Home / Romansa / Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO / Bab 5. Sepasang suami istri

Share

Bab 5. Sepasang suami istri

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2023-06-05 23:04:28

Lelah tetapi juga bahagia. Itulah yang dirasakan Pelangi saat ini. Setelah mengunjungi sang Ayah dan memastikan keadaan laki-laki itu baik-baik saja, Pelangi melangkahkan kaki keluar rumah sakit.

Setelah keluar dari halaman rumah sakit, Pelangi memberhentikan angkutan umum. Pelangi langsung bergerak menuju rumah seseorang. Orang itu selalu meminta dirinya untuk menemani berbicara dan tentu saja Pelangi tidak menolak. Dia juga merasa nyaman saat berbicara dengan orang itu.

Setelah sampai dan membayar ongkos angkutan umum, Pelangi langsung disambut baik oleh wanita yang tengah berkutat dengan tanaman hias. Senyuman itu yang Pelangi rindukan setelah kepergiaan sang Ibu. Orang itu seakan memberikan sosok ibu yang masih diperlukan oleh Pelangi.

"Pelangi,” sambutnya dengan senyum gembira. Padahal, dia tadi mengira Pelangi tidak akan datang karena ini sudah telat dua puluh menit dari kebiasaan mereka.

Pelangi dengan sedikit canggung membalas pelukan Kayla. Keduanya lantas duduk di kursi yang memang disediakan untuk menjamu tamu jika tidak ingin di dalam.

“Maaf, Nyonya. Saya sedikit terlambat karena menjenguk ayah,” jelas Pelangi merasa tidak enak karena membuat Nyonya Kayla menunggu lama.

Tujuannya hari ini tidak lain untuk memenuhi permintaan Nyonya Kayla. Pelangi tidak sampai hati menolak permintaan Nyonya Kayla yang ingin ditemani bicara, meski dirinya ingin sekali istirahat.

"Bagaimana keadaan Ayah kamu, Sayang?" tanya Kayla memulai pembicaraan.

Senyum Pelangi mengembang saat merasakan usapan lembut dari Nyonya Kayla. Dia selalu menyukai momen sederhana seperti saat ini. Andai saja sang Ibu masih ada mungkin ia akan sangat senang.

"Jauh lebih baik."

Nyonya Kayla menghela napas pelan. Kayla bersyukur Ayah wanita di depannya ini sudah jauh lebih baik. Setidaknya, dia tidak akan melihat wajah khawatir dan sedih dari Pelangi. 

"Syukurlah kalau begitu. Saya turut senang mendengar kabar ini. Semoga Ayah kamu semakin membaik."

“Amin. Terima kasih, Nyonya."

Pembicaraan itu berlangsung cukup lama. Kayla benar-benar terlihat memanfaatkan waktu untuk berbincang dengan Pelangi. Berbincang dengan Pelangi seperti berbincang dengan anak sendiri. Tutur kata Pelangi begitu halus, itulah yang membuat Kayla merasa begitu nyaman. 

Setelah menghabiskan waktu cukup lama menemani Kayla, Pelangi pamit. Dia tidak bisa terlalu lama tinggal di sini karena masih ada satu pekerjaan yang harus ia selesaikan.

Sesampainya di rumah, Pelangi langsung membuat bunga, kemudian dia akan merangkainya dengan berbagai jenis dan warna. Merangkai bunga menjadi indah adalah pekerjaan yang sangat Pelangi sukai. Satu tangkai demi satu tangkai, Pelangi rangkai dengan telaten. Setelah rangkaian bunga ini selesai, Pelangi akan menjualnya di pinggir jalan. Walau hanya bunga kertas, tetapi bisa dijadikan alternatif menghias rumah dengan harga terjangkau.

“Semangat, Pelangi!” 

Pelangi kembali menyemangati diri. Dia boleh patah semangat meski rasa lelah mendera. Masih ada sang Ayah dan adik yang membutuhkan biaya. Apalagi pengobatan sang Ayah tidak bisa dikatakan murah.

Mata Pelangi menatap rangkaian bunga hias yang sudah selesai. Hari ini dia berhasil membuat sepuluh rangkaian bunga kertas yang begitu bagus, terhitung lebih sedikit. Biasanya, Pelangi bisa membuat dua puluh rangkaian bunga yang berbeda. Waktunya sedikit terpotong untuk melihat Akarsana.

*** 

Sepasang suami istri terlihat sudah siap dengan pakaian rapi. Rencananya mereka akan malam di luar, hitung-hitung meluangkan waktu setelah sibuk bekerja. Meski sudah lanjut usia tidak ada salahnya untuk kencan.

“Kita mau kemana, Mas?” tanya Ginny yang tidak tahu pasti kemana Ihsan akan membawanya pergi.

“Rahasia. Kamu cukup duduk saja. Kalau aku kasih tahu, namanya bukan kejutan,” jawab Ihsan yang mendapat cibiran dari Ginny.

“Sudah tua juga, tetapi masih main rahasia-rahasiaan,” cibir Ginny yang membuat Ihsan tertawa. “Ingat umur ya, Mas.”

“Anggap saja, kita masih muda, Sayang.”

“Muda itu di bawah tiga puluh, Mas. Kita itu sudah kepala empat. Jadi, mana bisa dikatakan muda.”

Kuda suami istri itu saling melempar candaan. Inilah quality time yang sangat sulit didapatkan. Seandainya Pelangi masih hidup mungkin mereka akan menghabiskan waktu bermain bersama anak dari Josefina.

“Andai anak Josefina masih hidup, mungkin akan sebesar anak itu,” celetuk Ginny saat melihat perempuan yang sedang berkeliling dari mobil satu ke mobil lain.

“Mungkin saja,” jawab Ihsan acuh.

Mata Ginny seolah terkunci pada perempuan dengan topi itu. Entah mengapa seperti ada magnet yang menarik dirinya agar terus fokus pada pergerakan perempuan itu. 

Keceriaan perempuan itu mengingatkan dirinya akan sosok Josefina. Sahabatnya itu begitu aktif nan cerita. Namun terkadang ada kesan malu-malu saat bertemu dengan orang-orang baru. Ginny sangat merindukan Josefina, begitu pula Ardiyanto, ayahnya.

Baru saja berandai-andai jika anak Josefina yang meninggal masih hidup, Ginny dibuat terkejut saat perempuan itu melepas topi dan berdiri di tepi jalan. Wajah itu, wajah itu mengingatkan dirinya akan Josefina yang sudah meninggal setelah melahirkan putri kecilnya

Ginny menolehkan kepala ke belakang, mencoba mencari keberadaan perempuan tadi. Sayang sekali Ginny tidak begitu jelas saat melihat wajah perempuan tadi. Namun, Ginny jelas tidak akan pernah melupakan wajah Josefina.

Semakin melaju mobil yang dikendari Ihsan, semakin Ginnya menoleh ke belakang. Tidak, dia tidak salah lihat. Wajah itu jelas sekali milik Josefina, namun tidak mungkin. Sudah jelas jika putri mendiang sahabatnya itu sudah tidak ada.

Lalu, siapakah perempuan tadi? Mengapa wajahnya begitu mirip dengan Josefina?

“Sayang, kenapa?” tanya Ihsan saat melihat Ginny terus fokus ke belakang.

Ginny menunjuk arah belakang dengan mata menatap Ihsan. “Itu Josefina,” jawab Ginny tidak jelas.

“Jangan mengada-ada, Ginny. Kamu tidak lupa bukan jika Josefina sudah meninggal?” Ihsan kembali fokus pada jalanan. “Tidak ada seseorang yang kembali hidup setelah dinyatakan meninggal. Apalagi kita juga mengikuti rangkaian pemakamannya.”

Ginny kembali menoleh ke belakang, sayang siluet perempuan itu sudah tidak terlihat lagi. “Aku tidak bohong, Mas, tapi beneran Josefina.”

Ihsan menggelengkan kepala seraya tertawa pelan. Jelas saja apa yang dikatakan Ginny tidak masuk akal. Josefina? Tidak mungkin. Wanita itu sudah meninggal dan mereka mengikuti serangkaian pemakaman.

“Sungguhan, Mas. Wajah perempuan tadi sangat mirip dengan Josefina. Aku tidak bohong.”

“Nah, itu. Mirip.” Ihsan menyetujui perkataan Ginny. “Kamu pernah dengar orang di bumi ini memiliki tujuh kembaran? Aku pikir yang kamu lihat hanya sebatas mirip. Banyak contohnya, misalnya Raffi Ahmad dan dan Dimas, mereka mirip, Tapi bukan berarti mereka lahir dari satu rahim.

Penjelasan Ihsan memang sangat masuk akal. Memang Ginny pernah mendengar di dunia ini kita memiliki tujuh kembaran. Bukan, bukan kembaran yang lahir dari satu rahim, melainkan seseorang yang memiliki struktur wajah yang sama, Namun Ginny masih sangat yakin jika perempuan tadi dan Josefina tidak hanya mirip.

“Tapi, Pa–”

“Sudahlah, Sayang. Aku yakin kalau mereka hanya sekadar mirip tidak lebih.”

Ginny memilih menyandarkan punggungnya sambil memejamkan mata. Mungkin benar akta Ihsan. Hanya saja semuanya masih belum bisa diterima secara langsung oleh Ginny. Perdebatan akan siapa perempuan itu tengah Ginny rasakan. Semoga, kata-kata Ihsan lebih benar dari perasaannya.

Related chapters

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 6. Siapakah pendonor itu?

    Pelangi menurunkan tas dari bahunya. Ia dan adik laki-lakinya baru saja tiba di rumah bertepatan dengan adik perempuannya. Adik perempuan Pelangi baru saja kembali dari kampus. Baru saja tiba di rumah, gadis itu membanting tas dan ponselnya ke atas kursi yang ada di ruang tamu. Pelang menjadi sangat heran. Apa yang membuat adiknya menjadi sangat marah dan uring-uringan begini? Sebagai Kakak yang baik, Pelangi menghampiri adik perempuannya. Berusaha mengajak gadis itu bicara dan meminta adiknya agar lebih tenang. Gerakkan kasar Diana membuat perempuan itu mengembuskan napas. Jujur saja Pelangi lelah dan ingin istirahat, tapi melihat Diana uring-uringan seperti itu membuat Pelangi urung untuk istirahat. Ia tidak akan tenang sebelum mengetahui masalah sang Adik. "Kamu kenapa? Ada masalah? Kakak lihat, kamu pulang-pulang malah marah kayak gini. Coba sini cerita sama Kakak," bujuk Pelangi penuh kelembutan. Gadis itu menatap sang Kakak dengan tatapan seolah ingin menerkam. Dientak

    Last Updated : 2023-06-05
  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 7. Mabuk

    Kabar tentang Akarsana yang akhirnya mendapatkan donor hati pun disambut gembira oleh Prita yang baru saja datang menjenguk putranya. Wanita itu merasa tidak percaya dengan kata-kata yang disampaikan oleh dokter kepadanya. Dia sampai mengulang pertanyaannya lebih dari dua kali untuk memastikan. Prita seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tentu saja wanita itu sangat senang. Dia mengucapkan syukur karena akhirnya Akarsana mendapatkan donor yang tepat seperti yang dikatakan dokter. Prita memeluk Akarsana, membelai rambut anak lelakinya sambil menangis terharu. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain mengucapkan terima kasih juga kepada dokter yang telah menangani Akarsana. "Sama-sama, Bu." Dokter membalas dengan sopan. Setelah dokter pergi, Prita duduk di samping tempat tidur. "Pasti kamu sangat senang, bukan?" Akarsana mengangguk. "Iya. Akhirnya aku memiliki harapan hidup lagi dan aku sangat bersyukur ada orang baik yang mau menolongku, meskipun aku tidak ta

    Last Updated : 2023-06-16
  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 8. Rasa cemas Pelangi

    Kepala Diana berdenyut hebat. Ia merasakan kesakitan di seluruh tubuhnya. Rasanya seperti remuk, Diana sontak meringis saat menggerakkan kedua kakinya. Hawa dingin seketika menyapa kulit tubuhnya. Diana tanpa sadar menyentuh lengannya, kemudian kebingungan sendiri, karena saat ia tidak mengenakan apa-apa. Tubuh Diana dibungkus selimut tebal. Di sampingnya ada Renjana sedang tertidur pulas. Diana panik, ia memegangi kepalanya mencoba mengingat apa yang telah terjadi semalam. Diana menggigit ujung jarinya. Ia memukul kepalanya sendiri dengan gemas karena tidak kunjung mengingat apa pun. "Apa yang terjadi? Aku dan Renjana ....," gumam Diana menggigit bibir bawahnya. Renjana sama sekali tidak bergerak di atas tempat tidur. Diana hanya mendengar dengkuran halus dari lelaki tampan itu. Diana memungut bajunya di lantai, lantas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sembari menunggu Renjana bangun, Diana akan mandi lebih dulu. Baru setelah itu meminta pertanggungjawaban lelak

    Last Updated : 2023-06-17
  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 9. Perempuan beda generasi

    Pelangi menekan bel sekali. Ia menunggu dengan tenang di pintu sembari menunggu pemilik rumah membukakannya. Tidak menunggu terlalu lama, Pelangi mendengar suara kunci yang dibuka dari dalam. Pelangi menggerakkan kedua kakinya berjalan mundur ke belakang bersamaan dengan pintu dibuka. Pelangi dan si pemilik rumah sama-sama tersenyum ketika keduanya saling menatap. Pelangi mengangguk kecil menyapa Kayla. Wanita itu mengajak Pelangi masuk ke dalam rumahnya untuk mengobrol. "Kita ngobrol di taman belakang yuk, Pelangi," ajak Kayla berjalan di depan. "Oh, ya. Kamu mau minum apa? Bagaimana perjalanannya tadi? Kamu naik apa?" tanya Kayla panjang lebar. "Lumayan macet, Bu. Tadi saya kemari naik angkutan umum." Pelangi menjawab sambil tersenyum. "Saya minum air putih saja sudah cukup, kok." Kayla melangkah ke arah dapur. "Lho, jangan air putih saja dong! Di sini ada banyak minuman yang lebih enak. Saya buatkan jus buah saja, ya?" "Apa tidak merepotkan, Bu?" tanya Pelangi. "Sama

    Last Updated : 2023-06-18
  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 10. Perasaan yang berbunga-bunga

    "Iya, Om Ardi. Wanita itu mirip Josefina, tapi aku belum bertemu langsung dengannya." "Jika kamu sudah kembali bertemu dengannya segera hubungiku." "Baik." Ginny memutuskan sambungan teleponnya. Ardiyanto sangat penasaran seberapa mirip perempuan itu dengan Josefina, karena Ginny menceritakannya dengan penuh keyakinan. Marien melihat suaminya keluar dari kamar dengan ekspresi wajah yang bingung. Marien menyapa Ardiyanto mengajak lelaki itu untuk minum teh bersama di ruang keluarga. Ardiyanto mengiyakan, mengikuti langkah Marien yang ada di depan. Pasangan suami dan istri tersebut telah duduk di sofa panjang, bersebelahan. Marien menyodorkan secangkir teh kepada suaminya, tapi Ardiyanto kelihatan seperti orang linglung. "Pa?" Marien menegur Ardiyanto. Lamunan Ardiyanto pun buyar. Ia menerima cangkir yang diberikan Marien kepadanya. "Terima kasih." Ardiyanto menyesap tehnya dengan hati-hati. "Tidak mungkin. Ini aneh," gumamnya. "Apanya yang aneh? Tehnya?" tanya Marien. Ard

    Last Updated : 2023-06-20
  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 11. Surat wasiat

    Prita baru saja tiba di rumah sakit keesokan harinya dan menemui dokter terlebih dahulu sebelum menemui Akarsana di ruang perawatannya. Di ruang dokter, Prita mendapat kabar bagus yang disampaikan oleh dokter yang akan menangani Akarsana selama di meja operasi. Dokter telah menentukan jadwal operasi Akarsana. "Dua minggu lagi." Sepasang mata Prita seketika berbinar. Bibir wanita itu yang dipoles merah menyala tampak tertarik, membentuk sebuah senyuman lebar. Ia begitu bahagia, karena sebentar lagi Akarsana akan sembuh setelah melakukan operasi. "Terima kasih." Prita mengucapkan dua kata itu lagi sebelum menghilang di balik pintu ruangan dokter. Prita mempercepat langkah. Wanita itu berjalan riang, perasaannya lebih ringan, kini Prita tidak menahan beban, karena memikirkan kesehatan Akarsana lagi. Tangan kanan Prita menggapai gagang pintu ruang perawatan Akarsana. Ia membukanya dengan cepat, berjalan menghampiri ranjang Akarsana. Putranya sedang berbaring sembari menatap ke

    Last Updated : 2023-06-21
  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 12. Adik penjual bunga

    Diana bisa menghela napas lega sekarang. Lelaki yang dia cari selama ini kini tengah duduk di sebelahnya sembari menyetir mobil. "Kalau kamu memang sedang sibuk harusnya bilang sejak awal. Supaya aku tidak berburuk sangka sama kamu." Diana mengatakannya dengan nada merajuk. "Kamu tiba-tiba menghilang tidak ada kabar. Teleponku sama sekali tidak kamu respons. Siapa yang tidak curiga?" desak Diana. Renjana menahan geram dengan tingkah laku Diana. Siapa juga yang mau bertanggung jawab kepada gadis itu. Dia cuma pura-pura saja agar Diana tidak terus mengganggunya. Siapa yang tidak terkejut melihat Diana ada di depan gerbang kampusnya. Diana bahkan memarahinya di depan umum dan membuatnya seketika menjadi panik. Akhirnya Renjana membuat siasat dengan mengiyakan permintaan Diana dan bersedia bertanggung jawab. Daripada nantinya dibuat malu lebih baik Renjana pura-pura saja. "Maaf, Diana. Aku terlalu sibuk sampai tidak pegang ponsel," jawab Renjana. "Biasanya aku akan menyimpan pon

    Last Updated : 2023-06-23
  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 13. Jejak

    Marien memberi Winarto sebuah tugas melalui telepon. Lelaki berusia lima puluh tahun itu baru saja tiba di Bandung, tempat temannya tinggal dulu, Danurdara. Iya, Danurdara adalah teman Winarto yang dia titipkan putri dari mendiang Josefina di masa lalu. Kedatangan Winarto ke Bandung jelas bukan tanpa sebab. Dia mencari bayi Josefina. Winarto tiba di sebuah pemukiman dan sudah lama sekali tidak datang kemari. Ada banyak sekali perubahan di sana. Winarto harus mengingat lagi keberadaan rumah Danurdara. Winarto memasuki sebuah gang kecil. Dia mulai ingat dimana letak rumah Danurdara berada. Namun, saat Winarto sampai di tempat yang dia tuju, dia terkejut karena Danurdara ternyata sudah pindah cukup lama. "Pindah?" pekik Winarto terkejut. Seorang tetangga menghampiri Winarto yang kelihatan kebingungan sejak tadi. "Iya, Pak. Sejak rumahnya kebakaran, Pak Danurdara pindah dari sini." Winarto mendesah dan merasa putus asa. "Bapak tahu di mana Pak Danurdara beserta anak-anaknya pin

    Last Updated : 2023-06-26

Latest chapter

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 91. Cerita Diana

    Diana menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya sebelum berbicara. Semua orang di ruangan itu menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu penjelasan."Aku akan menceritakan semuanya," katanya, suaranya masih sedikit bergetar.Pelangi duduk di sampingnya, memberikan dukungan diam-diam.Diana meremas jemarinya sebelum akhirnya mulai bercerita.***"Tiga hari yang lalu, aku mendapat pesan dari nomor tak dikenal yang memintaku datang ke sebuah hotel di pusat kota. Katanya, ada seseorang yang ingin berbicara denganku soal kasus yang sedang aku ajukan ke polisi. Ya, aku melaporkan Renjana ke polisi karena dia sudah mendorongku dari tangga."Diana menghela napas, lalu melanjutkan."Aku merasa curiga, tapi aku tetap pergi. Aku pikir, mungkin ini kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang Renjana. Jadi, aku datang ke hotel itu."Semua orang tetap diam, mendengarkan dengan saksama."Ketika aku tiba di kamar hotel yang disebutkan dalam pesan, ruangan itu kosong. Tapi b

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 90. Tatapan terluka

    Pelangi berjalan menuju taman belakang, mencoba menenangkan pikirannya. Udara sore yang sejuk seharusnya bisa meredakan kegelisahannya, tetapi pikirannya masih dipenuhi kata-kata Naomi. "Aku kembali untuk memastikan sesuatu yang seharusnya tidak pernah berubah." Apa maksudnya? Apa Naomi benar-benar berpikir bahwa ia masih memiliki tempat di sisi Akarsana? Pelangi meremas jemarinya sendiri. Tidak, ia tidak boleh membiarkan dirinya dikendalikan oleh ketakutan, tapi bagaimana bisa, jika bahkan ibu mertuanya tampak lebih memilih Naomi? "Kenapa kau terlihat begitu muram?" Pelangi tersentak dan menoleh. Akarsana berdiri di belakangnya, menatapnya dengan ekspresi lembut. Ia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia hanya menatap suaminya, mencoba mencari sesuatu di dalam matanya. Bukti bahwa Akarsana tetap di sisinya. Bukti bahwa perasaannya tidak akan goyah hanya karena Naomi kembali. "Kau diam saja," kata Akarsana, berjalan mendekat. "Apa ada yang mengganggumu?" Pelangi menghela napa

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 89. Sesuatu yang seharusnya tidak berubah

    Pelangi duduk di meja makan, mengaduk kopinya dengan tatapan kosong. Pagi ini terasa dingin, bukan hanya karena cuaca, tetapi juga karena hawa yang mengelilinginya.Ketika langkah kaki terdengar, ia mendongak dan melihat Naomi berjalan memasuki ruang makan dengan percaya diri, mengenakan gaun sutra tipis yang terlalu mencolok untuk pagi hari."Selamat pagi!" sapanya dengan senyum yang dipaksakan manis.Pelangi tidak menjawab. Ia hanya menegakkan punggungnya, mencoba mempertahankan harga dirinya.Naomi tertawa kecil. "Kenapa diam saja? Apa kau marah karena aku di sini?"Pelangi menggenggam cangkir kopinya erat. "Aku tidak punya alasan untuk marah. Aku hanya heran kenapa seseorang yang seharusnya tidak punya tempat di rumah ini masih saja berkeliaran."Naomi tersenyum, lalu duduk di kursi di seberang Pelangi. "Sayang sekali, sepertinya ibu mertuamu tidak berpikir begitu."Pelangi menahan napas. Ia tahu ibu mertuanya memang menyukai Naomi sejak dulu, bahkan lebih dari dirinya. Itu yang m

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 88. Percayalah padaku!

    Dengan gaun tidurnya yang elegan, wanita itu berdiri di ambang pintu dengan senyuman lembut. "Kita perlu bicara," katanya pelan. Akarsana mengepalkan tangannya. Ia tahu ini hanya awal dari kekacauan yang lebih besar. Naomi menutup pintu perlahan dan berjalan mendekat. Dengan gaun tidurnya yang elegan dan rambut panjangnya yang tergerai sempurna, ia terlihat seperti ilusi dari masa lalu. "Akarsana," ucapnya lembut. "Kita perlu bicara." "Aku tidak punya urusan lagi denganmu," jawab Akarsana tegas. Naomi tersenyum tipis, lalu duduk di sofa seolah itu masih rumahnya. "Tidak bisakah kita berbicara sebagai teman lama?" Akarsana tertawa sinis. "Teman lama? Kau pikir setelah apa yang kau lakukan, aku masih bisa menganggapmu teman?" Naomi menunduk, berpura-pura merasa bersalah. "Aku tahu aku telah menyakitimu. Aku menyesal." "Menyesal?" Akarsana menatapnya tajam. "Kau meninggalkanku demi pria lain, Naomi. Kau menghancurkan segalanya, dan sekarang kau kembali seolah-olah tidak terj

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 87. Luka yang terpendam

    Pelangi ingin mempercayainya, tapi senyuman itu tidak sepenuhnya meyakinkannya. Dengan perasaan tak menentu, ia memilih untuk tidak mendesak. Namun, di dalam hatinya, ada bisikan kecil yang mulai mengusiknya. Apakah ini ada hubungannya dengan Naomi? Sebenarnya, sejak subuh tadi, Akarsana sudah merasa kepalanya berat. Begitu ia membuka matanya, ia menemukan pesan dari Naomi—sebuah foto lama mereka berdua. Dalam foto itu, Naomi ada di dalam pelukannya, tertawa bahagia. Itu adalah kenangan mereka dulu, saat semuanya masih terasa sempurna. Dan yang lebih mengganggunya adalah pesan yang menyertainya: "Kenangan tidak pernah benar-benar hilang, kan?" Akarsana mengembuskan napas berat. Ia tidak mengerti apa yang sedang direncanakan Naomi, tetapi ia tahu satu hal—wanita itu tidak datang ke rumah ini tanpa alasan. Dengan cepat, ia menghapus pesan itu. Ia tidak ingin Pelangi melihatnya dan salah paham. Namun, tanpa ia sadari, tindakannya justru menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 86. Bara dalam cinta

    Pelangi berdiri di dapur, tangannya sibuk memotong buah. Meski begitu, pikirannya penuh dengan kejadian hari ini. Naomi. Wanita itu masih begitu cantik, masih begitu anggun, tapi yang lebih mengganggunya adalah bagaimana reaksi Akarsana. Suaminya memang marah, tapi di dalam kemarahan itu, Pelangi bisa merasakan ada emosi lain yang tersembunyi. Ia takut. Takut bahwa Naomi masih memiliki tempat di hati Akarsana. Pelangi tersentak dari lamunannya saat dua tangan melingkar di pinggangnya dari belakang. "Aku mencarimu," suara berat Akarsana terdengar di telinganya. Pelangi menegang sejenak, sebelum perlahan bersandar pada tubuh hangat suaminya. "Aku di sini," jawabnya pelan. Akarsana menariknya lebih erat ke dalam pelukan. "Aku tahu ini tidak mudah bagimu," katanya dengan suara yang lebih lembut. "Tapi aku ingin kau tahu satu hal." Pelangi menunggu dalam diam. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan Naomi," lanjut Akarsana tegas. "Aku tidak mencintainya. Aku tidak mengin

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 84. Rencana Naomi

    Sofia bergegas mendekati kakaknya. "Kak, kau tidak perlu bicara dengannya. Dia—" "Tidak apa-apa, Sofia," potong Akarsana datar. Sofia menatap kakaknya dengan ekspresi tidak setuju. "Tapi...." "Aku bilang, tidak apa-apa." Nada suara Akarsana membuat Sofia terdiam. Dengan enggan, ia melirik Naomi sekali lagi sebelum berbalik pergi, masih dengan amarah yang jelas di wajahnya. Kini, hanya ada Akarsana dan Naomi di taman. Keheningan menyelimuti mereka. Naomi menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri berkata, "Bisakah kita bicara di dalam?" Akarsana menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Di ruang kerjaku. Lantai satu." Naomi mengikuti Akarsana masuk ke dalam rumah, hatinya berdegup kencang. *** Akarsana berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan punggung menghadap Naomi. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, menahan perasaan yang berkecamuk. Naomi duduk di sofa, merasa begitu canggung dalam ruangan yang penuh dengan kehadiran pria itu. Keheningan membunuh mere

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 83. Terlambat untuk kembali

    "Apa?" katanya dengan suara lebih tinggi dari sebelumnya. "Ibuku mengizinkan dia tinggal di sini?"Pelangi mengangguk perlahan, melihat bagaimana rahang Akarsana mengatup kuat.Akarsana menghela napas tajam, lalu melangkah ke ruang tengah dengan langkah cepat. Ia tidak bisa percaya ini. Setelah semua yang Naomi lakukan padanya, bagaimana mungkin ibunya membiarkan wanita itu kembali ke dalam kehidupannya?Ketika ia sampai di ruang tengah, ia menemukan Prita duduk santai di sofa dengan secangkir teh di tangannya."Ibu," suaranya terdengar dalam dan penuh amarah, "apa yang kau pikirkan?"Prita hanya melirik sekilas ke arah putranya dan meletakkan cangkir tehnya di atas meja. "Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar."Akarsana menatap ibunya dengan tajam. "Membiarkan wanita yang telah mengkhianatiku tinggal di rumah ini? Itu yang ibu pikir benar?"Prita tetap tenang. "Naomi baru kembali ke kota ini dan tidak punya tempat tinggal. Aku tidak akan membiarkan seorang wanita yang dulu ham

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 82. Kembalinya luka lama

    Pelangi duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke arah jendela yang masih basah oleh sisa hujan. Kepalanya dipenuhi dengan kata-kata Prita yang terus bergema dalam pikirannya."Naomi itu dulu segalanya bagi Akarsana.""Cinta pertama sulit dilupakan.""Kalau bukan karena keadaan, mungkin mereka masih bersama sekarang."Pelangi menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan sesak yang menekan dadanya. Seharusnya ia tidak merasa seperti ini. Seharusnya ia percaya pada Akarsana. Tapi, bayangan Naomi yang berdiri di depan pintu tadi dengan ekspresi terluka dan penuh kehilangan, membuatnya ragu.Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. "Pelangi?"Pelangi menghela napas dan berusaha menyembunyikan perasaannya sebelum menjawab, "Masuk saja!"Prita membuka pintu dan menyandarkan tubuhnya di ambang pintu dengan ekspresi santai, seolah tidak menyadari badai yang tengah berkecamuk di hati Pelangi."Naomi sudah setuju untuk tinggal di sini sementara waktu," kata Prita tanpa basa-basi.Pelangi

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status