Tubuh yang dibalut pakaian dari merk terkenal itu menjadi pusat perhatian orang, namun hal itu tidak terasa mengganggu bagi Prita. Sudah biasa bagi Prita menjadi perhatian termasuk gadis yang baru saja meliriknya sekilas yang ada dipikirannya saat ini adalah secepatnya bertemu dengan Akarsana.
Setelah memastikan ruang rawat sudah benar, Prita langsung menekan pegangan pintu dan mendorongnya pelan. Dia bisa melihat Akarsana yang terlihat begitu lemah dengan jarum infus di tangan kanan.Prita melangkah perlahan memastikan suara ketukan heels yang dikenakan tidak mengganggu istirahat Akarsana. Sayang, harapannya tidak terkabul saat melihat Akarsana perlahan membuka mata.Oh Tuhan, hati Prita bergetar melihat tatapan lemah Akarsana.“Nak, bagaimana keadaan kamu? Masih ada yang sakit?” tanya Prita seraya mengusap puncak kepala Akarsana dengan lembut.“Ma … Na, Naomi di mana?” tanya Akarsana dengan suara lemah. "Aku mau bertemu dengan dia, Ma. Aku mau tanya kenapa di pergi begitu saja."Raut wajah Prita yang semula khawatir berubah menjadi kesal. Dia tidak suka Akarsana menanyakan wanita yang berani meninggalkan anaknya di hari pernikahan tanpa alasan yang jelas.Kurang apa Akarsana sampai Naomi pergi begitu saja? Sungguh sebagai seorang ibu hatinya begitu kesal sekaligus marah. Anaknya dipermainkan dan keluarganya dipermalukan. “Jangan bertanya tentang Naomi lagi, Nak!” Prita berbicara begitu tegas. “Wanita itu, wanita itu tidak tahu diri, karena sudah mempermainkan kamu dan mempermalukan keluarga kita. Wanita itu tidak pantas untuk kamu!”“Ma, tap–”“Tidak ada, Sayang! Tidak ada tapi-tapian dan perlu kamu ingat lagi, Naomi itu sudah menjadi mantan tunangan kamu. Sudah tidak ada lagi hubungan yang mengikat kalian!”"Ma, tapi aku perlu tahu alasan Naomi pergi begitu saja." Akarsana memejamkan mata. "Kalau dia tahu aku sakit pasti Naomi akan datang ke sini. "Percaya, Ma, dia mencintai aku. Tidak seperti yang Mama pikirkan."Sekali tidak, ya Tidak! Jangan membantah Mama, Akarsana!"Akarsana hanya bisa memejamkan mata mendengar Prita yang terdengar sangat marah. Tenaganya masih belum pulih hanya sekadar membalas. Biarlah Prita berkata apapun untuk saat ini.Prita menghela nafas nafas dan kembali menatap Akarsana yang kembali memejamkan mata. "Lebih baik kamu istirahat saja, Nak. Jangan memikirkan apapun terlebih dahulu. Yang paling penting adalah kesehatan kamu.""Iya, Ma."***Di lain sisi, Pelangi berjalan dengan senyum mengembang. Tujuannya adalah tempat Ayahnya di rawat. Dia ingin melihat bagaimana keadaan sang Ayah setelah terkena serangan jantung."Pelangi," panggil sang Ayah saat melihat Pelangi membuka pintu.Pelangi langsung berlari kecil dan memeluk sang Ayah. Jujur saja Pelangi sangat lega melihat keadaan ayahnya yang semakin membaik."Kangen sama Ayah," ucap Pelangi begitu manja."Ayah juga rindu sama kamu dan adik."Keduanya langsung melepas rindu dengan mengobrol santai. Pelangi juga tidak ragu menceritakan bahwa dirinya tengah tertarik dengan seorang pria. Saat ditanya sang Ayah, Pelangi mengelak bahwa mereka tidak ada hubungan apapun."Kenalin sama Ayah," pinta Ayah yang membuat Pelangi bersemu merah."Ayah, Pelangi cuma mengagumi saja. Sebatas itu.""Lebih juga tidak apa, Sayang. Ayah lebih tenang kalau sudah ada laki-laki yang berhasil memikat hati kamu. Setidaknya kalau ayah me—""Ayah, Pelangi tidak suka ayah berbicara seperti itu. Ayah akan sehat-sehat saja. Tidak akan terjadi apapun pada Ayah." Mata Pelangi berkaca-kaca mendengar ucapan sang Ayah. Dia tidak akan sanggup jika terjadi sesuatu padanya. Bagi Pelangi, keberadaan ayahnya sangat penting."Sudah, jangan menangis," ucap ayah sambil terkekeh, merasa lucu dengan reaksi Pelangi yang sampai berkaca-kaca."Ayah hanya bercanda, Sayang. Jangan menangis!" ucap ayah yang merasa bersalah, karena telah membuat keadaan sang Anak sedih hingga berkaca-kaca."Pelangi tidak suka ayah berbicara seperti itu. Ayah akan sehat, menemani aku sama adik."Pelangi langsung memeluk ayahnya sambil berlinang air mata. Perlahan tangisnya mereda saat merasakan usapan penuh halus nan menenangkan yang diberikan oleh ayahnya."Jangan nangis ya, Sayang! Malu sama pacar kamu.""Ayah," rengek Pelangi yang kembali digoda oleh Ayah. "Pelangi hanya sebatas mengagumi, Yah. Tidak lebih.""Lebih juga tidak apa, Sayang."Percakapan itu berakhir dengan godaan yang terus dilontarkan Ayah pada Pelangi. Setelah memastikan sendiri kondisi sang Ayah baik-baik saja, Pelangi memutuskan untuk kembali ke rumah.Ah iya. Tujuanku tadi untuk menjenguk laki-laki itu, kan?" ucapnya dalam hati.Langkah Pelangi berubah. Tujuannya sekarang ruangan rawat inap laki-laki yang ia kenali sebagai Akarsana. Dia ingin memastikan apakah Akarsana benar-benar sudah siuman seperti kata Ardian atau tidak.Kepala Pelangi menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang disekitarnya. Pelangi tidak ingin dicurigai sebagai penguntit yang memiliki rencana buruk. "Aman," ucap Pelangi saat situasi di sekeliling aman.Matanya menatap laki-laki yang tengah memejamkan mata dan menghadap jendela dengan hembusan napas begitu teratur. Melihat dari tidak banyak alat-alat yang menempel di tubuh seperti kemarin, Pelangi yakin jika kondisinya jauh lebih baik dan stabil.Dari tempatnya berdiri saat ini, Pelangi tidak yakin apakah laki-laki itu tidur atau tidak. Berulang kali tangannya menggantung di udara. Hatinya seolah mendorong untuk masuk dan melihat dari jarak dekat, namun logika membuat Pelangi berpikir rasional. Dia tidak ingin ketahuan dan mengganggu istirahat orang sakit."Semoga kamu cepat sembuh," doa Pelangi dengan tangan mengusap kaca seolah tengah mengusap wajah Akarsana.Cukup lama berada di depan pintu, Pelangi akhirnya memutuskan untuk pulang. Sudah cukup rasanya memandang wajah itu dan memastikan sendiri bagaimana keadaannya. Setidaknya, Ardian tidak berbohong.Di dalam ruang rawat itu berulang kali Akarsana memejamkan mata mungkin hanya halusinasinya saja, namun itu wanita dan berambut ikal."Naomi," gumam Akarsana."Naomi!" teriak Akarsana sambil berusaha bangun dari brankar saat melihat orang itu pergi dari depan pintu."Naomi, tunggu!"Akarsana semakin histeris. Saat orang itu tidak terlihat lagi, bahkan Akarsana nekad mencabut jarum infus secara paksa hingga menimbulkan luka berdarah."Akarsana, kamu kenapa?!"Teriakan itu membuat Akarsana yang terjatuh lantas menengadahkan kepala. Tangan laki-laki itu menunjuk arah pintu."Ma, aku tadi melihat Naomi di sana." Akarsana memaksakan dirinya untuk bangun dan mengejar seorang wanita yang ia kira Naomi."Naomi siapa? Mama tidak melihat siapa-siapa, Nak," ucap Prita sembari membantu Arkana berdiri."Ma, tadi aku lihat Naomi berdiri di sana."Tanpa mendengar ucapan Akarsana, Prita lantas menekan tombol nurse call. Tangannya tidak henti memberikan usapan pada puncak kepala Akarsana berharap usapan itu membuat sang Anak menjadi lebih tenang."Ma, tadi aku beneran lihat Na—""Sudah cukup, Akarsana! Tidak ada Naomi. Ingat! Wanita itu sudah pergi meninggalkan kamu. Lupakan dia!"Lelah tetapi juga bahagia. Itulah yang dirasakan Pelangi saat ini. Setelah mengunjungi sang Ayah dan memastikan keadaan laki-laki itu baik-baik saja, Pelangi melangkahkan kaki keluar rumah sakit.Setelah keluar dari halaman rumah sakit, Pelangi memberhentikan angkutan umum. Pelangi langsung bergerak menuju rumah seseorang. Orang itu selalu meminta dirinya untuk menemani berbicara dan tentu saja Pelangi tidak menolak. Dia juga merasa nyaman saat berbicara dengan orang itu.Setelah sampai dan membayar ongkos angkutan umum, Pelangi langsung disambut baik oleh wanita yang tengah berkutat dengan tanaman hias. Senyuman itu yang Pelangi rindukan setelah kepergiaan sang Ibu. Orang itu seakan memberikan sosok ibu yang masih diperlukan oleh Pelangi."Pelangi,” sambutnya dengan senyum gembira. Padahal, dia tadi mengira Pelangi tidak akan datang karena ini sudah telat dua puluh menit dari kebiasaan mereka.Pelangi dengan sedikit canggung membalas pelukan Kayla. Keduanya lantas duduk di kursi yang
Pelangi menurunkan tas dari bahunya. Ia dan adik laki-lakinya baru saja tiba di rumah bertepatan dengan adik perempuannya. Adik perempuan Pelangi baru saja kembali dari kampus. Baru saja tiba di rumah, gadis itu membanting tas dan ponselnya ke atas kursi yang ada di ruang tamu. Pelang menjadi sangat heran. Apa yang membuat adiknya menjadi sangat marah dan uring-uringan begini? Sebagai Kakak yang baik, Pelangi menghampiri adik perempuannya. Berusaha mengajak gadis itu bicara dan meminta adiknya agar lebih tenang. Gerakkan kasar Diana membuat perempuan itu mengembuskan napas. Jujur saja Pelangi lelah dan ingin istirahat, tapi melihat Diana uring-uringan seperti itu membuat Pelangi urung untuk istirahat. Ia tidak akan tenang sebelum mengetahui masalah sang Adik. "Kamu kenapa? Ada masalah? Kakak lihat, kamu pulang-pulang malah marah kayak gini. Coba sini cerita sama Kakak," bujuk Pelangi penuh kelembutan. Gadis itu menatap sang Kakak dengan tatapan seolah ingin menerkam. Dientak
Kabar tentang Akarsana yang akhirnya mendapatkan donor hati pun disambut gembira oleh Prita yang baru saja datang menjenguk putranya. Wanita itu merasa tidak percaya dengan kata-kata yang disampaikan oleh dokter kepadanya. Dia sampai mengulang pertanyaannya lebih dari dua kali untuk memastikan. Prita seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tentu saja wanita itu sangat senang. Dia mengucapkan syukur karena akhirnya Akarsana mendapatkan donor yang tepat seperti yang dikatakan dokter. Prita memeluk Akarsana, membelai rambut anak lelakinya sambil menangis terharu. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain mengucapkan terima kasih juga kepada dokter yang telah menangani Akarsana. "Sama-sama, Bu." Dokter membalas dengan sopan. Setelah dokter pergi, Prita duduk di samping tempat tidur. "Pasti kamu sangat senang, bukan?" Akarsana mengangguk. "Iya. Akhirnya aku memiliki harapan hidup lagi dan aku sangat bersyukur ada orang baik yang mau menolongku, meskipun aku tidak ta
Kepala Diana berdenyut hebat. Ia merasakan kesakitan di seluruh tubuhnya. Rasanya seperti remuk, Diana sontak meringis saat menggerakkan kedua kakinya. Hawa dingin seketika menyapa kulit tubuhnya. Diana tanpa sadar menyentuh lengannya, kemudian kebingungan sendiri, karena saat ia tidak mengenakan apa-apa. Tubuh Diana dibungkus selimut tebal. Di sampingnya ada Renjana sedang tertidur pulas. Diana panik, ia memegangi kepalanya mencoba mengingat apa yang telah terjadi semalam. Diana menggigit ujung jarinya. Ia memukul kepalanya sendiri dengan gemas karena tidak kunjung mengingat apa pun. "Apa yang terjadi? Aku dan Renjana ....," gumam Diana menggigit bibir bawahnya. Renjana sama sekali tidak bergerak di atas tempat tidur. Diana hanya mendengar dengkuran halus dari lelaki tampan itu. Diana memungut bajunya di lantai, lantas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sembari menunggu Renjana bangun, Diana akan mandi lebih dulu. Baru setelah itu meminta pertanggungjawaban lelak
Pelangi menekan bel sekali. Ia menunggu dengan tenang di pintu sembari menunggu pemilik rumah membukakannya. Tidak menunggu terlalu lama, Pelangi mendengar suara kunci yang dibuka dari dalam. Pelangi menggerakkan kedua kakinya berjalan mundur ke belakang bersamaan dengan pintu dibuka. Pelangi dan si pemilik rumah sama-sama tersenyum ketika keduanya saling menatap. Pelangi mengangguk kecil menyapa Kayla. Wanita itu mengajak Pelangi masuk ke dalam rumahnya untuk mengobrol. "Kita ngobrol di taman belakang yuk, Pelangi," ajak Kayla berjalan di depan. "Oh, ya. Kamu mau minum apa? Bagaimana perjalanannya tadi? Kamu naik apa?" tanya Kayla panjang lebar. "Lumayan macet, Bu. Tadi saya kemari naik angkutan umum." Pelangi menjawab sambil tersenyum. "Saya minum air putih saja sudah cukup, kok." Kayla melangkah ke arah dapur. "Lho, jangan air putih saja dong! Di sini ada banyak minuman yang lebih enak. Saya buatkan jus buah saja, ya?" "Apa tidak merepotkan, Bu?" tanya Pelangi. "Sama
"Iya, Om Ardi. Wanita itu mirip Josefina, tapi aku belum bertemu langsung dengannya." "Jika kamu sudah kembali bertemu dengannya segera hubungiku." "Baik." Ginny memutuskan sambungan teleponnya. Ardiyanto sangat penasaran seberapa mirip perempuan itu dengan Josefina, karena Ginny menceritakannya dengan penuh keyakinan. Marien melihat suaminya keluar dari kamar dengan ekspresi wajah yang bingung. Marien menyapa Ardiyanto mengajak lelaki itu untuk minum teh bersama di ruang keluarga. Ardiyanto mengiyakan, mengikuti langkah Marien yang ada di depan. Pasangan suami dan istri tersebut telah duduk di sofa panjang, bersebelahan. Marien menyodorkan secangkir teh kepada suaminya, tapi Ardiyanto kelihatan seperti orang linglung. "Pa?" Marien menegur Ardiyanto. Lamunan Ardiyanto pun buyar. Ia menerima cangkir yang diberikan Marien kepadanya. "Terima kasih." Ardiyanto menyesap tehnya dengan hati-hati. "Tidak mungkin. Ini aneh," gumamnya. "Apanya yang aneh? Tehnya?" tanya Marien. Ard
Prita baru saja tiba di rumah sakit keesokan harinya dan menemui dokter terlebih dahulu sebelum menemui Akarsana di ruang perawatannya. Di ruang dokter, Prita mendapat kabar bagus yang disampaikan oleh dokter yang akan menangani Akarsana selama di meja operasi. Dokter telah menentukan jadwal operasi Akarsana. "Dua minggu lagi." Sepasang mata Prita seketika berbinar. Bibir wanita itu yang dipoles merah menyala tampak tertarik, membentuk sebuah senyuman lebar. Ia begitu bahagia, karena sebentar lagi Akarsana akan sembuh setelah melakukan operasi. "Terima kasih." Prita mengucapkan dua kata itu lagi sebelum menghilang di balik pintu ruangan dokter. Prita mempercepat langkah. Wanita itu berjalan riang, perasaannya lebih ringan, kini Prita tidak menahan beban, karena memikirkan kesehatan Akarsana lagi. Tangan kanan Prita menggapai gagang pintu ruang perawatan Akarsana. Ia membukanya dengan cepat, berjalan menghampiri ranjang Akarsana. Putranya sedang berbaring sembari menatap ke
Diana bisa menghela napas lega sekarang. Lelaki yang dia cari selama ini kini tengah duduk di sebelahnya sembari menyetir mobil. "Kalau kamu memang sedang sibuk harusnya bilang sejak awal. Supaya aku tidak berburuk sangka sama kamu." Diana mengatakannya dengan nada merajuk. "Kamu tiba-tiba menghilang tidak ada kabar. Teleponku sama sekali tidak kamu respons. Siapa yang tidak curiga?" desak Diana. Renjana menahan geram dengan tingkah laku Diana. Siapa juga yang mau bertanggung jawab kepada gadis itu. Dia cuma pura-pura saja agar Diana tidak terus mengganggunya. Siapa yang tidak terkejut melihat Diana ada di depan gerbang kampusnya. Diana bahkan memarahinya di depan umum dan membuatnya seketika menjadi panik. Akhirnya Renjana membuat siasat dengan mengiyakan permintaan Diana dan bersedia bertanggung jawab. Daripada nantinya dibuat malu lebih baik Renjana pura-pura saja. "Maaf, Diana. Aku terlalu sibuk sampai tidak pegang ponsel," jawab Renjana. "Biasanya aku akan menyimpan pon
Diana menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya sebelum berbicara. Semua orang di ruangan itu menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu penjelasan."Aku akan menceritakan semuanya," katanya, suaranya masih sedikit bergetar.Pelangi duduk di sampingnya, memberikan dukungan diam-diam.Diana meremas jemarinya sebelum akhirnya mulai bercerita.***"Tiga hari yang lalu, aku mendapat pesan dari nomor tak dikenal yang memintaku datang ke sebuah hotel di pusat kota. Katanya, ada seseorang yang ingin berbicara denganku soal kasus yang sedang aku ajukan ke polisi. Ya, aku melaporkan Renjana ke polisi karena dia sudah mendorongku dari tangga."Diana menghela napas, lalu melanjutkan."Aku merasa curiga, tapi aku tetap pergi. Aku pikir, mungkin ini kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang Renjana. Jadi, aku datang ke hotel itu."Semua orang tetap diam, mendengarkan dengan saksama."Ketika aku tiba di kamar hotel yang disebutkan dalam pesan, ruangan itu kosong. Tapi b
Pelangi berjalan menuju taman belakang, mencoba menenangkan pikirannya. Udara sore yang sejuk seharusnya bisa meredakan kegelisahannya, tetapi pikirannya masih dipenuhi kata-kata Naomi. "Aku kembali untuk memastikan sesuatu yang seharusnya tidak pernah berubah." Apa maksudnya? Apa Naomi benar-benar berpikir bahwa ia masih memiliki tempat di sisi Akarsana? Pelangi meremas jemarinya sendiri. Tidak, ia tidak boleh membiarkan dirinya dikendalikan oleh ketakutan, tapi bagaimana bisa, jika bahkan ibu mertuanya tampak lebih memilih Naomi? "Kenapa kau terlihat begitu muram?" Pelangi tersentak dan menoleh. Akarsana berdiri di belakangnya, menatapnya dengan ekspresi lembut. Ia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia hanya menatap suaminya, mencoba mencari sesuatu di dalam matanya. Bukti bahwa Akarsana tetap di sisinya. Bukti bahwa perasaannya tidak akan goyah hanya karena Naomi kembali. "Kau diam saja," kata Akarsana, berjalan mendekat. "Apa ada yang mengganggumu?" Pelangi menghela napa
Pelangi duduk di meja makan, mengaduk kopinya dengan tatapan kosong. Pagi ini terasa dingin, bukan hanya karena cuaca, tetapi juga karena hawa yang mengelilinginya.Ketika langkah kaki terdengar, ia mendongak dan melihat Naomi berjalan memasuki ruang makan dengan percaya diri, mengenakan gaun sutra tipis yang terlalu mencolok untuk pagi hari."Selamat pagi!" sapanya dengan senyum yang dipaksakan manis.Pelangi tidak menjawab. Ia hanya menegakkan punggungnya, mencoba mempertahankan harga dirinya.Naomi tertawa kecil. "Kenapa diam saja? Apa kau marah karena aku di sini?"Pelangi menggenggam cangkir kopinya erat. "Aku tidak punya alasan untuk marah. Aku hanya heran kenapa seseorang yang seharusnya tidak punya tempat di rumah ini masih saja berkeliaran."Naomi tersenyum, lalu duduk di kursi di seberang Pelangi. "Sayang sekali, sepertinya ibu mertuamu tidak berpikir begitu."Pelangi menahan napas. Ia tahu ibu mertuanya memang menyukai Naomi sejak dulu, bahkan lebih dari dirinya. Itu yang m
Dengan gaun tidurnya yang elegan, wanita itu berdiri di ambang pintu dengan senyuman lembut. "Kita perlu bicara," katanya pelan. Akarsana mengepalkan tangannya. Ia tahu ini hanya awal dari kekacauan yang lebih besar. Naomi menutup pintu perlahan dan berjalan mendekat. Dengan gaun tidurnya yang elegan dan rambut panjangnya yang tergerai sempurna, ia terlihat seperti ilusi dari masa lalu. "Akarsana," ucapnya lembut. "Kita perlu bicara." "Aku tidak punya urusan lagi denganmu," jawab Akarsana tegas. Naomi tersenyum tipis, lalu duduk di sofa seolah itu masih rumahnya. "Tidak bisakah kita berbicara sebagai teman lama?" Akarsana tertawa sinis. "Teman lama? Kau pikir setelah apa yang kau lakukan, aku masih bisa menganggapmu teman?" Naomi menunduk, berpura-pura merasa bersalah. "Aku tahu aku telah menyakitimu. Aku menyesal." "Menyesal?" Akarsana menatapnya tajam. "Kau meninggalkanku demi pria lain, Naomi. Kau menghancurkan segalanya, dan sekarang kau kembali seolah-olah tidak terj
Pelangi ingin mempercayainya, tapi senyuman itu tidak sepenuhnya meyakinkannya. Dengan perasaan tak menentu, ia memilih untuk tidak mendesak. Namun, di dalam hatinya, ada bisikan kecil yang mulai mengusiknya. Apakah ini ada hubungannya dengan Naomi? Sebenarnya, sejak subuh tadi, Akarsana sudah merasa kepalanya berat. Begitu ia membuka matanya, ia menemukan pesan dari Naomi—sebuah foto lama mereka berdua. Dalam foto itu, Naomi ada di dalam pelukannya, tertawa bahagia. Itu adalah kenangan mereka dulu, saat semuanya masih terasa sempurna. Dan yang lebih mengganggunya adalah pesan yang menyertainya: "Kenangan tidak pernah benar-benar hilang, kan?" Akarsana mengembuskan napas berat. Ia tidak mengerti apa yang sedang direncanakan Naomi, tetapi ia tahu satu hal—wanita itu tidak datang ke rumah ini tanpa alasan. Dengan cepat, ia menghapus pesan itu. Ia tidak ingin Pelangi melihatnya dan salah paham. Namun, tanpa ia sadari, tindakannya justru menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar
Pelangi berdiri di dapur, tangannya sibuk memotong buah. Meski begitu, pikirannya penuh dengan kejadian hari ini. Naomi. Wanita itu masih begitu cantik, masih begitu anggun, tapi yang lebih mengganggunya adalah bagaimana reaksi Akarsana. Suaminya memang marah, tapi di dalam kemarahan itu, Pelangi bisa merasakan ada emosi lain yang tersembunyi. Ia takut. Takut bahwa Naomi masih memiliki tempat di hati Akarsana. Pelangi tersentak dari lamunannya saat dua tangan melingkar di pinggangnya dari belakang. "Aku mencarimu," suara berat Akarsana terdengar di telinganya. Pelangi menegang sejenak, sebelum perlahan bersandar pada tubuh hangat suaminya. "Aku di sini," jawabnya pelan. Akarsana menariknya lebih erat ke dalam pelukan. "Aku tahu ini tidak mudah bagimu," katanya dengan suara yang lebih lembut. "Tapi aku ingin kau tahu satu hal." Pelangi menunggu dalam diam. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan Naomi," lanjut Akarsana tegas. "Aku tidak mencintainya. Aku tidak mengin
Sofia bergegas mendekati kakaknya. "Kak, kau tidak perlu bicara dengannya. Dia—" "Tidak apa-apa, Sofia," potong Akarsana datar. Sofia menatap kakaknya dengan ekspresi tidak setuju. "Tapi...." "Aku bilang, tidak apa-apa." Nada suara Akarsana membuat Sofia terdiam. Dengan enggan, ia melirik Naomi sekali lagi sebelum berbalik pergi, masih dengan amarah yang jelas di wajahnya. Kini, hanya ada Akarsana dan Naomi di taman. Keheningan menyelimuti mereka. Naomi menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri berkata, "Bisakah kita bicara di dalam?" Akarsana menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Di ruang kerjaku. Lantai satu." Naomi mengikuti Akarsana masuk ke dalam rumah, hatinya berdegup kencang. *** Akarsana berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan punggung menghadap Naomi. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, menahan perasaan yang berkecamuk. Naomi duduk di sofa, merasa begitu canggung dalam ruangan yang penuh dengan kehadiran pria itu. Keheningan membunuh mere
"Apa?" katanya dengan suara lebih tinggi dari sebelumnya. "Ibuku mengizinkan dia tinggal di sini?"Pelangi mengangguk perlahan, melihat bagaimana rahang Akarsana mengatup kuat.Akarsana menghela napas tajam, lalu melangkah ke ruang tengah dengan langkah cepat. Ia tidak bisa percaya ini. Setelah semua yang Naomi lakukan padanya, bagaimana mungkin ibunya membiarkan wanita itu kembali ke dalam kehidupannya?Ketika ia sampai di ruang tengah, ia menemukan Prita duduk santai di sofa dengan secangkir teh di tangannya."Ibu," suaranya terdengar dalam dan penuh amarah, "apa yang kau pikirkan?"Prita hanya melirik sekilas ke arah putranya dan meletakkan cangkir tehnya di atas meja. "Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar."Akarsana menatap ibunya dengan tajam. "Membiarkan wanita yang telah mengkhianatiku tinggal di rumah ini? Itu yang ibu pikir benar?"Prita tetap tenang. "Naomi baru kembali ke kota ini dan tidak punya tempat tinggal. Aku tidak akan membiarkan seorang wanita yang dulu ham
Pelangi duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke arah jendela yang masih basah oleh sisa hujan. Kepalanya dipenuhi dengan kata-kata Prita yang terus bergema dalam pikirannya."Naomi itu dulu segalanya bagi Akarsana.""Cinta pertama sulit dilupakan.""Kalau bukan karena keadaan, mungkin mereka masih bersama sekarang."Pelangi menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan sesak yang menekan dadanya. Seharusnya ia tidak merasa seperti ini. Seharusnya ia percaya pada Akarsana. Tapi, bayangan Naomi yang berdiri di depan pintu tadi dengan ekspresi terluka dan penuh kehilangan, membuatnya ragu.Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. "Pelangi?"Pelangi menghela napas dan berusaha menyembunyikan perasaannya sebelum menjawab, "Masuk saja!"Prita membuka pintu dan menyandarkan tubuhnya di ambang pintu dengan ekspresi santai, seolah tidak menyadari badai yang tengah berkecamuk di hati Pelangi."Naomi sudah setuju untuk tinggal di sini sementara waktu," kata Prita tanpa basa-basi.Pelangi