Namanya Dan. Orang pertama yang kutemui ketika berhasil sampai di lantai ini.
|
“Kkhh!” Satu per satu tetesan darah jatuh ke lantai.
Gapapa.. ini ga sakit.. ini.. ga.. sakit..
Ditekannya kuat-kuat tangan kanannya itu dengan kain.
“Darahnya akan berhenti.. darahnya pasti berhenti..” gumamnya hingga kain yang ia gunakan itu memerah hampir seluruhnya.
Krriett… Perlahan pintu yang ada di hadapannya terbuka.
Klak! Lampu pun menyala, menerangi seisi ruangan, termasuk dirinya dan seorang lelaki yang baru saja masuk itu.
“Ha?” ucap lelaki itu dengan wajah bingungnya.
Ah.. Apakah aku akan mati..?
Penglihatannya menggelap dan tubuhnya terjatuh ke lantai. Sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, samar-samar ia mendengar sebuah suara memanggil namanya.
***
“Haa… pada akhirnya garam kita gabisa diambil lagi…” gumam Dan dalam perjalanan meninggalkan balai desa untuk yang kedua kalinya.
“Maaf.. Dan. Seharusnya aku memeriksa barang bawaan dulu tadi..” ujar Verisa pelan.
“Jangan terlalu dipikirin, Vis. Kita bisa akalin biar ga terlalu hambar pas masaknya. Tapi kamu benar, bulan depan nanti ingetin cek barang-barang dulu sebelum dibawa ya!” balas Dan memukul-mukul kecil kepala Visera.
“Ekhem, maaf mengganggu, tapi jangan lupa kalau kita diundang Kak Goden ke tempatnya, jadi ayo kita belok kanan,” ujar seorang laki-laki di samping Dan yang sedari tadi ikut berjalan bersama mereka, Lizo. Mereka bertemu dengannya saat hampir sampai di balai desa tadi.
“Ah iya.. aku hampir lupa, haha..! Ayo ayo!” Ketiganya berbelok memasuki sebuah lorong dan berjalan memutari ruangan yang berbentuk menyerupai tabung.
“Marc dan Rick diundang juga ga ya?”
“Katanya sih tidak.”
“Oh ya, kok kau bisa tahu kalau kita diundang?”
“Jadi petugas AMAH di balai desa tadi itu Kak Goden. Dia mengundangku ke tempat mereka sekalian kau yang tidak sempat dia sapa tadi!”
Selagi keduanya mengobrol, Visera terus memperhatikan dinding cembung itu. Tak berapa lama kemudian, sampailah mereka di depan sebuah pintu besar dengan emblem bintang perak di sisi kiri dan kanannya.
“Wuah.. jadi ini secundus..?!” ujar Lizo ketika melewati pintu masuk Secundus-wilayah tempat tinggal bintang dua.
“Cuma beda warna tuh?” celetuk Dan. Visera mengikuti di belakangnya
“Katanya ruangan mereka lebih besar dari kita lho!”
“Oh gitu..” gumam Dan yang sibuk menoleh ke kiri dan ke kanan.
“Oi, Liz! Kenapa.. mereka.. pada ngeliatin kita?” tanya Dan risih.
“Entahlah..” jawab Lizo yang baru menyadari.
“Apa karena jaket kuningku ini?” Visera tiba-tiba bersuara.
“Ahaha...! Bisa jadi. Disini dimana-mana kalau bukan warna cokelat, ya warna merah. Makanya mereka terpukau ama jaket kuningmu itu, Vis!” Lizo tertawa.
“Itu ruangannya bukan?” tunjuk Dan ke arah sebuah ruangan. Tertulis kata ‘F6’ di samping pintunya.
“Iya, benar. Ayo!” Ketiganya pun langsung menghampiri ruangan tersebut.
Ting tung… Liz menekan bel. Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya membuka pintu.
“Halo tan-“
“Lama sekali datangnya! Inilah kenapa aku tidak mau pakai jasa bersih-bersih murahan!” sela wanita tua itu.
“Maaf tante, kami-“
“Yasudah! Cepat masuk!”
“B-baik!” Ketiganya diburu-buru masuk menaiki tangga hingga sampai di sebuah ruangan yang cukup untuk dimuati sampai lima puluh orang. Banyak piring-piring kotor berserakan di atas meja, kursi-kursi yang berantakan dan terjungkal, hingga karpet yang terkena tumpahan air, kuah, kue, dan segala macam noda yang ada.
“Peralatannya ada di belakang. Saya ingin semuanya sudah bersih mengkilat ketika saya pulang, paham!?”
“Pa.. paham… tante..” jawab Dan menanggapi.
“Bagus! Kalian punya waktu tiga jam!”
BLAM! Kemudian ruangan menjadi sunyi.
***
Cplash!
“Gila! Apa-apaan tadi itu! Seenak jidat nyuruh-nyuruh orang!” celoteh Lizo yang sedang mengepel lantai.
“Pantas kakaknya Goden hanya ‘mengundang’. Mengundang kerja bakti maksudnya, bukan mengundang makan-makan! Hahaha!” tawa Dan yang sibuk mengelap piring di dapur.
“Bisa-bisanya dia tertawa di saat seperti ini! Vis, kau juga kesal, kan!” Lizo menengok ke belakangnya dan melihat Visera yang sedang mengelap meja dengan teliti. Melihat itu, Lizo menghela napas.
“Atau mungkin kau salah dengar kali, Liz.. Harusnya besok, bukan hari ini!”
“Jelas-jelas dia bilang ‘nanti datang ke rumah ya! Sekalian ajak temanmu yang cepak itu tuh, siapa? Dan ya?’ gitu!” Lizo menirukan gestur dan intonasi Goden yang ditemuinya tadi siang. Dan yang cepak hanya tertawa datar.
“Berarti dia tidak bilang jam berapanya?” Visera membuka suara.
“Bisa jadi pestanya udah selesai, terus mereka pergi keluar, jalan-jalan. Dan.. karena ruangannya berantakan sampai kacau begini, akhirnya ibunya harus menyewa jasa petugas kebersihan. Tapi, si ibu ini buru-buru mau pergi juga, makanya dia kesal karena harus menunggu petugasnya nyampe.”
Dan dan Lizo terdiam.
“Tapi.. dia bilang ‘tidak mau pakai jasa bersih-bersih murahan’ tadi. Berarti, yang mau memesan 'jasa bersih-bersih murahan' itu.. bukan dia dong?” sanggah Dan.
“Ah, benar juga… aku lupa.."
“Terus anehnya.. harusnya si tante itu mengenali wajahku dan Dan tadi. Tapi dia malah memberlakukan kita seperti petugas betulan! Sudah tua jadi pikun dia dah!” gerutu Lizo.
“Berarti hanya ada satu kemungkinan.”
“Apa itu?”
“Kalian dipandang rendah oleh keluarga mereka.”
Mendengar itu, Dan dan Lizo tersentak.
“Em… aku juga sih..” Visera menambahkan.
Dia blak-blakan banget… pikir Dan dan Lizo.
“Ya.. apapun itu.. mending kita selesain dulu yok..! Kupingku sakit kalau harus mendengar suara cemprengnya lagi.. ahahaha..!”
Ketiganya lanjut membersihkan ruangan. Tidak sampai dua setengah jam kemudian, ruangan yang seperti kapal pecah itu kini menjadi bersih, mengkilat seperti bagian dalam kapal pesiar yang mewah.
“Tuh kan, bahkan parabot secundus juga lebih berkualitas!” ujar Lizo mengetuk-ngetuk meja dan almari pajangan.
“Yaa kalangan secundus kan diperbolehkan membeli barang-barangnya sendiri..” balas Dan yang sudah duduk di sofa.
“Hm? Memangnya kita tidak boleh?” tanya Visera yang ikut duduk.
“Iya. Kita yang warga bintang satu hanya boleh membeli barang-barang yang disediakan balai desa,” jawab Dan.
“Meskipun kau mampu untuk membeli barang diluar yang disediakan pun, tetap tidak diperbolehkan. Ah..! sofanya empuk banget..!” tambah Lizo menjatuhkan tubuhnya ke sofa.
“Begitu rupanya… lalu, Keluarga Goden kan dulunya tinggal di bintang satu, kenapa bisa pindah ke secundus?”
“Itu…” Dan dan Lizo melirik satu sama lain.
“Jadi.. Kau ingat tentang AMAPOB yang kujelaskan tadi pagi, Vis?”
“Ingat”
Kemudian Dan melirik Lizo, seakan menyuruhnya untuk menjelaskan.
“Jadi semua keluarga yang ada di secundus ini pasti senggaknya pasti ada satu anggota keluarga mereka yang ikut program AMA atau Advanced Meta Armored. Program ini ada dua jenis, Human dan Part of Body. Makanya singkatannya AMAH ama AMAPOB. Nah, apa sih Advanced Meta Armored itu? Jadi AMA ini gabungan dari ilmu teknologi sekaligus medis. Bagian tubuh manusia yang sudah rusak, atau yang mau di evolusi, bakal diganti menggunakan Meta-armor!” jelas Lizo penuh antusias.
“Tapi mereka yang sudah mengikuti program AMA ini harus mengabdikan seumur hidupnya ke pemerintah pusat. Terutama yang AMAH, mereka kan.. tinggal otaknya doang yang asli.” Dan menambahkan.
“Ti, tinggal otak?!” Visera terkejut.
“Iya, makanya disebut Advanced Meta Armored Human,” jawab Lizo.
“Kalian tahu banyak ya..”
“Daridulu dia selalu pengen kerja di tim pengembangan projek AMA.” Dan menunjuk Lizo.
“Iya, aku selalu penasaran, darimana dan menggunakan apa sebagai bahan bakarnya. Di berita manapun tidak pernah diungkap!”
“Oke... Lalu.. karena kita udah selesai... yok, pulang!” Visera melompat dari duduknya dan menarik dua yang lain.
“Kenapa buru-buru? Belom tiga jam juga..” ujar Lizo.
“Justru karena itu..! Ayo cepat sebelum mereka pu-! lang…“
Drrrakk.. Drrakk.. Drrakk…
Langkah kaki yang berat terdengar dari arah belakang.
“Lho, Kak Goden?” Lizo segera berdiri.
"Selama ini kakak ada di ruangan toh!" lanjutnya.
Melihat ekspresi Visera, Dan menyadari kalau ada sesuatu yang salah.
“Lizo, jangan dekat-dekat dia..” Visera berbisik.
“Kenapa? Ah, ini pertama kalinya kamu melihat AMAH dari dekat ya? Tenang Vis, perkenalkan ini kak Goden, teman ka-”
Tidak sempat Visera menarik tangan Lizo, sebuah tangan besi mencengkram leher dan mengangkat tubuh temannya itu.
“Li-!”
“sshhtt!” Visera mengisyaratkan agar tidak membuat suara yang keras.
Drrrakk.. Drrakk.. Drrakk…
Sementara manusia besi itu membawa Lizo yang berusaha melepaskan diri menuju belakang dinding, Visera memeriksa setiap laci parabot.
Harusnya mereka punya satu! Dimana.. dimana..!
Dilihatnya Lizo yang sudah berhenti melawan. Ketika paniknya semakin menjadi, ia tiba-tiba teringat akan suatu hal.
“Dan..! Bawa sentermu ga..?!” bisik Visera menghampiri Dan.
“A-ada, ada..! Nih!”
Dengan panik Dan merogoh saku celananya. Begitu menerima benda berbentuk silinder kecil itu, Visera langsung berlari ke arah Lizo.
Jalannya lambat.. berarti dia belum memakai pelumas sendinya..
Sambil mengatur intensitas cahaya senter menjadi maksimum, Visera belari secepat mungkin dan langsung mengarahkan sinar senter ke mata manusia besi itu. Sesuai dugaan, tangan besi itu melepas cengkramannya dan langsung menutupi matanya. Dan segera menghampiri untuk membawa Lizo yang sudah tak sadarkan diri, sementara Visera terus mengarahkan senternya ke manusia besi tersebut ke arah lain.
“Bawa dulu Lizo keluar! Nanti aku menyusul!” ucap Visera menggunakan gerakan bibir. Dan mengangguk tanda mengerti.
Drrrakk Drrakk Drrakk..!! Langkah manusia besi itu menjadi cepat.
Ayo, apa yang kau takutkan Visera?
Drrrakk Drrakk Drrakk..!!
Ini kesempatanmu…
BRAK! PRANG! Krompyang-!
Kedua tangan besi membabi buta dan menghancurkan barang-barang yang tersusun rapi di atas meja. Kini, ruangan itu menjadi seperti kapal pecah lagi.
Ceklek!
“Vis, cepat!” Mendengar suara itu, Visera tersentak. Ia mematikan senter dan langsung berlari lurus ke arah depannya.
Drrrakk Drrakk Drrakk Drrakk Drrakk..!!
Manusia besi itu persis seperti monster sekarang!
Tepat ketika sampai di depan pintu, Visera berbalik dan kembali menyalakan senter. Alhasil, pergerakan monster itu dapat terhenti sebentar dan ketiganya berhasil keluar dari ruangan dengan selamat. Namun, begitu sampai di luar, seluruh mata menatap tajam ke arah ketiganya.
“Dia sekarang tidak mungkin bisa membuka pintu sendiri, tapi nanti…” ucap Visera dengan napas yang tersengal. Dan membuka mulutnya–hendak mengatakan seuuatu, tetapi Visera mencegahnya. “Simpan dulu pertanyaanmu. Ayo balik dulu..” Visera mengangkat tangan kiri Lizo untuk dipikul.
“Nggak, bukan itu.”
“Terus?”
“Kita kan belum dibayar..."
---------------
Bersambung…
Tap.. tap.. tap.. Daritadi dia ga merespon apa-apa… ucap Dan dalam hati sambil melirik ke arah kanannya beberapa kali. Membawa Lizo yang masih tidak sadarkan diri, Dan dan Visera telah sampai di lorong penghubung Primus dengan Secundus. Dia terlihat seperti sudah tahu cara untuk menghentikan Kak Goden tadi itu. Aku yakin tadi itu… dia mengetahui sesuatu.. dia pasti mengetahui sesuatu! Apa… dia pernah ketemu AMAH yang menggila seperti Kak Goden tadi? Dan melirik kanan-nya lagi. Kalau dipikir, aku masih tidak tahu apapun tentangnya... Tentang perempuan ini... yang tiba-tiba muncul hari itu entah darimana. | Tingtung tingtung tingtung..! “Kak..! Kak..!” teriak Dan di depan pintu ruangan J3. Dododok! Ceklek.. “Kau mau menghancurkan bel dan pintuku?” Seorang wanita dewasa yang mengenakan piyama muncul dar
-Lantai 11- Ting! Pintu lift terbuka, para penumpang yang berada di dalamnya mengantri untuk keluar. Yang pertama adalah dua orang pria dewasa bertubuh tegap dan kekar. Kemudian disusul oleh tiga orang wanita. Samala–yang di kiri, memiliki sorot mata tajam dan postur tubuh tegap sepeti dua pria sebelumnya, sedangkan Kimberly–yang di kanan, memiliki sorot mata yang sayu dan terlihat sangat feminim seperti wanita pada umumnya. Keempatnya sama-sama mengiringi satu orang wanita yang kini telah berjalan di depan dan di samping mereka. Wanita tersebut mengenakan setelan blazer berwarna biru dongker yang dipadukan dengan kaus dan sepatu oxford hitam. Kalau bukan karena rambutnya yang telah memutih sebagian, orang-orang pasti akan sangat terkejut ketika mengetahui fakta bahwa usianya hampir menginjak kepala enam. “Memindai Identity Chip.” Terdengar sebuah suara mesin yang khas dari speaker yang ada di langit-langit.
Hari ini hari keenam setelah kejadian di ruangan Secundus F6. Setelah memastikan Lizo mendapat perawatan di Lantai Medis lima hari yang lalu, Dan dan aku kembali menjalani rutinitas kami masing-masing seperti biasa.|-Lantai 75-Pip! “Silahkan masuk.”Terdengar suara bunyi mesin setiap kali terdeteksi keberadaan Identity Chip di antaranya. Pengunjung yang hendak masuk harus meletakkan terlebih dahulu lengan kanannya ke antara dua batang besi yang berdiri di atas sebuah meja itu. Tentu saja mereka yang merupakan AMAH tidak perlu mengikuti prosedur ini.Pip! “Silahkan masuk.”Hari ini juga ada petugasnya ya… pikir Visera dalam hati sambil mengintip-intip dari balik dinding. Kemudian dari dalam ranselnya, iamengeluarkan sebuah gelang tipis berwarna hitam. Dipasangnya gelang tersebut ke lengan kanannya. Lalu ia mengenakan jaket kuning khas miliknya sembari berj
-Lantai 132, reaktor pendingin V- Cssshhhh…! Bunyi uap yang keluar dari sebuah mesin besar menuju sebuah pipa besi lebar yang mengarah ke atas. Tidak ada yang pernah melihat ujungnya, termasuk mereka yang sudah lama bekerja di sana. Namun, dalam buku manual dijelaskan bahwa ujung pipa yang lainnya berada di atas permukaan bumi. Dong..! Dong..! Dong..! Mendengar alarm khas itu, puluhan petugas yang tersebar dalam lantai tersebut langsung meninggalkan tempatnya dan bergegas menuju satu tempat untuk membuat tiga bersaf barisan. Setelah semuanya bergeming di barisan masing-masing, seorang pria paruh baya berjalan keluar dari ruangan yang ada di hadapan mereka. Tidak ada yang berani menatap matanya langsung. Ketika telah berdiri tepat di depan barisan, pria itu berdeham. “Mulai laporannya.” “Siap! Unit A, normal!’ “Unit B, normal!” “Unit C, normal!” “Unit D, normal!” Begitu seterusnya hingga
Syuush! Trang! Sebilah pisau melesat melewati pelipis kirinya dan terjatuh akibat berbenturan dengan pintu. Saat itu belumlah lima menit sedari ia sampai di dalam ruangan blok H nomor 7. “Sa, sambutan yang sangat ramah y-ya, Sa-sangria..!” ucapnya tergagap karena masih mencerna situasi. Cimot? Cimot..? Cimot..??!! Dengan panik ia memanggil rekan suaranya yang tidak memiliki raga itu. Namun tidak ada jawaban. Pandangannya pun mulai menjadi waspada akan perempuan yang berdiri di hadapannya. “Kamu pikir aku akan mempercayaimu semudah itu?” tanya Visera sinis. Tangannya memegang ujung benang yang terikat pada ujung pisau tadi. Sambil menggulung benangnya, ia berjalan mendekat. Dan ketika pisau telah kembali berada di tangannya, ia menempelkan mata pisau tersebut ke leher wanita yang tadi menjadi salah satu pelanggannya itu. Normalnya seorang perempuan pasti sudah teriak ketakutan... pikir Visera. “Aku tanya sekali lagi,
Tes… tes… tes… Satu per satu tetesan air infus jatuh memasuki selang yang terhubung dengan lengan kanan bawahnya. Hari ini genap sudah seminggu Lizo dirawat. Selama tujuh hari itu juga, Megan lah yang secara rutin menjenguk teman dari sepupu jauhnya itu. Grrekk!! Dengan santai Dan membuka pintu gesernya. “Kamu ini buka pintu kenceng-kenceng…! Nanti Lizo kebangun..!” ujar Megan dari sofa di sudut ruangan. Terlihat sebuah jendela hologram yang memuat sebuah dokumen berisi penuh kalimat di depan matanya. “Lho? Dia tidur lagi?” tanya Dan menutup pintu ruangan kembali. Sekitar dua jam yang lalu Megan menghubunginya dan mengatakan kalau Lizo telah sadarkan diri. Di saat itu juga Dan secepat kilat mengganti pakaiannya dan bergegas menuju lantai tiga puluh enam, lantai medis tingkat tiga. “Iya, sehabis makan tadi. Sekarang sudah setengah jam. Waktu bangun tadi katanya kaki tangan badannya pegel semua, jadi si dokter nyuruh di
-Ruang Sondaica, dunia virtual- “Nah…” “Bisa kita mulai laporannya?” Semua yang ada di ruangan, baik yang sedang dibisukan maupun yang tidak, mengangguk tanda setuju. “Baiklah, kalau begitu mari kita mulai dengarkan laporannya dari…” matanya menangkap seorang peserta yang baru pertama kali ini ditemui secara langsung olehnya. Walaupun tidak bisa dibilang secara langsung karena sekarang mereka sedang berada di dalam dunia maya, sih. “Ah, Mister Osmus! Selamat datang di Konferensi Majelis Triwulan! Terimakasih telah setuju untuk bergabung dengan pemerintahan. Anda tentu telah diinformasikan mengenai prosedur dari kegiatan rapat ini bukan? Waktu dan tempat saya persilahkan…!” Sambutan dari Madame Dendrich itu membuat beberapa peserta lain begidik merinding. “Hyii! Benar-benar tidak dikasih napas..!” Sementara itu, peserta yang dipanggil beranjak dari duduknya dengan tetap mempertahankan senyuman bisnisnya. “Terima
-ruang rahasia 11, dunia virtual- “Bisa memindahkan jiwa?” ujar Mister Gray takjub. “Dapat diinterpretasikan demikian. Namun, fungsi utama dari Tempesse ini ialah untuk menyimpan, untuk mempertahankan, satu jiwa makhluk hidup-” jawab Miss Briece. “baik itu hewan maupun manusia…” lanjutnya. “……” Ruangan menjadi sunyi selama beberapa saat. Entah itu Mister Henders ataupun Mister Gray, keduanya menatap benda yang berotasi konstan itu lekat-lekat. Bahkan Samala sampai membelalakkan matanya. Namun tidak dengan satu orang. “Hewan maupun manusia…? Jiwa siapa yang berhasil kalian pindahkan?" “Baik, menjawab pertanyaan Madame Dendrich, setelah percobaan menggunakan lebah dan kupu-kupu itu berhasil, kami mulai merencanakan penelitian ini kepada manusia. Butuh waktu berminggu-minggu untuk menemukan relawannya. Dan beruntungnya, setelah tiga hari relawan pertama berhasil kami temukan, salah seorang pasien di lantai medis dinyatakan wafat.
Fungus Co. , salah satu dari lima perusahaan terbesar se-nasional yang bergerak di bidang jasa. Didirikan oleh seorang pebisnis misterius yang sampai saat ini hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Jasa yang mereka tawarkan ini sedikit unik. Meskipun memiliki ribuan pekerja (termasuk AMAH & AMAPOB), tetapi mereka hanya melayani satu jenis layanan, yakni membasmi musuh-musuh kecil yang terus muncul di sepanjang dinding-dinding bunker yang lazim disebut jamur. Memang tersebut terdengar sederhana, bahkan sepele. Namun, mengingat maraknya pertumbuhan jamur di dinding-dinding bunker yang terus menerus muncul semenjak tiga puluh tahun yang lalu membuat mereka selalu mendapatkan permintaan setiap harinya. Entah jam berapa pun itu. Budi, salah satu pekerja di Fungus Co., sedang melaksanakan pekerjaannya. Namun, ruangan tempat ia berada saat itu sangat gelap meskipun waktu menunjukkan jam satu siang. Hanya ada lampu-lampu kecil berwarna merah yang memiliki jarak sejauh empat meter dengan
-Lantai 33, kediaman utama Gray, ruang tidur tamu- Klang! “Aduh, jatuh deh, haha!” Tuan Anomen tertawa canggung sembari membungkuk untuk mengambil sendok yang terjatuh. “Sepertinya kita harus menambahkan fitur di bagian telapak tangan. Para AMAH masih susah untuk menggenggam benda-benda yang kecil.” ujarnya. “Apa karena aku sudah terlalu tua…?” lanjutnya bergumam. “Toras!” serunya. Robot berang-berang yang berdiri di sampingnya sedari tadi langsung menyala kembali. “Ya, tuan?” “Ambilkan sendok yang baru.” “Baik, tuan.” Kemudian robot itu langsung bergerak meninggalkan ruangan. “Kita tunggu dulu ya…!” ucap Tuan Anomen menoleh ke arah kirinya. Rosa yang sedari tadi menyaksikan monolog yang tidak bisa dipahaminya itu hanya mengangguk pelan. . Beberapa menit kemudian… . Wungg…. Pintu terbuka. “Ini, tuan.” Robot berang-berang itu membuka bagian perutnya dan memperlihatkan sebuah ruang kecil yang menampung sebuah sendok di dalamnya. Tuan Anomen langsung mengambil dan menyendok
-Lantai 130, ruang kelas- Di atas tempat duduknya Visera termenung. Saat itu, waktu terasa sangat amat lambat baginya. Entah sudah berapa kali ia memeriksa jadwal pembelajarannya itu- berharap agar jam istirahat segera datang. Penjelasan yang dilontarkan oleh gurunya pun sama sekali tidak ada yang masuk di otaknya. Tau gitu aku telat-telatin aja tadi… batinnya yang tadi terburu-buru karena bangun kesiangan. Ia menoleh ke sebelah kiri dan kanannya. Pantas saja banyak kursi yang kosong- Eh, ngga sih, cuma delapan… Mana gurunya cuma rekaman lagi…! Canggih apanya! Ini mah namanya pembodohan! batinnya menatap sinis hologram bergerak yang menyerupai seorang wanita dewasa itu. Yaah, wajar sih. Toh biaya pembelajarannya gratis. Mana mungkin mereka menyediakan pengajar yang berpendidikan tinggi. Memutar rekaman materi dari internet yang sudah diubah ke bentuk hologram saja sudah cukup. Memang cara yang jenius, paman Gray. “Demikian pemaparan materi untuk hari ini, selanjutnya kita akan m
TheBarr : Sebelum melewati perbatasan lantai, jangan lupa ganti jaringanmu ke privat. Sangria : roger. | Klang! "Ups.." Untung di atas tempat yang sepi... batin Visera menghela napas. Di dalam terowongan setinggi 60 cm itu ia merangkak. Beberapa barang bawaannya ia rekatkan erat pada tubuhnya. Dengan penuh hati-hati, ia bergerak menuju ke atas sembari sesekali memeriksa peta hasil tiruannya itu. Sepuluh meter lagi.... batinnya mengusap keringat dingin yang mengalir di pelipisnya. [ Berhasil tersambung ke jaringan Privat. ] Ting! TheBarr : Ikuti saja navigasi ini [ TheBarr mengirimkan berkas ] Ia menekan dokumen itu dan muncul sebuah layar baru yang berisikan peta dari area yang telah, sedang, dan akan dilaluinya tersebut, termasuk tempat yang menjadi tujuan perjalanannya. TheBarr : kalau ada gang yang berkedap-kedip merah, itu tandanya ada orang lain di sana. Orang... Lain? Visera terdiam selama beberapa saat. Oh, para pekerja... (tukang AC seperti Dan) Kemudian ia mela
Jika ada suatu gagasan dikumandangkan ke orang banyak… Menurutmu apa yang akan terjadi setelahnya? | “…kembali ke permukaan, bukanlah sekedar angan-angan belaka lagi…” Semuanya terdiam, membuat Tuan Anomen menjadi sedikit ragu akan pendapat semuanya tentang gagasan darinya itu, terlebih ketika ia menatap ketiga orang yang sama sekali tidak disangka-sangka olehnya sebelumnya untuk datang menghadiri pertemuan itu. Prok… prok…! Tiba-tiba terdengar suara tepukan dari seseorang. Lantas yang lainnya pun ikut bertepuk tangan. “Ide yang sangat luar biasa, Tuan Anomen! Brilliant! Bukan begitu, para hadirin sekalian??” sahut Tuan Gray mengambil alih panggung sementara yang lainnya sibuk berbisik-bisik ke kanan dan kirinya. “…Saya paham, beberapa di antara anda sekalian pasti masih mempertimbangkan apakah hidup di permukaan dapat menjamin kehidupan yang aman dan nyaman seperti dulu ataukah sebaliknya.” Tuan Anomen kembali buka suara. “Tapi bukan berarti keraguan itu harus dijadikan halan
Hari itu, aku menyaksikan semuanya dari dalam ventilasi… . . . Duk… duk… duk… Dengan merangkak, ia terus maju melewati terowongan yang tingginya hanya sebatas 60 cm itu. Mata ambernya terlihat mengkilap setiap kali melewati cahaya menembus penutup ventilasi di bawahnya. Klang! “Ups-!” Tidak sengaja lututnya mengenai bagian besi yang mencembung keluar. Ia langsung terdiam, berusaha mendengar kalau-kalau ada suara lain dari arah ujung depan dan belakangnya. Merasa tidak ada suara apapun, ia pun lanjut merangkak ke depan hingga menemukan satu penutup ventilasi lain yang menjadi tempat tujuannya itu. Duk… Ia merendahkan tubuhnya untuk melihat sisi bagian yang lain dengan jelas. Terlihat sekumpulan beberapa orang dewasa yang sedang berdiri di bawah sebuah panggung. Beberapa dari mereka tengah berbincang dan tertawa. Salah satu suara terdengar familiar di telinganya. ‘Ah, itu papa…’ pikirnya. Begitu menemukan sosok ayahnya yang tengah tersenyum lebar di antara barisan tersenyum, i
-Lantai 44, pintu masuk bagian Barat- Yo, kembali bersama denganku, "(-%&!. Ga kebaca kan? Itu karena namaku… Ra. ha. si. a~ “KyaaAAHahahaHAHA!” tawanya tanpa sadar, membuat pengunjung yang sedang mengantri di kiri, kanan, depan, dan belakangnya menoleh ke arahnya. Ia pun langsung terdiam dan menunduk malu. Huff… Biar kuulang…. Yo! Kembali lagi Bersama denganku, sss… Satu! Ya, Satu! Hari ini H-1 sebelum misi kesekian kami dimulai~! Jadi waktunya untuk apa itu…? ….Ya! Waktunya untuk menghambur-hamburkan uang sebelum menerima gaji yang akan datang! Dan karena aku termasuk senior paling senior di sini, ekhem. Aku jadi diberi wewenang untuk belanja di lantai atas deh! Pip! “Silahkan masuk.” Nah… Kita mulai dari mana ya… Matanya bergerak kesana dan kemari, melirik setiap toko yang berlomba-lomba memasarkan barang dagangannya. Setiap toko setidaknya memiliki satu alat ini yang memiliki fungsi untuk menampilkan produk-produk penjualan mereka dalam bentuk hologram. Baginya, ba
Dor! Suara tembakan itu cukup untuk membuat seluruh pasang mata tertuju ke arah belakangnya. Seorang siswa yang berada di barisan paling belakang berdiri mematung dan menatap balik setiap pasang mata yang tertuju ke arahnya dengan raut wajah yang cemas. Beberapa orang siswa di samping kiri dan kanannya terlihat sedang menahan tawa, dan di depan ketika terpampang sebuah layar hologram yang menunjukkan tampilan seperti… game online… Healah… cuma game toh…. batin Rosa mengelus dadanya, merasa lega karena pemikirannya ternyata hanyalah sebatas pemikiran belaka. Kemudian, ia pun lanjut menuruni kendaraan secara perlahan dan bergabung dengan para siswa siswi yang telah berbaris di depan sebuah pintu besar dan tinggi. “Wuah… megah sekali…” gumamnya secara tidak sadar. “-iya, kediaman daerah Quartus memang berbeda ya!” celetuk siswi di sampingnya, orang yang sama dengan siswi yang duduk di sebelahnya tadi. Rosa hanya membalas “O, oh…”. Quartus… Berarti lantai ini dekat dengan lantai bas
-Lantai 33, kediaman Gray- “Memindai Identity Chip.” Nguunngg… “Memindai sidik jari.” Nguunngg… “Memindai retina.” Nguunngg… “Pemindaian berhasil. Silahkan masuk.” Tap... tap... tap… Suara langkah kaki yang berjalan hingga ke tengah-tengah ruangan. “Lapor, tuan.” ujar seorang pria berjas hitam dengan atribut-atribut yang lengkap. “Hmm.” jawab seorang pria lain yang tak lain dan tak bukan adalah sang tuan yang dimaksud tersebut. Dengan menggenggam segelas minuman yang berwarna kebiru-biruan, ia bersandar di atas sebuah kursi. “Berikut laporan yang barusan telah kami terima dari Mister Osmus…” lanjut bawahannya itu yang kemudian mengeluarkan sebuah layar hologram dan mengantarkan layar tersebut hingga ke hadapan matanya. “…..” ia mengerutkan dahinya. “Sudah berapa kali kubilang, jauhkan sedikit layarmu itu…!” Mendengar perintah itu, bawahannya langsung menggeser layar tersebut menjauhi matanya. “Baik. Mohon maaf, tuan.” Mood-nya sedang buruk… “…..” Sang tuan menatap isi l