Aku menahan butiran bening itu sekuat tenaga agar tak luruh dihadapan para manusia tak berhati itu. Aku tak mau mereka melihat kerapuhan ku. Aku tak mau mereka semakin gembira dengan melihat tangisku.
Memang disaat aku sedang bersitatap dengan mereka, aku mampu terlihat kuat, tegar dan tak gentar. Tapi entah kenapa, terkadang hati ini terasa sakit. Sakit yang teramat sangat. Apakah hormon kehamilan juga berpengaruh?
Bergegas aku menuju kamarku. Kamar yang sebentar lagi tak akan kugunakan lagi.
Kubuka daun pintu.
Dengan segera, kututup pintu kamar yang sebentar lagi tak akan aku tinggali.
Kubersandar di daun pintu. Butiran bening mulai berdesakan untuk mencari jalan kaluarnya. Lambat laun pandanganku semakin mengabur seiring dengan cairan bening yang memenuhi kelopak mataku.
Luruh. Luruh sudah air mata yang sedari tadi kutahan.
 
Aku terus melangkah, tak kupedulikan sepasang anak dan ibu itu yang terus berdebat. Saat selangkah lagi kaki ini melewati ambang pintu, tiba-tiba ... "Satu langkah saja kau keluar pintu, talak tiga jatuh padamu, Syifaaaaaaaa!" teriak Mas Prabu dengan lantangnya. Tubuh ini berhenti bergerak, hingga mampu membuat kaki ini menggantung diudara. Tinggal satu jengkal saja, kaki ku sudah menapak di atas lantai dan melewati batas pintu. Segera kutarik kembali kaki ku. Aku memutar tubuh. Pandanganku dan juga Mas Prabu saling beradu. Lelaki itu terlihat menyeringai. "Aku tahu, kamu tak akan benar-benar pergi dariku, Syifa! Kemarilah!" Dengan oercaya dirinya ia memerintahku sembari merentangkan kedua tangannya seperti hendak memelukku. Aku diam membatu. "Kenapa kamu berhenti?! Sana pergi dari rumahku!
Setelah selesai, aku bergegas pergi. Tak lupa pula kusisipkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu itu ke dalam kotak amal masjid. Aku melangkah dengan senyum terus tercetak jelas di bibirku.Saat aku terus melangkah. Tiba-tiba ada Mas Prabu berdiri kaku di hadapanku."Ngapain kamu, Mas?!""Ayo kita pulang!" ucapnya dengan menarik pergelangan tanganku dengan kencang."Lepaskan tanganku, Mas!" teriakku dengan mengibaskan cekalan tangannya. Mas Prabu tak memperdulikan teriakanku, ia terus menyeretku."Lepas, Mas!" bentakku dengan suara menggelegar. "Lepaaaaaasss!" Dengan sedikit menyentak cekalannya, akhirnya tanganku bisa lepas."Kamu mau kemana? Ayo pulang!" ajaknya lagi sambil tangannya ingin meraih kembali pergelangan tanganku."Ka
POV Prabu**Benar-benar diluar dugaanku. Kukira Syifa akan menghiba saat semua barang miliknya kuminta kembali, dengan harapan, ia tak akan pergi dari rumah ini. Bahkan, sudah kuancam dengan talak tiga pun ia tetap teguh dengan pendiriannya.Aku tak menyangka, kalau dia senekat itu. Ia berani pergi hanya membawa baju yang menempel di tubuhnya dan ponsel miliknya. Selembar uang pun dia tak memiliki.Arrrgghhh ... kenapa jadi seperti ini, sih!Ini semua memang gara-gara Ibu. Aku tahu, Syifa sebenarnya ingin kembali, tapi gara-gara Ibu yang terus menghardiknya, ia akhirnya tetap memilih pergi.Sepeninggalan Syifa, datanglah Sesil."Ada apa, Bu? Kok Mas Prabu terlihat kusut sekali?""Nggak ada apa-apa. Istrinya pergi!""Yang benar, Bu?!" D
Dengan langkah panjang dan cepat, aku menghampiri kedua mertuaku yang katanya sudah menungguku."Maaf Ma, Pa, lama nunggunya. Masih mandi dulu," ucapku merasa tak enak."Duduklah. Ada yang ingin Papa bicarakan."Aku segera mendaratkan tubuhku disamping Sesil."Begini, Prabu ... sebelumnya papa TEKANKAN, Sesil adalah anak kami, kami yang membesarkan dia, kami yang menyekolahkan dia, kami yang merawat dia."Aku mengangguk mengerti."Meskipun, saat ini dia sudah menikah denganmu, meskipun dia menjadi hak kamu, Papa dan Mama ingin agar Sesil berhenti bekerja. Kami ingin Sesil di rumah saja. Tidak capek-capek bekerja. Kamu mengerti?""Loh, Pa ... nggak bisa gitu dong! Sesil ingin berkarir terus. Sayang loh, Pah!" protes Sesil.
Aku beranjak dari sofa. Kulangkahkan kaki ini menuju pintu utama. Kutarik handel pintu lalu dengan perlahan kubuka daun pintu.Mataku menyipit, keningku berkerut saat melihat dua orang lelaki bertubuh tegap memakai seragam khas seorang polisi."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku kepada kedua orang polisi tersebut sebelum saya persilahkan untuk masuk."Apa benar ini dengan rumahnya saudari Mayang?" ucap polisi pertama."Benar, Pak! Saya kakaknya. Ada apa ya, Pak?""Siapa yang datang, Prabu?" teriak Ibu."Mari masuk, Pak," ajakku, kedua polisi itu mengangguk lalu berjalan di belakangku."Loh, bapak-bapak polisi ini ada apa ya?" tanya Ibu dengan kening berkerut saat kedua polisi tersebut sudah mendaratkan tubuhnya di sofa.
Bu ..." lirihku. Ibu dan Mayang menoleh kearahku secara bersamaan."Apa kata dokter?""Itu, Bu ... Mayang harus segera melakukan tindakan operasi pengangkatan rahim.""APA?!" teriak Sesil dan juga Ibu secara bersamaan."Kamu jangan asal ngomong, Prabu! Main angkat rahim segala! Memang kau pikir rahim itu seperti jemuran yang bisa main angkat saja?!" sungut Ibu. Sesil menghampiriku dengan sorot mata seperti meminta penjelasan lebih.Aku berjalan ke arah sofa lalu kudaratkan tubuh lelah ini. Kusandarkan tubuhku di kepala sofa. Kuusap wajahku dengan kasar."Dokter sendiri yang bilang, Bu. Dokter mengatakan kalau itulah pilihan yang terbaik demi keselamatan Mayang sendiri!""Bagaimana, Pak, apa sudah diputuskan?" Tiba-tiba suara dokter yang sempat
"Saya ada penawaran untukmu, dan ini tidak merugikan bahkan menguntungkan pihak manapun!"Aku diam."Jadi saya berencana untuk memilih jalan berdamai. Bagaimana? Jika anda terus membawa kasus ini ke jalur hukum, begitu pun dengan apa yang akan kami lakukan! Kami akan menuntut adik anda karena berzina dengan suami orang. Ditambah adik anda yang telah mengancam menantu saya. Bagiamana? Bukankah adik anda akan terlibat dua kasus?" ucap seseibu itu lalu tersenyum sinis.Aku diam. Aku mencoba memikirkan langkah apa yang harus aku ambil.Apakah jalur damai menjadi pilihan yang terbaik? Mayang terbaring lemah di atas ranjang, sampai-sampai kehilangan rahimnya, lalu pelakunya bisa bebas melakukan apapun.Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan."Bagaimana?" ucap ibu itu y
"Bu...."Aku segera beranjak dari sofa saat mendengar suara Mayang memanggilku."Kamu sudah sadar, Sayang. Alhamdulillah." Kupeluk dengan pelan tubuh putriku.Lega sekali rasanya saat Mayang sudah tersadar dari tidur panjangnya."Bu, kenapa Mayang ada disini?" ucapnya sembari pandangannya menatap sekeliling kamar ini."Kamu sedang tidak sehat, Sayang. Makanya kamu di rawat.""Apa karena kejadian kemarin Ibu? Maafkan Mayang, Bu!" Kedua netra Mayang berkaca-kaca. Tak lama kemudian, air mata yang sempat menganak sungai, kini lirih seketika.Kuusap dengan perlahan. "Nggak apa-apa. Yang penting kamu segera sehat!" ucapku menenangkannya agar tak terlarut dalam rasa bersalahnya."Assalamualaikum ..." Terdengar suara dari pintu. Aku menoleh, ternyata para tetangga yang datang.