JebakanEs mencair di dalam api, tapi janji Gilang tidak mencairkan hati Aria sedikit pun.Dia berbalik untuk menatapnya dengan seringaian di ujung bibirnya. “Sungguh? Bagaimana kamu akan membelinya? Apakah kamu akan mencurinya?”“Ayolah, Aria. Jangan bercanda! Aku tidak setidak kompeten seperti yang kamu kira,” gumamnya.Aria tertawa. Nikmat sekali rasanya tertawa setelah hari yang melelahkan. “Kamu lucu sekali, Gilang. Benar! Menurutku kamu tidak kompeten. Kamu seharusnya duduk dan memperhatikan aku. Aku akan membuat kakekku menyetujui perceraian kita,” katanya dengan mantap.Gilang memandangnya selama beberapa saat dan berjalan mendekat. “Kamu melewatkan satu hal, Aria. Kamu tidak bisa keluar dari pernikahan ini kecuali aku menginginkannya.”“Kita akan segera bercerai, aku jamin itu.” Dia berbalik untuk pergi, tapi dia langsung berhenti lagi. “Kamu tidak akan tidur di kamarku malam ini. Tidur saja di kamar pelayan, aku tidak peduli.” Dia melangkah masuk ke kamarnya dan menutup
Bar di KantorGilang mendengus. Dia tidak memercayainya. Sebuah bar di kantor?“Hei! Siapa kamu? Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?” kata seseorang dari belakangnya.Gilang membalikkan badannya untuk melihat orang yang sedang bercinta dengan seorang wanita ketika dia pertama masuk ke dalam. Dia tidak melihat wanita itu lagi.“Siapa kamu?” tanya Gilang dengan sopan.Pria itu menyeringai. “Serius? Kamu menanyakan hal itu padaku?”“Iya.” Gilang mengangguk dan memasang ekspresi polos. “Aku tidak tahu siapa kamu. Lalu, kenapa ada bar di dalam kantor atau apakah perusahaan ini mengganti namanya?” ejeknya dengan lembut.Seorang pria menghampirinya dan menarik kerah Gilang. “Berani-beraninya kamu berbicara pada Marvin seperti itu!” bentaknya.“Kepala Sekretaris itu adalah Marvin?” tanya Gilang tidak percaya.Gelak tawa muncul dari ruangan itu dan menyebar seperti kebakaran hutan di antara yang lainnya. Seorang pria yang mencengkeram Gilang melepaskannya dan tertawa juga.“Jangan bila
Manajer BaruGilang tidak bisa berhenti tertawa. Dia tahu ada sesuatu yang aneh sejak dia melangkah masuk ke lobi. Dia mengambil air dari wanita itu dan meminumnya.“Aku akan pergi dulu karena ada tempat yang harus aku datangi, tapi…” Gilang berbalik dan mendapati bahwa Marvin sudah berdiri dibantu yang lainnya.“Siapa kamu sebenarnya?” Ada ekspresi terkejut di wajahnya seraya dia menatap Gilang penasaran.Gilang tersenyum licik. “Mimpi terburukmu. Omong-omong, kalian semua yang akan membersihkan seluruh tempat ini. Aku harus pergi ke ruangan Kepala Sekretaris,” jelasnya.Orang-orang itu mengerang tidak rela.Gilang menatap mereka. “Kalian tidak mau membersihkannya?”“Kami akan membersihkannya,” jawab Marvin dengan cepat. “Apakah ada lagi yang kamu mau?”“Semua yang terjadi di ruangan itu tidak boleh sampai keluar dari ruangan ini. Kalian tidak boleh memberi tahu siapa-siapa. Bilang saja pada mereka bahwa kalian telah menanganiku.” Dia tersenyum lebar. “Seperti yang kalian laku
Pertemuan dengan PasanganGilang telah membaca laporan dan dokumen selama berjam-jam. Dia menyadari bahwa angka-angkanya kacau sekali.Rekening milik perusahaan kosong dan hanya sedikit stok CCTV yang tersisa. Bahannya juga sangat sedikit. Hanya tersisa beberapa minggu lagi sebelum SU World akan hancur.Gilang menelepon ruang akuntan. “Halo, temui aku di ruanganku sekarang juga,” perintahnya lalu langsung mematikan telepon tanpa menunggu jawaban.Sebuah ketukan pelan terdengar dari pintu.Gilang menegakkan badannya. “Ya, masuklah.”Maria masuk ke dalam. “Hai, Bos. Ini sudah waktunya pulang. Aku akan segera pulang, tapi aku memutuskan untuk menemuimu dulu. Apakah sudah selesai?”Sebelum Gilang bisa mengatakan apa-apa, sebuah ketukan lainnya terdengar dari pintu. John melangkah masuk, mengenakan setelan jas. Dia hampir terlihat seperti Gilang kecuali dia memiliki janggut tipis dan Gilang lebih tinggi darinya.“Kamu ingin bertemu denganku?”Gilang mengangguk dan memilih sebuah do
Pertemuan dengan Tetua Terakhir“Tuan, pria ini adalah Gilang dan orang paling tidak berguna di dunia. Dia dulu bekerja sebagai kurir dan dia sekarang tidak ada harganya,” jelas Satya.Axel menggeram, tidak menyukai penjelasannya. Dia masih menatap Gilang dengan tatapan penasaran yang tidak familier bagi Gilang.“Apakah kamu bilang namamu Gilang Farraz?” ulangnya.Gilang mengangguk singkat. “Aku seharusnya bertemu dengan seseorang di sini dan dia sedang dalam perjalanan.” Dia berusaha sebisa mungkin untuk bersikap sopan.“Tuan Axel,” potong Satya sebelum Axel bisa mengatakan sesuatu. “Tidak seharusnya Tuan berbicara dengan orang seperti ini. Tuan hanya akan membuang-buang waktu. Para satpam bisa menjelaskannya untukmu.”Axel menoleh pada Satya. “Maaf, kamu siapa?” Dia menaikkan salah satu alisnya.Satya tersenyum. “Aku Satya. Aku baru saja membeli semua kursi di bioskop ini dan…”“Kamu tidak bisa melakukannya. Orang lain telah memesannya,” potong Axel dengan cepat.Wajah Satya
Ciuman Tak Terduga“Maafkan aku, Gilang. Aku benar-benar meminta maaf. Semuanya salahku,” ujar Axel dengan perasaan menyesal yang mendalam.Gilang membalikkan badannya seraya menyeka air matanya yang tiba-tiba menetes. Dia tidak mengetahui banyak hal dulu. Dia tidak tahu alasan mengapa ayahnya sangat keras padanya adalah karena kelompok mafia yang dia pimpin. Namun, Gilang tidak pernah membenci ayahnya dan itu melukainya ketika dia menyadari bahwa dia telah tiada selamanya.“Aku sudah mencarimu ke mana-mana, Gilang. Aku benar-benar telah terlibat banyak masalah hanya untuk menemukanmu. Kukira kamu meninggal ketika mobil itu meledak,” jelasnya.Gilang menarik nafas dalam untuk menenangkan dirinya. Lalu, dia pelan-pelan berbalik untuk menghadap Axel. “Bangunlah,” katanya.Axel menatap Gilang. “Aku tidak bisa menebus dosa besarku,” ujarnya dengan getir.Gilang menghela nafas dan menghampirinya untuk menariknya bangun. “Jangan berlutut padaku. Kamu dulu adalah pamanku, dan yah, sekar
BersemangatGilang begitu terkejut sampai dia melepaskan cengkeramannya pada Liam.“Apa-apaan?” umpat Liam dan dia berlari menjauh. Tangannya masih kesakitan dan dia takut akan apa yang Gilang akan lakukan padanya jika dia tidak pergi dengan cepat.Gilang merasakan kepalanya melayang. Dia tidak menyangka ciuman dari Cantika akan membuatnya seperti itu. Yah, dia tidak bisa menyalahkan dirinya sendiri. Kapan terakhir kali dia berciuman? Kapan terakhir kali dia menyentuh seorang wanita? Dia sudah berusaha sekeras mungkin untuk menghindari terlibat dengan wanita setelah dia menjadi seorang menantu.Walaupun itu hanya perkataan dan istrinya tidak mengabdi padanya, dia masih merasa harus mematuhi peraturan itu.Gilang bergidik pelan dan ingin terus menikmatinya, hanya jika itu mungkin. Tangannya terangkat dan menyentuh Cantika, menyalakan api pada dirinya yang membuatnya bergidik pelan. Namun, Gilang tidak mengetahui ini.Dia bertengkar dengan pikirannya sendiri tentang apa yang akan d
TugasTidak ada siapa pun di ruang tengah ketika Gilang melangkah masuk.Dia membuka pintu kamar pelan-pelan supaya dia tidak membangunkan Aria. Dia tidak tahu bahwa sebenarnya dia sudah terbangun ketika Gilang membuka pintunya.Gilang terbangun lebih awal daripada Aria. Dia tidak ingin Aria membuang-buang waktunya pagi hari itu. Bahkan, dia tiba di meja makan lebih dulu darinya.Walaupun begitu, Aria datang beberapa menit kemudian.“Ayah, bagaimana kabar perusahaan akhir-akhir ini?” Emma memulai perbincangan.Gilang menghela nafas. Keluarga itu terbiasa berbicara saat sedang sarapan. Mungkin karena mereka biasanya tidak memiliki waktu untuk makan malam bersama atau mungkin Kamala hanya tidak ingin berbincang di malam hari.“Baik. Memangnya bagaimana lagi? Ian menjalankannya dengan sempurna,” jawab Kamala dengan nada yang kasar. Itu menunjukkan bahwa dia masih marah pada Aria.Emma menghela nafas. “Jika saja Ayah bisa mempertimbangkannya kembali. Aria menjalankannya dengan lebi
SekstiliunCakra menutup telepon sebelum Gilang sempat mengatakan apa pun.Gilang menatap Cakra. "Dia harus membatalkan kesepakatan itu!""Apa? Kenapa?" Cakra kebingungan.Gilang menghela nafas sambil mengusap keningnya pelan. "Sudahlah, aku akan melakukannya sendiri. Apa lagi yang perlu kamu serahkan padaku? Aku harus pulang."Ratih melirik jam tangannya. "Aku harus berangkat sekarang. Penerbanganku satu jam lagi."Gilang mengangguk. “Kalau begitu, kita akan bicara di telepon.”Ratih mengangguk dan menghampiri Alfa.Cakra menoleh ke arah Gilang. “Aku akan mengantarmu ke kota. Bagaimana kalau kita berangkat bersama agar aku bisa bercerita lebih banyak padamu dalam perjalanan?” sarannya.Gilang mengangguk. "Ide bagus."Cakra menaiki tangga untuk mengambil beberapa berkas. Dia ragu-ragu di depan pintu dan mencoba memikirkan apakah dia melewatkan sesuatu. Ketika dia yakin dia sudah membawa semuanya, dia berjalan ke bawah lagi.Gilang mengambil kotak berisi harta milik ayahnya d
Kebenaran“Kamu pikir kamu siapa? Kamu tidak bisa tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai Garuda! Ke mana saja kamu selama ini?” teriak Cakra.Gilang menatapnya selama beberapa saat, dia tidak tahu apakah dia marah karena Gilang akan mengambil kembali propertinya ataukah dia hanya khawatir.“Hei, Cakra. Tenanglah! Ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan semua ini!” kata Ratih.“Serius?” Cakra menyeringai. “Suruh dia untuk memberitahuku waktu yang tepat, karena aku tidak akan membiarkannya!”Ratih menghela nafas, sudah merasa lelah. Dia memutuskan untuk memanggil Alfa. Mungkin dia bisa menghentikan perkelahian antara Gilang dan Cakra. “Di mana Alfa? Apakah dia ada di dalam?”Cakra menatap Aria dan mengangguk pelan. “Dokumen dan hal-hal lainnya miliknya ada di dalam. Aku rasa aku tidak dibutuhkan lagi di sini dan aku akan pergi!” bentaknya.Ratih bergegas masuk ke dalam, meninggalkan kedua orang itu bertatap-tatapan dengan tajam.“Tidak ada yang bisa kamu katakan? Kamu kehabisan
TanahGilang menghela nafas seraya memasuki ruang kerjanya.Aria menolak mendengarkannya dan dia bahkan tidak tahu bagaimana keputusannya nanti.Jika saja dia tahu bahwa dia adalah Garuda dan dia akan membantunya.Sebuah ketukan pelan terdengar dari pintu, menyadarkan Gilang dari lamunannya.Dia menengadahkan kepalanya. “Ya, masuklah.”Pintu itu terbuka dan Maria melangkah masuk. “Ini, Tuan.” Dia meletakkan dokumen besar di mejanya. “Aku telah membuat perkiraan jumlah yang kami perlukan dan aku tidak bisa menguranginya lagi,” katanya.Gilang mengambil dokumen itu dan memeriksanya. “Baiklah. Totalnya 90 miliar rupiah?”“Benar, Tuan, tapi menurutku kita tetap harus memilih untuk melakukan pinjaman.” Dia terlihat gelisah. “Tidak mungkin kita bisa membiayai itu. Kami pun tidak bisa kehilangan pekerjaan ini. Pekerjaan ini akan membantu perusahaan ini secara keuangan. Kita bisa mendapatkan pinjaman dan membayarnya kembali setelah kita mendapatkan pembayaran dari perusahaannya,” saran
TugasTidak ada siapa pun di ruang tengah ketika Gilang melangkah masuk.Dia membuka pintu kamar pelan-pelan supaya dia tidak membangunkan Aria. Dia tidak tahu bahwa sebenarnya dia sudah terbangun ketika Gilang membuka pintunya.Gilang terbangun lebih awal daripada Aria. Dia tidak ingin Aria membuang-buang waktunya pagi hari itu. Bahkan, dia tiba di meja makan lebih dulu darinya.Walaupun begitu, Aria datang beberapa menit kemudian.“Ayah, bagaimana kabar perusahaan akhir-akhir ini?” Emma memulai perbincangan.Gilang menghela nafas. Keluarga itu terbiasa berbicara saat sedang sarapan. Mungkin karena mereka biasanya tidak memiliki waktu untuk makan malam bersama atau mungkin Kamala hanya tidak ingin berbincang di malam hari.“Baik. Memangnya bagaimana lagi? Ian menjalankannya dengan sempurna,” jawab Kamala dengan nada yang kasar. Itu menunjukkan bahwa dia masih marah pada Aria.Emma menghela nafas. “Jika saja Ayah bisa mempertimbangkannya kembali. Aria menjalankannya dengan lebi
BersemangatGilang begitu terkejut sampai dia melepaskan cengkeramannya pada Liam.“Apa-apaan?” umpat Liam dan dia berlari menjauh. Tangannya masih kesakitan dan dia takut akan apa yang Gilang akan lakukan padanya jika dia tidak pergi dengan cepat.Gilang merasakan kepalanya melayang. Dia tidak menyangka ciuman dari Cantika akan membuatnya seperti itu. Yah, dia tidak bisa menyalahkan dirinya sendiri. Kapan terakhir kali dia berciuman? Kapan terakhir kali dia menyentuh seorang wanita? Dia sudah berusaha sekeras mungkin untuk menghindari terlibat dengan wanita setelah dia menjadi seorang menantu.Walaupun itu hanya perkataan dan istrinya tidak mengabdi padanya, dia masih merasa harus mematuhi peraturan itu.Gilang bergidik pelan dan ingin terus menikmatinya, hanya jika itu mungkin. Tangannya terangkat dan menyentuh Cantika, menyalakan api pada dirinya yang membuatnya bergidik pelan. Namun, Gilang tidak mengetahui ini.Dia bertengkar dengan pikirannya sendiri tentang apa yang akan d
Ciuman Tak Terduga“Maafkan aku, Gilang. Aku benar-benar meminta maaf. Semuanya salahku,” ujar Axel dengan perasaan menyesal yang mendalam.Gilang membalikkan badannya seraya menyeka air matanya yang tiba-tiba menetes. Dia tidak mengetahui banyak hal dulu. Dia tidak tahu alasan mengapa ayahnya sangat keras padanya adalah karena kelompok mafia yang dia pimpin. Namun, Gilang tidak pernah membenci ayahnya dan itu melukainya ketika dia menyadari bahwa dia telah tiada selamanya.“Aku sudah mencarimu ke mana-mana, Gilang. Aku benar-benar telah terlibat banyak masalah hanya untuk menemukanmu. Kukira kamu meninggal ketika mobil itu meledak,” jelasnya.Gilang menarik nafas dalam untuk menenangkan dirinya. Lalu, dia pelan-pelan berbalik untuk menghadap Axel. “Bangunlah,” katanya.Axel menatap Gilang. “Aku tidak bisa menebus dosa besarku,” ujarnya dengan getir.Gilang menghela nafas dan menghampirinya untuk menariknya bangun. “Jangan berlutut padaku. Kamu dulu adalah pamanku, dan yah, sekar
Pertemuan dengan Tetua Terakhir“Tuan, pria ini adalah Gilang dan orang paling tidak berguna di dunia. Dia dulu bekerja sebagai kurir dan dia sekarang tidak ada harganya,” jelas Satya.Axel menggeram, tidak menyukai penjelasannya. Dia masih menatap Gilang dengan tatapan penasaran yang tidak familier bagi Gilang.“Apakah kamu bilang namamu Gilang Farraz?” ulangnya.Gilang mengangguk singkat. “Aku seharusnya bertemu dengan seseorang di sini dan dia sedang dalam perjalanan.” Dia berusaha sebisa mungkin untuk bersikap sopan.“Tuan Axel,” potong Satya sebelum Axel bisa mengatakan sesuatu. “Tidak seharusnya Tuan berbicara dengan orang seperti ini. Tuan hanya akan membuang-buang waktu. Para satpam bisa menjelaskannya untukmu.”Axel menoleh pada Satya. “Maaf, kamu siapa?” Dia menaikkan salah satu alisnya.Satya tersenyum. “Aku Satya. Aku baru saja membeli semua kursi di bioskop ini dan…”“Kamu tidak bisa melakukannya. Orang lain telah memesannya,” potong Axel dengan cepat.Wajah Satya
Pertemuan dengan PasanganGilang telah membaca laporan dan dokumen selama berjam-jam. Dia menyadari bahwa angka-angkanya kacau sekali.Rekening milik perusahaan kosong dan hanya sedikit stok CCTV yang tersisa. Bahannya juga sangat sedikit. Hanya tersisa beberapa minggu lagi sebelum SU World akan hancur.Gilang menelepon ruang akuntan. “Halo, temui aku di ruanganku sekarang juga,” perintahnya lalu langsung mematikan telepon tanpa menunggu jawaban.Sebuah ketukan pelan terdengar dari pintu.Gilang menegakkan badannya. “Ya, masuklah.”Maria masuk ke dalam. “Hai, Bos. Ini sudah waktunya pulang. Aku akan segera pulang, tapi aku memutuskan untuk menemuimu dulu. Apakah sudah selesai?”Sebelum Gilang bisa mengatakan apa-apa, sebuah ketukan lainnya terdengar dari pintu. John melangkah masuk, mengenakan setelan jas. Dia hampir terlihat seperti Gilang kecuali dia memiliki janggut tipis dan Gilang lebih tinggi darinya.“Kamu ingin bertemu denganku?”Gilang mengangguk dan memilih sebuah do
Manajer BaruGilang tidak bisa berhenti tertawa. Dia tahu ada sesuatu yang aneh sejak dia melangkah masuk ke lobi. Dia mengambil air dari wanita itu dan meminumnya.“Aku akan pergi dulu karena ada tempat yang harus aku datangi, tapi…” Gilang berbalik dan mendapati bahwa Marvin sudah berdiri dibantu yang lainnya.“Siapa kamu sebenarnya?” Ada ekspresi terkejut di wajahnya seraya dia menatap Gilang penasaran.Gilang tersenyum licik. “Mimpi terburukmu. Omong-omong, kalian semua yang akan membersihkan seluruh tempat ini. Aku harus pergi ke ruangan Kepala Sekretaris,” jelasnya.Orang-orang itu mengerang tidak rela.Gilang menatap mereka. “Kalian tidak mau membersihkannya?”“Kami akan membersihkannya,” jawab Marvin dengan cepat. “Apakah ada lagi yang kamu mau?”“Semua yang terjadi di ruangan itu tidak boleh sampai keluar dari ruangan ini. Kalian tidak boleh memberi tahu siapa-siapa. Bilang saja pada mereka bahwa kalian telah menanganiku.” Dia tersenyum lebar. “Seperti yang kalian laku