"Alisya!" Yogi langsung mencekal tangan Alisya sebelum gadis itu berhasil beranjak dari tempat duduknya.
"Apa sih, Gi?" tanya Alisya malas.
"Lu sengaja ngejauhin gue, ya?"
Alisya memutar bola matanya malas.
"Gi, gue udah bilang, ya, gue nggak mau dikekang. Jadi stop seolah-olah gue ini pacar yang perlu lu iket kuat-kuat biar gue nggak kabur," ujar Alisya.
"Gue inget, Sya. Gue paham. Tapi setidaknya lu bisa 'kan ngabarin gue lu kemana aja dan sama siapa."
"Emang penting?"
"Sya, lu tau gue sayang banget sama lu. Lu tuh berharga banget buat gue. Gue nggak banyak ngomong karena gue tau lu nggak suka diposesifin."
"Itu lu tau."
Yogi menarik napas panjang. Butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi kekasihnya itu.
"Ini beneran lu?" Akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutnya. Disodorkannya telepon genggam yang ia pegang.
Alisya melirik layar handphone Yogi. Di sana ada fotonya sedang bernyanyi di cafe paman Ridwan.
"Iya."
"Selarut ini?" Yogi menunjuk jam di foto tersebut. 22.40 WIB.
"Iya."
"Lu ngapain?" Nada suara Yogi sudah mulai meninggi.
"Lu nggak liat gue nyanyi?" sarkas Alisya.
"Iya, tapi ini udah malem banget. Gimana caranya lu bisa keluar dari rumah?"
"Udahlah, Gi. Yang penting gue baik-baik aja. Lagian itu cafe, resto mewah, lounge, bukan warung remang-remang."
Yogi geleng-geleng kepala. Alisya terlalu santai menjalani hidupnya. Ia tidak tahu betapa mengerikan kehidupan di luar sana, terlebih pada malam hari.
"Kalau lu mau nyanyi lagi, telpon gue."
"Terus lu bakal buntutin gue kemana-mana? Ogah lah, ya!"
"Ini buat kebaikan lu, Sya."
"Nggak usah lebay, selama ini gue nyanyi juga baik-baik aja. Udah, ah. Gue mau balik ke kelas." Alisya berdiri dan berjalan kembali ke kelasnya.
Yogi hanya bisa menatap gadis yang ia cintai berlalu begitu saja. Cintanya pada Alisya membuatnya benar-benar lemah. Alisya sebenarnya gadis yang baik dan menyenangkan, dia hanya kurang perhatian. Terlebih lagi sekarang, setelah kedua orang tuanya tiada. Alisya seolah mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri tanpa melihat dampaknya dikemudian hari.
...
Alisya berpikir keras, bagaimana caranya agar ia bisa keluar pada hari Minggu saat diadakannya kompetisi itu. Tidak mungkin memberi alasan belajar kelompok. Ia sudah terlalu sering menggunakan alasan itu.
"Apa perlu gue ke rumah lu lagi dan izin sama kakek and nenek lu, Sya?" tanya Desi lewat sambungan telepon.
"Bakal percaya nggak, ya? Soalnya tiap kita mo latihan, itu mulu alesannya. Ya, meskipun so far, mereka percaya," jawab Alisya.
"Ya kan, emang bener kita bulan depan mo ujian, wajar dong kalo kita makin sering belajar bersama."
"Kayaknya itu memang satu-satunya alasan paling masuk akal untuk sekarang ini," hela Alisya.
"Ya udah, tar pagi-pagi jam tujuh, gue samperin lu ke rumah," janji Desi.
"Thanks, ya, Des," ujar Alisya.
"Don't mind. Jangan lupa aja pulangnya traktir gue." Desi tertawa di seberang sana.
"Gampang kalo soal itu ...."
"Kak ... dipanggil Kakek sama Nenek," panggil Aura dari balik pintu kamarnya.
"Iya, Ra. Bentar lagi Kakak turun," teriak Alisya.
"Ya udah, ya, Des. Gua dipanggil, nih. Bye." Alisya langsung memutuskan panggilannya tanpa mendengar jawaban dari Desi.
Alisya segera menuruni tangga mengekor Aura yang berjalan lebih dahulu.
"Ada apa, Ra, kok tumben kita dipanggil?" bisik Alisya.
"Nggak tau, Kak," jawab Aura singkat.
Ketika Alisya dan Aura sampai di ruang tamu, sudah ada kakek, nenek dan pamannya di sana. Mereka terlihat serius membahas sesuatu.
"Duduk, Sya, Ra," perintah Kakek.
Alisya dan Aura pun duduk berhadapan dengan para tetua mereka.
"Lisya, Kakek tahu, beberapa minggu lagi kamu harus menghadapi ujian nasional. Tapi ini nggak bisa dihindari. Kakek sama Nenek harus pergi ke luar kota untuk waktu yang lumayan lama. Jadi Kakek harap, kamu bisa belajar semaksimal mungkin," beber Kakek.
Mata Alisya membulat sempurna, tidak percaya dengan keberuntungannya kali ini.
"Tapi ada urusan apa sampai Kakek harus pergi lama?" tanya Aura.
"Ada beberapa masalah dengan perusahaan Kakek di luar daerah, Ra," jawab Kakek.
"Apa perusahaan milik papa juga?" tanya Alisya hati-hati.
"Nggak, perusahaan papamu baik-baik aja."
"Syukurlah kalo gitu." Alisya tidak bisa membayangkan bila ada apa-apa dengan perusahaan itu. Bagaimana nasibnya dan Aura?
"Meski kami tidak mengharuskanmu bisa masuk universitas terbaik, tapi setidaknya kamu harus bisa lulus dengan nilai yang bagus. Jadi perusahaan warisan papamu itu tidak akan hancur sebelum waktunya," sarkas Nenek
Alisya hanya bisa menunduk. Mendiang papanya dulu sering sekali membicarakan tentang angan-angannya. Beliau ingin membesarkan perusahaan, dengan anaknya sebagai pemegang posisi tertinggi. Namun hal itu tentu tidak berlaku untuknya. Hal itu berlaku untuk si Jenius, Aura.
"Kami harap, selama kami pergi, kalian benar-benar melakukan kewajiban kalian dengan baik. Lakukan seolah-olah kami ada di rumah. Jangan melakukan hal yang aneh-aneh," pesan Kakek. "Terlebih lagi kamu, Alisya."
"Iya, Kek," jawab Alisya, dengan jari telunjuk dan jari tengah menyilang di belakang tubuhnya. Dalam hati ia bersorak gembira. Semesta benar-benar berpihak padanya.
"Kapan Kakek dan Nenek berangkat?" tanya Aura.
"Nanti malam," jawab Nenek.
"Kira-kira berapa lama?"
"Mungkin sebulan, tapi bisa lebih lama."
"Yess!!" teriak Alisya dalam hati.
"Tapi jangan pikir kalian bisa bebas melakukan apa saja, karena Kakek bisa pulang kapanpun. Jangan lupa, ada cctv juga. Belum lagi semua pelayan di sini yang selalu melaporkan semua yang terjadi di rumah secara rutin. Jadi sekali lagi Kakek tekankan, jangan macam-macam!"
Alisya dan Aura mengangguk bersamaan.
"Kakek sama Nenek cuma mau ngasih tau itu aja. Kalau kalian mau kembali ke kamar, silakan."
Alisya tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Ia segera naik ke atas tangga dan kembali ke kamarnya.
Disambarnya telepon genggam yang tadi tergeletak di atas kasur. Ia segera memanggil nomor terakhir yang ia hubungi.
"Des, lu pasti nggak akan percaya sama apa yang bakal gua bilang," seru Alisya begitu teleponnya tersambung.
"Emang apaan, Sya?" tanya Desi penasaran.
"Kakek sama nenek gue bakal pergi keluar kota untuk satu bulan!" teriak Alisya girang.
"Wah, asyik, dong! Berarti gue nggak perlu ke rumah lu buat pura-pura ngajakin belajar kelompok," sahut Desi di seberang sana.
"Iya, lah!!"
"Jadi bisa dong, kita jalan shopping-shopping gitu sambil makan-makan," pancing Desi.
"Bisa diatur!"
"Asyiiik!!"
"Selamat datang kebebasan!" teriak Alisya.
Di depan pintu, Aura mendengarkan percakapan kakaknya sambil menggelengkan kepala.
...
Benar saja, Kakek dan Nenek pergi malam itu juga bersama paman Alisya.
Alisya benar-benar gembira. Ia bisa berbuat sesuka hatinya. Jangan tanya soal para pelayan di rumah itu, mudah untuk Alisya membungkam mereka semua.
Dan hari Minggu pun tiba. Meskipun semalam ia pulang sangat larut, karena menyanyi di cafe paman Ridwan, Alisya sudah bangun pagi-pagi sekali. Jantungnya berdebar, ini adalah penampilan pertamanya di event besar. Ia berdandan secantik mungkin.
"Kakak mau ke mana?" tanya Aura yang melihat Alisya sudah berdandan cantik pagi ini.
"Kakak ada performance di event gede, Ra," jawab Alisya.
"Kak Yogi tau?" tanya Aura.
"Ya, enggaklah. Kalau dia tau pasti aku diikutin ke mana-mana," kata Alisya sambil memasukkan beberapa alat make up nya ke dalam tas.
Aura menghela napas.
"Kakak pulangnya jangan malam-malam, ya," pesan Aura.
Alisya melihat ke arah Aura dengan pandangan sedih.
"Kamu kesepian, ya?"
Aura menunduk lalu mengangguk pelan.
"Kalau gitu, kamu ikut Kakak aja. Di sana kamu pasti dapat banyak teman," ajak Alisya.
Aura menggeleng.
"Ya udah kalau kamu nggak mau, tapi kalau kamu bosen, kamu bisa minta tolong sama Yogi buat nganterin kamu ke sana."
"Kok minta tolong sama Kak Yogi? Kak Yogi kan pacarnya Kakak, bukan pacarku," sela Aura.
"Pacar sekedar status doang," Alisya terkekeh pelan.
"Kakak hati-hati ya di sana. Mudah-mudahan acaranya sukses dan lancar," doa Aura.
"Makasih, kamu juga hati-hati ya di rumah. Kalau ada apa-apa, atau perlu sesuatu telepon aja Kakak." Dipeluknya adik semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang.
Alisya segera keluar dan mengendarai mobilnya menuju lokasi diadakannya kompetisi itu.
"Aku akan bersenang-senang hari ini dan harus bersenang-senang," tekad Alisya.
Alisya sampai di tempat kompetisi dengan selamat. Tempat itu sudah ramai oleh para peserta kompetisi. Alisya mencari teman-temannya di antara kerumunan orang-orang itu."Pada kemana sih, tu orang? Apa aku kepagian?" gumamnya seraya melirik pergelangan tangannya. Pukul 07.20. Memang terlalu pagi karena acaranya baru akan dimulai empat puluh menit lagi.Alisya mendengkus. Matanya terus menjelajah, berharap melihat salah satu anggota grup bandnya di sana.Diambilnya smartphone dari dalam tas sambil terus melihat ke kanan dan ke kiri.Dug!"Aduh!" Alisya berteriak sambil mengusap hidungnya yang tidak sengaja menabrak punggung seorang lelaki."Ma-maaf ... aku nggak sengaja," katanya cepat pada lelaki itu.Lelaki itu berbalik. "Kamu!""Lho, Kak Reno?""Ya ampun, Alisya. Pertama k
"Ngajakin makan siang, kok malah ke hotel?" Alisya mulai berpikiran buruk.Reno hanya tertawa kecil."Aku ngajakin makan siang beneran, kok. Tapi makan siangnya di sini," ujar Reno sambil melepas seatbeltnya."Ayo, jadi nggak?" tawarnya lagi.Alisya terlihat ragu. Tangannya mencengkeram seatbeltnya dengan kuat."Kamu takut apa? Ini masih siang tau. Emang aku keliatan kayak penjahat, ya?" tanya Reno."Nggak, bukan gitu, Kak," elak Alisya. "Tapi ....""Aku kasih tau, ya. Aku ajak kamu ke sini buat makan siang. Cuma makan siang. Kenapa makan siangnya di sini, bukan di restoran? Karena di sini ada tempat spesial yang mau aku tunjukin ke kamu." Reno menjeda kalimatnya."Kalau di sini, aku bisa masakin kamu. Spesial buat kamu seorang. Hotel ini punya mamaku," jelas lelaki itu panjang lebar.Mata Alisya membol
"Apakah kamu mau jadi pacarku?" lirih Reno tepat di telinga Alisya.Alisya membeku. Tak percaya dengan apa yang ia dengar."Apakah kamu mau jadi pacarku?" sekali lagi Reno berbisik.Tengkuk Alisya meremang. Keringat dingin pun terasa membasahi punggungnya."Mungkin kamu kaget denger aku ngomong gini sekarang. Tapi aku benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu. Makanya, aku selalu datang tiap kamu nyanyi di cafe. Aku pengen liat kamu terus, pengen deket sama kamu."Kata-kata manis dari Reno sukses membuat kaki Alisya bagaikan jelly. Rasanya ia tidak menapak tanah saat ini.Belum ada sahutan dari Alisya, membuat Reno memutar tubuh gadis belia itu."Apakah cintaku tak bersambut? Apa kamu nggak suka sama aku?" Reno memberinya pertanyaan beruntun. "Atau karena kamu udah punya pacar?"Alisya langsung menegakkan wajahnya. Tebakan terak
Alisya terbangun ketika langit sudah berganti warna. Ia terbangun dalam keadaan yang sangat memalukan. Tak ada sehelai benang pun menempel di tubuhnya. Dan kini, tubuhnya terasa remuk.Alisya hanya bisa terisak sambil bersandar di headboard tempat tidur. Dan di sampingnya, berbaring lelaki yang baru hari ini resmi menjadi kekasihnya.Ingatannya berputar dan kembali pada peristiwa tadi siang. Apa yang sebenarnya terjadi? Ia hanya ingat tubuhnya terasa sangat panas, pandangannya tidak fokus, dan tiba-tiba ia merasa hasratnya sangat besar. Ia sangat ingin Reno menyentuhnya, tapi akal sehatnya melarangnya untuk itu. Namun ...Isakan berubah jadi tangis, ketika ia menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Bagaimana mungkin ini bisa menimpanya? Apa dosanya hingga peristiwa ini bisa terjadi?Reno yang mendengar tangis Alisya langsung terbangun. Alisya segera menarik bedcover untuk menutupi tubuhnya hingga seba
"Alisya! Dari mana aja lu?!"Alisya sontak menahan kakinya yang hendak menaiki anak tangga lagi. Ia langsung berbalik ke arah suara itu berasal.Yogi sudah berdiri di dekat tangga dengan Aura berdiri di belakangnya."Kakak macem apa, lu? Lu nggak mikir adek lu khawatir banget sampe nyariin lu kesana kemari?!" Suara Yogi terdengar lantang penuh emosi."Handphone gue ketinggalan di mobil, dan gue pergi sama temen gue pake mobilnya. Udah, gitu doang," jawab Alisya berusaha terdengar datar tanpa masalah."Seenggaknya lu inget kalo lu ninggalin Aura sendiri di rumah. Lu nggak kasian, sama dia? Lu kan bisa ngabarin barang cuma satu dua kata, biar dia tenang!" Yogi masih meluapkan emosinya."Ya, gue salah. Gue minta maaf. Udah, cukup?""Alisya! Lu ....""Udahlah, Gi. Mending lu pulang. Lu nggak ada urusan di sini," potong Alisya.
'Alisya'? Dia bilang 'Alisya'? Gue nggak salah denger, 'kan?Yogi menghentikan langkahnya. Ia berbalik melihat ke arah meja di mana para pemuda itu berkumpul, tapi tak ada kegiatan lain yang menarik, selain tawa dan beberapa ejekan seperti yang terdengar sebelumnya. Tak mereka pedulikan pandangan sinis beberapa pasang mata pengunjung lain yang merasa terganggu.Detik berikutnya, Yogi sudah kembali melangkah."Kayaknya gue salah denger. Lagian kalau bener cowok tadi nyebut 'Alisya', emangnya cuma ada satu nama Alisya di dunia ini?" batin Yogi sambil terus berlalu menuju motornya di tempat parkir.Lelaki itu segera melajukan kuda besinya membelah malam. Hari ini ia sangat lelah, ia hanya ingin berbaring di kasurnya yang nyaman. Semoga mimpi buruk ini segera berlalu, dan besok Alisyanya akan kembali seperti biasa....Alisya keluar dari kelas dengan wajah berseri. Pas
Alisya tidak berbohong kali ini. Ia benar-benar belajar ditemani oleh Reno, di kamar tempat mereka bercinta. Dengan kecerdasan yang mumpuni, Alisya dengan mudah dapat menyerap semua pelajaran yang kembali dibahas oleh Reno."Kamu pinter, Sayang," puji Reno sambil mengaitkan beberapa helai rambut Alisya ke telinganya. Lelaki itu duduk berhadapan dengan Alisya."Tapi aku nggak sepinter Aura," gumam Alisya."Aura?""Iya, Aura, adikku satu-satunya. Dia jauh lebih pinter daripada aku. Bahkan dari dulu papa udah menunjuk Aura sebagai penggantinya suatu saat nanti untuk mengurus perusahaan, bukan aku," kata Alisya sedih."Jangan sedih. Semua orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Adikmu itu, belum tentu punya wajah secantik kamu, 'kan?" hibur Reno. "Dan aku yakin banget, suaranya juga nggak akan sebagus suaramu.""Makasih, Kak. Kata-kata Kakak ngehib
Yogi yang mendapat kiriman video dari Dirga, segera menghubungi sang sahabat. Lelaki itu tidak percaya dengan apa yang sahabatnya kirimkan. Ia berpikir bahwa lelaki yang bersamanya tentu sudah melakukan sesuatu yang jahat pada gadis itu, sehingga Alisya terlihat begitu liar dalam rekaman tersebut. Dengan penuh keyakinan, ia masih saja menganggap Alisya adalah gadis polos yang dimanfaatkan oleh lelaki tak bertanggung jawab. Yogi segera melajukan motor balapnya dengan kencang di malam yang sudah mulai sepi itu. Dalam waktu singkat, ia sudah sampai di hotel milik orang tua Reno. "Dimana Alisya, Ga?" tanya Yogi to the point saat melihat Dirga berdiri di dekat pintu masuk. "Tadi mereka masuk ke dalem. Gue udah minta tolong sama resepsionisnya, nanyain baik-baik, ke kamar mana mereka, tapi nggak dikasih tau," aku Dirga. Dengan langkah lebar, Yogi langsung menemui
Yogi yang mendapat kiriman video dari Dirga, segera menghubungi sang sahabat. Lelaki itu tidak percaya dengan apa yang sahabatnya kirimkan. Ia berpikir bahwa lelaki yang bersamanya tentu sudah melakukan sesuatu yang jahat pada gadis itu, sehingga Alisya terlihat begitu liar dalam rekaman tersebut. Dengan penuh keyakinan, ia masih saja menganggap Alisya adalah gadis polos yang dimanfaatkan oleh lelaki tak bertanggung jawab. Yogi segera melajukan motor balapnya dengan kencang di malam yang sudah mulai sepi itu. Dalam waktu singkat, ia sudah sampai di hotel milik orang tua Reno. "Dimana Alisya, Ga?" tanya Yogi to the point saat melihat Dirga berdiri di dekat pintu masuk. "Tadi mereka masuk ke dalem. Gue udah minta tolong sama resepsionisnya, nanyain baik-baik, ke kamar mana mereka, tapi nggak dikasih tau," aku Dirga. Dengan langkah lebar, Yogi langsung menemui
Alisya tidak berbohong kali ini. Ia benar-benar belajar ditemani oleh Reno, di kamar tempat mereka bercinta. Dengan kecerdasan yang mumpuni, Alisya dengan mudah dapat menyerap semua pelajaran yang kembali dibahas oleh Reno."Kamu pinter, Sayang," puji Reno sambil mengaitkan beberapa helai rambut Alisya ke telinganya. Lelaki itu duduk berhadapan dengan Alisya."Tapi aku nggak sepinter Aura," gumam Alisya."Aura?""Iya, Aura, adikku satu-satunya. Dia jauh lebih pinter daripada aku. Bahkan dari dulu papa udah menunjuk Aura sebagai penggantinya suatu saat nanti untuk mengurus perusahaan, bukan aku," kata Alisya sedih."Jangan sedih. Semua orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Adikmu itu, belum tentu punya wajah secantik kamu, 'kan?" hibur Reno. "Dan aku yakin banget, suaranya juga nggak akan sebagus suaramu.""Makasih, Kak. Kata-kata Kakak ngehib
'Alisya'? Dia bilang 'Alisya'? Gue nggak salah denger, 'kan?Yogi menghentikan langkahnya. Ia berbalik melihat ke arah meja di mana para pemuda itu berkumpul, tapi tak ada kegiatan lain yang menarik, selain tawa dan beberapa ejekan seperti yang terdengar sebelumnya. Tak mereka pedulikan pandangan sinis beberapa pasang mata pengunjung lain yang merasa terganggu.Detik berikutnya, Yogi sudah kembali melangkah."Kayaknya gue salah denger. Lagian kalau bener cowok tadi nyebut 'Alisya', emangnya cuma ada satu nama Alisya di dunia ini?" batin Yogi sambil terus berlalu menuju motornya di tempat parkir.Lelaki itu segera melajukan kuda besinya membelah malam. Hari ini ia sangat lelah, ia hanya ingin berbaring di kasurnya yang nyaman. Semoga mimpi buruk ini segera berlalu, dan besok Alisyanya akan kembali seperti biasa....Alisya keluar dari kelas dengan wajah berseri. Pas
"Alisya! Dari mana aja lu?!"Alisya sontak menahan kakinya yang hendak menaiki anak tangga lagi. Ia langsung berbalik ke arah suara itu berasal.Yogi sudah berdiri di dekat tangga dengan Aura berdiri di belakangnya."Kakak macem apa, lu? Lu nggak mikir adek lu khawatir banget sampe nyariin lu kesana kemari?!" Suara Yogi terdengar lantang penuh emosi."Handphone gue ketinggalan di mobil, dan gue pergi sama temen gue pake mobilnya. Udah, gitu doang," jawab Alisya berusaha terdengar datar tanpa masalah."Seenggaknya lu inget kalo lu ninggalin Aura sendiri di rumah. Lu nggak kasian, sama dia? Lu kan bisa ngabarin barang cuma satu dua kata, biar dia tenang!" Yogi masih meluapkan emosinya."Ya, gue salah. Gue minta maaf. Udah, cukup?""Alisya! Lu ....""Udahlah, Gi. Mending lu pulang. Lu nggak ada urusan di sini," potong Alisya.
Alisya terbangun ketika langit sudah berganti warna. Ia terbangun dalam keadaan yang sangat memalukan. Tak ada sehelai benang pun menempel di tubuhnya. Dan kini, tubuhnya terasa remuk.Alisya hanya bisa terisak sambil bersandar di headboard tempat tidur. Dan di sampingnya, berbaring lelaki yang baru hari ini resmi menjadi kekasihnya.Ingatannya berputar dan kembali pada peristiwa tadi siang. Apa yang sebenarnya terjadi? Ia hanya ingat tubuhnya terasa sangat panas, pandangannya tidak fokus, dan tiba-tiba ia merasa hasratnya sangat besar. Ia sangat ingin Reno menyentuhnya, tapi akal sehatnya melarangnya untuk itu. Namun ...Isakan berubah jadi tangis, ketika ia menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Bagaimana mungkin ini bisa menimpanya? Apa dosanya hingga peristiwa ini bisa terjadi?Reno yang mendengar tangis Alisya langsung terbangun. Alisya segera menarik bedcover untuk menutupi tubuhnya hingga seba
"Apakah kamu mau jadi pacarku?" lirih Reno tepat di telinga Alisya.Alisya membeku. Tak percaya dengan apa yang ia dengar."Apakah kamu mau jadi pacarku?" sekali lagi Reno berbisik.Tengkuk Alisya meremang. Keringat dingin pun terasa membasahi punggungnya."Mungkin kamu kaget denger aku ngomong gini sekarang. Tapi aku benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu. Makanya, aku selalu datang tiap kamu nyanyi di cafe. Aku pengen liat kamu terus, pengen deket sama kamu."Kata-kata manis dari Reno sukses membuat kaki Alisya bagaikan jelly. Rasanya ia tidak menapak tanah saat ini.Belum ada sahutan dari Alisya, membuat Reno memutar tubuh gadis belia itu."Apakah cintaku tak bersambut? Apa kamu nggak suka sama aku?" Reno memberinya pertanyaan beruntun. "Atau karena kamu udah punya pacar?"Alisya langsung menegakkan wajahnya. Tebakan terak
"Ngajakin makan siang, kok malah ke hotel?" Alisya mulai berpikiran buruk.Reno hanya tertawa kecil."Aku ngajakin makan siang beneran, kok. Tapi makan siangnya di sini," ujar Reno sambil melepas seatbeltnya."Ayo, jadi nggak?" tawarnya lagi.Alisya terlihat ragu. Tangannya mencengkeram seatbeltnya dengan kuat."Kamu takut apa? Ini masih siang tau. Emang aku keliatan kayak penjahat, ya?" tanya Reno."Nggak, bukan gitu, Kak," elak Alisya. "Tapi ....""Aku kasih tau, ya. Aku ajak kamu ke sini buat makan siang. Cuma makan siang. Kenapa makan siangnya di sini, bukan di restoran? Karena di sini ada tempat spesial yang mau aku tunjukin ke kamu." Reno menjeda kalimatnya."Kalau di sini, aku bisa masakin kamu. Spesial buat kamu seorang. Hotel ini punya mamaku," jelas lelaki itu panjang lebar.Mata Alisya membol
Alisya sampai di tempat kompetisi dengan selamat. Tempat itu sudah ramai oleh para peserta kompetisi. Alisya mencari teman-temannya di antara kerumunan orang-orang itu."Pada kemana sih, tu orang? Apa aku kepagian?" gumamnya seraya melirik pergelangan tangannya. Pukul 07.20. Memang terlalu pagi karena acaranya baru akan dimulai empat puluh menit lagi.Alisya mendengkus. Matanya terus menjelajah, berharap melihat salah satu anggota grup bandnya di sana.Diambilnya smartphone dari dalam tas sambil terus melihat ke kanan dan ke kiri.Dug!"Aduh!" Alisya berteriak sambil mengusap hidungnya yang tidak sengaja menabrak punggung seorang lelaki."Ma-maaf ... aku nggak sengaja," katanya cepat pada lelaki itu.Lelaki itu berbalik. "Kamu!""Lho, Kak Reno?""Ya ampun, Alisya. Pertama k
"Alisya!" Yogi langsung mencekal tangan Alisya sebelum gadis itu berhasil beranjak dari tempat duduknya."Apa sih, Gi?" tanya Alisya malas."Lu sengaja ngejauhin gue, ya?"Alisya memutar bola matanya malas."Gi, gue udah bilang, ya, gue nggak mau dikekang. Jadi stop seolah-olah gue ini pacar yang perlu lu iket kuat-kuat biar gue nggak kabur," ujar Alisya."Gue inget, Sya. Gue paham. Tapi setidaknya lu bisa 'kan ngabarin gue lu kemana aja dan sama siapa.""Emang penting?""Sya, lu tau gue sayang banget sama lu. Lu tuh berharga banget buat gue. Gue nggak banyak ngomong karena gue tau lu nggak suka diposesifin.""Itu lu tau."Yogi menarik napas panjang. Butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi kekasihnya itu."Ini beneran lu?" Akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutnya. Disodorkannya telepon genggam yang ia pega