Tap.. tap.. tap..
Daritadi dia ga merespon apa-apa… ucap Dan dalam hati sambil melirik ke arah kanannya beberapa kali. Membawa Lizo yang masih tidak sadarkan diri, Dan dan Visera telah sampai di lorong penghubung Primus dengan Secundus.
Dia terlihat seperti sudah tahu cara untuk menghentikan Kak Goden tadi itu. Aku yakin tadi itu… dia mengetahui sesuatu.. dia pasti mengetahui sesuatu! Apa… dia pernah ketemu AMAH yang menggila seperti Kak Goden tadi?
Dan melirik kanan-nya lagi.
Kalau dipikir, aku masih tidak tahu apapun tentangnya...
Tentang perempuan ini...
yang tiba-tiba muncul hari itu entah darimana.
|
Tingtung tingtung tingtung..!
“Kak..! Kak..!” teriak Dan di depan pintu ruangan J3.
Dododok!
Ceklek..
“Kau mau menghancurkan bel dan pintuku?” Seorang wanita dewasa yang mengenakan piyama muncul dari balik pintu.
“M-maaf kak, tapi.. ada…”
“Ck, apa..?”
“Ada orang sekarat di rumahku!”
“Hmm.. hah? Apa?!”
Wanita yang dipanggil ‘kakak’ itu menyambar salah satu tas miliknya dan langsung berlari terburu-buru bersama Dan menuju ruangan H7 tanpa sempat mengganti selopnya.
Brak!
Drap drap drap…!
“Astaga..!” serunya ketika menemukan seorang perempuan remaja yang sudah tergeletak tak sadarkan diri dengan pergelangan yang bersimbah darah.
“Ambilkan handuk bersih! Yang tebal!”
“I, iya!”
“Lap atau keset juga!”
“I-ini…!”
Dan menuruti setiap perintah sementara sang kakak menyiapkan peralatan medis pribadi miliknya.
“Oke, ayo kita mulai.”
.
.
Tic.
Tac.
Tic.
Tac.
Dua puluh menit sudah berlalu.
“Kakak yakin bisa..?”
“Aku memang dikeluarkan dari akademi kesehatan, tapi bukan karena aku bodoh, bocah! Lagian, kenapa kau menghadap tembok?” jawab sang kakak yang sedang menjahit kulit lengan kanan bawah perempuan itu.
“Itu...”
“Hah? Oh-! Haha! Ternyata bocah besar ini takut melihat darah, ya?”
Dan mengangguk.
“Ohya, siapkan satu setel baju bersih untuknya.”
“Baju...ku?”
“Memang ada baju lain selain punyamu disini?”
“A-ada, lah!”
“Yasudah, cepat ambil!”
“I-iya!”
Dan segera melesat ke kamar lain dan keluar membawa satu setel baju bersih tepat ketika sang kakak telah selesai membalut lengan perempuan itu.
“Pink..??”
“Ini punya ibuku!”
“Oh… Oke, oke. Dipinjam dulu ya…”
Setelah membasuh tangannya, sang kakak menatap Dan.
“Kenapa masih disitu? Aku mau mengganti pakaiannya.”
“A-ah, oke..!”
Dan segera berlari ke dapur.
.
Krriett…
Sebaiknya kubuatkan apa ya… gumamnya mengamati satu per satu toples makanan yang berjejer di lemari dapur. Diturunkannya dua toples yang masing-masing berisi selai dan kacang. Kemudian, ketika hendak memanggang beberapa roti, matanya menemukan tempat penyimpan pisau yang kehilangan satu dari empat anggotanya. Satu hal yang kini ia tahu pasti, perempuan itu tidak terluka karena diserang.
“Oy.. Dan! Bantu pindahin dia ke kasur atau ke sofa yok!” teriak sang kakak.
“Ya kak..!”
Dan berlari kembali ke kamar tengah dan menggendong perempuan itu. Dengan bantuan sang kakak, perempuan itu berhasil mereka baringkan di atas tempat tidur.
“Ini kan kamar orangtuamu… gapapa..?”
“Cuma ini yang ga ditempati. Lagipula mereka kan..”
“Yasudah. Kau, bersihkan lantainya ya! Aku ke ruanganku dulu sebentar, mo ambil obat.”
“Oke, makasih Kak Megan.”
Blam!
.
.
Seet.. Set..
Dengan tekun Dan membersihkan noda darah yang telah mengering di lantai.
Padahal pintunya kan memakai pemindai sidik jari… Bagaimana dia bisa masuk? Lalu dia berjalan ke dapur dan mengambil salah satu pisau… Apa dia mencoba bunh diri? Tidak, tidak.. yang terluka bukan pergelangan tangannya… Jadi, apa tujuannya menyayat lengannya?
Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Disaat itulah matanya menangkap pantulan cahaya samar dari lantai. Ia segera merendahkan tubuhnya dan meraba-raba lantai sekitaran situ. Ditemukannyalah sebuah keping emas yang ukurannya kecil, sangat kecil. Suatu keajaiban bila matanya bisa melihat dari jarak dua puluh senti tadi.
Ceklek, blam!
“Gimana? Aman?” Megan kembali dengan beberapa bawaan di tangannya. Entah kenapa, bahkan dirinya sendiri juga tidak tahu, Dan menyembunyikan keping tersebut ke dalam sakunya.
“Aman, kak! Kayaknya…” jawab Dan lanjut membersihkan lantai.
“Ini, aku lupa sebutan umumnya apa, tapi kami menyebutnya beta vulgaris. Kasih ke dia. Mo di jus kek, makan langsung kek, terserah.” jelas Megan yang meletakkan sekeranjang kecil buah-buahan merah yang berbentuk bulat dan kecil di meja dapur.
“Yaudah, makanin langsung aja…”
“Haha! Terserah!” seru Megan masuk ke kamar tidur untuk memeriksa kondisi perempuan itu.
“Hm? Kali ini sepertinya seumuran denganmu Dan, mukanya juga cakep-”
“Jangan ngomong sembarangan deh, kak!”
Melihat adik tetangganya yang salah tingkah itu membuat Megan terpingkal-pingkal. Tiba-tiba terdengar suara batuk dari sampingnya.
“Eh, Dan! Air minum, minum!”
Dengan cepat Dan membawakan segelas air mineral. Megan membantu mendudukkan perempuan tersebut untuk minum.
“Ukhh!” Perempuan itu merasakan nyeri dan pegal yang hebat di lengan kanannya. Saat itu, barulah Megan dan Dan bisa melihat dengan jelas rupa dari perempuan tersebut. Rambutnya berwarna hitam agak panjang dan kulitnya kuning langsat, penampilan yang cukup umum di dalam bunker tersebut. Namun, bola matanya yang berwarna amber itu sangat cukup untuk memberi kesan yang khas.
“Nih, minum dulu.” Megan menyodorkan gelasnya. Dan dalam sekejap, segelas air yang penuh itu telah habis.
“Terima kasih.”
“Tidak perlu sungkan!” Megan mengoper gelasnya ke Dan.
“Nah jadi… Namamu siapa? Umurmu? Dari blok berapa? Orangtuamu siapa? Berapa bersaudara? Lalu-”
Sangking antusiasnya Megan bertanya, perempuan itu pun sampai kebingungan.
Sepertinya aku tahu kenapa dia dikeluarkan dari akademi.. batin Dan.
“Kakak ini kayak sedang menginterogasi saja.. Perkenalkan namaku Dan, kakak yang cerewet ini… panggil saja Kak Megan.”
“Namaku.. Visera..”
“Aja?” timpal Megan. Visera mengangguk. Percakapan terhenti dan suasana menjadi canggung.
“A, ah! Kamu pasti lapar! Ahaha..! Aku ambilkan roti dulu ya..?” Dan segera pergi ke dapur dan kembali dengan membawa dua potong roti isi dan dua buah bit pemberian Megan.
“Ini, silahkan…!”
“Makasih.”
Kemudian, menggunakan tangan kirinya, Visera memakan semuanya dengan lahap.
“Hoaahmm.. sepertinya masalah sudah selesai sekarang, kutinggal ya?” ucap Megan berdiri dan berjalan meninggalkan ruangan.
“Makasih kak! Maaf, sudah mengganggu jam tidurnya..” balas Dan menyusul Megan menuju pintu.
“Baguslah kalau kau sadar! Jangan lupa besok imbalanku seperti biasa ya, Tuan yangterlalumurahhati!” seru Megan.
Ceklek, blam!
“Maaf kalau tadi Kak Megan membuatmu kurang nyaman…” Dan kembali menghampiri Visera.
“Tidak. Justru saya yang sangat berterima kasih pada kalian.”
“Sudah dibilang jangan formal begitu…”
Kemudian percakapan terhenti lagi.
“Ka, kalau gitu.. istirahatlah! Anggap aja rumah sendiri. Kalau butuh sesuatu, gedor saja kamar seberang!” Dan berdiri dan membereskan peralatan makan.
Tiba-tiba Dan teringat akan sesuatu yang ada di sakunya.
“Oh iya, ini.. milikmu?”
Seketika melihat sebuah keping mikro itu, Visera langsung menyambarnya.
“Ah, rupanya benar itu punyamu..”
“Sudah berapa lama?”
“Hm? Apa?”
“Sudah berapa lama aku pingsan?”
“Hm… aku tak ingat pastinya… tapi yang pasti belum sampai dua jam..?”
Kemudian, kira-kira dua puluh menit kemudian, keduanya terlihat sedang menyusuri jalanan.
“Bentar, kau mau kemana?! Kau masih terluka!” Dan menyergap Visera yang buru-buru ke pintu depan.
“Aku… aku harus… ke tempat itu…”
“Kemana? Sepenting itukah?”
Visera mengangguk.
“Yasudah, ayo, aku ikut.”
Begitulah keduanya bisa sampai di jalanan yang terus menurun itu. Karena sudah melewati batas waktu malam hari, jalanan menjadi tidak seramai biasanya.
Lorong ini… hanya menuju ke ruangan itu… Masa-! batin Dan mulai menduga-duga.
[Kawah Pemurnian], nama dari ruangan yang dikunjungi mereka. Suhu di lantai itu jauh lebih panas dari lantai-lantai sebelumnya. Di ujung ruangan terdapat dua terowongan. Satu terowongan berukuran besar, dan yang satu lagi memiliki diamater yang sangat pas untuk dimasuki seorang manusia dewasa. Siapapun yang bisa melihat dan mendengar, dapat mengetahui fungsi dari ruangan tersebut. Tanpa membuang waktunya, Visera langsung menuju terowongan yang lebih kecil.
Hiii!! Masa sih..?! Beneran??!!
“T-tunggu Visera! Kamu yakin? Pikirkan masa depanmu! Umurmu masih muda! K-kalau ada masalah, ceritakan saja, jangan dipendam sendiri! Jangan menyerah Visera!” ujar Dan terburu-buru dengan panik.
“Ha?” ucap Visera. Ia mengeluarkan keping mikro miliknya tersebut dan langsung melemparnya jauh ke dalam terowongan.
“Aku sudah selesai.”
“O-oh.. Oke..” Dan menjadi malu dengan perkataannya barusan lantaran salah paham..
Kemudian tanpa adanya perbincangan, keduanya kembali ke primus, ruangan H7.
|
Waktu itu kami masih canggung sekali ya..
Krek!
Mendengar suara itu, keduanya refleks berhenti berjalan.
“Kau dengar suara itu?” tanya Dan.
“Dengar.”
“Jangan bilang…”
Keduanya menatap Lizo dengan penuh cemas.
***
Ceklek!
Drap drap drap…!
Begitu sampai, Megan langsung menghampiri dan memeriksa keadaan Lizo. Tidak ada yang berani membuka suara selama sepuluh menit itu, sampai Megan kemudian berdiri, lalu duduk bersandar di sofa dengan menyilangkan tangannya.
“Ceritakan.”
Dan pun menjelaskan kejadian di ruangan F6 tersebut dari awal.
“AMAH ya…” gumam Megan menatap Lizo yang masih belum sadarkan diri.
“T-tadi pas di tunnel kami kayak dengar suara tulang patah. Apa leher Lizo..” Visera angkat suara.
“Tidak, lehernya tidak patah.” jawab Megan. “Tapi… ada bekas injeksi. Apa yang disuntikkan ke lehernya tadi? Kalian lihat tidak?”
“Sun..tikan..?” Keduanya saling bertatapan.
“Pas aku di dekatnya tadi, tidak ada suntikan sama sekali. Kedua tangan AMAH itu juga terus mencengkram leher Lizo,” jelas Visera.
“Masa sangking cepatnya dia menyuntik leher Lizo sampai-sampai tidak bisa dilihat mata..?” Dan menerka-nerka.
“Tidak mungkin. Dari omongan Visera, kemungkinan besar suntikannya berasal dari tangan AMAH itu.”
“Memangnya ada fitur seperti itu di AMAH? Aku tidak pernah dengar tuh!”
“Kesampingkan itu dulu, Dan. Sekarang bagaimana dengan Lizo kak?”
“Yaa, bagaimana gimana? Aku butuh alat yang lebih canggih untuk memeriksanya!”
“Jadi kita harus ke lantai medis?”
“Benar sekali. Untung saja aku ada kenalan senior yang sudah bekerja disana! Ayo, bersiap, anak-anak!”
Begitulah.
Megan langsung menelpon senior. Tidak sampai setengah jam, sebuah ambulan datang tepat di depan ruangan mereka. Ketiganya pun berangkat menuju lantai medis, sementara Visera tetap tinggal di ruangan H7 tersebut.
***
Tap.. Tap.. Tap…
Di sebuah koridor, seorang pria terlihat berjalan menuju suatu ruangan.
“Memindai Identity Chip.”
Terdengar sebuah suara mesin yang khas.
Nguuunngg…
“Memindai sidik jari.”
Nguuunngg…
“Memindai retina.”
Nguuunngg…
“Pemindaian berhasil. Silahkan masuk.” Pintu besi yang ada di hadapannya bergeser otomatis ke kiri dan kanan.
Di tengah-tengah ruangan, terlihat seorang pria lain yang sedang bersandar di atas sebuah kursi. Tangan kirinya memegang sebuah gelas kaca yang berisi cairan dengan warna kebiru-biruan.
“Lapor, tuan.” ucap pria yang baru memasuki ruangan.
“Hmm.”
“Kami berhasil melacak keberadaan Nona Kecil Anomen barusan.”
“Lalu?”
“Tapi informasi yang kami dapat hanyalah keberadaannya tiga minggu yang lalu.”
“Oh..? Coba jelaskan.”
“Bulan empat tanggal sembilan, Nona Kecil Anomen berada di Lantai Anomen dari pukul 00.00 sampai dengan pukul 20.18. Kemudian sinyal menghilang dan muncul kembali di bulan empat tanggal sepuluh dari pukul 01.48 selama dua menit sebelum menghilang lagi. Setelah itu, tidak ada sinyal sama sekali sampai sekarang.”
“Dimana dia jam 01.48 itu?”
“Lantai ke seratus empat puluh enam. Kawah Pemurnian.”
Tak!
Diletakkannya gelas kaca tersebut ke atas meja.
“Tuan, apakah dia..”
“Tidak. Ayah dan anak itu sama-sama pintar memanipulasi data. Jangan pernah tertipu! Kalau asumsiku benar…”
“Jadi, apa perintah selanjutnya, tuan?”
“Perketat sistem pemindaian identitas. Bawa mereka yang tidak terdeteksi untuk diperiksa di kantor pusat…!” perintah sang tuan yang bergeming di tempat duduknya.
“…Kita lihat, apa yang bisa dilakukan anak itu tanpa Identity Chip-nya sekarang.”
---------------------
Bersambung...
-Lantai 11- Ting! Pintu lift terbuka, para penumpang yang berada di dalamnya mengantri untuk keluar. Yang pertama adalah dua orang pria dewasa bertubuh tegap dan kekar. Kemudian disusul oleh tiga orang wanita. Samala–yang di kiri, memiliki sorot mata tajam dan postur tubuh tegap sepeti dua pria sebelumnya, sedangkan Kimberly–yang di kanan, memiliki sorot mata yang sayu dan terlihat sangat feminim seperti wanita pada umumnya. Keempatnya sama-sama mengiringi satu orang wanita yang kini telah berjalan di depan dan di samping mereka. Wanita tersebut mengenakan setelan blazer berwarna biru dongker yang dipadukan dengan kaus dan sepatu oxford hitam. Kalau bukan karena rambutnya yang telah memutih sebagian, orang-orang pasti akan sangat terkejut ketika mengetahui fakta bahwa usianya hampir menginjak kepala enam. “Memindai Identity Chip.” Terdengar sebuah suara mesin yang khas dari speaker yang ada di langit-langit.
Hari ini hari keenam setelah kejadian di ruangan Secundus F6. Setelah memastikan Lizo mendapat perawatan di Lantai Medis lima hari yang lalu, Dan dan aku kembali menjalani rutinitas kami masing-masing seperti biasa.|-Lantai 75-Pip! “Silahkan masuk.”Terdengar suara bunyi mesin setiap kali terdeteksi keberadaan Identity Chip di antaranya. Pengunjung yang hendak masuk harus meletakkan terlebih dahulu lengan kanannya ke antara dua batang besi yang berdiri di atas sebuah meja itu. Tentu saja mereka yang merupakan AMAH tidak perlu mengikuti prosedur ini.Pip! “Silahkan masuk.”Hari ini juga ada petugasnya ya… pikir Visera dalam hati sambil mengintip-intip dari balik dinding. Kemudian dari dalam ranselnya, iamengeluarkan sebuah gelang tipis berwarna hitam. Dipasangnya gelang tersebut ke lengan kanannya. Lalu ia mengenakan jaket kuning khas miliknya sembari berj
-Lantai 132, reaktor pendingin V- Cssshhhh…! Bunyi uap yang keluar dari sebuah mesin besar menuju sebuah pipa besi lebar yang mengarah ke atas. Tidak ada yang pernah melihat ujungnya, termasuk mereka yang sudah lama bekerja di sana. Namun, dalam buku manual dijelaskan bahwa ujung pipa yang lainnya berada di atas permukaan bumi. Dong..! Dong..! Dong..! Mendengar alarm khas itu, puluhan petugas yang tersebar dalam lantai tersebut langsung meninggalkan tempatnya dan bergegas menuju satu tempat untuk membuat tiga bersaf barisan. Setelah semuanya bergeming di barisan masing-masing, seorang pria paruh baya berjalan keluar dari ruangan yang ada di hadapan mereka. Tidak ada yang berani menatap matanya langsung. Ketika telah berdiri tepat di depan barisan, pria itu berdeham. “Mulai laporannya.” “Siap! Unit A, normal!’ “Unit B, normal!” “Unit C, normal!” “Unit D, normal!” Begitu seterusnya hingga
Syuush! Trang! Sebilah pisau melesat melewati pelipis kirinya dan terjatuh akibat berbenturan dengan pintu. Saat itu belumlah lima menit sedari ia sampai di dalam ruangan blok H nomor 7. “Sa, sambutan yang sangat ramah y-ya, Sa-sangria..!” ucapnya tergagap karena masih mencerna situasi. Cimot? Cimot..? Cimot..??!! Dengan panik ia memanggil rekan suaranya yang tidak memiliki raga itu. Namun tidak ada jawaban. Pandangannya pun mulai menjadi waspada akan perempuan yang berdiri di hadapannya. “Kamu pikir aku akan mempercayaimu semudah itu?” tanya Visera sinis. Tangannya memegang ujung benang yang terikat pada ujung pisau tadi. Sambil menggulung benangnya, ia berjalan mendekat. Dan ketika pisau telah kembali berada di tangannya, ia menempelkan mata pisau tersebut ke leher wanita yang tadi menjadi salah satu pelanggannya itu. Normalnya seorang perempuan pasti sudah teriak ketakutan... pikir Visera. “Aku tanya sekali lagi,
Tes… tes… tes… Satu per satu tetesan air infus jatuh memasuki selang yang terhubung dengan lengan kanan bawahnya. Hari ini genap sudah seminggu Lizo dirawat. Selama tujuh hari itu juga, Megan lah yang secara rutin menjenguk teman dari sepupu jauhnya itu. Grrekk!! Dengan santai Dan membuka pintu gesernya. “Kamu ini buka pintu kenceng-kenceng…! Nanti Lizo kebangun..!” ujar Megan dari sofa di sudut ruangan. Terlihat sebuah jendela hologram yang memuat sebuah dokumen berisi penuh kalimat di depan matanya. “Lho? Dia tidur lagi?” tanya Dan menutup pintu ruangan kembali. Sekitar dua jam yang lalu Megan menghubunginya dan mengatakan kalau Lizo telah sadarkan diri. Di saat itu juga Dan secepat kilat mengganti pakaiannya dan bergegas menuju lantai tiga puluh enam, lantai medis tingkat tiga. “Iya, sehabis makan tadi. Sekarang sudah setengah jam. Waktu bangun tadi katanya kaki tangan badannya pegel semua, jadi si dokter nyuruh di
-Ruang Sondaica, dunia virtual- “Nah…” “Bisa kita mulai laporannya?” Semua yang ada di ruangan, baik yang sedang dibisukan maupun yang tidak, mengangguk tanda setuju. “Baiklah, kalau begitu mari kita mulai dengarkan laporannya dari…” matanya menangkap seorang peserta yang baru pertama kali ini ditemui secara langsung olehnya. Walaupun tidak bisa dibilang secara langsung karena sekarang mereka sedang berada di dalam dunia maya, sih. “Ah, Mister Osmus! Selamat datang di Konferensi Majelis Triwulan! Terimakasih telah setuju untuk bergabung dengan pemerintahan. Anda tentu telah diinformasikan mengenai prosedur dari kegiatan rapat ini bukan? Waktu dan tempat saya persilahkan…!” Sambutan dari Madame Dendrich itu membuat beberapa peserta lain begidik merinding. “Hyii! Benar-benar tidak dikasih napas..!” Sementara itu, peserta yang dipanggil beranjak dari duduknya dengan tetap mempertahankan senyuman bisnisnya. “Terima
-ruang rahasia 11, dunia virtual- “Bisa memindahkan jiwa?” ujar Mister Gray takjub. “Dapat diinterpretasikan demikian. Namun, fungsi utama dari Tempesse ini ialah untuk menyimpan, untuk mempertahankan, satu jiwa makhluk hidup-” jawab Miss Briece. “baik itu hewan maupun manusia…” lanjutnya. “……” Ruangan menjadi sunyi selama beberapa saat. Entah itu Mister Henders ataupun Mister Gray, keduanya menatap benda yang berotasi konstan itu lekat-lekat. Bahkan Samala sampai membelalakkan matanya. Namun tidak dengan satu orang. “Hewan maupun manusia…? Jiwa siapa yang berhasil kalian pindahkan?" “Baik, menjawab pertanyaan Madame Dendrich, setelah percobaan menggunakan lebah dan kupu-kupu itu berhasil, kami mulai merencanakan penelitian ini kepada manusia. Butuh waktu berminggu-minggu untuk menemukan relawannya. Dan beruntungnya, setelah tiga hari relawan pertama berhasil kami temukan, salah seorang pasien di lantai medis dinyatakan wafat.
-Blok H, Primus, Lantai 138- Ceklek! “Hup!” Membawa sebuah kotak besar dengan kedua tangannya, Visera berjalan menuju sebuah kotak yang jauh lebih besar yang berdiri di ujung jalan. Setelah meninggalkan kotak yang dibawanya itu di sana, ia berjalan kembali ke ruangan. Sewaktu berbalik, dari kejauhan, terlihat seseorang yang sedang duduk di kursi umum yang berada di persimpangan menghadap ke arah ruangannya. Postur tubuhnya terlihat familiar. Tep tep tep tep…! Dengan langkah terburu-buru Visera mendekati orang itu. Namun tiba-tiba ia memelankan langkahnya lantaran mengetahui bahwa orang itu sedang tertidur. “Hmmm…” gumamnya memperhatikan penampilan orang itu dengan cermat, terutama dua jemarinya yang terdapat siluet hewan bernama lumba-lumba itu. Apa-apaan nih, kemarin kayaknya wajahnya serem banget… . . . “hmmm..?” Secara perlahan ia membuka matanya dan
Fungus Co. , salah satu dari lima perusahaan terbesar se-nasional yang bergerak di bidang jasa. Didirikan oleh seorang pebisnis misterius yang sampai saat ini hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Jasa yang mereka tawarkan ini sedikit unik. Meskipun memiliki ribuan pekerja (termasuk AMAH & AMAPOB), tetapi mereka hanya melayani satu jenis layanan, yakni membasmi musuh-musuh kecil yang terus muncul di sepanjang dinding-dinding bunker yang lazim disebut jamur. Memang tersebut terdengar sederhana, bahkan sepele. Namun, mengingat maraknya pertumbuhan jamur di dinding-dinding bunker yang terus menerus muncul semenjak tiga puluh tahun yang lalu membuat mereka selalu mendapatkan permintaan setiap harinya. Entah jam berapa pun itu. Budi, salah satu pekerja di Fungus Co., sedang melaksanakan pekerjaannya. Namun, ruangan tempat ia berada saat itu sangat gelap meskipun waktu menunjukkan jam satu siang. Hanya ada lampu-lampu kecil berwarna merah yang memiliki jarak sejauh empat meter dengan
-Lantai 33, kediaman utama Gray, ruang tidur tamu- Klang! “Aduh, jatuh deh, haha!” Tuan Anomen tertawa canggung sembari membungkuk untuk mengambil sendok yang terjatuh. “Sepertinya kita harus menambahkan fitur di bagian telapak tangan. Para AMAH masih susah untuk menggenggam benda-benda yang kecil.” ujarnya. “Apa karena aku sudah terlalu tua…?” lanjutnya bergumam. “Toras!” serunya. Robot berang-berang yang berdiri di sampingnya sedari tadi langsung menyala kembali. “Ya, tuan?” “Ambilkan sendok yang baru.” “Baik, tuan.” Kemudian robot itu langsung bergerak meninggalkan ruangan. “Kita tunggu dulu ya…!” ucap Tuan Anomen menoleh ke arah kirinya. Rosa yang sedari tadi menyaksikan monolog yang tidak bisa dipahaminya itu hanya mengangguk pelan. . Beberapa menit kemudian… . Wungg…. Pintu terbuka. “Ini, tuan.” Robot berang-berang itu membuka bagian perutnya dan memperlihatkan sebuah ruang kecil yang menampung sebuah sendok di dalamnya. Tuan Anomen langsung mengambil dan menyendok
-Lantai 130, ruang kelas- Di atas tempat duduknya Visera termenung. Saat itu, waktu terasa sangat amat lambat baginya. Entah sudah berapa kali ia memeriksa jadwal pembelajarannya itu- berharap agar jam istirahat segera datang. Penjelasan yang dilontarkan oleh gurunya pun sama sekali tidak ada yang masuk di otaknya. Tau gitu aku telat-telatin aja tadi… batinnya yang tadi terburu-buru karena bangun kesiangan. Ia menoleh ke sebelah kiri dan kanannya. Pantas saja banyak kursi yang kosong- Eh, ngga sih, cuma delapan… Mana gurunya cuma rekaman lagi…! Canggih apanya! Ini mah namanya pembodohan! batinnya menatap sinis hologram bergerak yang menyerupai seorang wanita dewasa itu. Yaah, wajar sih. Toh biaya pembelajarannya gratis. Mana mungkin mereka menyediakan pengajar yang berpendidikan tinggi. Memutar rekaman materi dari internet yang sudah diubah ke bentuk hologram saja sudah cukup. Memang cara yang jenius, paman Gray. “Demikian pemaparan materi untuk hari ini, selanjutnya kita akan m
TheBarr : Sebelum melewati perbatasan lantai, jangan lupa ganti jaringanmu ke privat. Sangria : roger. | Klang! "Ups.." Untung di atas tempat yang sepi... batin Visera menghela napas. Di dalam terowongan setinggi 60 cm itu ia merangkak. Beberapa barang bawaannya ia rekatkan erat pada tubuhnya. Dengan penuh hati-hati, ia bergerak menuju ke atas sembari sesekali memeriksa peta hasil tiruannya itu. Sepuluh meter lagi.... batinnya mengusap keringat dingin yang mengalir di pelipisnya. [ Berhasil tersambung ke jaringan Privat. ] Ting! TheBarr : Ikuti saja navigasi ini [ TheBarr mengirimkan berkas ] Ia menekan dokumen itu dan muncul sebuah layar baru yang berisikan peta dari area yang telah, sedang, dan akan dilaluinya tersebut, termasuk tempat yang menjadi tujuan perjalanannya. TheBarr : kalau ada gang yang berkedap-kedip merah, itu tandanya ada orang lain di sana. Orang... Lain? Visera terdiam selama beberapa saat. Oh, para pekerja... (tukang AC seperti Dan) Kemudian ia mela
Jika ada suatu gagasan dikumandangkan ke orang banyak… Menurutmu apa yang akan terjadi setelahnya? | “…kembali ke permukaan, bukanlah sekedar angan-angan belaka lagi…” Semuanya terdiam, membuat Tuan Anomen menjadi sedikit ragu akan pendapat semuanya tentang gagasan darinya itu, terlebih ketika ia menatap ketiga orang yang sama sekali tidak disangka-sangka olehnya sebelumnya untuk datang menghadiri pertemuan itu. Prok… prok…! Tiba-tiba terdengar suara tepukan dari seseorang. Lantas yang lainnya pun ikut bertepuk tangan. “Ide yang sangat luar biasa, Tuan Anomen! Brilliant! Bukan begitu, para hadirin sekalian??” sahut Tuan Gray mengambil alih panggung sementara yang lainnya sibuk berbisik-bisik ke kanan dan kirinya. “…Saya paham, beberapa di antara anda sekalian pasti masih mempertimbangkan apakah hidup di permukaan dapat menjamin kehidupan yang aman dan nyaman seperti dulu ataukah sebaliknya.” Tuan Anomen kembali buka suara. “Tapi bukan berarti keraguan itu harus dijadikan halan
Hari itu, aku menyaksikan semuanya dari dalam ventilasi… . . . Duk… duk… duk… Dengan merangkak, ia terus maju melewati terowongan yang tingginya hanya sebatas 60 cm itu. Mata ambernya terlihat mengkilap setiap kali melewati cahaya menembus penutup ventilasi di bawahnya. Klang! “Ups-!” Tidak sengaja lututnya mengenai bagian besi yang mencembung keluar. Ia langsung terdiam, berusaha mendengar kalau-kalau ada suara lain dari arah ujung depan dan belakangnya. Merasa tidak ada suara apapun, ia pun lanjut merangkak ke depan hingga menemukan satu penutup ventilasi lain yang menjadi tempat tujuannya itu. Duk… Ia merendahkan tubuhnya untuk melihat sisi bagian yang lain dengan jelas. Terlihat sekumpulan beberapa orang dewasa yang sedang berdiri di bawah sebuah panggung. Beberapa dari mereka tengah berbincang dan tertawa. Salah satu suara terdengar familiar di telinganya. ‘Ah, itu papa…’ pikirnya. Begitu menemukan sosok ayahnya yang tengah tersenyum lebar di antara barisan tersenyum, i
-Lantai 44, pintu masuk bagian Barat- Yo, kembali bersama denganku, "(-%&!. Ga kebaca kan? Itu karena namaku… Ra. ha. si. a~ “KyaaAAHahahaHAHA!” tawanya tanpa sadar, membuat pengunjung yang sedang mengantri di kiri, kanan, depan, dan belakangnya menoleh ke arahnya. Ia pun langsung terdiam dan menunduk malu. Huff… Biar kuulang…. Yo! Kembali lagi Bersama denganku, sss… Satu! Ya, Satu! Hari ini H-1 sebelum misi kesekian kami dimulai~! Jadi waktunya untuk apa itu…? ….Ya! Waktunya untuk menghambur-hamburkan uang sebelum menerima gaji yang akan datang! Dan karena aku termasuk senior paling senior di sini, ekhem. Aku jadi diberi wewenang untuk belanja di lantai atas deh! Pip! “Silahkan masuk.” Nah… Kita mulai dari mana ya… Matanya bergerak kesana dan kemari, melirik setiap toko yang berlomba-lomba memasarkan barang dagangannya. Setiap toko setidaknya memiliki satu alat ini yang memiliki fungsi untuk menampilkan produk-produk penjualan mereka dalam bentuk hologram. Baginya, ba
Dor! Suara tembakan itu cukup untuk membuat seluruh pasang mata tertuju ke arah belakangnya. Seorang siswa yang berada di barisan paling belakang berdiri mematung dan menatap balik setiap pasang mata yang tertuju ke arahnya dengan raut wajah yang cemas. Beberapa orang siswa di samping kiri dan kanannya terlihat sedang menahan tawa, dan di depan ketika terpampang sebuah layar hologram yang menunjukkan tampilan seperti… game online… Healah… cuma game toh…. batin Rosa mengelus dadanya, merasa lega karena pemikirannya ternyata hanyalah sebatas pemikiran belaka. Kemudian, ia pun lanjut menuruni kendaraan secara perlahan dan bergabung dengan para siswa siswi yang telah berbaris di depan sebuah pintu besar dan tinggi. “Wuah… megah sekali…” gumamnya secara tidak sadar. “-iya, kediaman daerah Quartus memang berbeda ya!” celetuk siswi di sampingnya, orang yang sama dengan siswi yang duduk di sebelahnya tadi. Rosa hanya membalas “O, oh…”. Quartus… Berarti lantai ini dekat dengan lantai bas
-Lantai 33, kediaman Gray- “Memindai Identity Chip.” Nguunngg… “Memindai sidik jari.” Nguunngg… “Memindai retina.” Nguunngg… “Pemindaian berhasil. Silahkan masuk.” Tap... tap... tap… Suara langkah kaki yang berjalan hingga ke tengah-tengah ruangan. “Lapor, tuan.” ujar seorang pria berjas hitam dengan atribut-atribut yang lengkap. “Hmm.” jawab seorang pria lain yang tak lain dan tak bukan adalah sang tuan yang dimaksud tersebut. Dengan menggenggam segelas minuman yang berwarna kebiru-biruan, ia bersandar di atas sebuah kursi. “Berikut laporan yang barusan telah kami terima dari Mister Osmus…” lanjut bawahannya itu yang kemudian mengeluarkan sebuah layar hologram dan mengantarkan layar tersebut hingga ke hadapan matanya. “…..” ia mengerutkan dahinya. “Sudah berapa kali kubilang, jauhkan sedikit layarmu itu…!” Mendengar perintah itu, bawahannya langsung menggeser layar tersebut menjauhi matanya. “Baik. Mohon maaf, tuan.” Mood-nya sedang buruk… “…..” Sang tuan menatap isi l