Pelangi menurunkan tas dari bahunya. Ia dan adik laki-lakinya baru saja tiba di rumah bertepatan dengan adik perempuannya. Adik perempuan Pelangi baru saja kembali dari kampus. Baru saja tiba di rumah, gadis itu membanting tas dan ponselnya ke atas kursi yang ada di ruang tamu. Pelang menjadi sangat heran. Apa yang membuat adiknya menjadi sangat marah dan uring-uringan begini? Sebagai Kakak yang baik, Pelangi menghampiri adik perempuannya. Berusaha mengajak gadis itu bicara dan meminta adiknya agar lebih tenang. Gerakkan kasar Diana membuat perempuan itu mengembuskan napas. Jujur saja Pelangi lelah dan ingin istirahat, tapi melihat Diana uring-uringan seperti itu membuat Pelangi urung untuk istirahat. Ia tidak akan tenang sebelum mengetahui masalah sang Adik. "Kamu kenapa? Ada masalah? Kakak lihat, kamu pulang-pulang malah marah kayak gini. Coba sini cerita sama Kakak," bujuk Pelangi penuh kelembutan. Gadis itu menatap sang Kakak dengan tatapan seolah ingin menerkam. Dientak
Kabar tentang Akarsana yang akhirnya mendapatkan donor hati pun disambut gembira oleh Prita yang baru saja datang menjenguk putranya. Wanita itu merasa tidak percaya dengan kata-kata yang disampaikan oleh dokter kepadanya. Dia sampai mengulang pertanyaannya lebih dari dua kali untuk memastikan. Prita seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tentu saja wanita itu sangat senang. Dia mengucapkan syukur karena akhirnya Akarsana mendapatkan donor yang tepat seperti yang dikatakan dokter. Prita memeluk Akarsana, membelai rambut anak lelakinya sambil menangis terharu. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain mengucapkan terima kasih juga kepada dokter yang telah menangani Akarsana. "Sama-sama, Bu." Dokter membalas dengan sopan. Setelah dokter pergi, Prita duduk di samping tempat tidur. "Pasti kamu sangat senang, bukan?" Akarsana mengangguk. "Iya. Akhirnya aku memiliki harapan hidup lagi dan aku sangat bersyukur ada orang baik yang mau menolongku, meskipun aku tidak ta
Kepala Diana berdenyut hebat. Ia merasakan kesakitan di seluruh tubuhnya. Rasanya seperti remuk, Diana sontak meringis saat menggerakkan kedua kakinya. Hawa dingin seketika menyapa kulit tubuhnya. Diana tanpa sadar menyentuh lengannya, kemudian kebingungan sendiri, karena saat ia tidak mengenakan apa-apa. Tubuh Diana dibungkus selimut tebal. Di sampingnya ada Renjana sedang tertidur pulas. Diana panik, ia memegangi kepalanya mencoba mengingat apa yang telah terjadi semalam. Diana menggigit ujung jarinya. Ia memukul kepalanya sendiri dengan gemas karena tidak kunjung mengingat apa pun. "Apa yang terjadi? Aku dan Renjana ....," gumam Diana menggigit bibir bawahnya. Renjana sama sekali tidak bergerak di atas tempat tidur. Diana hanya mendengar dengkuran halus dari lelaki tampan itu. Diana memungut bajunya di lantai, lantas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sembari menunggu Renjana bangun, Diana akan mandi lebih dulu. Baru setelah itu meminta pertanggungjawaban lelak
Pelangi menekan bel sekali. Ia menunggu dengan tenang di pintu sembari menunggu pemilik rumah membukakannya. Tidak menunggu terlalu lama, Pelangi mendengar suara kunci yang dibuka dari dalam. Pelangi menggerakkan kedua kakinya berjalan mundur ke belakang bersamaan dengan pintu dibuka. Pelangi dan si pemilik rumah sama-sama tersenyum ketika keduanya saling menatap. Pelangi mengangguk kecil menyapa Kayla. Wanita itu mengajak Pelangi masuk ke dalam rumahnya untuk mengobrol. "Kita ngobrol di taman belakang yuk, Pelangi," ajak Kayla berjalan di depan. "Oh, ya. Kamu mau minum apa? Bagaimana perjalanannya tadi? Kamu naik apa?" tanya Kayla panjang lebar. "Lumayan macet, Bu. Tadi saya kemari naik angkutan umum." Pelangi menjawab sambil tersenyum. "Saya minum air putih saja sudah cukup, kok." Kayla melangkah ke arah dapur. "Lho, jangan air putih saja dong! Di sini ada banyak minuman yang lebih enak. Saya buatkan jus buah saja, ya?" "Apa tidak merepotkan, Bu?" tanya Pelangi. "Sama
"Iya, Om Ardi. Wanita itu mirip Josefina, tapi aku belum bertemu langsung dengannya." "Jika kamu sudah kembali bertemu dengannya segera hubungiku." "Baik." Ginny memutuskan sambungan teleponnya. Ardiyanto sangat penasaran seberapa mirip perempuan itu dengan Josefina, karena Ginny menceritakannya dengan penuh keyakinan. Marien melihat suaminya keluar dari kamar dengan ekspresi wajah yang bingung. Marien menyapa Ardiyanto mengajak lelaki itu untuk minum teh bersama di ruang keluarga. Ardiyanto mengiyakan, mengikuti langkah Marien yang ada di depan. Pasangan suami dan istri tersebut telah duduk di sofa panjang, bersebelahan. Marien menyodorkan secangkir teh kepada suaminya, tapi Ardiyanto kelihatan seperti orang linglung. "Pa?" Marien menegur Ardiyanto. Lamunan Ardiyanto pun buyar. Ia menerima cangkir yang diberikan Marien kepadanya. "Terima kasih." Ardiyanto menyesap tehnya dengan hati-hati. "Tidak mungkin. Ini aneh," gumamnya. "Apanya yang aneh? Tehnya?" tanya Marien. Ard
Prita baru saja tiba di rumah sakit keesokan harinya dan menemui dokter terlebih dahulu sebelum menemui Akarsana di ruang perawatannya. Di ruang dokter, Prita mendapat kabar bagus yang disampaikan oleh dokter yang akan menangani Akarsana selama di meja operasi. Dokter telah menentukan jadwal operasi Akarsana. "Dua minggu lagi." Sepasang mata Prita seketika berbinar. Bibir wanita itu yang dipoles merah menyala tampak tertarik, membentuk sebuah senyuman lebar. Ia begitu bahagia, karena sebentar lagi Akarsana akan sembuh setelah melakukan operasi. "Terima kasih." Prita mengucapkan dua kata itu lagi sebelum menghilang di balik pintu ruangan dokter. Prita mempercepat langkah. Wanita itu berjalan riang, perasaannya lebih ringan, kini Prita tidak menahan beban, karena memikirkan kesehatan Akarsana lagi. Tangan kanan Prita menggapai gagang pintu ruang perawatan Akarsana. Ia membukanya dengan cepat, berjalan menghampiri ranjang Akarsana. Putranya sedang berbaring sembari menatap ke
Diana bisa menghela napas lega sekarang. Lelaki yang dia cari selama ini kini tengah duduk di sebelahnya sembari menyetir mobil. "Kalau kamu memang sedang sibuk harusnya bilang sejak awal. Supaya aku tidak berburuk sangka sama kamu." Diana mengatakannya dengan nada merajuk. "Kamu tiba-tiba menghilang tidak ada kabar. Teleponku sama sekali tidak kamu respons. Siapa yang tidak curiga?" desak Diana. Renjana menahan geram dengan tingkah laku Diana. Siapa juga yang mau bertanggung jawab kepada gadis itu. Dia cuma pura-pura saja agar Diana tidak terus mengganggunya. Siapa yang tidak terkejut melihat Diana ada di depan gerbang kampusnya. Diana bahkan memarahinya di depan umum dan membuatnya seketika menjadi panik. Akhirnya Renjana membuat siasat dengan mengiyakan permintaan Diana dan bersedia bertanggung jawab. Daripada nantinya dibuat malu lebih baik Renjana pura-pura saja. "Maaf, Diana. Aku terlalu sibuk sampai tidak pegang ponsel," jawab Renjana. "Biasanya aku akan menyimpan pon
Marien memberi Winarto sebuah tugas melalui telepon. Lelaki berusia lima puluh tahun itu baru saja tiba di Bandung, tempat temannya tinggal dulu, Danurdara. Iya, Danurdara adalah teman Winarto yang dia titipkan putri dari mendiang Josefina di masa lalu. Kedatangan Winarto ke Bandung jelas bukan tanpa sebab. Dia mencari bayi Josefina. Winarto tiba di sebuah pemukiman dan sudah lama sekali tidak datang kemari. Ada banyak sekali perubahan di sana. Winarto harus mengingat lagi keberadaan rumah Danurdara. Winarto memasuki sebuah gang kecil. Dia mulai ingat dimana letak rumah Danurdara berada. Namun, saat Winarto sampai di tempat yang dia tuju, dia terkejut karena Danurdara ternyata sudah pindah cukup lama. "Pindah?" pekik Winarto terkejut. Seorang tetangga menghampiri Winarto yang kelihatan kebingungan sejak tadi. "Iya, Pak. Sejak rumahnya kebakaran, Pak Danurdara pindah dari sini." Winarto mendesah dan merasa putus asa. "Bapak tahu di mana Pak Danurdara beserta anak-anaknya pin
Sofia ikut berduka atas kehilangan yang Diana alami. Sebagai saudara Renjana, Sofia ikut merasakan rasa bersalah. Mungkin, ia akan membawa perasaan ini sampai selamanya. Di dalam kepalanya secara otomatis akan terus mengingat kejadian pagi ini di rumah. Akarsana semula menundukan kepalanya, lantas mendongak seiring mendengar suara tangis dan jeritan Diana di dalam ruang perawatannya. Akarsana meraup wajahnya dengan kasar. Tidak dia sangka kalau Renjana akan melakukan hal sefatal ini. Akarsana tidak tahu menahu awalnya. Andai saja Diana tidak datang ke rumah, mungkin Akarsana dan Sofia tetap tidak akan mengetahuinya. Lelaki itu merasakan kursi di sebelahnya bergerak, ternyata Sofia beranjak dari kursi hendak mendekat ke pintu ruangan Diana. Akarsana menahan lengan Sofia, kemudian menggelengkan kepalanya. "Biarkan Pelangi saja yang menenangkan Diana," tutur Akarsana lembut. "Jika Diana melihat kamu, maka secara otomatis Diana akan bertambah sedih." Gadis itu duduk kembali ke kursin
Ketika Pelangi tiba di rumah Akarsana, perempuan itu tidak menemukan siapa-siapa di pos satpam. Biasanya akan ada Pak Udin yang menyapa, dan menyambut kedatangannya dengan ramah, tapi Pelangi tidak menemukan lelaki setengah baya itu di dalam posnya. Pelangi mendengar suara ribut-ribut dari luar. Dia mengenali suara itu sebagai suara Diana—sang adik. Pelangi tidak buang-buang waktu. Dengan cepat Pelangi berlari menuju ke dalam, berusaha menghentikan kekacauan yang dibuat oleh Diana hari ini. Sementara di dalam rumah Maheswara, Diana berusaha menyerang Renjana, tapi dihalangi oleh Prita yang berdiri di tengah-tengah Diana dan Renjana. Diana mencak-mencak, karena Renjana tidak berusaha menjelaskan kepada keluarganya. Sama halnya dengan Renjana, Prita pun bungkam saat ditanya kebenaran dari kata-kata Diana. Prita hanya menjelaskan kalau Diana adalah adiknya Pelangi. Cuma itu saja. "Tante jangan diam saja! Cepat jelaskan kepada mereka di sini kalau Renjana bersalah! Dan yang aku kataka
Sungguh, Akarsana tidak dapat mengatakan apa-apa. Tentu saja Akarsana terkejut, begitu pun dengan Sofia yang sedari tadi hanya mendengarkan saja. Napas Diana memburu. Kedatangannya kemari tentu ingin menuntut pertanggungjawaban dari Renjana. Padahal dia sudah datang kemari bersama Pelangi, tapi Renjana terus menghindar dan menghindar. Diana tidak meminta apa-apa dari Renjana—selain untuk menikahinya, tapi Diana seolah mengemis belas kasih lelaki itu. Bayi di dalam perutnya bukan bayi siapa-siapa kecuali milik Renjana. Diana tidak pernah melakukan hubungan semacam itu dengan lelaki selain Renjana! Jadi Diana dengan lantang mengatakan kalau bayi itu adalah anak Renjana! "Ma ... ini benar? Renjana, cepat jawab!" bentak Akarsana pada adik lelakinya. Renjana hanya diam mematung seperti orang bodoh. Walau dibentak Akarsana, dimaki dan ditekan oleh Diana, Renjana tidak berniat memberikan jawaban yang Akarsana mau. "Aku tidak mau tahu. Kamu harus tanggung jawab, atau kalau tidak, aku aka
Pelangi terpaku, matanya membulat, jantungnya berdebar tak karuan. Kata-kata Akarsana barusan menggantung di udara, menggema di telinganya seperti melodi yang tak pernah ia bayangkan akan didengarnya. "A-apa?" Pelangi terbata, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menggelengkan kepala perlahan, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah dengar. "A-apa kau bilang tadi?" Akarsana tersenyum lembut, tatapannya terkunci pada mata Pelangi yang berkaca-kaca. "Aku bilang, aku mencintaimu, Pelangi." Pelangi merasakan aliran hangat menjalar di seluruh tubuhnya dan merasakan kebahagian yang meluap-luap di hatinya. Ini seperti mimpi. Akarsana, pria yang selama ini ia kagumi diam-diam, pria yang selalu membuatnya tersipu malu setiap kali bertemu, kini berdiri di hadapannya, menyatakan cinta yang selama ini hanya ia pendam dalam hati. "Aku... aku tidak salah dengar, kan?" Pelangi masih berusaha meyakinkan dirinya. Akarsana terkekeh pelan, "Tidak, Pelangi. Kau tidak salah dengar. Aku sungguh-su
Kedatangan Akarsana secara tiba-tiba di depan rumah susunnya, telah merampas kesadaran Pelangi untuk beberapa saat. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan lidahnya terasa kelu saat. Akarsana tersenyum hangat kepadanya, wajahnya sangat ramah, membuat jantung Pelangi berdebaran dengan kencang. Pelangi sedang tidak bermimpi, kan? Pelangi hampir saja menampar pipinya sendiri guna menyadarkan dirinya. "Ah! Tidak apa-apa. Kamu tidak menggangguku, kok. Aku juga tidak sedang sibuk, tapi, dari mana kamu tahu alamat rumahku, Akarsana?" tanya Pelangi penasaran. "Oh, ya. Terima kasih untuk bunganya." Sebuket bunga yang dibawa Akarsana kini telah berpindah ke dalam pelukan Pelangi. Perempuan itu tidak bisa menyembunyikan betapa bahagia dirinya. "Apa aku boleh masuk?" Akarsana tidak menjawab pertanyaan Pelangi, lelaki itu malah meminta diajak masuk ke dalam rumah Pelangi. "Oh, tentu." Pelangi berjalan ke pinggir. "Masuklah, Akarsana!" ajak Pelangi menunjuk ke sofa yang ada di ruang tamu. "Teri
Renjana, anak itu benar-benar menambah beban pikiran bagi Prita. Belum selesai masalah warisan yang direbut oleh Pelangi, kini muncul masalah baru lagi atas ulah salah satu anak lelakinya. Berbeda dengan Akarsana yang lemah lembut, tidak banyak tingkah, Renjana justru tidak bosan membuat Prita pusing kepala! Sepeninggal Pelangi dan Diana keluar dari rumahnya, Prita berteriak sembari melangkah menuju ke lantai atas. Prita dibuat marah oleh Renjana, karena Renjana Prita harus pura-pura berada di kubu Pelangi. Andai saja Prita tidak berniat merebut kembali warisan Kayla yang kini telah berpindah tangan kepada Pelangi, Prita tidak akan sudi memperlakukan Pelangi dengan baik! Prita tidak menyukai perempuan miskin itu. "Renjana!" Prita mempercepat langkah menuju kamar lelaki itu. Sesampainya di depan pintu, wanita setengah baya tersebut menggebrak-gebrak pintu dengan mengerahkan seluruh tenaganya. "Mama tahu kamu di dalam, Renjana! Sekarang, buka pintunya! Mama butuh penjelasan kamu,
Perempuan mana yang mau bertahan dengan suami yang sudah selingkuh di belakang istri selama ini? Tidak ada. Begitu pun dengan Naomi. Sampai mati pun, Naomi tidak akan mau bertahan dengan lelaki itu. Lebih baik Naomi pergi, dan kembali ke Indonesia saja. Naomi menyiapkan koper besar, diletakkannya benda itu ke atas ranjang. Satu per satu baju dari lemarinya ia masukan ke dalam kopernya. Perempuan itu berniat kabur dari suaminya setelah lelaki itu ketahuan selingkuh darinya. Naomi tidak tahan lagi, ia sudah cukup frustrasi atas keadaan yang ia alami sekarang. Sambil menangis, perempuan itu menata baju dan beberapa pakaiannya ke dalam koper. Sekarang ini tujuan utama Naomi adalah kembali ke tempat ia lahir dan dibesarkan. Di sini Naomi tidak sebahagia yang orang kira. "Aku sudah tidak sanggup lagi hidup dengan lelaki berengsek itu!" Naomi membanting tutup kopernya dengan keras. Dengan gerakkan kasar, perempuan itu menarik resleting kopernya, kemudian duduk sembari menghela napas pan
"Kak Pelangi, tunggu." Diana menahan lengan sang Kakak. Kini, kedua perempuan itu telah berada di rumah Maheswara. Diana menatap rumah di depannya dengan seksama. "Kakak yakin ini rumahnya Renjana?" tanya Diana menatap Pelangi tak percaya, karena ia sering ke rumah ini untuk menjemput dan mengantarkan pakaian kotor.Pelangi mengangguk. Ia menurunkan tangan Diana yang memegangi lengannya. "Sudah, Diana. Jangan banyak membuang waktu!" Tidak biasanya Pelangi menjadi sangat marah. Biasanya perempuan itu hanya akan diam dan tidak banyak melakukan apa-apa, tapi kali ini ia tidak memilih diam. Adik perempuan satu-satunya dihamili seorang lelaki dan faktanya, lelaki itu adalah Renjana, salah satu anggota keluarga Maheswara yang beberapa kali ia temui di rumah itu. Langkah Diana ragu. Dalam kepala Diana, ia takut—mereka akan diusir oleh satpam di rumah itu, karena menerobos masuk ke dalam begitu saja. "Non Pelangi," sapa Pak Udin dari dalam pos satpam yang berada di dekat gerbang rumah.
"Kak, Kenapa? Kak Pelangi kenal dengan Renjana?" tanya Diana heran. Pelangi tidak percaya. Namun yang ia lihat memang kenyataan. Sesuai dengan dugaan Pelangi, Renjana pacar Diana adalah adiknya Akarsana. Anak kedua dari Prita. Tidak pernah Pelangi sangka akan terjadi hal seperti ini. "Kak," tegur Diana semakin bingung. Pelangi bisa merasakan dorongan pada bahunya oleh Diana. Sesaat, Pelangi kehilangan kesadarannya. Pelangi berusaha mengatur napas dan memberitahu pada Diana, siapa Renjana sebenarnya. "Kak, jawab aku!" seru Diana mulai tidak sabaran. "Aku kenal dengan Renjana, bahkan aku tahu di mana rumah lelaki itu," gumam Pelangi. "Apa?" desis Diana tidak percaya. Bagaimana Pelangi bisa tahu tentang Renjana? Bahkan tahu alamat rumah Renjana. Apa yang membuat Pelangi begitu yakin kenal dengan lelaki itu? "Tidak mungkin," gumam Diana menolak untuk percaya. Hati kecil Diana seolah tidak terima sang Kakak mengenali Renjana. Diana lebih mengenali Renjana selama ini, tap