Taman Air Mancur, nama dari ruangan seluas 418 meter itu. Bentuknya setengah lingkaran dan jarak antara lantai ke atap kira-kira delapan meter. Puluhan lampu menyinari seisi ruangan. Sesuai namanya, di pusat ruangan berdiri sebuah air mancur besar yang khas. Memang tempat yang tepat untuk bermain dan menghirup udara segar. Banyak anak-anak berkunjung ke tempat ini bersama dengan orang tua atau pengasuh mereka.
“Satu…dua…tiga…”
“Aah! Mama ngintipp! Ulang itungnya!” teriak seorang anak perempuan yang usianya masih bisa dihitung dengan jari.
“Iya.. Iya.. ulang nih ya..? Satu.. dua.. jangan jauh-jauh nyumputnya! Empat..” ujar wanita muda yang merupakan ibu kandung dari anak tersebut.
Kalo ga jauh, nanti cepet ketauan lah! balas anak itu dalam hati sambil berlari. Melewati jalan setapak berkelok-kelok, ia berhasil menemukan tempat persembunyiannya, di balik semak-semak.
Satu menit.. dua menit.. tiga menit..
Hihihi.. mama pasti susah nyarinya! batinnya kegirangan. Lalu, ia duduk di atas rerumputan yang berwarna senada dengan pakaiannya. “Uuh.. mama kok lama sih..” gumamnya ketika menyadari bahwa waktu telah lewat beberapa saat. Ia mendongak. Terlihat seekor kupu-kupu sedang terbang agak jauh di atasnya.
“Biru langit…”
“Visera..! Viseraa..!” teriak sang ibu yang masih mencari di sekitar tempat berdirinya tadi.
“Lihai juga ya sembunyinya..!” Pujian yang sia-sia karena tidak mungkin terdengar sampai ke tempat Visera bersembunyi.
Tu anak, dibilangin jangan jauh-jauh.. Masih aja..! Haduu.. gerutu sang ibu dalam hati. Samar-samar dari arah kirinya, terdengar suara tangisan yang terdengar familiar.
“Visera?!”
Segera ia berlari menuju sumber suara. Kemudian, dari balik semak-semak muncul Visera yang sedang menangis. Tangan kirinya menggenggam sesuatu.
“Mamaa…!!” teriak Visera berlari ke pelukan ibunya sambil terisak-isak.
“Kenapa..? Kenapa..?!” tanya sang ibu gelagapan.
“Ma… Hic! Mati…” Visera membuka tangan kirinya dan memperlihatkan seekor kupu-kupu yang sudah tidak bernyawa dengan kedua sayap yang patah.
“Hii!!” pekik sang ibu melihat itu.
“Hii!!” Visera ikut menjerit dan melempar bangkai itu ke tanah.
“Lah, cuma kupu-kupu toh.. Hahaha! Kirain mama mah apa..! Dah... jangan nangis ah..!” ucap sang ibu mengelap tangan Visera sebelum memberikan botol air minum. Kemudian ia menggandeng tangannya anaknya dan mulai berjalan.
“Ma, kenapa ada warna biru langit?”
“Hm? Ada dong.. ada biru langit, biru dongker..”
“Berarti ada merah langit, merah dongker?”
“Haha! Gaada merah langit, sayang..”
“Kenapa ga ada?”
“Karena langit itu warna biru..”
“Langit itu sebenernya apa?”
“Langit itu, ya… langit! Ahahaha..!” Mendengar jawaban itu, Visera menunjukkan wajah kusutnya.
“Su-susah dijelasinnya sih! Harus liat langsung…” Kali ini wajahnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat.
“Bisa liat langsung..?! Dimana!?”
PATS! Secara serempak semua lampu utama meredup dan digantikan oleh lampu taman.
“Pas banget! Nah, Visera.. kalau malem kira-kira langit itu kayak begitu..” Sang ibu mendongak dan menunjuk atap ruangan. Cahaya-cahaya kecil menyala bergantian, menciptakan kerlipan-kerlipan yang indah.
“Wah….” Sepasang matanya terpaku pada satu titik.
“Lho, katanya warna biru..?”
“Haha! Kan mama bilang kalau malem, sayang… Yuk ah, cepetan! Nanti ada yang ngoceh..!” Keduanya berlari-lari kecil menyebrangi jembatan.
Sesampainya di halaman parkir yang luas, sang ibu menoleh kesana kemari–mencari kendaraan miliknya.
“Disini ma! Lupa ya..?!” teriak Visera berlari mendekati salah satu kendaraan yang terparkir. Kurang tepat jika menyebut kendaraan tersebut ‘melayang’ di atas tanah ketika gaya magnetlah yang bekerja. Menggunakan sistem keamaan yang ketat–sensor telapak tangan dan/atau retina sebagai cara untuk mengaksesnya, kendaraan otonom yang cukup untuk dinaiki dua sampai tiga orang ini pun telah dimiliki oleh hampir seluruh penduduk kalangan menengah ke atas.
“Mimo! Pulang ke rumah!” ujar Visera sesaat setelah pintu kendaraan tertutup.
“Perintah terkonfirmasi. Tujuan, lantai Anomen.” jawab sebuah suara mesin yang khas. Kendaraan pun mulai melaju ke arah timur laut. Setelah melewati gerbang keluar, pemandangan yang terlihat di luar jendela hanyalah jalanan menanjak berwarna abu-abu yang berporos pada satu tabung silinder besar.
“Memindai Identity Chip. Mohon jangan bergerak dalam tiga.. dua.. satu..” Sebuah suara yang sama. Namun, terdengar dari luar kendaraan.
“Pemindaian selesai. Selamat datang Nyonya dan Nona kecil Anomen.” Kemudian kendaraan kembali melaju dan berhenti tepat di depan sebuah pintu yang cukup megah.
“Kenapa aku selalu disebut nona kecil…!?” teriak Visera kala menuruni kendaraan.
“Karena Visera masih kecil..?” balas sang ibu berjalan menuju pintu. Ia mendekatkan pergelangan tangan kirinya ke sebuah mesin. Pintu pun terbuka.
“Aku bukan anak kecil lagii..! Ayo kita ubah suaranya hosiii, ayo ayo ayo..!!”
“Oho? Ada yang membuat nona kecil marah lagi sepertinya??” sahut seorang pria dari balik pintu.
“Papaa!!” Visera berlari mendekati ayahnya itu.
“Kapan aku tidak dipanggil nona kecil lagi??” lanjutnya.
“Hhmm… kapan yaa… mungkin ketika tinggimu sudah segini?” Sang ayah mengangkat telapak tangannya setinggi bahu istrinya.
“Sudah sudah, ayo mandi dulu. Yaampun.. lihat rokmu, kok bisa kotor begini..?! Aiyah, besok besok jangan duduk di tanah lagi!” celoteh ibunya yang kemudian menggandeng tangannya menuju kamar mandi.
***
“Nah.. udah bersih, wangi, ini baru anak mama-!” ujar sang ibu setelah selesai menguncir rambut anaknya itu.
“Yok kita makan!” lanjutnya.
“Bentar.. mau nulis dulu..!” balas si anak berlari ke meja belajarnya. Ia mengambil sebatang pensil dan mulai menulis di bukunya.
“Yasudah.. Jangan lama-lama, nanti papa mama tinggalin lho..!” ucapnya. Ia tahu betul bahwa anaknya itu pasti menulis pengalaman uniknya hari ini. Tanpa mendengar jawaban, ia segera keluar dari ruangan dan berjalan menuju anak tangga.
“Mana Visera?” tanya suaminya yang langsung bangkit dari duduk untuk menarik kursi miliknya.
“Biasalah… nulis.” jawabnya menduduki kursi. Kemudian tidak ada obrolan lain hingga beberapa menit berlalu dan Visera tak kunjung datang.
“Aku ke atas dulu,” ujarnya berdiri dan meninggalkan ruang makan menuju tangga. Sesampainya di atas, ia langsung membuka pintu kamarnya dan mendapati anaknya yang sedang terlelap di atas tempat tidurnya.
“Haha! Kecapekan ya..?” ujar sang ibu tertawa kecil.
“Selamat tidur, sayang..” Bersamaan dengan itu, sebuah usapan tangan yang lembut dapat ia rasakan di dahinya.
***
-Primus, wilayah tempat tinggal bintang satu-
PLAK! Sebuah tamparan terasa di pipinya.
“Nah, akhirnya bangun juga!” terdengar suara seorang laki-laki muda dari arah sampingnya.
“Huh..? Dan..?” gumamnya setengah sadar.
“Kenapa? Gasuka kalau dibangunin? Mohon maaf nona, tapi kalau bulan ini mau makan kenyang, kita harus cepet-cepet pergi sekarang. Ayo, cepat!” ujar lelaki bernama Dan itu melemparkan sebuah jaket kuning dan langsung berlari keluar ruangan. Tanpa babibu, Visera langsung mengenakan jaket, menarik ranselnya, dan mulai berlari menyusul Dan keluar rumah. Begitu sampai di jalanan setapak depan rumah, keduanya berdesak-desakkan dengan warga lain yang juga menuju tempat tujuan yang sama dengan mereka, balai desa. Terlihat lima antrian panjang di halaman depan balai desa. Dari anak-anak hingga lansia, semuanya masuk ke dalam barisan.
“Harap antri dengan tenang..! Se-semuanya pasti kebagian! A-antri dengan tenang…!” teriak petugas berseragam yang mulai kewalahan dalam mengkondisikan antrian.
“Woi! Jangan dorong-dorong!”
“Antri yang bener dikit bisa ga sih?!”
“Hoi, siapa tadi yang injek kaki gua..?!”
“Itu yang di depan cepetan dikit napa?!”
Berisik…
DOOM! Suara hantaman yang keras membungkam setiap mulut yang berbicara. Seluruh mata langsung menuju ke arah sumber suara. “Mohon antri dengan tenang.” ucap seorang pria berseragam khusus yang berdiri di depan pintu masuk. Suaranya terdengar dengan jelas dan lantang meskipun ia tidak berteriak. Berkat itu, antrian menjadi lebih rapi dan kondusif.
“Silahkan Nona, pilihlah sesuai yang anda perlukan!” sambut seorang petugas menyodorkan sebuah tablet elektronik berisi produk-produk makanan.
“Hmm.. beras yang paling penting.. lalu garam.. gula..” Dengan lincah jemari Dan menekan gambar produk satu demi satu.
“Kentang jangan lupa.. telur.. selada.. Kau mau yang mana, Vis?” Mendengar itu, Visera langsung menekan salah satu gambar.
PIP! PIP.. PIP.. PIP..!
***
Di bagian samping gedung balai desa, terlihat banyak para warga berjalan meninggalkan tempat dengan barang bawaan mereka masing-masing.
“Dan… kuat?” tanya Visera dalam perjalanan pulang.
“Segini sih kuat. Untung kau bawa ranselmu, kalau tidak aku terpaksa meminjam troli dan kembali ke sana lagi nanti..” jawab Dan yang memanggul dua buah karung besar.
“Kau sendiri.. berat ga?” lanjutnya. Visera menggeleng. Ia mengeluarkan sepotong ubi ungu dari kantung kertas yang dipegangnya sedari tadi dan mulai memakannya, hingga ia menyadari bahwa sepasang mata memperhatikan ubi miliknya sedari tadi.
“Nih, makan,” ujar Visera menyodorkan ubinya ke Dan.
“Eh engga, kau saja yang ma-”
Kruyukk… Bunyi kontraksi dinding lambung dan usus halus milik Dan.
“Makan.” paksa Visera.
“Iya, iya..” jawab Dan yang kemudian melahap ubi dalam satu gigitan besar.
“Enak?” Dan mengangguk.
“Lagi?” Dan menggeleng.
Dia ini sengaja atau bagaimana sih..??!! teriak Dan dalam hati.
“Dan..” Dan langsung menoleh.
“Bunyi yang keras tadi itu.. bunyi apa?”
“Hmm... kau ingat petugas yang tinggi dan besar tadi?” Visera mengangguk.
“Itu suara hentakan kakinya.”
“Hentakan kaki... seperti ini?” DAK! Visera menghentakkan kakinya ke lantai.
“Iya, seperti itu..!” Dan menyeringai.
“Tapi kenapa bunyinya tidak mirip?”
“Karena…”
“Oh, kakinya sudah diganti jadi robot ya?”
“Kau menyebutnya robot?”
“Memangnya sebutannya apa?”
“Kalau kaki doang sih.. Advanced Meta Armored Part of Body namanya..! AMAPOB!”
“Kepanjangan. Kaki robot saja.”
“Haha! Yaa, ya.. baiklah, terserah anda, Nona.”
Tak berapa lama hingga keduanya sampai di depan rumah. Setelah menata barang-barang bawaan, keduanya bersiap untuk memasak makan siang. “Dan,” sahut Visera. “Kenapa lagi..” jawab Dan dari balik pintu lemari.
“Garamnya… ketinggalan.”
---------------
Bersambung…
Namanya Dan. Orang pertama yang kutemui ketika berhasil sampai di lantai ini. | “Kkhh!” Satu per satu tetesan darah jatuh ke lantai. Gapapa.. ini ga sakit.. ini.. ga.. sakit.. Ditekannya kuat-kuat tangan kanannya itu dengan kain. “Darahnya akan berhenti.. darahnya pasti berhenti..” gumamnya hingga kain yang ia gunakan itu memerah hampir seluruhnya. Krriett… Perlahan pintu yang ada di hadapannya terbuka. Klak! Lampu pun menyala, menerangi seisi ruangan, termasuk dirinya dan seorang lelaki yang baru saja masuk itu. “Ha?” ucap lelaki itu dengan wajah bingungnya. Ah.. Apakah aku akan mati..? Penglihatannya menggelap dan tubuhnya terjatuh ke lantai. Sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, samar-samar ia mendengar sebuah suara memanggil namanya. *** “Haa… pada akhirnya garam kita gabisa diambil lagi…” gumam Dan
Tap.. tap.. tap.. Daritadi dia ga merespon apa-apa… ucap Dan dalam hati sambil melirik ke arah kanannya beberapa kali. Membawa Lizo yang masih tidak sadarkan diri, Dan dan Visera telah sampai di lorong penghubung Primus dengan Secundus. Dia terlihat seperti sudah tahu cara untuk menghentikan Kak Goden tadi itu. Aku yakin tadi itu… dia mengetahui sesuatu.. dia pasti mengetahui sesuatu! Apa… dia pernah ketemu AMAH yang menggila seperti Kak Goden tadi? Dan melirik kanan-nya lagi. Kalau dipikir, aku masih tidak tahu apapun tentangnya... Tentang perempuan ini... yang tiba-tiba muncul hari itu entah darimana. | Tingtung tingtung tingtung..! “Kak..! Kak..!” teriak Dan di depan pintu ruangan J3. Dododok! Ceklek.. “Kau mau menghancurkan bel dan pintuku?” Seorang wanita dewasa yang mengenakan piyama muncul dar
-Lantai 11- Ting! Pintu lift terbuka, para penumpang yang berada di dalamnya mengantri untuk keluar. Yang pertama adalah dua orang pria dewasa bertubuh tegap dan kekar. Kemudian disusul oleh tiga orang wanita. Samala–yang di kiri, memiliki sorot mata tajam dan postur tubuh tegap sepeti dua pria sebelumnya, sedangkan Kimberly–yang di kanan, memiliki sorot mata yang sayu dan terlihat sangat feminim seperti wanita pada umumnya. Keempatnya sama-sama mengiringi satu orang wanita yang kini telah berjalan di depan dan di samping mereka. Wanita tersebut mengenakan setelan blazer berwarna biru dongker yang dipadukan dengan kaus dan sepatu oxford hitam. Kalau bukan karena rambutnya yang telah memutih sebagian, orang-orang pasti akan sangat terkejut ketika mengetahui fakta bahwa usianya hampir menginjak kepala enam. “Memindai Identity Chip.” Terdengar sebuah suara mesin yang khas dari speaker yang ada di langit-langit.
Hari ini hari keenam setelah kejadian di ruangan Secundus F6. Setelah memastikan Lizo mendapat perawatan di Lantai Medis lima hari yang lalu, Dan dan aku kembali menjalani rutinitas kami masing-masing seperti biasa.|-Lantai 75-Pip! “Silahkan masuk.”Terdengar suara bunyi mesin setiap kali terdeteksi keberadaan Identity Chip di antaranya. Pengunjung yang hendak masuk harus meletakkan terlebih dahulu lengan kanannya ke antara dua batang besi yang berdiri di atas sebuah meja itu. Tentu saja mereka yang merupakan AMAH tidak perlu mengikuti prosedur ini.Pip! “Silahkan masuk.”Hari ini juga ada petugasnya ya… pikir Visera dalam hati sambil mengintip-intip dari balik dinding. Kemudian dari dalam ranselnya, iamengeluarkan sebuah gelang tipis berwarna hitam. Dipasangnya gelang tersebut ke lengan kanannya. Lalu ia mengenakan jaket kuning khas miliknya sembari berj
-Lantai 132, reaktor pendingin V- Cssshhhh…! Bunyi uap yang keluar dari sebuah mesin besar menuju sebuah pipa besi lebar yang mengarah ke atas. Tidak ada yang pernah melihat ujungnya, termasuk mereka yang sudah lama bekerja di sana. Namun, dalam buku manual dijelaskan bahwa ujung pipa yang lainnya berada di atas permukaan bumi. Dong..! Dong..! Dong..! Mendengar alarm khas itu, puluhan petugas yang tersebar dalam lantai tersebut langsung meninggalkan tempatnya dan bergegas menuju satu tempat untuk membuat tiga bersaf barisan. Setelah semuanya bergeming di barisan masing-masing, seorang pria paruh baya berjalan keluar dari ruangan yang ada di hadapan mereka. Tidak ada yang berani menatap matanya langsung. Ketika telah berdiri tepat di depan barisan, pria itu berdeham. “Mulai laporannya.” “Siap! Unit A, normal!’ “Unit B, normal!” “Unit C, normal!” “Unit D, normal!” Begitu seterusnya hingga
Syuush! Trang! Sebilah pisau melesat melewati pelipis kirinya dan terjatuh akibat berbenturan dengan pintu. Saat itu belumlah lima menit sedari ia sampai di dalam ruangan blok H nomor 7. “Sa, sambutan yang sangat ramah y-ya, Sa-sangria..!” ucapnya tergagap karena masih mencerna situasi. Cimot? Cimot..? Cimot..??!! Dengan panik ia memanggil rekan suaranya yang tidak memiliki raga itu. Namun tidak ada jawaban. Pandangannya pun mulai menjadi waspada akan perempuan yang berdiri di hadapannya. “Kamu pikir aku akan mempercayaimu semudah itu?” tanya Visera sinis. Tangannya memegang ujung benang yang terikat pada ujung pisau tadi. Sambil menggulung benangnya, ia berjalan mendekat. Dan ketika pisau telah kembali berada di tangannya, ia menempelkan mata pisau tersebut ke leher wanita yang tadi menjadi salah satu pelanggannya itu. Normalnya seorang perempuan pasti sudah teriak ketakutan... pikir Visera. “Aku tanya sekali lagi,
Tes… tes… tes… Satu per satu tetesan air infus jatuh memasuki selang yang terhubung dengan lengan kanan bawahnya. Hari ini genap sudah seminggu Lizo dirawat. Selama tujuh hari itu juga, Megan lah yang secara rutin menjenguk teman dari sepupu jauhnya itu. Grrekk!! Dengan santai Dan membuka pintu gesernya. “Kamu ini buka pintu kenceng-kenceng…! Nanti Lizo kebangun..!” ujar Megan dari sofa di sudut ruangan. Terlihat sebuah jendela hologram yang memuat sebuah dokumen berisi penuh kalimat di depan matanya. “Lho? Dia tidur lagi?” tanya Dan menutup pintu ruangan kembali. Sekitar dua jam yang lalu Megan menghubunginya dan mengatakan kalau Lizo telah sadarkan diri. Di saat itu juga Dan secepat kilat mengganti pakaiannya dan bergegas menuju lantai tiga puluh enam, lantai medis tingkat tiga. “Iya, sehabis makan tadi. Sekarang sudah setengah jam. Waktu bangun tadi katanya kaki tangan badannya pegel semua, jadi si dokter nyuruh di
-Ruang Sondaica, dunia virtual- “Nah…” “Bisa kita mulai laporannya?” Semua yang ada di ruangan, baik yang sedang dibisukan maupun yang tidak, mengangguk tanda setuju. “Baiklah, kalau begitu mari kita mulai dengarkan laporannya dari…” matanya menangkap seorang peserta yang baru pertama kali ini ditemui secara langsung olehnya. Walaupun tidak bisa dibilang secara langsung karena sekarang mereka sedang berada di dalam dunia maya, sih. “Ah, Mister Osmus! Selamat datang di Konferensi Majelis Triwulan! Terimakasih telah setuju untuk bergabung dengan pemerintahan. Anda tentu telah diinformasikan mengenai prosedur dari kegiatan rapat ini bukan? Waktu dan tempat saya persilahkan…!” Sambutan dari Madame Dendrich itu membuat beberapa peserta lain begidik merinding. “Hyii! Benar-benar tidak dikasih napas..!” Sementara itu, peserta yang dipanggil beranjak dari duduknya dengan tetap mempertahankan senyuman bisnisnya. “Terima
Fungus Co. , salah satu dari lima perusahaan terbesar se-nasional yang bergerak di bidang jasa. Didirikan oleh seorang pebisnis misterius yang sampai saat ini hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Jasa yang mereka tawarkan ini sedikit unik. Meskipun memiliki ribuan pekerja (termasuk AMAH & AMAPOB), tetapi mereka hanya melayani satu jenis layanan, yakni membasmi musuh-musuh kecil yang terus muncul di sepanjang dinding-dinding bunker yang lazim disebut jamur. Memang tersebut terdengar sederhana, bahkan sepele. Namun, mengingat maraknya pertumbuhan jamur di dinding-dinding bunker yang terus menerus muncul semenjak tiga puluh tahun yang lalu membuat mereka selalu mendapatkan permintaan setiap harinya. Entah jam berapa pun itu. Budi, salah satu pekerja di Fungus Co., sedang melaksanakan pekerjaannya. Namun, ruangan tempat ia berada saat itu sangat gelap meskipun waktu menunjukkan jam satu siang. Hanya ada lampu-lampu kecil berwarna merah yang memiliki jarak sejauh empat meter dengan
-Lantai 33, kediaman utama Gray, ruang tidur tamu- Klang! “Aduh, jatuh deh, haha!” Tuan Anomen tertawa canggung sembari membungkuk untuk mengambil sendok yang terjatuh. “Sepertinya kita harus menambahkan fitur di bagian telapak tangan. Para AMAH masih susah untuk menggenggam benda-benda yang kecil.” ujarnya. “Apa karena aku sudah terlalu tua…?” lanjutnya bergumam. “Toras!” serunya. Robot berang-berang yang berdiri di sampingnya sedari tadi langsung menyala kembali. “Ya, tuan?” “Ambilkan sendok yang baru.” “Baik, tuan.” Kemudian robot itu langsung bergerak meninggalkan ruangan. “Kita tunggu dulu ya…!” ucap Tuan Anomen menoleh ke arah kirinya. Rosa yang sedari tadi menyaksikan monolog yang tidak bisa dipahaminya itu hanya mengangguk pelan. . Beberapa menit kemudian… . Wungg…. Pintu terbuka. “Ini, tuan.” Robot berang-berang itu membuka bagian perutnya dan memperlihatkan sebuah ruang kecil yang menampung sebuah sendok di dalamnya. Tuan Anomen langsung mengambil dan menyendok
-Lantai 130, ruang kelas- Di atas tempat duduknya Visera termenung. Saat itu, waktu terasa sangat amat lambat baginya. Entah sudah berapa kali ia memeriksa jadwal pembelajarannya itu- berharap agar jam istirahat segera datang. Penjelasan yang dilontarkan oleh gurunya pun sama sekali tidak ada yang masuk di otaknya. Tau gitu aku telat-telatin aja tadi… batinnya yang tadi terburu-buru karena bangun kesiangan. Ia menoleh ke sebelah kiri dan kanannya. Pantas saja banyak kursi yang kosong- Eh, ngga sih, cuma delapan… Mana gurunya cuma rekaman lagi…! Canggih apanya! Ini mah namanya pembodohan! batinnya menatap sinis hologram bergerak yang menyerupai seorang wanita dewasa itu. Yaah, wajar sih. Toh biaya pembelajarannya gratis. Mana mungkin mereka menyediakan pengajar yang berpendidikan tinggi. Memutar rekaman materi dari internet yang sudah diubah ke bentuk hologram saja sudah cukup. Memang cara yang jenius, paman Gray. “Demikian pemaparan materi untuk hari ini, selanjutnya kita akan m
TheBarr : Sebelum melewati perbatasan lantai, jangan lupa ganti jaringanmu ke privat. Sangria : roger. | Klang! "Ups.." Untung di atas tempat yang sepi... batin Visera menghela napas. Di dalam terowongan setinggi 60 cm itu ia merangkak. Beberapa barang bawaannya ia rekatkan erat pada tubuhnya. Dengan penuh hati-hati, ia bergerak menuju ke atas sembari sesekali memeriksa peta hasil tiruannya itu. Sepuluh meter lagi.... batinnya mengusap keringat dingin yang mengalir di pelipisnya. [ Berhasil tersambung ke jaringan Privat. ] Ting! TheBarr : Ikuti saja navigasi ini [ TheBarr mengirimkan berkas ] Ia menekan dokumen itu dan muncul sebuah layar baru yang berisikan peta dari area yang telah, sedang, dan akan dilaluinya tersebut, termasuk tempat yang menjadi tujuan perjalanannya. TheBarr : kalau ada gang yang berkedap-kedip merah, itu tandanya ada orang lain di sana. Orang... Lain? Visera terdiam selama beberapa saat. Oh, para pekerja... (tukang AC seperti Dan) Kemudian ia mela
Jika ada suatu gagasan dikumandangkan ke orang banyak… Menurutmu apa yang akan terjadi setelahnya? | “…kembali ke permukaan, bukanlah sekedar angan-angan belaka lagi…” Semuanya terdiam, membuat Tuan Anomen menjadi sedikit ragu akan pendapat semuanya tentang gagasan darinya itu, terlebih ketika ia menatap ketiga orang yang sama sekali tidak disangka-sangka olehnya sebelumnya untuk datang menghadiri pertemuan itu. Prok… prok…! Tiba-tiba terdengar suara tepukan dari seseorang. Lantas yang lainnya pun ikut bertepuk tangan. “Ide yang sangat luar biasa, Tuan Anomen! Brilliant! Bukan begitu, para hadirin sekalian??” sahut Tuan Gray mengambil alih panggung sementara yang lainnya sibuk berbisik-bisik ke kanan dan kirinya. “…Saya paham, beberapa di antara anda sekalian pasti masih mempertimbangkan apakah hidup di permukaan dapat menjamin kehidupan yang aman dan nyaman seperti dulu ataukah sebaliknya.” Tuan Anomen kembali buka suara. “Tapi bukan berarti keraguan itu harus dijadikan halan
Hari itu, aku menyaksikan semuanya dari dalam ventilasi… . . . Duk… duk… duk… Dengan merangkak, ia terus maju melewati terowongan yang tingginya hanya sebatas 60 cm itu. Mata ambernya terlihat mengkilap setiap kali melewati cahaya menembus penutup ventilasi di bawahnya. Klang! “Ups-!” Tidak sengaja lututnya mengenai bagian besi yang mencembung keluar. Ia langsung terdiam, berusaha mendengar kalau-kalau ada suara lain dari arah ujung depan dan belakangnya. Merasa tidak ada suara apapun, ia pun lanjut merangkak ke depan hingga menemukan satu penutup ventilasi lain yang menjadi tempat tujuannya itu. Duk… Ia merendahkan tubuhnya untuk melihat sisi bagian yang lain dengan jelas. Terlihat sekumpulan beberapa orang dewasa yang sedang berdiri di bawah sebuah panggung. Beberapa dari mereka tengah berbincang dan tertawa. Salah satu suara terdengar familiar di telinganya. ‘Ah, itu papa…’ pikirnya. Begitu menemukan sosok ayahnya yang tengah tersenyum lebar di antara barisan tersenyum, i
-Lantai 44, pintu masuk bagian Barat- Yo, kembali bersama denganku, "(-%&!. Ga kebaca kan? Itu karena namaku… Ra. ha. si. a~ “KyaaAAHahahaHAHA!” tawanya tanpa sadar, membuat pengunjung yang sedang mengantri di kiri, kanan, depan, dan belakangnya menoleh ke arahnya. Ia pun langsung terdiam dan menunduk malu. Huff… Biar kuulang…. Yo! Kembali lagi Bersama denganku, sss… Satu! Ya, Satu! Hari ini H-1 sebelum misi kesekian kami dimulai~! Jadi waktunya untuk apa itu…? ….Ya! Waktunya untuk menghambur-hamburkan uang sebelum menerima gaji yang akan datang! Dan karena aku termasuk senior paling senior di sini, ekhem. Aku jadi diberi wewenang untuk belanja di lantai atas deh! Pip! “Silahkan masuk.” Nah… Kita mulai dari mana ya… Matanya bergerak kesana dan kemari, melirik setiap toko yang berlomba-lomba memasarkan barang dagangannya. Setiap toko setidaknya memiliki satu alat ini yang memiliki fungsi untuk menampilkan produk-produk penjualan mereka dalam bentuk hologram. Baginya, ba
Dor! Suara tembakan itu cukup untuk membuat seluruh pasang mata tertuju ke arah belakangnya. Seorang siswa yang berada di barisan paling belakang berdiri mematung dan menatap balik setiap pasang mata yang tertuju ke arahnya dengan raut wajah yang cemas. Beberapa orang siswa di samping kiri dan kanannya terlihat sedang menahan tawa, dan di depan ketika terpampang sebuah layar hologram yang menunjukkan tampilan seperti… game online… Healah… cuma game toh…. batin Rosa mengelus dadanya, merasa lega karena pemikirannya ternyata hanyalah sebatas pemikiran belaka. Kemudian, ia pun lanjut menuruni kendaraan secara perlahan dan bergabung dengan para siswa siswi yang telah berbaris di depan sebuah pintu besar dan tinggi. “Wuah… megah sekali…” gumamnya secara tidak sadar. “-iya, kediaman daerah Quartus memang berbeda ya!” celetuk siswi di sampingnya, orang yang sama dengan siswi yang duduk di sebelahnya tadi. Rosa hanya membalas “O, oh…”. Quartus… Berarti lantai ini dekat dengan lantai bas
-Lantai 33, kediaman Gray- “Memindai Identity Chip.” Nguunngg… “Memindai sidik jari.” Nguunngg… “Memindai retina.” Nguunngg… “Pemindaian berhasil. Silahkan masuk.” Tap... tap... tap… Suara langkah kaki yang berjalan hingga ke tengah-tengah ruangan. “Lapor, tuan.” ujar seorang pria berjas hitam dengan atribut-atribut yang lengkap. “Hmm.” jawab seorang pria lain yang tak lain dan tak bukan adalah sang tuan yang dimaksud tersebut. Dengan menggenggam segelas minuman yang berwarna kebiru-biruan, ia bersandar di atas sebuah kursi. “Berikut laporan yang barusan telah kami terima dari Mister Osmus…” lanjut bawahannya itu yang kemudian mengeluarkan sebuah layar hologram dan mengantarkan layar tersebut hingga ke hadapan matanya. “…..” ia mengerutkan dahinya. “Sudah berapa kali kubilang, jauhkan sedikit layarmu itu…!” Mendengar perintah itu, bawahannya langsung menggeser layar tersebut menjauhi matanya. “Baik. Mohon maaf, tuan.” Mood-nya sedang buruk… “…..” Sang tuan menatap isi l