Ardan pergi menuju perusahaan Akarsana, ada sebuah kabar yang harus ia beritahu Akarsana secara langsung. Kabar ini pasti akan melukai Akarsana, tetapi ia harus memberikan kabar ini agar Akarsana berhenti mencintai seseorang yang bahkan sudah memiliki suami. Ardan tidak ingin Akarsana terperangkap hubungan yang salah, meskipun ia tahu kalau Akarsana dan Naomi sudah tidak saling menghubungi lagi karena larangan Prita. "Kamu bisa lihat sendiri ini," ucap Ardan sambil menunjukkan sebuah foto pada Akarsana. Ardan mendapatkan foto itu dari seorang temannya yang tinggal di Amerika dan kebetulan temannya itu salah satu teman dari suami Naomi. Ardan terlalu geram pada Naomi yang membohongi Akarsana, Akarsana harus tahu kalau Naomi itu sudah menikah. Ardan tidak ingin Akarsana terjebak dengan wanita iblis itu. Akarsana menerima ponsel Ardan, ia melihat foto yang Ardan tunjukkan padanya. Seketika tubuhnya mematung ketika melihat foto itu, wajah Akarsana memerah pertanda ia sangat marah
Sampai Akarsana tiba di rumah, lelaki itu masih terbayang-bayang oleh penjelasan Ardan mengenai Naomi yang telah bersuami. Akarsana tidak tahu menahu soal itu. Akarsana pikir Naomi belum menikah sama sekali. Apa lagi mengingat perempuan itu sempat menelpon ke nomornya dan mereka mengobrol cukup lama sebelum dia ketahuan oleh Prita. Tega sekali Naomi membohongi dirinya. Jika perempuan itu memang telah menikah dan hidup bahagia di Amerika, kenapa masih memberi harapan kepada Akarsana? Entahlah, untuk saat ini Akarsana cuma ingin mandi dan istirahat setelah itu. Akarsana terlalu lelah. Bukan hanya tenaganya saja yang diperas saat bekerja, tapi juga pikirannya. Tidak henti-hentinya Akarsana memikirkannya. Otak Akarsana seolah diperas. "Tuan Akarsana," sapa Bi Jum saat papasan dengan Akarsana di dekat tangga. "Iya, Bi." Akarsana mengangguk pelan. "Baru pulang, Tuan? Mau Bibi buatkan teh atau kopi?" tawar Bi Jum. Karena melihat anak majikannya tampak kelelahan, Bi Jum sengaja
Akarsana tidak hentinya menghela napas panjang setiap kali membahas masalah Renjana dan Diana. Bagaimana, tidak? Prita selalu membela Renjana yang jelas-jelas sudah salah. Prita seolah tidak mau mengalah dan mengakui kalau putranya memang berada di pihak yang salah. Akarsana dan Sofia setuju, Renjana memang harus menemui Diana untuk meminta maaf. Memohon ampun kalau perlu. Seperti yang dikatakan Akarsana, Prita menolak Renjana meminta maaf kepada Diana. Prita merasa Renjana tidak salah. Justru Diana yang membuat situasi memanas dan semakin rumit. "Dengar ya, Akarsana. Mama tidak akan sudi membiarkan adik kamu datang menemui perempuan itu. Renjana tidak salah, Diana saja genit!" Prita meninggikan suaranya. Berbeda dari biasanya. Kali ini Akarsana tidak sependapat dengan Ibu dan adik lelakinya. Walau Renjana itu adiknya, tapi di mata Akarsana, Renjana adalah dalang di balik semua masalah yang ada. Andai saja Renjana tidak pernah main-main perempuan—apa lagi sampai nekat mengh
Akarsana mencoba tidur, tetapi pikirannya masih berputar di sekeliling perdebatan tadi dengan ibunya. Matanya menatap langit-langit kamar dengan kosong. Dulu, ia begitu mengagumi sosok Prita. Ibunya adalah wanita tangguh yang selalu terlihat elegan dan kuat dalam menghadapi hidup. Namun, semakin dewasa, Akarsana mulai melihat sisi lain dari Prita yang membuatnya sulit bernapas. Ibunya tidak pernah salah. Itu yang ada dalam kamus Prita. Jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, ibunya selalu mencari cara untuk menyalahkan orang lain. Dan kali ini, korban terbaru dari amarahnya adalah Diana. Diana yang telah kehilangan bayi. Diana yang hancur. Diana yang tidak punya siapa-siapa selain Pelangi. Sejujurnya, Akarsana tidak memiliki kedekatan dengan Diana. Tapi ia masih manusia. Ia masih bisa merasakan sakitnya perempuan itu. Keterpurukannya. Luka yang ia rasakan bukan hanya di tubuhnya, tetapi juga di jiwanya. Bayi itu bisa saja selamat jika Renjana bukan pengecut. Renja
Akarsana tidak tahu bagaimana akhirnya ia berdiri di depan rumah ini lagi. Rumah Pelangi. Setelah pertengkaran sengit dengan ibunya, hanya satu tempat yang terlintas di benaknya. Ia mematikan mesin mobil dan menarik napas dalam. Malam sudah larut, tapi lampu teras masih menyala. Ia tahu Pelangi ada di dalam. Tanpa ragu, ia melangkah keluar dan mengetuk pintu. Tidak perlu menunggu lama, pintu itu terbuka, memperlihatkan Pelangi yang masih mengenakan kaus rumah dan celana pendek. Tatapan mereka bertemu.Tidak ada sapaan, tidak ada pertanyaan kenapa Akarsana tiba-tiba datang. Hanya keheningan. Pelangi menatapnya lekat, mencari sesuatu dalam sorot mata pria itu. Akarsana tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap balik dengan tatapan yang dalam dan penuh intensitas. Lalu, seolah mengerti sesuatu yang tak perlu diucapkan, Pelangi menghela napas dan berkata pelan, "Masuk!" Akarsana melangkah masuk tanpa banyak bicara. Rumah Pelangi terasa hangat, nyaman. Aroma teh melati meng
Pukul satu dini hari. Akarsana memarkir mobilnya di garasi rumah dengan perasaan yang masih berantakan. Bibirnya masih bisa merasakan jejak kehangatan ciuman Pelangi. Dadanya masih menyimpan debaran yang tadi sempat mengguncangnya begitu hebat. Tapi begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah, semua kehangatan itu menguap begitu saja. Sebab di ruang tamu, ibunya sudah menunggunya. Prita duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, tatapannya dingin dan penuh kecurigaan. Lampu ruangan masih menyala terang, menandakan wanita itu memang sengaja menunggu kepulangannya. "Darimana saja kamu?" Suara itu terdengar tajam. Akarsana tidak langsung menjawab. Ia menutup pintu dengan tenang, meletakkan kunci mobil di atas meja, lalu berbalik menghadap ibunya. Ekspresinya datar. "Tugas," jawabnya santai. Prita menyipitkan mata. "Tugas apa? Jangan bilang kamu—" "Aku sedang melakukan tugasku, Ma," potong Akarsana sebelum ibunya bisa menyelesaikan kalimatnya. "Membuat Pelangi semakin j
Akarsana tidak pernah berpikir bahwa suatu hari dia akan berlutut di hadapan seorang wanita untuk kedua kalinya. Malam ini, dia duduk berlutut di hadapan Pelangi, menatap wanita itu dengan segenap keberanian yang tersisa di dalam dirinya. Di tangannya, ada sebuah cincin berlian kecil—bukan yang paling mahal, bukan yang paling mewah, tapi cincin yang dia pilih dengan hati-hati. Yang menurutnya paling cocok untuk wanita di hadapannya. Pelangi menatapnya dengan mata membulat, tangan terangkat menutupi mulutnya, tubuhnya bergetar. Dia tidak percaya. "Pelangi..." Suara Akarsana terdengar serak. Sial. Dia tidak pernah merasa segugup ini sebelumnya. "Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan jatuh sejauh ini. Aku tidak pernah menyangka bahwa seseorang bisa membuatku ingin berubah ingin menjadi lebih baik." Pelangi masih membeku di tempatnya. "Aku mencintaimu." Hanya tiga kata, tapi begitu berat.Tiga kata yang mengubah segalanya. Tiga kata yang membuat hati Pelangi hampir me
Matahari bersinar redup sore itu, seolah ikut mengiringi perasaan di dalam dada Pelangi yang bercampur aduk. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar rawat Diana. Pelangi menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu dan masuk. Diana sedang duduk bersandar di ranjangnya, mengenakan baju pasien berwarna biru muda. Wajahnya masih pucat, tetapi matanya terlihat lebih hidup dibanding terakhir kali Pelangi mengunjunginya. "Pelangi!" Diana tersenyum samar. "Kamu datang." "Tentu saja," Pelangi mendekati tempat tidur lalu duduk di kursi samping ranjang. "Gimana keadaanmu?" Diana menghela napas. "Sedikit lebih baik. Tapi aku masih sering teringat kejadian itu." Pelangi menggenggam tangan sahabatnya. "Aku di sini, Diana. Aku selalu di sini." Diana tersenyum lemah. "Terima kasih." Pelangi ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku ada sesuatu yang ingin aku beri tahu." Diana menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa?" Pelangi menggigit bibirnya sebelum mengembuskan napas p
Akarsana masih berdiri di ruang tengah, memandangi pintu yang baru saja tertutup di hadapan Pelangi dan Diana. Hatinya terasa kosong, seolah sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya baru saja pergi dan mungkin tidak akan pernah kembali.Prita, yang masih berada di tempat yang sama, menghela napas panjang dengan ekspresi tidak sabar. "Apa yang kau lakukan, Akarsana? Kenapa kau membiarkan dia pergi begitu saja?"Akarsana tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai, pikirannya penuh dengan suara-suara yang bergema di kepalanya. Kata-kata Pelangi, tatapan terluka wanita itu."Aku pikir mungkin ada bagian kecil dari pernikahan kita yang nyata."Mengapa hatinya terasa begitu sesak sekarang?Naomi, yang sejak tadi diam, melangkah mendekatinya dan menyentuh lengannya lembut. "Akarsana, kau sudah memilihku. Kau tidak perlu merasa bersalah."Akarsana mendongak dan menatap Naomi. Wanita itu tersenyum, mencoba meyakinkannya.Tetapi, di dalam hatinya, Akarsana tahu ada sesuatu yang salah. Ia pikir,
Pelangi berdiri di depan rumah yang pernah ia tinggali bersama Akarsana, hatinya terasa berat. Rumah itu kini hanya menjadi tempat penuh kenangan pahit, dan ia tidak ingin berlama-lama di sana. Namun, masih ada beberapa barangnya yang tertinggal, dan ia tidak ingin meninggalkan apa pun yang bisa menjadi alasan baginya untuk kembali lagi ke tempat ini.Di sampingnya, Diana berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya penuh ketidaksenangan."Kak, kau yakin ingin masuk?" tanya Diana dengan nada tak setuju. "Aku bisa saja menyuruh seseorang mengambil barang-barangmu. Kau tidak perlu ke sini lagi."Pelangi tersenyum lemah. "Aku hanya ingin memastikan semuanya sudah kubawa. Setelah ini, aku tidak akan punya alasan lagi untuk kembali."Diana mendesah, tetapi akhirnya mengalah. "Baiklah, tapi kita harus cepat."Mereka masuk ke dalam rumah, suasana di dalam terasa berbeda—lebih dingin, lebih kosong. Tidak ada lagi kehangatan yang dulu pernah Pelangi coba ciptakan di rumah ini.Mereka seger
Malam semakin larut, tapi rumah Danurdara masih dipenuhi dengan ketegangan. Setelah tangisnya mulai mereda, Pelangi duduk di sofa dengan mata sembab, tangannya menggenggam secangkir teh hangat yang dibuat oleh Diana. Namun, teh itu tetap utuh, ia bahkan tidak punya tenaga untuk menyesapnya.Danurdara duduk di hadapannya, menatap putrinya dengan sorot penuh keprihatinan. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi sejak awal. Pernikahan Pelangi dan Akarsana memang bukan didasarkan pada cinta, dan sekarang terbukti bahwa hanya Pelangi yang benar-benar menyerahkan hatinya.“Jadi, kau ingin bagaimana sekarang?” tanya Danurdara dengan nada hati-hati.Pelangi menatap cangkirnya kosong, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, Ayah.”Danurdara menghela napas panjang. “Kau bisa tinggal di sini selama yang kau mau.”Diana yang duduk di samping Pelangi langsung menimpali, “Kak Pelangi tidak akan kembali ke rumah itu, kan? Setelah apa yang mereka lakukan padamu?”Pelangi terdiam sejenak, lalu akhirnya
Pelangi hampir tidak bisa merasakan kakinya saat berjalan menuju kamarnya. Seluruh dunianya terasa goyah, seolah gravitasi tidak lagi berpihak padanya. Air mata masih terus mengalir, membasahi pipinya yang pucat.Begitu pintu kamar terbuka, Diana yang sedang duduk di tepi ranjang langsung menoleh. Matanya melebar saat melihat kondisi kakaknya.“Pelangi?”Pelangi tidak menjawab. Ia berjalan masuk dengan langkah gontai, lalu duduk di pinggir tempat tidur, tangannya gemetar saat mencoba menghapus air mata yang terus jatuh.Diana buru-buru bangkit dan berlutut di hadapan Pelangi, menggenggam tangannya dengan cemas. “Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis seperti ini?”Pelangi menggeleng pelan, tapi isakannya semakin terdengar jelas. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan suara tangisnya, tetapi tetap saja gagal.Diana semakin panik. Ia tidak pernah melihat Pelangi seperti ini. Kakaknya selalu terlihat kuat, selalu berusaha tegar. Tapi sekarang, Pelangi tampak begitu rapuh, begitu hancur.
Akarsana berdiri terpaku di balkon, menatap punggung Pelangi yang semakin menjauh. Ada sesuatu dalam dirinya yang berteriak untuk mengejar, tetapi tubuhnya tetap diam.Ia menghela napas berat. Apa yang sebenarnya ia inginkan?Naomi adalah cinta pertamanya, seseorang yang dulu ingin ia nikahi dengan sepenuh hati. Tapi sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, apakah perasaan itu masih sama?Lalu ada Pelangi. Istrinya. Wanita yang selama ini selalu berada di sisinya, meskipun ia tidak pernah benar-benar memberikan hatinya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, Akarsana sadar bahwa ia takut kehilangannya.Tapi apakah itu cinta? Atau hanya perasaan bersalah?***Pelangi masuk ke dalam kamar dengan napas tersengal, bukan karena lelah, tetapi karena emosinya begitu membuncah. Matanya panas, tapi ia menolak menangis.Ia sudah cukup menangis selama ini.Pelangi menatap bayangannya di cermin. Seorang wanita yang lelah, terluka, tetapi juga penuh dengan kemarahan.Kenapa ia harus bertahan dalam p
Pelangi berdiri di luar ruangan dengan tubuh menegang. Napasnya tercekat saat melihat Naomi mencium suaminya. Jantungnya berdegup kencang, seolah menolak kenyataan yang terbentang di depan matanya.Darah di tubuhnya terasa dingin, tetapi ia tetap berdiri di sana, menunggu dan berharap Akarsana akan menolak.Di dalam ruangan, Akarsana akhirnya tersadar dan segera mendorong tubuh Naomi menjauh.“Apa yang kau lakukan?” suaranya terdengar marah, tetapi juga sedikit terguncang.Naomi menatapnya dengan mata penuh harapan. “Aku hanya ingin kau tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”Akarsana mengusap wajahnya dengan frustasi. “Naomi, kau tidak bisa begitu saja kembali dan berharap semuanya sama seperti dulu.”Naomi tersenyum tipis. “Kenapa tidak? Aku masih mencintaimu, Akarsana. Bukankah kau juga begitu?”Akarsana terdiam. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat Naomi yakin bahwa pria itu masih menyimpan perasaan untuknya.Tapi sebelum Akarsana bisa menjaw
Pelangi mengusap wajahnya, mencoba menenangkan debaran cemas di dadanya. “Aku tidak tahu, Diana. Apa yang harus aku lakukan?”Diana menggenggam tangan kakaknya lebih erat. “Pertama-tama, kau harus membuka mata. Jangan membiarkan Naomi mengambil kesempatan. Dia tinggal di rumahmu, itu sudah cukup buruk. Jangan biarkan dia lebih jauh masuk ke dalam pernikahanmu.”Pelangi mendesah, menatap kosong ke meja di hadapannya. “Aku sudah mencoba menjaga jarak darinya, tapi aku selalu merasa seperti orang luar di rumahku sendiri. Akarsana dan Naomi mereka punya begitu banyak kenangan bersama. Aku hanya datang belakangan.”Diana menatap kakaknya dengan sorot tajam. “Lalu kau mau membiarkan dia merebut suamimu begitu saja?”Pelangi menggeleng pelan. “Aku tidak tahu apakah aku mampu bertahan dalam pernikahan yang seperti ini, Diana.”Diana mengembuskan napas kasar. “Kak, kalau kau menyerah, berarti kau benar-benar memberikan Akarsana pada Naomi. Aku tahu kau mencintainya, kan?”Pelangi terdiam. Ya,
Di rumah sakit, Renjana masih terbaring koma. Mesin-mesin medis berbunyi pelan, satu-satunya tanda bahwa ia masih hidup. Prita duduk di sampingnya, menggenggam tangan anaknya dengan air mata yang terus mengalir."Kamu harus bangun, Nak. Ibu ada di sini," bisiknya dengan suara bergetar.Di belakangnya, Akarsana berdiri dengan ekspresi dingin. Berbeda dengan ibunya yang larut dalam kesedihan, ia tampak lebih fokus pada sesuatu yang lain."Dokter bilang dia bisa sadar kapan saja," kata Akarsana pelan. "Tapi kita harus siap jika sesuatu terjadi."Prita menoleh dengan mata penuh harap. "Kau pikir dia akan baik-baik saja?"Akarsana tidak langsung menjawab. ***Ruang keluarga itu dipenuhi cahaya redup dari lampu gantung. Pelangi duduk di sofa dengan segelas teh di tangannya, sementara Diana bersandar dengan bantal di punggungnya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong.“Aku masih tidak percaya Renjana mengalami kecelakaan itu,” ujar Pelangi, mengaduk teh tanpa minat.Diana terkekeh, su
Diana menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya sebelum berbicara. Semua orang di ruangan itu menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu penjelasan."Aku akan menceritakan semuanya," katanya, suaranya masih sedikit bergetar.Pelangi duduk di sampingnya, memberikan dukungan diam-diam.Diana meremas jemarinya sebelum akhirnya mulai bercerita.***"Tiga hari yang lalu, aku mendapat pesan dari nomor tak dikenal yang memintaku datang ke sebuah hotel di pusat kota. Katanya, ada seseorang yang ingin berbicara denganku soal kasus yang sedang aku ajukan ke polisi. Ya, aku melaporkan Renjana ke polisi karena dia sudah mendorongku dari tangga."Diana menghela napas, lalu melanjutkan."Aku merasa curiga, tapi aku tetap pergi. Aku pikir, mungkin ini kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang Renjana. Jadi, aku datang ke hotel itu."Semua orang tetap diam, mendengarkan dengan saksama."Ketika aku tiba di kamar hotel yang disebutkan dalam pesan, ruangan itu kosong. Tapi b