya. “Baik. Mohon maaf, tuan.” Mood-nya sedang buruk… “…..” Sang tuan menatap isi l

DMCA.com Protection Status