Diana bisa menghela napas lega sekarang. Lelaki yang dia cari selama ini kini tengah duduk di sebelahnya sembari menyetir mobil. "Kalau kamu memang sedang sibuk harusnya bilang sejak awal. Supaya aku tidak berburuk sangka sama kamu." Diana mengatakannya dengan nada merajuk. "Kamu tiba-tiba menghilang tidak ada kabar. Teleponku sama sekali tidak kamu respons. Siapa yang tidak curiga?" desak Diana. Renjana menahan geram dengan tingkah laku Diana. Siapa juga yang mau bertanggung jawab kepada gadis itu. Dia cuma pura-pura saja agar Diana tidak terus mengganggunya. Siapa yang tidak terkejut melihat Diana ada di depan gerbang kampusnya. Diana bahkan memarahinya di depan umum dan membuatnya seketika menjadi panik. Akhirnya Renjana membuat siasat dengan mengiyakan permintaan Diana dan bersedia bertanggung jawab. Daripada nantinya dibuat malu lebih baik Renjana pura-pura saja. "Maaf, Diana. Aku terlalu sibuk sampai tidak pegang ponsel," jawab Renjana. "Biasanya aku akan menyimpan pon
Marien memberi Winarto sebuah tugas melalui telepon. Lelaki berusia lima puluh tahun itu baru saja tiba di Bandung, tempat temannya tinggal dulu, Danurdara. Iya, Danurdara adalah teman Winarto yang dia titipkan putri dari mendiang Josefina di masa lalu. Kedatangan Winarto ke Bandung jelas bukan tanpa sebab. Dia mencari bayi Josefina. Winarto tiba di sebuah pemukiman dan sudah lama sekali tidak datang kemari. Ada banyak sekali perubahan di sana. Winarto harus mengingat lagi keberadaan rumah Danurdara. Winarto memasuki sebuah gang kecil. Dia mulai ingat dimana letak rumah Danurdara berada. Namun, saat Winarto sampai di tempat yang dia tuju, dia terkejut karena Danurdara ternyata sudah pindah cukup lama. "Pindah?" pekik Winarto terkejut. Seorang tetangga menghampiri Winarto yang kelihatan kebingungan sejak tadi. "Iya, Pak. Sejak rumahnya kebakaran, Pak Danurdara pindah dari sini." Winarto mendesah dan merasa putus asa. "Bapak tahu di mana Pak Danurdara beserta anak-anaknya pin
Hari ini Pelangi datang ke rumah sakit untuk menjenguk ayahnya. Perempuan itu mengajak ayahnya mengobrol berdua. Berbicara tentang apa saja asal ayahnya tidak merasa kesepian. Danurdara menjawab setiap pertanyaan Pelangi dengan linglung. Lelaki setengah baya itu sedang menimbang. Apakah ia perlu memberitahu Pelangi sekarang? Danurdara telah lama menyimpan rahasia ini dari Pelangi beserta kedua saudaranya. Mulanya Danurdara ingin menyimpan rahasia itu saja sendiri. Namun, melihat Pelangi kesusahan karena dirinya, Danurdara menjadi tidak tega. Tidak seharusnya Pelangi hidup susah seperti ini. Mungkin sudah saatnya perempuan itu tahu asal-usulnya. Danurdara tidak tahan menyembunyikan rahasia ini. "Pelangi, Ayah mau—" Pelangi menatap ayahnya. Namun, belum sempat pria itu berkata pada sang putri, seorang dokter baru saja masuk ke dalam ruang perawatan Danurdara. "Yah, aku tunggu di luar, ya." Pelangi pamit kepada Ayah dan dokter. Dia tidak mau mengganggu dokter yang memeriksa kea
Naomi sedang membongkar isi lemarinya. Tanpa sadar perempuan itu menjatuhkan sesuatu dari dalam lemari. Sebuah ponsel lama miliknya yang sudah tidak pernah ia aktifkan setelah tinggal di New York. Naomi, mantan calon istri Akarsana kini tinggal di New York dan memilih menikahi lelaki asing, jadi Naomi tidak berniat kembali kepada Akarsana sekalipun lelaki itu berlutut dan mencium kakinya. Ia menggenggam ponsel lamanya sembari berjalan ke arah tepi ranjang. Tiba-tiba ia penasaran siapa saja yang menghubunginya setelah pindah kemari. Baterai ponselnya telah habis. Naomi mengisi daya baterainya lebih dulu sembari menunggu baterai terisi sedikit demi sedikit. Ia mendengar suara denting ponselnya mulai berisik. Satu persatu pesan masuk setelah Naomi menyalakan ponselnya. Ia membuka kotak pesan. Sebagian cuma teman-teman yang berbasa-basi menanyakan kabar, ada juga yang berniat ingin pinjam uang, dan ada satu nama yang memenuhi kotak pesan di ponselnya. Akarsana. Naomi mendesah panjang
Prita berjalan mondar-mandir. Kepalanya menatap ke pintu ruang operasi. Perasaannya sekarang campur aduk tidak karuan memikirkan kondisi Akarsana di atas meja operasi. Sofia menghampiri ibunya dan mengajaknya duduk di kursi tunggu. Prita masih saja cemas. Di dalam kepala wanita itu sekarang hanya memikirkan Akarsana. Bagaimana situasi di dalam ruang operasi? Apa tidak ada masalah selama operasi berlangsung? Dan berbagai macam pertanyaan lainnya. Sofia menggenggam tangan ibunya. Sebelah tangannya lagi mengusap punggung wanita itu yang naik turun. "Mama tenang saja. Harus tetap tenang," ujar Sofia. "Kita tahu Kak Akarsana adalah orang yang kuat. Semuanya pasti berjalan dengan lancar," tambahnya. Prita menghela napas panjang. "Tetap saja, Sofia. Sebagai seorang Ibu, Mama tidak akan bisa tenang sampai dokter keluar dan memberi selamat kepada kita kalau operasinya berjalan dengan lancar!" Sofia mengangguk memahami maksud ibunya. "Iya, aku tahu, Ma. Kita berdoa saja, ya. Kita harus p
Danurdara menjadi sangat bingung. Winarto meminta ia beserta anak-anaknya pindah dari kota ini. Danurdara pun menjawab. "Aku tidak bisa. Buat pindah tidak mudah bagi keluargaku. Selain anak-anakku belum tentu mau, pindah rumah juga membutuhkan uang mengingat kondisi finansial keluargaku yang serba kurang juga menjadi alasannya." Untuk makan sehari-hari saja, Pelangi harus bekerja keras sampai pergi ke luar kota. Kalau Danurdara mengikuti kata-kata Winarto, Danurdara sama saja menambah beban bagi putri sulungnya. "Danurdara, tolong dengarkan aku baik-baik! Semua ini demi keselamatan Pelangi." Winarto menarik napas panjang. "Kalau Nyonya Marien menemukan anak Josefina, Pelangi bisa dalam bahaya! Kamu ingin Pelangi berada di posisi itu?" Giliran Danurdara yang diam. Winarto mengatakannya tanpa kebohongan. Danurdara menatap wajah Winarto. Mereka sempat saling berdebat. Namun, saat Winarto mengatakan Pelangi dalam bahaya kalau sampai ketahuan Marien, Danurdara pun bimbang. Ia harus meng
"Tolong dengarkan saran dariku, Danurdara. Aku mengatakan ini jauh-jauh datang kemari untuk menyelamatkan Pelangi. Sebelum Nyonya Marien menemukan Pelangi sendiri lebih baik kamu bawa dia pergi sejauh mungkin sampai Nyonya Marien tidak bisa menemukan kalian." Danurdara menghela napas berat. Sedari tadi ia memikirkan kata-kata Winarto. Entah Danurdara belum bisa mengambil keputusan. Apalagi secara satu pihak tanpa memberitahu Pelangi lebih dulu, tapi Danurdara mulai ragu untuk mengatakan asal-usul Pelangi setelah kedatangan Winarto. Malang sekali nasib Pelangi. Walau Pelangi sebenarnya berasal dari keluarga kaya raya, terpandang, Pelangi harus mengalami nasib yang malang. Ia disingkirkan oleh nenek tirinya sejak bayi. Begitu Pelangi beranjak dewasa, Nyonya Marien masih saja ingin menyingkirkan Pelangi. Cuma karena wanita itu tidak menyukai Pelangi. Apa salahnya? Danurdara bingung dengan isi kepala Nyonya Marien sampai sekarang. Danurdara juga tidak menyalahkan Winarto juga mau-mau s
"Aku tidak bisa pergi dari sini." "Tapi bagaimana dengan Pelangi?" Danurdara menghembuskan napas. "Aku akan memikirkannya sendiri. Kamu tidak perlu khawatir," gumamnya. Winarto berada di ambang kebimbangan. Antara melaporkan Danurdara yang berhasil ia temukan atau menolong Danurdara dan Pelangi dari Nyonya Marien? Jujur saja Winarto tidak tega melihat kondisi teman lamanya. Lelaki itu bersama ketiga anaknya harus tinggal di sebuah rumah susun sederhana. Ditambah tidak bisa bekerja karena sakit dan Pelangi-lah yang harus banting tulang untuk menafkahi Ayah dan kedua adiknya. Tidak Winarto sangka, anak Josefina harus menjalani hidup susah seperti ini. Pelangi adalah cucu Tuan Ardiyanto, berasal dari keluarga kaya raya. Andai saja Marien tidak menukar bayi Josefina dulu mungkin Pelangi tidak perlu bekerja keras seperti ini. Pelangi akan hidup mewah, bergelimang harta, tidak perlu sampai menjual bunga di sekitaran lampu merah. Winarto berdiri dengan gelisah. Ia harus mengambil
Di rumah sakit, Renjana masih terbaring koma. Mesin-mesin medis berbunyi pelan, satu-satunya tanda bahwa ia masih hidup. Prita duduk di sampingnya, menggenggam tangan anaknya dengan air mata yang terus mengalir."Kamu harus bangun, Nak. Ibu ada di sini," bisiknya dengan suara bergetar.Di belakangnya, Akarsana berdiri dengan ekspresi dingin. Berbeda dengan ibunya yang larut dalam kesedihan, ia tampak lebih fokus pada sesuatu yang lain."Dokter bilang dia bisa sadar kapan saja," kata Akarsana pelan. "Tapi kita harus siap jika sesuatu terjadi."Prita menoleh dengan mata penuh harap. "Kau pikir dia akan baik-baik saja?"Akarsana tidak langsung menjawab. ***Ruang keluarga itu dipenuhi cahaya redup dari lampu gantung. Pelangi duduk di sofa dengan segelas teh di tangannya, sementara Diana bersandar dengan bantal di punggungnya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong.“Aku masih tidak percaya Renjana mengalami kecelakaan itu,” ujar Pelangi, mengaduk teh tanpa minat.Diana terkekeh, su
Diana menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya sebelum berbicara. Semua orang di ruangan itu menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu penjelasan."Aku akan menceritakan semuanya," katanya, suaranya masih sedikit bergetar.Pelangi duduk di sampingnya, memberikan dukungan diam-diam.Diana meremas jemarinya sebelum akhirnya mulai bercerita.***"Tiga hari yang lalu, aku mendapat pesan dari nomor tak dikenal yang memintaku datang ke sebuah hotel di pusat kota. Katanya, ada seseorang yang ingin berbicara denganku soal kasus yang sedang aku ajukan ke polisi. Ya, aku melaporkan Renjana ke polisi karena dia sudah mendorongku dari tangga."Diana menghela napas, lalu melanjutkan."Aku merasa curiga, tapi aku tetap pergi. Aku pikir, mungkin ini kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang Renjana. Jadi, aku datang ke hotel itu."Semua orang tetap diam, mendengarkan dengan saksama."Ketika aku tiba di kamar hotel yang disebutkan dalam pesan, ruangan itu kosong. Tapi b
Pelangi berjalan menuju taman belakang, mencoba menenangkan pikirannya. Udara sore yang sejuk seharusnya bisa meredakan kegelisahannya, tetapi pikirannya masih dipenuhi kata-kata Naomi. "Aku kembali untuk memastikan sesuatu yang seharusnya tidak pernah berubah." Apa maksudnya? Apa Naomi benar-benar berpikir bahwa ia masih memiliki tempat di sisi Akarsana? Pelangi meremas jemarinya sendiri. Tidak, ia tidak boleh membiarkan dirinya dikendalikan oleh ketakutan, tapi bagaimana bisa, jika bahkan ibu mertuanya tampak lebih memilih Naomi? "Kenapa kau terlihat begitu muram?" Pelangi tersentak dan menoleh. Akarsana berdiri di belakangnya, menatapnya dengan ekspresi lembut. Ia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia hanya menatap suaminya, mencoba mencari sesuatu di dalam matanya. Bukti bahwa Akarsana tetap di sisinya. Bukti bahwa perasaannya tidak akan goyah hanya karena Naomi kembali. "Kau diam saja," kata Akarsana, berjalan mendekat. "Apa ada yang mengganggumu?" Pelangi menghela napa
Pelangi duduk di meja makan, mengaduk kopinya dengan tatapan kosong. Pagi ini terasa dingin, bukan hanya karena cuaca, tetapi juga karena hawa yang mengelilinginya.Ketika langkah kaki terdengar, ia mendongak dan melihat Naomi berjalan memasuki ruang makan dengan percaya diri, mengenakan gaun sutra tipis yang terlalu mencolok untuk pagi hari."Selamat pagi!" sapanya dengan senyum yang dipaksakan manis.Pelangi tidak menjawab. Ia hanya menegakkan punggungnya, mencoba mempertahankan harga dirinya.Naomi tertawa kecil. "Kenapa diam saja? Apa kau marah karena aku di sini?"Pelangi menggenggam cangkir kopinya erat. "Aku tidak punya alasan untuk marah. Aku hanya heran kenapa seseorang yang seharusnya tidak punya tempat di rumah ini masih saja berkeliaran."Naomi tersenyum, lalu duduk di kursi di seberang Pelangi. "Sayang sekali, sepertinya ibu mertuamu tidak berpikir begitu."Pelangi menahan napas. Ia tahu ibu mertuanya memang menyukai Naomi sejak dulu, bahkan lebih dari dirinya. Itu yang m
Dengan gaun tidurnya yang elegan, wanita itu berdiri di ambang pintu dengan senyuman lembut. "Kita perlu bicara," katanya pelan. Akarsana mengepalkan tangannya. Ia tahu ini hanya awal dari kekacauan yang lebih besar. Naomi menutup pintu perlahan dan berjalan mendekat. Dengan gaun tidurnya yang elegan dan rambut panjangnya yang tergerai sempurna, ia terlihat seperti ilusi dari masa lalu. "Akarsana," ucapnya lembut. "Kita perlu bicara." "Aku tidak punya urusan lagi denganmu," jawab Akarsana tegas. Naomi tersenyum tipis, lalu duduk di sofa seolah itu masih rumahnya. "Tidak bisakah kita berbicara sebagai teman lama?" Akarsana tertawa sinis. "Teman lama? Kau pikir setelah apa yang kau lakukan, aku masih bisa menganggapmu teman?" Naomi menunduk, berpura-pura merasa bersalah. "Aku tahu aku telah menyakitimu. Aku menyesal." "Menyesal?" Akarsana menatapnya tajam. "Kau meninggalkanku demi pria lain, Naomi. Kau menghancurkan segalanya, dan sekarang kau kembali seolah-olah tidak terj
Pelangi ingin mempercayainya, tapi senyuman itu tidak sepenuhnya meyakinkannya. Dengan perasaan tak menentu, ia memilih untuk tidak mendesak. Namun, di dalam hatinya, ada bisikan kecil yang mulai mengusiknya. Apakah ini ada hubungannya dengan Naomi? Sebenarnya, sejak subuh tadi, Akarsana sudah merasa kepalanya berat. Begitu ia membuka matanya, ia menemukan pesan dari Naomi—sebuah foto lama mereka berdua. Dalam foto itu, Naomi ada di dalam pelukannya, tertawa bahagia. Itu adalah kenangan mereka dulu, saat semuanya masih terasa sempurna. Dan yang lebih mengganggunya adalah pesan yang menyertainya: "Kenangan tidak pernah benar-benar hilang, kan?" Akarsana mengembuskan napas berat. Ia tidak mengerti apa yang sedang direncanakan Naomi, tetapi ia tahu satu hal—wanita itu tidak datang ke rumah ini tanpa alasan. Dengan cepat, ia menghapus pesan itu. Ia tidak ingin Pelangi melihatnya dan salah paham. Namun, tanpa ia sadari, tindakannya justru menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar
Pelangi berdiri di dapur, tangannya sibuk memotong buah. Meski begitu, pikirannya penuh dengan kejadian hari ini. Naomi. Wanita itu masih begitu cantik, masih begitu anggun, tapi yang lebih mengganggunya adalah bagaimana reaksi Akarsana. Suaminya memang marah, tapi di dalam kemarahan itu, Pelangi bisa merasakan ada emosi lain yang tersembunyi. Ia takut. Takut bahwa Naomi masih memiliki tempat di hati Akarsana. Pelangi tersentak dari lamunannya saat dua tangan melingkar di pinggangnya dari belakang. "Aku mencarimu," suara berat Akarsana terdengar di telinganya. Pelangi menegang sejenak, sebelum perlahan bersandar pada tubuh hangat suaminya. "Aku di sini," jawabnya pelan. Akarsana menariknya lebih erat ke dalam pelukan. "Aku tahu ini tidak mudah bagimu," katanya dengan suara yang lebih lembut. "Tapi aku ingin kau tahu satu hal." Pelangi menunggu dalam diam. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan Naomi," lanjut Akarsana tegas. "Aku tidak mencintainya. Aku tidak mengin
Sofia bergegas mendekati kakaknya. "Kak, kau tidak perlu bicara dengannya. Dia—" "Tidak apa-apa, Sofia," potong Akarsana datar. Sofia menatap kakaknya dengan ekspresi tidak setuju. "Tapi...." "Aku bilang, tidak apa-apa." Nada suara Akarsana membuat Sofia terdiam. Dengan enggan, ia melirik Naomi sekali lagi sebelum berbalik pergi, masih dengan amarah yang jelas di wajahnya. Kini, hanya ada Akarsana dan Naomi di taman. Keheningan menyelimuti mereka. Naomi menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri berkata, "Bisakah kita bicara di dalam?" Akarsana menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Di ruang kerjaku. Lantai satu." Naomi mengikuti Akarsana masuk ke dalam rumah, hatinya berdegup kencang. *** Akarsana berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan punggung menghadap Naomi. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, menahan perasaan yang berkecamuk. Naomi duduk di sofa, merasa begitu canggung dalam ruangan yang penuh dengan kehadiran pria itu. Keheningan m
"Apa?" katanya dengan suara lebih tinggi dari sebelumnya. "Ibuku mengizinkan dia tinggal di sini?" Pelangi mengangguk perlahan, melihat bagaimana rahang Akarsana mengatup kuat. Akarsana menghela napas tajam, lalu melangkah ke ruang tengah dengan langkah cepat. Ia tidak bisa percaya ini. Setelah semua yang Naomi lakukan padanya, bagaimana mungkin ibunya membiarkan wanita itu kembali ke dalam kehidupannya? Ketika ia sampai di ruang tengah, ia menemukan Prita duduk santai di sofa dengan secangkir teh di tangannya. "Ibu," suaranya terdengar dalam dan penuh amarah, "apa yang kau pikirkan?" Prita hanya melirik sekilas ke arah putranya dan meletakkan cangkir tehnya di atas meja. "Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar." Akarsana menatap ibunya dengan tajam. "Membiarkan wanita yang telah mengkhianatiku tinggal di rumah ini? Itu yang ibu pikir benar?" Prita tetap tenang. "Naomi baru kembali ke kota ini dan tidak punya tempat tinggal. Aku tidak akan membiarkan seorang wanita