Dreeeetttt
Dreeeetttt
Dreeeetttt
"Siapa, sih!" gerutuku saat ponsel yang di atas meja bergetar. Kulihat dengan ekor mataku, ternyata nomor Sesil yang menghubungiku.
Kuambil ponsel tersebut lalu kuangkat telfonnya.
"Halo ... ada apa?" tanyaku langsung ke pokok permasalahan.
"Ibu masuk rumah sakit, Mas!" jawab Sesil yang membuatku langsung mencampakkan lembaran kertas yang ada di tanganku.
"Kok bisa? Ibu kenapa? Bukannya tadi ada acara arisan?"
"Iya, Mas. Tapi Ibu sakit, langsung kubawa ke rumah sakit."
"Kamu bersama Syifa?"
"Tidak, Mas. Tadi kuajak Syifa, tapi ia nggak mau! Katanya sibuk! Aku disuruh mengurus Ibu sendirian!" ucapnya yang seketika m
"Prabu, antarkan Sesil pulang dong! Hitung-hitung balas budi karena udah bawa dan nemenin Ibu disini! Lihat istrimu itu! Jadi mantu nggak guna banget! Udah tau mertua sakit, jangankan nemenin, berkunjung pun sepertinya ogah!" cerocos Ibu yang membuat kuping terasa begitu panas.Ngomong-ngomong soal Syifa aku jadi teringat akan foto yang telah disebarkannya.Ya, aku harus memberinya pelajaran. Bisa-bisanya ia menyebarkan aib suami. Parahnya lagi, ia telah membuat Ibu sampai masuk rumah sakit.Memang semua ini kuanggap sudah impas, tapi tak seharusnya Syifa menyebarkan foto itu kan?!"Iya, Bu! Prabu antarkan, sekalian mau mandi juga! Ibu disini sama Mayang dulu ya!" Lebih baik kali ini aku mengalah, dari pada harus berdebat dengan Ibu. Takutnya jika Ibu marah, tensi Ibu bertambah naik dan berakibat buruk pada kesehatannya.Akhirnya kami keluar dari kamar rawat i
"Ayo, Mas! Talak sekarang juga! Lihatlah, sudah ada dua orang di belakangmu yang selalu mendukungmu!" Aku berusaha memancing emosi Mas Prabu. Berharap ia akan emosi lalu mengucapkan kata talak. Ibu memainkan bibirnya. Seperti seorang dukun yang tengah membaca mantra.Kemarin aku memang takut menjadi seorang janda, apalagi saat ini aku tengah hamil muda. Sekarang? Aku tak takut lagi. Justru kata talak yang kunantikan.Sebenarnya aku bisa saja langsung keluar dari rumah ini. Tapi aku ingin pergi dari rumah ini dalam keadaan bersih. Lepas dari ikatan pernikahan ini.Apa jadinya jika aku pergi dari rumah tanpa ridho dari suami? Bukankah itu akan menjadi dosa untukku? Toh jika kata talak sudah terucap, tak ada suatu hal yang membebani."Kenapa kamu diam saja, Prabu! Harga dirimu telah diinjak-injak oleh istrimu itu!"Ibu beralih melihatku. "Hey, Syifa! Kau pikir kau siapa
Aku menahan butiran bening itu sekuat tenaga agar tak luruh dihadapan para manusia tak berhati itu. Aku tak mau mereka melihat kerapuhan ku. Aku tak mau mereka semakin gembira dengan melihat tangisku.Memang disaat aku sedang bersitatap dengan mereka, aku mampu terlihat kuat, tegar dan tak gentar. Tapi entah kenapa, terkadang hati ini terasa sakit. Sakit yang teramat sangat. Apakah hormon kehamilan juga berpengaruh?Bergegas aku menuju kamarku. Kamar yang sebentar lagi tak akan kugunakan lagi.Kubuka daun pintu.Dengan segera, kututup pintu kamar yang sebentar lagi tak akan aku tinggali.Kubersandar di daun pintu. Butiran bening mulai berdesakan untuk mencari jalan kaluarnya. Lambat laun pandanganku semakin mengabur seiring dengan cairan bening yang memenuhi kelopak mataku.Luruh. Luruh sudah air mata yang sedari tadi kutahan. 
Aku terus melangkah, tak kupedulikan sepasang anak dan ibu itu yang terus berdebat. Saat selangkah lagi kaki ini melewati ambang pintu, tiba-tiba ... "Satu langkah saja kau keluar pintu, talak tiga jatuh padamu, Syifaaaaaaaa!" teriak Mas Prabu dengan lantangnya. Tubuh ini berhenti bergerak, hingga mampu membuat kaki ini menggantung diudara. Tinggal satu jengkal saja, kaki ku sudah menapak di atas lantai dan melewati batas pintu. Segera kutarik kembali kaki ku. Aku memutar tubuh. Pandanganku dan juga Mas Prabu saling beradu. Lelaki itu terlihat menyeringai. "Aku tahu, kamu tak akan benar-benar pergi dariku, Syifa! Kemarilah!" Dengan oercaya dirinya ia memerintahku sembari merentangkan kedua tangannya seperti hendak memelukku. Aku diam membatu. "Kenapa kamu berhenti?! Sana pergi dari rumahku!
Setelah selesai, aku bergegas pergi. Tak lupa pula kusisipkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu itu ke dalam kotak amal masjid. Aku melangkah dengan senyum terus tercetak jelas di bibirku.Saat aku terus melangkah. Tiba-tiba ada Mas Prabu berdiri kaku di hadapanku."Ngapain kamu, Mas?!""Ayo kita pulang!" ucapnya dengan menarik pergelangan tanganku dengan kencang."Lepaskan tanganku, Mas!" teriakku dengan mengibaskan cekalan tangannya. Mas Prabu tak memperdulikan teriakanku, ia terus menyeretku."Lepas, Mas!" bentakku dengan suara menggelegar. "Lepaaaaaasss!" Dengan sedikit menyentak cekalannya, akhirnya tanganku bisa lepas."Kamu mau kemana? Ayo pulang!" ajaknya lagi sambil tangannya ingin meraih kembali pergelangan tanganku."Ka
POV Prabu**Benar-benar diluar dugaanku. Kukira Syifa akan menghiba saat semua barang miliknya kuminta kembali, dengan harapan, ia tak akan pergi dari rumah ini. Bahkan, sudah kuancam dengan talak tiga pun ia tetap teguh dengan pendiriannya.Aku tak menyangka, kalau dia senekat itu. Ia berani pergi hanya membawa baju yang menempel di tubuhnya dan ponsel miliknya. Selembar uang pun dia tak memiliki.Arrrgghhh ... kenapa jadi seperti ini, sih!Ini semua memang gara-gara Ibu. Aku tahu, Syifa sebenarnya ingin kembali, tapi gara-gara Ibu yang terus menghardiknya, ia akhirnya tetap memilih pergi.Sepeninggalan Syifa, datanglah Sesil."Ada apa, Bu? Kok Mas Prabu terlihat kusut sekali?""Nggak ada apa-apa. Istrinya pergi!""Yang benar, Bu?!" D
Dengan langkah panjang dan cepat, aku menghampiri kedua mertuaku yang katanya sudah menungguku."Maaf Ma, Pa, lama nunggunya. Masih mandi dulu," ucapku merasa tak enak."Duduklah. Ada yang ingin Papa bicarakan."Aku segera mendaratkan tubuhku disamping Sesil."Begini, Prabu ... sebelumnya papa TEKANKAN, Sesil adalah anak kami, kami yang membesarkan dia, kami yang menyekolahkan dia, kami yang merawat dia."Aku mengangguk mengerti."Meskipun, saat ini dia sudah menikah denganmu, meskipun dia menjadi hak kamu, Papa dan Mama ingin agar Sesil berhenti bekerja. Kami ingin Sesil di rumah saja. Tidak capek-capek bekerja. Kamu mengerti?""Loh, Pa ... nggak bisa gitu dong! Sesil ingin berkarir terus. Sayang loh, Pah!" protes Sesil.
Aku beranjak dari sofa. Kulangkahkan kaki ini menuju pintu utama. Kutarik handel pintu lalu dengan perlahan kubuka daun pintu.Mataku menyipit, keningku berkerut saat melihat dua orang lelaki bertubuh tegap memakai seragam khas seorang polisi."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku kepada kedua orang polisi tersebut sebelum saya persilahkan untuk masuk."Apa benar ini dengan rumahnya saudari Mayang?" ucap polisi pertama."Benar, Pak! Saya kakaknya. Ada apa ya, Pak?""Siapa yang datang, Prabu?" teriak Ibu."Mari masuk, Pak," ajakku, kedua polisi itu mengangguk lalu berjalan di belakangku."Loh, bapak-bapak polisi ini ada apa ya?" tanya Ibu dengan kening berkerut saat kedua polisi tersebut sudah mendaratkan tubuhnya di sofa.