-Lantai 11-
Ting!
Pintu lift terbuka, para penumpang yang berada di dalamnya mengantri untuk keluar. Yang pertama adalah dua orang pria dewasa bertubuh tegap dan kekar. Kemudian disusul oleh tiga orang wanita. Samala–yang di kiri, memiliki sorot mata tajam dan postur tubuh tegap sepeti dua pria sebelumnya, sedangkan Kimberly–yang di kanan, memiliki sorot mata yang sayu dan terlihat sangat feminim seperti wanita pada umumnya. Keempatnya sama-sama mengiringi satu orang wanita yang kini telah berjalan di depan dan di samping mereka.
Wanita tersebut mengenakan setelan blazer berwarna biru dongker yang dipadukan dengan kaus dan sepatu oxford hitam. Kalau bukan karena rambutnya yang telah memutih sebagian, orang-orang pasti akan sangat terkejut ketika mengetahui fakta bahwa usianya hampir menginjak kepala enam.
“Memindai Identity Chip.” Terdengar sebuah suara mesin yang khas dari speaker yang ada di langit-langit.
Tring!
“Memindai wajah.”
Nguungg…
Tring!
“Selamat datang Madam Haylee.”
Wuungg… Pintu kaca terbuka. Kelimanya berjalan menyusuri koridor untuk sampai di hadapan sebuah pintu. Monica Cluster, dua kata yang tertulis di papan digital yang berada di dinding sebelah kanan pintu.
Ceklek! Samala membukakan pintu. Haylee pun berjalan memasuki ruangan didampingi oleh dua asisten pribadi wanitanya, sementara dua asisten pribadi prianya berjaga di depan sebelah kiri dan kanan pintu.
“Siapa?” sahut Monica Cluster-si pemilik ruangan dari tempat tidurnya. Ia mengenakan seragam pasien dan terlihat sedang menyantap jeruk kesukaannya. Di atas meja yang tidak jauh, terdapat sekeranjang jeruk-jeruk lain yang siap untuk dikupas dan dimakan.
Dia ga takut kena asam lambung apa… batin Haylee tidak menghiraukan sahutan Monic.
“Sudah makan nasi?”
“Sudah, tenang saja. Nafsu makanku sudah kembali hari ini. Kau mau?” Monic menyodorkan jeruk yang sudah dikupasnya. Haylee menerimanya dan mulai ikut mengunyah.
“Baguslah. Kupikir ada yang salah sama operasinya, ternyata cuma kamu yang kebo aja! Tiga hari ga bangun-bangun, bikin orang takut tau ga…”
“Haha! Ya gimana ngga, obat biusnya kuat begitu.”
“Yasudah, coba liat, mana kaki barumu.”
Monica menarik selimut untuk memperlihatkan kaki kanannya. Dari jauh mungkin terlihat seperti kaki biasa, tapi inilah produk yang dikenal dengan sebutan AMAPOB.
BUAK! Haylee menghantam kaki besi tersebut dengan tangannya.
“Woi woi woi! Rusak nanti!” teriak Monic yang langsung menekuk kakinya. Memang tidak ada rasa sakit, hawa panas, maupun hawa dingin yang bisa dirasakan di kaki kanannya sekarang. Namun tetap saja, dia sangat tidak ingin kehilangan kakinya lagi.
“Tenang.. kujamin gabakal rusak..!” balas Haylee yang langsung memperhatikan AMAPOB tersebut dengan seksama.
Dasar nenek barbar! teriak Monic dalam hati.
“Jadi begini toh model yang terbaru… Wah… makin mirip kayak kaki asli ya… Sudah kau bawa jalan?”
“Sudah.”
“Coba, coba.”
“Ah, nantilah..!”
“Dasar..”
Setelah itu Haylee dan Monica hanya fokus pada layar televisi yang ada di depan mereka dengan tangan yang sibuk mengupas kulit jeruk. Dua asisten perempuan yang mendampingi Haylee berjaga di pinggir ruangan.
|
Tring!
“Hai hai! Kembali lagi bersama Cherry-!”
“Dan Choky..!”
“di acara… Show Us Your Room!” sambut dua orang yang muncul di layar televisi dengan riang dan semangat. Keduanya mengenakan pakaian dengan desain yang mirip. Yang membedakan hanyalah jenis pakaiannya. Cheery mengenakan dress mini berwarna merah dengan bulu-bulu putih di pinggirannya (Namun, hey, mengapa wajahnya terlihat familiar?), sedangkan Choky mengenakan setelan jas berwarna merah dengan kancing dan kumis palsu berwarna putih. Keduanya memakai kupluk bulu berwarna senada dan terlihat sedang duduk di dalam sebuah kendaraan otonom.
“Nah, sekarang kita ini ada dimana sih, Kak Cherry?”
“Wah..! Dimana ya, Kak Choky? Temen-temen tahu ga kita sekarang dimana?” Cherry mencondongkan tubuh atasnya ke depan sembari meletakkan telapak tangannya ke telinga.
Dengan mulut yang masih mengunyah jeruk, Haylee dan Monic yang sedang menyaksikan acara tersebut terdiam seribu bahasa dengan mata nanar. Terlebih ketika mereka melihat papan bertuliskan kata Quartus 6 di belakang kendaraan otonom yang sudah terparkir… yang tadi juga dengan jelas sempat dilirik oleh Cherry dan Choky.
“Betul sekali! Sekarang kita lagi ada di parkiran ruangan kuartus enam!”
“Wah..! Ini kedua kalinya kita ke komplek kuartus! Kali ini ruangannya punya siapa nih, Kak Cherry?”
“Masa kamu gatau sih Kak Choky? Kalau kamu suka makan Daging, pasti kamu kenal bangett sama beliau! Hayoo, siapa disini yang suka Daging..?!”
“Daging..??!! Aku suka banget! Terakhir kali aku sampai beli lima kaleng lho! Oh! Apa jangan-jangan pemilik ruangan ini itu pemimpin perusahaan Daging sekaligus [encipta produk Daging yang lagi viral itu?!”
“Iya benar, itu saya.” Seorang pria paruh baya berjalan ke tengah-tengah sorotan kamera. Choky terpaksa mundur dan berpindah posisi ke sebelah kanan. Kedua pembawa acara tersebut sangat terkejut dengan perubahan skenario yang mendadak ini.
“Y-ya, Yaahaa!! Teman-teman..! Ayo kita sambut Mister Osmus!”
Sang bintang acara melambai ke tiga buah kamera secara bergantian.
Fuh… untung kita punya Cherry disini… batin sutradara yang memantau dari belakang kamera merasa lega.
“Oke teman-teman, penasaran kan bagaimana ruangan dari pemimpin perusahaan yang paling terkenal saat ini? Cuss langsung aja kita masuk!” ajak Choky berjalan menuju pintu. Disusul Mister Osmus.
“Ayo ayo, silahkan..!”
“Oh iya, kita sudah dapat ijin lho yaa..! Jadi jangan ada hate comment kalau kita ini seenak jidatnya aja!” ujar Cherry ke arah kamera yang kedua sebelum masuk menyusul Choky dan Mister Osmus. Menyaksikan pembawa acara yang satu itu, Haylee dan Monic terkekeh.
Ceklek! Pintu setinggi empat meter itu dibuka, menampilkan ruangan bernuansa mewah yang sangat luas. Seluruh parabot-mulai dari permadani sampai lampu-lampu yang tergantung di langit-langit memiliki desain yang elegan dan tentunya terlihat sangat mahal.
“……”
“……”
“……”
Tidak ada satupun yang bersuara, hingga Choky tersadar dari lamunannya.
“W-wah..! Menakjubkan! Sungguh menakjubkan! Waahh… saya sampai tidak bisa berkata-kata..!”
“I-iya! Teman-teman-! Waah… ini sih the next level yaa..! Komplek Kuartus memang benar-benar beda..”
“Siapa yang memiliki ide untuk menata ruangannya agar menjadi bagus dan mewah seperti ini, mister?” tanya Choky pada Mister Osmus.
“Semua ide tentu saja berasal dari istri saya, hahaha!” jawab si narasumber dengan bangga. “Dari dulu dia sangat menyukai barang ala-ala wilayah barat sana, jadi saya biarkan dia merancang parabot sendiri lalu secara khusus bekerja sama dengan perusahaan furnitur untuk membuat furnitur-furnitur yang anda-anda sekalian lihat hari ini..!” jelasnya.
“Yaampun, ternyata Mister Osmus ini orangnya romantis bangett..! Nyonya Osmus sangatlah beruntung..!!” celetuk Cherry. “Nyonya Osmus sendiri juga sangat kreatif dan produktif… Mister Osmus juga sangat beruntung!” tambah Choky. Mendengar pujian-pujian untuknya dan istrinya itu, Mister Osmus hanya tertawa-tawa.
Pats! Kemudian televisi dimatikan.
“Ga jelas banget sih…” ucap Monic dingin dengan sebuah tampilan layar hologram yang telah muncul di dekat tangan kirinya.
“Kupikir kamu mau nonton, jadi aku diam saja~” balas Haylee. “Kimy, bersihkan kulit jeruknya.” lanjutnya. Asistennya yang berpakaian feminim pun berjalan menghampiri mereka untuk melaksanakan perintah.
“Ngomong-ngomong, tumben nenek satu itu lama hari ini. Jangan bilang kejebak macet. ” ujar Monica yang turun dari tempat tidurnya dan berjalan untuk mengisi botol airnya. Haylee yang melihat itu langsung mengamati pergerakan kaki kanan sahabatnya itu dengan seksama.
“Hmm… mobilitasnya lebih mulus.. sesuai prediksi… Tapi mungkin kita harus melakukan sesuatu dengan mur dan bautnya...”
“Yaa walau masih agak susah dikendalikan, tapi ini termasuk oke lah...” Monic memberi testimoni.
“Oke oke, matamu! Hahah! Oh iya, nenek satu itu ga mungkin kena macet la. Hari gini alesannya gara-gara macet? Boong banget.”
Ceklek!
“Ampun~ Julid banget si..!” sahut seorang lain yang baru datang. Mengenakan celana palazzo cream dengan kaus kasual berwarna senada dan rambut yang di cat merah agak terang, membuatnya persis seperti remaja perempuan gaul bila dilihat dari belakang. Dialah Sharon Brown, seorang perancang interior yang telah menekuni bidangnya sejak dua puluh tahun yang lalu. Sama seperti dua sahabat lainnya, meski usia mereka telah melewati usia pensiun, tapi ketiganya memutuskan untuk tetap produktif di bidangnya masing-masing.
“Hai nek, cucumu rewel ya?” ledek Monic.
“Biasalah… bangun-bangun nyari emaknya. Eh, ternyata emaknya udah nganclong pergi arisan bareng temen-temen geng sosialitahnya apalah itu. Dasar... mentang-mentang anak orang kaya, anak sendiri ga diurus!” celoteh Sharon sinis.
“Sudah sudah.. udah tua jangan marah-marah…! Nanti cepet-”
“……”
“……”
“……”
Ketiganya terdiam, termasuk Haylee yang enggan melanjutkan kalimatnya. Tidak. Lebih tepatnya, dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Tanpa mereka sadari, beberapa saat telah berlalu.
“A, ayo.” Monica membuka suara dan memimpin keduanya berjalan meninggalkan ruangan.
Didampingi empat orang asisten pribadi Haylee, ketiganya memasuki lift dengan destinasi lima lantai di atas mereka, lantai enam–Laboratorium Eksklusif.
Ting! Seperti yang sudah-sudah, yang pertama kali keluar dari dalam lift ialah dua orang asisten prianya. Namun kali ini, Samala dan Kimberly berjalan mendampingi tuan-tuannya dari arah belakang.
Lantai tersebut terbagi menjadi 3 ruangan. Hanya mereka yang diijinkan oleh presidenlah yang memiliki akses untuk memasuki lantai tersebut. Terlebih dengan ruangan yang akan dimasuki ketiganya ini.
“Memindai Identity Chip….”
Nguungg…
“Memindai wajah….”
Nguungg…
Tring! Pintu terbuka. Meninggalkan empat orang asistennya di depan lift, Haylee-Monica-Sharon berjalan memasuki ruangan yang terlihat agak gelap tersebut.
Memang dari luar terlihat gelap. Namun ketika kau berjalan lebih dalam, kau akan menyadari keberadaan lampu LED yang mengelilingi sepanjang ruangan, yang menyala 24 jam, dan memberikan warna keungu-unguan pada lantai dan dinding bagian bawah di sekitarnya. Tepat di tengah-tengah ruangan, berdiri sebuah tabung setinggi tiga meter. Karena berisi air, tabung tersebut terlihat seperti memancarkan sinar kebiru-biruan bila dilhat dari jauh. Bila dilihat dari dekat, kamu tidak akan bisa menghitung berapa banyak selang maupun kabel yang terhubung ke tabung tersebut. Sejarak lima meter dari tabung, berdiri sebuah podium yang setara dengan tinggi Haylee. Di atas podium tersebut terdapat dua tombol berwarna–merah dan hijau–di atasnya.
“Panggil Syaman Ilsa.” perintah Haylee kepada Samala melalui microphone yang tertanam di kalungnya.
“Baik, nyonya.” jawab Samala dari sisi lain.
Setelah microphone dimatikan, ia menghampiri dua yang lain ke tengah ruangan. Pandangan ketiganya terpaku pada sebuah tubuh manusia utuh yang berada di dalam tabung. Mata manusia itu terpejam dan rambut panjangnya melayang-layang mengikuti gelembung-gelembung oksigen yang muncul dari arah bawah.
““Kami datang,"
"Sonata."
----------
Bersambung...
Hari ini hari keenam setelah kejadian di ruangan Secundus F6. Setelah memastikan Lizo mendapat perawatan di Lantai Medis lima hari yang lalu, Dan dan aku kembali menjalani rutinitas kami masing-masing seperti biasa.|-Lantai 75-Pip! “Silahkan masuk.”Terdengar suara bunyi mesin setiap kali terdeteksi keberadaan Identity Chip di antaranya. Pengunjung yang hendak masuk harus meletakkan terlebih dahulu lengan kanannya ke antara dua batang besi yang berdiri di atas sebuah meja itu. Tentu saja mereka yang merupakan AMAH tidak perlu mengikuti prosedur ini.Pip! “Silahkan masuk.”Hari ini juga ada petugasnya ya… pikir Visera dalam hati sambil mengintip-intip dari balik dinding. Kemudian dari dalam ranselnya, iamengeluarkan sebuah gelang tipis berwarna hitam. Dipasangnya gelang tersebut ke lengan kanannya. Lalu ia mengenakan jaket kuning khas miliknya sembari berj
-Lantai 132, reaktor pendingin V- Cssshhhh…! Bunyi uap yang keluar dari sebuah mesin besar menuju sebuah pipa besi lebar yang mengarah ke atas. Tidak ada yang pernah melihat ujungnya, termasuk mereka yang sudah lama bekerja di sana. Namun, dalam buku manual dijelaskan bahwa ujung pipa yang lainnya berada di atas permukaan bumi. Dong..! Dong..! Dong..! Mendengar alarm khas itu, puluhan petugas yang tersebar dalam lantai tersebut langsung meninggalkan tempatnya dan bergegas menuju satu tempat untuk membuat tiga bersaf barisan. Setelah semuanya bergeming di barisan masing-masing, seorang pria paruh baya berjalan keluar dari ruangan yang ada di hadapan mereka. Tidak ada yang berani menatap matanya langsung. Ketika telah berdiri tepat di depan barisan, pria itu berdeham. “Mulai laporannya.” “Siap! Unit A, normal!’ “Unit B, normal!” “Unit C, normal!” “Unit D, normal!” Begitu seterusnya hingga
Syuush! Trang! Sebilah pisau melesat melewati pelipis kirinya dan terjatuh akibat berbenturan dengan pintu. Saat itu belumlah lima menit sedari ia sampai di dalam ruangan blok H nomor 7. “Sa, sambutan yang sangat ramah y-ya, Sa-sangria..!” ucapnya tergagap karena masih mencerna situasi. Cimot? Cimot..? Cimot..??!! Dengan panik ia memanggil rekan suaranya yang tidak memiliki raga itu. Namun tidak ada jawaban. Pandangannya pun mulai menjadi waspada akan perempuan yang berdiri di hadapannya. “Kamu pikir aku akan mempercayaimu semudah itu?” tanya Visera sinis. Tangannya memegang ujung benang yang terikat pada ujung pisau tadi. Sambil menggulung benangnya, ia berjalan mendekat. Dan ketika pisau telah kembali berada di tangannya, ia menempelkan mata pisau tersebut ke leher wanita yang tadi menjadi salah satu pelanggannya itu. Normalnya seorang perempuan pasti sudah teriak ketakutan... pikir Visera. “Aku tanya sekali lagi,
Tes… tes… tes… Satu per satu tetesan air infus jatuh memasuki selang yang terhubung dengan lengan kanan bawahnya. Hari ini genap sudah seminggu Lizo dirawat. Selama tujuh hari itu juga, Megan lah yang secara rutin menjenguk teman dari sepupu jauhnya itu. Grrekk!! Dengan santai Dan membuka pintu gesernya. “Kamu ini buka pintu kenceng-kenceng…! Nanti Lizo kebangun..!” ujar Megan dari sofa di sudut ruangan. Terlihat sebuah jendela hologram yang memuat sebuah dokumen berisi penuh kalimat di depan matanya. “Lho? Dia tidur lagi?” tanya Dan menutup pintu ruangan kembali. Sekitar dua jam yang lalu Megan menghubunginya dan mengatakan kalau Lizo telah sadarkan diri. Di saat itu juga Dan secepat kilat mengganti pakaiannya dan bergegas menuju lantai tiga puluh enam, lantai medis tingkat tiga. “Iya, sehabis makan tadi. Sekarang sudah setengah jam. Waktu bangun tadi katanya kaki tangan badannya pegel semua, jadi si dokter nyuruh di
-Ruang Sondaica, dunia virtual- “Nah…” “Bisa kita mulai laporannya?” Semua yang ada di ruangan, baik yang sedang dibisukan maupun yang tidak, mengangguk tanda setuju. “Baiklah, kalau begitu mari kita mulai dengarkan laporannya dari…” matanya menangkap seorang peserta yang baru pertama kali ini ditemui secara langsung olehnya. Walaupun tidak bisa dibilang secara langsung karena sekarang mereka sedang berada di dalam dunia maya, sih. “Ah, Mister Osmus! Selamat datang di Konferensi Majelis Triwulan! Terimakasih telah setuju untuk bergabung dengan pemerintahan. Anda tentu telah diinformasikan mengenai prosedur dari kegiatan rapat ini bukan? Waktu dan tempat saya persilahkan…!” Sambutan dari Madame Dendrich itu membuat beberapa peserta lain begidik merinding. “Hyii! Benar-benar tidak dikasih napas..!” Sementara itu, peserta yang dipanggil beranjak dari duduknya dengan tetap mempertahankan senyuman bisnisnya. “Terima
-ruang rahasia 11, dunia virtual- “Bisa memindahkan jiwa?” ujar Mister Gray takjub. “Dapat diinterpretasikan demikian. Namun, fungsi utama dari Tempesse ini ialah untuk menyimpan, untuk mempertahankan, satu jiwa makhluk hidup-” jawab Miss Briece. “baik itu hewan maupun manusia…” lanjutnya. “……” Ruangan menjadi sunyi selama beberapa saat. Entah itu Mister Henders ataupun Mister Gray, keduanya menatap benda yang berotasi konstan itu lekat-lekat. Bahkan Samala sampai membelalakkan matanya. Namun tidak dengan satu orang. “Hewan maupun manusia…? Jiwa siapa yang berhasil kalian pindahkan?" “Baik, menjawab pertanyaan Madame Dendrich, setelah percobaan menggunakan lebah dan kupu-kupu itu berhasil, kami mulai merencanakan penelitian ini kepada manusia. Butuh waktu berminggu-minggu untuk menemukan relawannya. Dan beruntungnya, setelah tiga hari relawan pertama berhasil kami temukan, salah seorang pasien di lantai medis dinyatakan wafat.
-Blok H, Primus, Lantai 138- Ceklek! “Hup!” Membawa sebuah kotak besar dengan kedua tangannya, Visera berjalan menuju sebuah kotak yang jauh lebih besar yang berdiri di ujung jalan. Setelah meninggalkan kotak yang dibawanya itu di sana, ia berjalan kembali ke ruangan. Sewaktu berbalik, dari kejauhan, terlihat seseorang yang sedang duduk di kursi umum yang berada di persimpangan menghadap ke arah ruangannya. Postur tubuhnya terlihat familiar. Tep tep tep tep…! Dengan langkah terburu-buru Visera mendekati orang itu. Namun tiba-tiba ia memelankan langkahnya lantaran mengetahui bahwa orang itu sedang tertidur. “Hmmm…” gumamnya memperhatikan penampilan orang itu dengan cermat, terutama dua jemarinya yang terdapat siluet hewan bernama lumba-lumba itu. Apa-apaan nih, kemarin kayaknya wajahnya serem banget… . . . “hmmm..?” Secara perlahan ia membuka matanya dan
-Lantai 146, pintu masuk utama Kawah Pemurnian, beberapa jam yang lalu- Terlihat banyak warga yang lalu lalang masuk ke dan keluar dari tempat itu. Namun tidak dengan seorang perempuan ini yang duduk diam sedari tadi di pojokan. Matanya mengamati barang-barang yang dibawa masuk oleh para komuter ke dalam aula besar itu. "Dua juta Am... seratus enam puluh juta... Dua juta Am... seratus enam puluh juta...” gumamnya tidak karuan. Pengunjung lain yang berlalu lalang di sekitarnya pun menatap ke arahnya dengan wajah yang prihatin. Uh… Nyari satu chip aja kok gini amat… keluhnya dalam hati. Kenapa tidak ada yang buang alat elektronik sih…? Mana Cimot ngilang lagi… Tiba-tiba, seperti digerakkan oleh sebuah tangan yang besar, kepalanya menoleh ke arah sebuah pintu yang lebih kecil yang jaraknya tidak jauh dari pintu utama. “Sudah? Jelas?” terdengar suara tanpa raga itu di telinganya. “Sebenarnya belum sih, tapi th
Fungus Co. , salah satu dari lima perusahaan terbesar se-nasional yang bergerak di bidang jasa. Didirikan oleh seorang pebisnis misterius yang sampai saat ini hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Jasa yang mereka tawarkan ini sedikit unik. Meskipun memiliki ribuan pekerja (termasuk AMAH & AMAPOB), tetapi mereka hanya melayani satu jenis layanan, yakni membasmi musuh-musuh kecil yang terus muncul di sepanjang dinding-dinding bunker yang lazim disebut jamur. Memang tersebut terdengar sederhana, bahkan sepele. Namun, mengingat maraknya pertumbuhan jamur di dinding-dinding bunker yang terus menerus muncul semenjak tiga puluh tahun yang lalu membuat mereka selalu mendapatkan permintaan setiap harinya. Entah jam berapa pun itu. Budi, salah satu pekerja di Fungus Co., sedang melaksanakan pekerjaannya. Namun, ruangan tempat ia berada saat itu sangat gelap meskipun waktu menunjukkan jam satu siang. Hanya ada lampu-lampu kecil berwarna merah yang memiliki jarak sejauh empat meter dengan
-Lantai 33, kediaman utama Gray, ruang tidur tamu- Klang! “Aduh, jatuh deh, haha!” Tuan Anomen tertawa canggung sembari membungkuk untuk mengambil sendok yang terjatuh. “Sepertinya kita harus menambahkan fitur di bagian telapak tangan. Para AMAH masih susah untuk menggenggam benda-benda yang kecil.” ujarnya. “Apa karena aku sudah terlalu tua…?” lanjutnya bergumam. “Toras!” serunya. Robot berang-berang yang berdiri di sampingnya sedari tadi langsung menyala kembali. “Ya, tuan?” “Ambilkan sendok yang baru.” “Baik, tuan.” Kemudian robot itu langsung bergerak meninggalkan ruangan. “Kita tunggu dulu ya…!” ucap Tuan Anomen menoleh ke arah kirinya. Rosa yang sedari tadi menyaksikan monolog yang tidak bisa dipahaminya itu hanya mengangguk pelan. . Beberapa menit kemudian… . Wungg…. Pintu terbuka. “Ini, tuan.” Robot berang-berang itu membuka bagian perutnya dan memperlihatkan sebuah ruang kecil yang menampung sebuah sendok di dalamnya. Tuan Anomen langsung mengambil dan menyendok
-Lantai 130, ruang kelas- Di atas tempat duduknya Visera termenung. Saat itu, waktu terasa sangat amat lambat baginya. Entah sudah berapa kali ia memeriksa jadwal pembelajarannya itu- berharap agar jam istirahat segera datang. Penjelasan yang dilontarkan oleh gurunya pun sama sekali tidak ada yang masuk di otaknya. Tau gitu aku telat-telatin aja tadi… batinnya yang tadi terburu-buru karena bangun kesiangan. Ia menoleh ke sebelah kiri dan kanannya. Pantas saja banyak kursi yang kosong- Eh, ngga sih, cuma delapan… Mana gurunya cuma rekaman lagi…! Canggih apanya! Ini mah namanya pembodohan! batinnya menatap sinis hologram bergerak yang menyerupai seorang wanita dewasa itu. Yaah, wajar sih. Toh biaya pembelajarannya gratis. Mana mungkin mereka menyediakan pengajar yang berpendidikan tinggi. Memutar rekaman materi dari internet yang sudah diubah ke bentuk hologram saja sudah cukup. Memang cara yang jenius, paman Gray. “Demikian pemaparan materi untuk hari ini, selanjutnya kita akan m
TheBarr : Sebelum melewati perbatasan lantai, jangan lupa ganti jaringanmu ke privat. Sangria : roger. | Klang! "Ups.." Untung di atas tempat yang sepi... batin Visera menghela napas. Di dalam terowongan setinggi 60 cm itu ia merangkak. Beberapa barang bawaannya ia rekatkan erat pada tubuhnya. Dengan penuh hati-hati, ia bergerak menuju ke atas sembari sesekali memeriksa peta hasil tiruannya itu. Sepuluh meter lagi.... batinnya mengusap keringat dingin yang mengalir di pelipisnya. [ Berhasil tersambung ke jaringan Privat. ] Ting! TheBarr : Ikuti saja navigasi ini [ TheBarr mengirimkan berkas ] Ia menekan dokumen itu dan muncul sebuah layar baru yang berisikan peta dari area yang telah, sedang, dan akan dilaluinya tersebut, termasuk tempat yang menjadi tujuan perjalanannya. TheBarr : kalau ada gang yang berkedap-kedip merah, itu tandanya ada orang lain di sana. Orang... Lain? Visera terdiam selama beberapa saat. Oh, para pekerja... (tukang AC seperti Dan) Kemudian ia mela
Jika ada suatu gagasan dikumandangkan ke orang banyak… Menurutmu apa yang akan terjadi setelahnya? | “…kembali ke permukaan, bukanlah sekedar angan-angan belaka lagi…” Semuanya terdiam, membuat Tuan Anomen menjadi sedikit ragu akan pendapat semuanya tentang gagasan darinya itu, terlebih ketika ia menatap ketiga orang yang sama sekali tidak disangka-sangka olehnya sebelumnya untuk datang menghadiri pertemuan itu. Prok… prok…! Tiba-tiba terdengar suara tepukan dari seseorang. Lantas yang lainnya pun ikut bertepuk tangan. “Ide yang sangat luar biasa, Tuan Anomen! Brilliant! Bukan begitu, para hadirin sekalian??” sahut Tuan Gray mengambil alih panggung sementara yang lainnya sibuk berbisik-bisik ke kanan dan kirinya. “…Saya paham, beberapa di antara anda sekalian pasti masih mempertimbangkan apakah hidup di permukaan dapat menjamin kehidupan yang aman dan nyaman seperti dulu ataukah sebaliknya.” Tuan Anomen kembali buka suara. “Tapi bukan berarti keraguan itu harus dijadikan halan
Hari itu, aku menyaksikan semuanya dari dalam ventilasi… . . . Duk… duk… duk… Dengan merangkak, ia terus maju melewati terowongan yang tingginya hanya sebatas 60 cm itu. Mata ambernya terlihat mengkilap setiap kali melewati cahaya menembus penutup ventilasi di bawahnya. Klang! “Ups-!” Tidak sengaja lututnya mengenai bagian besi yang mencembung keluar. Ia langsung terdiam, berusaha mendengar kalau-kalau ada suara lain dari arah ujung depan dan belakangnya. Merasa tidak ada suara apapun, ia pun lanjut merangkak ke depan hingga menemukan satu penutup ventilasi lain yang menjadi tempat tujuannya itu. Duk… Ia merendahkan tubuhnya untuk melihat sisi bagian yang lain dengan jelas. Terlihat sekumpulan beberapa orang dewasa yang sedang berdiri di bawah sebuah panggung. Beberapa dari mereka tengah berbincang dan tertawa. Salah satu suara terdengar familiar di telinganya. ‘Ah, itu papa…’ pikirnya. Begitu menemukan sosok ayahnya yang tengah tersenyum lebar di antara barisan tersenyum, i
-Lantai 44, pintu masuk bagian Barat- Yo, kembali bersama denganku, "(-%&!. Ga kebaca kan? Itu karena namaku… Ra. ha. si. a~ “KyaaAAHahahaHAHA!” tawanya tanpa sadar, membuat pengunjung yang sedang mengantri di kiri, kanan, depan, dan belakangnya menoleh ke arahnya. Ia pun langsung terdiam dan menunduk malu. Huff… Biar kuulang…. Yo! Kembali lagi Bersama denganku, sss… Satu! Ya, Satu! Hari ini H-1 sebelum misi kesekian kami dimulai~! Jadi waktunya untuk apa itu…? ….Ya! Waktunya untuk menghambur-hamburkan uang sebelum menerima gaji yang akan datang! Dan karena aku termasuk senior paling senior di sini, ekhem. Aku jadi diberi wewenang untuk belanja di lantai atas deh! Pip! “Silahkan masuk.” Nah… Kita mulai dari mana ya… Matanya bergerak kesana dan kemari, melirik setiap toko yang berlomba-lomba memasarkan barang dagangannya. Setiap toko setidaknya memiliki satu alat ini yang memiliki fungsi untuk menampilkan produk-produk penjualan mereka dalam bentuk hologram. Baginya, ba
Dor! Suara tembakan itu cukup untuk membuat seluruh pasang mata tertuju ke arah belakangnya. Seorang siswa yang berada di barisan paling belakang berdiri mematung dan menatap balik setiap pasang mata yang tertuju ke arahnya dengan raut wajah yang cemas. Beberapa orang siswa di samping kiri dan kanannya terlihat sedang menahan tawa, dan di depan ketika terpampang sebuah layar hologram yang menunjukkan tampilan seperti… game online… Healah… cuma game toh…. batin Rosa mengelus dadanya, merasa lega karena pemikirannya ternyata hanyalah sebatas pemikiran belaka. Kemudian, ia pun lanjut menuruni kendaraan secara perlahan dan bergabung dengan para siswa siswi yang telah berbaris di depan sebuah pintu besar dan tinggi. “Wuah… megah sekali…” gumamnya secara tidak sadar. “-iya, kediaman daerah Quartus memang berbeda ya!” celetuk siswi di sampingnya, orang yang sama dengan siswi yang duduk di sebelahnya tadi. Rosa hanya membalas “O, oh…”. Quartus… Berarti lantai ini dekat dengan lantai bas
-Lantai 33, kediaman Gray- “Memindai Identity Chip.” Nguunngg… “Memindai sidik jari.” Nguunngg… “Memindai retina.” Nguunngg… “Pemindaian berhasil. Silahkan masuk.” Tap... tap... tap… Suara langkah kaki yang berjalan hingga ke tengah-tengah ruangan. “Lapor, tuan.” ujar seorang pria berjas hitam dengan atribut-atribut yang lengkap. “Hmm.” jawab seorang pria lain yang tak lain dan tak bukan adalah sang tuan yang dimaksud tersebut. Dengan menggenggam segelas minuman yang berwarna kebiru-biruan, ia bersandar di atas sebuah kursi. “Berikut laporan yang barusan telah kami terima dari Mister Osmus…” lanjut bawahannya itu yang kemudian mengeluarkan sebuah layar hologram dan mengantarkan layar tersebut hingga ke hadapan matanya. “…..” ia mengerutkan dahinya. “Sudah berapa kali kubilang, jauhkan sedikit layarmu itu…!” Mendengar perintah itu, bawahannya langsung menggeser layar tersebut menjauhi matanya. “Baik. Mohon maaf, tuan.” Mood-nya sedang buruk… “…..” Sang tuan menatap isi l