"Kenapa?" Aku bertanya pada Ainun yang tampak kehilangan kata-kata. Dia hanya menggeleng kikuk dan terlihat salah tingkah."Kita hanya akan melakukan akad ulang, tidak perlu mengurus surat-surat ke KUA, jadi tidak akan terlalu merepotkan. Bisa segera dilaksanakan," ujarku.Ainun mengangkat wajahnya sejenak, lalu kembali menundukkan kepalanya. Mungkin dia merasa agak malu karena aku membicarakan pernikahan ulang kami dengan begitu gamblangnya. Aku maklum, karena di pernikahan kami sebelumnya, tak ada pembicaraan tentang pernikahan di antara kami berdua. Kami juga tak pernah benar-benar saling berhadapan seperti sekarang ini."Ainun," panggilku."Ya," Ainun menjawab sambil masih menunduk.Aku duduk di pinggiran tempat tidur, lalu memandang Ainun selama beberapa saat."Kemarilah, kita bicara." pintaku.Ainun kembali mengangkat wajahnya dan melihatku sejenak, sebelum akhirnya dia mendekat dan duduk di sampingku meski dengan sedikit ragu-ragu."Aku tidak akan meminta mu untuk memaafkan kes
Aku memandang tanganku yang disentuh lembut oleh tangan Ainun, lalu beralih melihat wajahnya juga. Agak tak percaya rasanya Ainun menerimaku. Tapi kata-katanya tadi terdengar jelas jika ia bersedia menikah kembali denganku, dan aku yakin tidak sedang salah dengar. Aku menatap Ainun lamat-lamat, memastikan jika saat dia ini sedang bersungguh-sungguh, bukan sedang menjahili ku.Ainun juga tampak sedang memandang kearahku, tapi kemudian dia menunduk dengan wajah yang agak bersemu merah. Tanpa sadar sudut bibirku sedikit terangkat. Ada perasaan aneh yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata saat melihatnya malu seperti itu. Kutarik kembali lengan Ainun dan kubawa lagi dia ke dalam pelukanku."Pak ...." Ainun hendak protes, tapi tampaknya kata-katanya tertahan hanya sampai di kerongkongan saja. Entah sejak kapan aku jadi sangat suka memeluknya seperti ini. Tubuh Ainun yang semula kaku pun kini jauh lebih rileks. Tanpa disadari, kami berdua tampaknya mulai menikmati tubuh kami yang saling b
Mama menangis tersedu sambil memeluk Ainun erat. Ainun juga tampak terisak. Kedua perempuan berbeda generasi itu tampak saling melepaskan rindu sambil menumpahkan kesedihan masing-masing."Tega sekali kamu membawa Farhan meninggalkan Mama tanpa mengatakan apapun. Setiap hari Mama merindukan kalian. Setiap hari Mama mencemaskan keadaan kalian. Hampir mati rasanya Mama setiap kali membayangkan terjadi hal buruk pada kalian." Mama berucap dengan sangat emosional sembari mengurai pelukannya."Maafkan saya, Ma. Maaf ...," ujar Ainun serak di sela isakannya."Kemana saja kamu, Ainun? Kenapa baru sekarang kamu kembali. Mama sudah merasa putus asa karena kamu dan Farhan tak juga ditemukan.""Maaf, Ma. Saya tidak bermaksud membuat Mama menjadi seperti itu ...," lirih Ainun."Kamu tidak bermaksud, tapi nyatanya kami tega memisahkan Mama dari Farhan. Harusnya meskipun kamu ingin berpisah dari Arkan, kamu jangan memisahkan Mama dengan cucu Mama satu-satunya."Ainun menundukkan wajahnya dengan pen
"Aku ingin tes DNA!" seruku lantang di hadapan seluruh keluarga. Suasana yang tadinya hangat dan penuh senda gurau, tiba-tiba menjadi sunyi. Semua mata tertuju padaku. Terutama mata kedua orang tuaku yang beberapa detik tadi terlihat sangat bahagia merayakan kelahiran bayi yang mereka yakini sebagai cucu."Arkan?" Mama menatapku dengan raut tak percaya. Perempuan yang telah melahirkan ku itu tampak terkejut dengan apa yang didengarnya tadi.Aku menatap sekeliling. Saat ini di rumahku masih ada beberapa tamu karena Mama baru saja selesai mengadakan syukuran. Sebuah acara sederhana setelah satu bulan lebih perempuan yang belum lama ini kunikahi melahirkan seorang bayi lelaki. Bayi yang katanya sangat mirip denganku disaat aku sendiri tak yakin jika dia benar-benar darah dagingku.Wajah Mama terlihat sedikit gusar. Untung saja tamu yang tersisa saat ini semuanya masih keluarga, begitu mungkin pikirnya saat aku melontarkan kalimat mengejutkan tadi."Apa maksudmu, Arkan?" Kali ini suara Pa
Ainun masuk ke dalam kamar, meninggalkan kami semua yang sedang berada di ruang keluarga. Sekali lagi aku menatap sinis kearah pintu kamar yang dia tutup barusan. Setelah beberapa bulan belakangan berhasil mengambil hati kedua orang tuaku, lihatlah tingkahnya yang jadi semakin jumawa. Berani-beraninya dia pergi begitu saja saat aku belum selesai bicara."Mama Papa bisa lihat? Sekarang menantu kesayangan yang selalu kalian bela itu sudah menjadi semakin luar biasa. Memangnya salah kalau aku ingin melakukan tes DNA? Bukannya justru aku terlalu bodoh kalau percaya begitu saja pada pengakuannya. Bagaimana pun, aku sama sekali tidak ingat kejadian malam itu. Apa memang benar aku yang sudah membuatnya hamil, atau justru orang lain?" Aku berusaha setengah mati meredam gemuruh di dadaku agar nada bicaraku terdengar normal.Mama dan Papa bergeming. Begitu pula dengan beberapa keluarga yang lain. Mereka semua yang berada di rumahku saat ini adalah orang-orang yang sudah mendorongku untuk menika
"Ainun!" Mama tergopoh-gopoh menyusul perempuan itu dan segera menahan lengannya. Ainun berhenti tanpa menoleh kearah Mama."Mau pergi kemana kamu malam-malam begini?" tanya Mama dengan wajah cemas.Ainun bergeming."Saya tidak tahu mesti pergi kemana, tapi yang jelas saya tidak bisa berada di sini lagi. Tolong biarkan saya pergi, Ma," jawabnya kemudian dengan nada memelas.Dadaku mulai bergemuruh. Perempuan itu mulai mengeluarkan jurus andalannya, terlihat sebagai istri teraniaya yang menyedihkan."Tidak, Ainun. Jangan begini. Mama tahu kalau Arkan sudah keterlaluan, tapi tolong pikirkan Farhan. Bagaimana nanti nasibnya kalau kamu membawanya pergi? Kalian mau tinggal di mana?" Mama berusaha membujuk perempuan itu. "Arkan, jangan diam saja. Bujuk dan tenangkan istrimu." Kali ini Papa yang bersuara, memintaku untuk menahan Ainun agar tidak pergi.Aku menghembuskan nafas kasar. Memang ini tujuannya, kan? Pura-pura mau pergi agar terlihat seperti orang yang tertindas dan membuatku semak
Malam itu Ainun benar-benar pergi. Dengan menaiki sebuah taksi, perempuan itu meninggalkan rumah, disaksikan seluruh kekuatan besarku. Tak dihiraukannya isak tangis Mama yang memintanya untuk tidak pergi. Tampaknya dia ingin aku sendiri yang membujuknya, bukan orang lain. Tapi dia harus kecewa kali ini karena aku tidak akan mengabulkan keinginannya itu.Terus terang aku terganggu dengan tangisan Mama yang tak mau berhenti setelah kepergian Ainun. Apa bagusnya perempuan itu sampai Mama terlihat begitu sedih. Berulang kali aku membuang nafas kasar karena merasa kesal.Setelah drama yang cukup membuatku jengah, akhirnya seluruh keluarga besarku bubar dan pulang ke rumah mereka masing-masing. Hanya Mama dan Papa yang masih tinggal dan terlihat masih ingin membicarakan sesuatu denganku."Kenapa tidak kamu hentikan Ainun, Arkan? Kemana dia mau pergi malam-malam begini? Benar-benar tega kamu! Di mana hati nuranimu?" Mama mulai mencercaku lagi dengan kata-kata yang selama ini tak pernah terlo
Tiga hari sudah Ainun pergi. Jelas ada yang aku rasakan sejak kepergian perempuan itu. Hening, suasana itulah yang mendominasi setiap sudut rumah. Hanya ada suara Bik Minah, asisten rumah tangga, yang terkadang bertanya tentang beberapa hal. Perempuan paruh baya yang bekerja sejak aku menikah dengan Ainun itu tampak sedikit kesulitan mengerjakan pekerjaannya sejak Ainun tidak ada. Banyak benda yang Bik Minah tidak tahu di mana letaknya hingga aku sedikit kesal dibuatnya. Memangnya apa saja kerjanya selama ini jika sedikit-sedikit bilang Ainun yang biasanya mengurus ini dan itu.Kupandangi sekeliling rumah dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Rumah ini adalah hasil kerja kerasku. Awalnya aku mempersiapkan rumah ini untuk kutinggali bersama Reina selepas kami menikah. Tapi kemudian, aku justru menikah dengan Ainun dan tinggal di rumah ini bersama perempuan itu.Sejak awal pindah kesini, rasanya sudah seperti berada di neraka. Dadaku seringkali terasa sesak karena harus tinggal satu a
Mama menangis tersedu sambil memeluk Ainun erat. Ainun juga tampak terisak. Kedua perempuan berbeda generasi itu tampak saling melepaskan rindu sambil menumpahkan kesedihan masing-masing."Tega sekali kamu membawa Farhan meninggalkan Mama tanpa mengatakan apapun. Setiap hari Mama merindukan kalian. Setiap hari Mama mencemaskan keadaan kalian. Hampir mati rasanya Mama setiap kali membayangkan terjadi hal buruk pada kalian." Mama berucap dengan sangat emosional sembari mengurai pelukannya."Maafkan saya, Ma. Maaf ...," ujar Ainun serak di sela isakannya."Kemana saja kamu, Ainun? Kenapa baru sekarang kamu kembali. Mama sudah merasa putus asa karena kamu dan Farhan tak juga ditemukan.""Maaf, Ma. Saya tidak bermaksud membuat Mama menjadi seperti itu ...," lirih Ainun."Kamu tidak bermaksud, tapi nyatanya kami tega memisahkan Mama dari Farhan. Harusnya meskipun kamu ingin berpisah dari Arkan, kamu jangan memisahkan Mama dengan cucu Mama satu-satunya."Ainun menundukkan wajahnya dengan pen
Aku memandang tanganku yang disentuh lembut oleh tangan Ainun, lalu beralih melihat wajahnya juga. Agak tak percaya rasanya Ainun menerimaku. Tapi kata-katanya tadi terdengar jelas jika ia bersedia menikah kembali denganku, dan aku yakin tidak sedang salah dengar. Aku menatap Ainun lamat-lamat, memastikan jika saat dia ini sedang bersungguh-sungguh, bukan sedang menjahili ku.Ainun juga tampak sedang memandang kearahku, tapi kemudian dia menunduk dengan wajah yang agak bersemu merah. Tanpa sadar sudut bibirku sedikit terangkat. Ada perasaan aneh yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata saat melihatnya malu seperti itu. Kutarik kembali lengan Ainun dan kubawa lagi dia ke dalam pelukanku."Pak ...." Ainun hendak protes, tapi tampaknya kata-katanya tertahan hanya sampai di kerongkongan saja. Entah sejak kapan aku jadi sangat suka memeluknya seperti ini. Tubuh Ainun yang semula kaku pun kini jauh lebih rileks. Tanpa disadari, kami berdua tampaknya mulai menikmati tubuh kami yang saling b
"Kenapa?" Aku bertanya pada Ainun yang tampak kehilangan kata-kata. Dia hanya menggeleng kikuk dan terlihat salah tingkah."Kita hanya akan melakukan akad ulang, tidak perlu mengurus surat-surat ke KUA, jadi tidak akan terlalu merepotkan. Bisa segera dilaksanakan," ujarku.Ainun mengangkat wajahnya sejenak, lalu kembali menundukkan kepalanya. Mungkin dia merasa agak malu karena aku membicarakan pernikahan ulang kami dengan begitu gamblangnya. Aku maklum, karena di pernikahan kami sebelumnya, tak ada pembicaraan tentang pernikahan di antara kami berdua. Kami juga tak pernah benar-benar saling berhadapan seperti sekarang ini."Ainun," panggilku."Ya," Ainun menjawab sambil masih menunduk.Aku duduk di pinggiran tempat tidur, lalu memandang Ainun selama beberapa saat."Kemarilah, kita bicara." pintaku.Ainun kembali mengangkat wajahnya dan melihatku sejenak, sebelum akhirnya dia mendekat dan duduk di sampingku meski dengan sedikit ragu-ragu."Aku tidak akan meminta mu untuk memaafkan kes
"Ya Allah, apa saya tidak sedang salah lihat? Ini sungguhan Bu Ainun?" Bik Minah kembali bergumam tak percaya. Ainun hanya tersenyum karena tak tahu harus berkata apa. "Kita tidak disuruh masuk, Bik?" tanyaku. "Astagfirullah, maaf, Pak," ujar Bik Minah sembari menyingkirkan. Beliau Terlihat agak tidak enak karena sudah menghalangi pintu. Aku pun melangkah masuk diiringi oleh Ainun. Bik Minah juga mengikuti kami dari belakang. Sesampainya di ruang keluarga, aku mendudukkan Farhan di sofa dan mengambil alih koper yang dibawa Ainun. "Bu Ainun ...." Bik Minah kembali bergumam. Tampaknya dia masih belum percaya dengan kehadiran Ainun di rumah ini. "Apa kabar, Bik?" tanya Ainun kemudian sambil mengulas senyuman. Bik Minah balas tersenyum, tapi kemudian matanya berkaca-kaca. "Saya baik, Bu. Bu Ainun sendiri bagaimana kabarnya? Pergi kemana Ibu selama ini?" Bik Minah terlihat begitu emosional. Lagi-lagi Ainun hanya menjawab pertanyaan Bik Minah dengan senyuman. "Saya juga b
Cukup lama Ainun tersedu di pelukanku. Aku hanya diam sembari mengusap punggungnya lembut. Tak ada kata yang kuucapkan untuk menenangkannya, karena aku tahu, saat ini yang ia perlukan adalah ruang untuk menumpahkan semua kesedihan yang ditahannya selama ini. Kubiarkan dia menangis sepuasnya agar hatinya terasa jauh lebih lega.Setelah beberapa saat, tangis Ainun pun mereda. Kurasakan tangannya tak lagi melingkar di pinggangku dan pelukan kami pun terurai. Wajah Ainun terlihat sembab, tapi kemudian matanya agak sedikit melebar saat menyadari kemeja yang kukenakan basah di bagian dada karena airmatanya."Maaf, Pak ...," ujarnya panik.Aku tersenyum tipis melihat ekspresi wajahnya itu. "Sudah merasa lebih baik?" tanyaku.Ainun tampak menunduk. Entah kenapa aku berpikir jika saat ini dia sedang malu."Kemasilah barang-barang yang mau kamu bawa," titahku lagi.Ainun tampak kikuk dan tak tahu harus melakukan apa."Jangan keras kepala, lakukanlah seperti yang kukatakan tadi. Setelah Farhan
Ainun menyeka airmata yang terus luruh membasahi kedua pipinya. Ia terisak dengan agak tertahan, seakan tak ingin Farhan terganggu karena mendengar suara tangisannya."Apa maksudnya dengan hidupmu mungkin tidak akan lama lagi?" tanyaku dengan dada yang bergejolak hebat. Perasaan takut dan khawatir memenuhi pikiranku hingga tubuhku terasa agak bergetar."Saya mengidap penyakit serius, Pak. Saya tidak tahu akan mampu bertahan berapa lama lagi," jawab Ainun lirih."Penyakit serius apa, Ainun? Kamu sakit apa?" Tanpa sadar aku mencengkram kedua bahu Ainun dan memandang wajahnya dengan perasaan yang tak terlukiskan. Ainun menunduk semakin dalam. Bahunya berguncang karena tangisnya kini tak bisa lagi ia tahan. Airmata Ainun mengalir semakin deras layaknya derai hujan yang jatuh dari atas langit. Isakannya kini juga terdengar jelas. Ainun tersedu-sedu dengan sangat memilukan, membuatku paham besarnya penderitaan dan kesedihan yang saat ini ia tanggung. Dan Ainun menyimpannya seorang diri tan
Aku tak bisa melupakan wajah pucat Ainun hingga terus memikirkannya. Setiap kali teringat raut wajah kesakitannya serta ringisan lirih yang lolos dari mulutnya hari itu, seketika aku menjadi gelisah dibuatnya. Beberapa kali aku berusaha mampir ke kediaman Ainun dan mencari tahu keadannya, Ainun bersikeras jika dirinya tidak apa-apa dan terus mengusirku. Dan akhirnya aku pun menyerah, kuturuti keinginan Ainun yang akan membicarakan semuanya saat hasil tes DNA Farhan sudah keluar.Sebegitunya dia ingin membuktikan jika Farhan itu anakku. Mungkin karena luka yang kutorehkan di masa lalu yang terlalu dalam dan menyakitkan serta begitu mencoreng harga dirinya, hingga dia tak ingin mengatakan apapun padaku sebelum bukti itu dia genggam.Aku menghela nafas dalam sambil berusaha kembali fokus pada pekerjaanku. Sudah beberapa hari berlalu, yang artinya hasil tes DNA Farhan sudah bisa dilihat dalam beberapa hari kedepan, meskipun bagiku itu sama sekali tidak ada gunanya. Toh, aku sudah tahu jik
Aku pulang ke rumah dengan berbagai perasaan yang berbaur menjadi satu. Tapi dari semua rasa yang ada, perasaan senanglah yang kini lebih mendominasi hatiku. Akhirnya, setelah lima tahun pencarian tanpa hasil, sekarang aku kembali dipertemukan dengan Ainun dan Farhan lagi. Meskipun Ainun masih terlihat tak bersahabat dan agak menjaga jarak, tapi setidaknya aku bisa berinteraksi dengan mereka.Setelah membersihkan diri dan makan malam masakan sederhana Bik Minah, biasanya aku akan langsung masuk ke ruang kerja dan melanjutkan pekerjaan yang tidak terselesaikan di kantor. Tapi kali ini aku tidak masuk kesana, melainkan masuk ke kamar kosong yang berada di sebelah ruang kerjaku.Di lantai atas rumahku terdapat tiga buah kamar. Satu kamar tidurku, lalu kamar yang berada tepat di sebelah kamarku kuubah menjadi ruang kerja. Sedangkan kamar yang satunya lagi kubiarkan kosong. Aku mengamati setiap sudut kamar itu. Sudah ada tempat tidur dan juga lemari di sana, tapi selain itu tidak ada furn
"Aku tahu jika aku sudah melakukan kesalahan yang begitu fatal padamu dan juga Farhan. Aku tahu jika perlakuanku padamu benar-benar tak termaafkan. Tapi setidaknya, tolong beri aku kesempatan untuk menebus semua itu. Izinkan aku menjadi sosok ayah yang semestinya untuk Farhan, Ainun." Aku masih memeluk erat tubuh Ainun."Pak Arkan, saya mohon jangan seperti ini," ujar Ainun sambil sekali lagi berusaha lepas dari pelukanku."Maafkan kebodohanku, Ainun. Maaf karena telah menyia-nyiakan mu selama ini. Pulanglah, rumah kita sangat sepi sejak kamu pergi ....""Rumah kita?" Ainun mendorong tubuhku dengan hentakan yang lebih kuat daripada sebelumnya, hingga mau tak mau pelukanku pun terlepas."Apa Bapak yakin sedang tidak salah minum obat? Rumah mana yang Bapak maksud dengan rumah kita? Dan lagi, sejak kapan ada kata kita di antara saya dan Bapak?" tanya Ainun dengan sarkas.Aku terdiam dan menatapnya dengan perasaan bersalah yang begitu menghujam. Bukannya aku lupa dengan semua perlakuanku