Pelan tapi pasti, jari-jari tangan milik Akarsana mulai bergerak. Meskipun hanya pelan, terkesan halu, masih dapat ditangkap oleh penglihatan Ardian. Laki-laki itu lantas berjalan ke sisi brankar, tubuhnya sedikit mencondong, memastikan penglihatannya tidak salah.
Jari itu kembali bergerak. Kali ini Ardian sangat yakin dengan penglihatannya. Dengan cepat, tangan Ardian menekan tombol nurse call di atas brankar milik Akarsana.“Akarsana, bisa mendengar saya?” Ardian tentu saja mengerti jika pertanyaannya tidak akan dijawab, tapi itu semua keluar begitu saja dari mulutnya. Reflek saat melihat pergerakan dari Akarsana yang dikatakan koma.Tidak tenang karena belum ada tanda-tanda dokter akan datang, Ardian memilih untuk bergegas melangkah keluar. Dia ingin Akarsana segera mendapatkan pemeriksaan terkait kondisinya saat ini.Ini kabar baik. Sangat baik.Bangunnya Akarsana dari koma adalah keajaiban yang ditunggu oleh Pelangi, sepupunya. Ardian sudah bisa membayangkan seperti apa respon Pelangi saat mendengar kabar ini. Namun, sebelum memberitahu kabar bahagia ini, Ardian ingin terlebih dahulu memastikan. Dia tidak ingin sepupunya kembali kecewa.“Bagaimana, Dok?” tanya Ardian setelah Dokter selesai memeriksa Akarsana.“Syukurlah, Tuan Akarsana sudah melalui masa kritisnya.” Dokter itu memberi kabar bahagia seraya tersenyum. “Kita hanya menunggu Tuan membuka matanya. Seandainya Tuan mengeluhkan badannya lemas dan kaku, itu hal biasa bagi orang yang bangun dari koma.”Senyum Ardian semakin lebar. Setelah mengucapkan terima kasih, Ardian mengantarkan Dokter untuk keluar. Dia harus menyampaikan berita bahagia ini pada Pelangi. Tangannya lantas mengambil ponsel di saku celana, mencari nama Pelangi sebelum menekan tombol hijau untuk melakukan panggilan.“Halo!” sapa suara di seberang sana membuat senyum Ardian semakin lebar, sudah tidak sabar. “Tumben kamu menelepon? Ada apa? Dia baik-baik saja, kan? Tidak ada masalah, kan? Kenapa kamu diam, Ar? Tolong jawab pertanyaan aku jawab! Jangan buat aku penasaran.”Bukannya menjawab Ardian justru terkekeh mendengar rentetan pertanyaan dari Pelangi. Apakah Pelangi sudah se-cinta ini dengan laki-laki itu? Bagaimana mau jawab kalau Pelangi saja terus bertanya?“Kamu tidak usah panik, Pelangi.” Ardian kembali terkekeh. “Bukan kabar buruk. Justru, aku membawa kabar baik buat kamu.”“Kabar baik apa? Jangan minta aku main tebak-tebakkan ya, Ar,” ancam Pelangi yang sudah terdengar tidak sabar. “Ar, berita ap–”“Akarsana sudah sadar.” Ardian kembali tersenyum. “Dia sudah bangun dari koma.”Satu detik, dua detik, tidak ada jawaban dari Pelangi. Bahkan, Ardian sampai harus menjauhkan ponsel guna memastikan sambungan telepon mereka tidak terputus. Dia kembali berusaha memanggil Pelangi. Namun, yang terdengar justru isak tangis.“Jangan bercanda kamu,” seru Pelangi dengan suara serak menahan tangis. Rasanya begitu bahagia mendengar kabar ini.Ardian tersenyum simpul mendengar suara serak Pelangi. Dia turut bahagia jika Pelangi bahagia. “Aku tidak bohong, Pelangi. Aku tidak berani mempermainkan kehidupan orang lain.”Suara tangis di seberang telepon sana menyayat hati Ardian. Dia masih tidak habis pikir bagaimana bisa Plangi mengambil keputusan itu untuk menyelamatkan laki-laki asing yang baru ditemui.Ucapan syukur terdengar beberapa kali sebelum akhirnya sambungan telepon terputus setelah Pelangi mengungkapkan rasa bahagianya. Belum, tugasnya belum selesai sampai di sini. Ardian masih harus bertemu dengan dokter Candra untuk membicarakan permintaan Pelangi yang menurutnya cukup gila.“Bagaimana, Dok?” tanya Ardian setelah mengatakan keinginan Pelangi untuk menjadi donor hati.“Aka lebih baik kalau Tuan membawa Nona Pelangi ke rumah sakit. Kita akan melakukan rangkaian pemeriksaan terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan operasi.” Dokter Candra menghela nafas. “Operasi seperti ini, tidak bisa dikatakan sebagai operasi kecil. Bisa jadi di tengah jalan terjadi sesuatu. Untuk mencegah semuanya, Kami akan memastikan terlebih dahulu kondisi Nyonya Pelangi.”Ardian mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Dokter. Tidak salah, operasi ini bukanlah operasi kecil. Salah mengambil tindakan, nyawa dua orang yang menjadi taruhannya. Dan Ardian tidak ingin kehilangan Pelangi.Tangan Ardian kembali berkutat dengan ponsel. Ada setitik ragu. Namun, dia harus mengatakan ini agar Pelangi bisa mempertimbangkan lagi. Setelah memastikan isi pesan sesuai, Ardian lantas mengirimkannya pada Pelangi. Kebetulan Pelangi akan ke rumah sakit untuk melihat keadaan Akarsana.Di sebuah rumah, tangis haru terdengar begitu menusuk hati. Orang itu adalah Pelangi. Doa-doa yang selama ini ia ucapkan akhirnya didengar oleh Tuhan. Akarsana, laki-laki yang memikat hatinya pada pandangan pertama sudah sadar dari koma. Tidak ada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan melihat orang yang kita sayangi baik-baik saja.“Aku akan melihatnya sambil menjenguk ayah.”Selama di dalam taksi, senyum Pelangi tidak pernah luntur. Tatapannya beralih pada ponsel yang menampilkan pesan dari Ardian. Sepertinya, dia harus berjumpa dengan Dokter Candra sebelum menjenguk Akarsana. Ah, apakah dia bisa bertemu dengan Akarsana kembali? Entahlah. Kalau tidak Pelangi sudah bahagia menatap Akarsana dari jauh.***Tiba di rumah sakit, Pelangi lantas menemui Ardian. Laki-laki itu yang akan mengantarnya untuk bertemu dengan dokter Candra. Pelangi tidak merasa keberatan saat Ardian izin untuk melakukan kunjungan pada pasien lain.Di dalam ruangan tidak cukup besar itu, Pelangi mendengarkan setiap kata yang dikatakan dokter Candra. Taku? Tentu. Terbesit rasa takut di hati Pelangi. Mau bagaimana pun operasi ini bisa saja gagal di tengah jalan. Itu artinya bukan hanya Akarsana yang tiada, dia juga bisa.Hanya saja tekadnya sudah bulat. Pelangi akan melakukan operasi ini untuk membantu Akarsana, laki-laki yang sudah memikat hatinya sejak pertama kali bertemu. Pelangi hanya bisa berdoa agar Tuhan masih memberikan izin dirinya hidup lebih lama.“Sudah siap?” tanya Dokter Candra seakan memastikan Pelangi tidak akan mundur.Pelangi mengangguk. Hari ini, dia akan melakukan serangkaian tes. Termasuk tes kesehatan yang didalamnya ada tes fungsi hati, tes penyakit menular, tes penyakit yang mengancam psikologi atau jiwa, tes darah dan yang paling penting adalah pencocokan hati.“Terima kasih, Dok,” ucap Pelangi setelah menyelesaikan serangkaian tes, yang jujur saja sangat melelahkan.“Sama-sama. Selama menunggu, saya meminta agar asupan makanan kamu lebih diperhatikan.”“Baik, Dok.”Di sisi lain, Prita baru saja tiba di rumah sakit setelah mendapatkan berita sang Anak sudah siuman. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari kabar bahagia dari sang anak. Ibu mana yang tidak khawatir melihat sang anak terbaring lemah dengan bantuan alat rumah sakit?Dari arah berlawanan, Pelangi baru saja keluar dari ruang dokter. Mereka saling berpapasan hanya melirik sekilas, lalu kembali pada tujuan masing-masing.Tubuh yang dibalut pakaian dari merk terkenal itu menjadi pusat perhatian orang, namun hal itu tidak terasa mengganggu bagi Prita. Sudah biasa bagi Prita menjadi perhatian termasuk gadis yang baru saja meliriknya sekilas yang ada dipikirannya saat ini adalah secepatnya bertemu dengan Akarsana.Setelah memastikan ruang rawat sudah benar, Prita langsung menekan pegangan pintu dan mendorongnya pelan. Dia bisa melihat Akarsana yang terlihat begitu lemah dengan jarum infus di tangan kanan.Prita melangkah perlahan memastikan suara ketukan heels yang dikenakan tidak mengganggu istirahat Akarsana. Sayang, harapannya tidak terkabul saat melihat Akarsana perlahan membuka mata.Oh Tuhan, hati Prita bergetar melihat tatapan lemah Akarsana.“Nak, bagaimana keadaan kamu? Masih ada yang sakit?” tanya Prita seraya mengusap puncak kepala Akarsana dengan lembut.“Ma … Na, Naomi di mana?” tanya Akarsana dengan suara lemah. "Aku mau bertemu dengan dia, Ma. Aku mau tanya kenapa di pergi begitu saja."Rau
Lelah tetapi juga bahagia. Itulah yang dirasakan Pelangi saat ini. Setelah mengunjungi sang Ayah dan memastikan keadaan laki-laki itu baik-baik saja, Pelangi melangkahkan kaki keluar rumah sakit.Setelah keluar dari halaman rumah sakit, Pelangi memberhentikan angkutan umum. Pelangi langsung bergerak menuju rumah seseorang. Orang itu selalu meminta dirinya untuk menemani berbicara dan tentu saja Pelangi tidak menolak. Dia juga merasa nyaman saat berbicara dengan orang itu.Setelah sampai dan membayar ongkos angkutan umum, Pelangi langsung disambut baik oleh wanita yang tengah berkutat dengan tanaman hias. Senyuman itu yang Pelangi rindukan setelah kepergiaan sang Ibu. Orang itu seakan memberikan sosok ibu yang masih diperlukan oleh Pelangi."Pelangi,” sambutnya dengan senyum gembira. Padahal, dia tadi mengira Pelangi tidak akan datang karena ini sudah telat dua puluh menit dari kebiasaan mereka.Pelangi dengan sedikit canggung membalas pelukan Kayla. Keduanya lantas duduk di kursi yang
Pelangi menurunkan tas dari bahunya. Ia dan adik laki-lakinya baru saja tiba di rumah bertepatan dengan adik perempuannya. Adik perempuan Pelangi baru saja kembali dari kampus. Baru saja tiba di rumah, gadis itu membanting tas dan ponselnya ke atas kursi yang ada di ruang tamu. Pelang menjadi sangat heran. Apa yang membuat adiknya menjadi sangat marah dan uring-uringan begini? Sebagai Kakak yang baik, Pelangi menghampiri adik perempuannya. Berusaha mengajak gadis itu bicara dan meminta adiknya agar lebih tenang. Gerakkan kasar Diana membuat perempuan itu mengembuskan napas. Jujur saja Pelangi lelah dan ingin istirahat, tapi melihat Diana uring-uringan seperti itu membuat Pelangi urung untuk istirahat. Ia tidak akan tenang sebelum mengetahui masalah sang Adik. "Kamu kenapa? Ada masalah? Kakak lihat, kamu pulang-pulang malah marah kayak gini. Coba sini cerita sama Kakak," bujuk Pelangi penuh kelembutan. Gadis itu menatap sang Kakak dengan tatapan seolah ingin menerkam. Dientak
Kabar tentang Akarsana yang akhirnya mendapatkan donor hati pun disambut gembira oleh Prita yang baru saja datang menjenguk putranya. Wanita itu merasa tidak percaya dengan kata-kata yang disampaikan oleh dokter kepadanya. Dia sampai mengulang pertanyaannya lebih dari dua kali untuk memastikan. Prita seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tentu saja wanita itu sangat senang. Dia mengucapkan syukur karena akhirnya Akarsana mendapatkan donor yang tepat seperti yang dikatakan dokter. Prita memeluk Akarsana, membelai rambut anak lelakinya sambil menangis terharu. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain mengucapkan terima kasih juga kepada dokter yang telah menangani Akarsana. "Sama-sama, Bu." Dokter membalas dengan sopan. Setelah dokter pergi, Prita duduk di samping tempat tidur. "Pasti kamu sangat senang, bukan?" Akarsana mengangguk. "Iya. Akhirnya aku memiliki harapan hidup lagi dan aku sangat bersyukur ada orang baik yang mau menolongku, meskipun aku tidak ta
Kepala Diana berdenyut hebat. Ia merasakan kesakitan di seluruh tubuhnya. Rasanya seperti remuk, Diana sontak meringis saat menggerakkan kedua kakinya. Hawa dingin seketika menyapa kulit tubuhnya. Diana tanpa sadar menyentuh lengannya, kemudian kebingungan sendiri, karena saat ia tidak mengenakan apa-apa. Tubuh Diana dibungkus selimut tebal. Di sampingnya ada Renjana sedang tertidur pulas. Diana panik, ia memegangi kepalanya mencoba mengingat apa yang telah terjadi semalam. Diana menggigit ujung jarinya. Ia memukul kepalanya sendiri dengan gemas karena tidak kunjung mengingat apa pun. "Apa yang terjadi? Aku dan Renjana ....," gumam Diana menggigit bibir bawahnya. Renjana sama sekali tidak bergerak di atas tempat tidur. Diana hanya mendengar dengkuran halus dari lelaki tampan itu. Diana memungut bajunya di lantai, lantas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sembari menunggu Renjana bangun, Diana akan mandi lebih dulu. Baru setelah itu meminta pertanggungjawaban lelak
Pelangi menekan bel sekali. Ia menunggu dengan tenang di pintu sembari menunggu pemilik rumah membukakannya. Tidak menunggu terlalu lama, Pelangi mendengar suara kunci yang dibuka dari dalam. Pelangi menggerakkan kedua kakinya berjalan mundur ke belakang bersamaan dengan pintu dibuka. Pelangi dan si pemilik rumah sama-sama tersenyum ketika keduanya saling menatap. Pelangi mengangguk kecil menyapa Kayla. Wanita itu mengajak Pelangi masuk ke dalam rumahnya untuk mengobrol. "Kita ngobrol di taman belakang yuk, Pelangi," ajak Kayla berjalan di depan. "Oh, ya. Kamu mau minum apa? Bagaimana perjalanannya tadi? Kamu naik apa?" tanya Kayla panjang lebar. "Lumayan macet, Bu. Tadi saya kemari naik angkutan umum." Pelangi menjawab sambil tersenyum. "Saya minum air putih saja sudah cukup, kok." Kayla melangkah ke arah dapur. "Lho, jangan air putih saja dong! Di sini ada banyak minuman yang lebih enak. Saya buatkan jus buah saja, ya?" "Apa tidak merepotkan, Bu?" tanya Pelangi. "Sama
"Iya, Om Ardi. Wanita itu mirip Josefina, tapi aku belum bertemu langsung dengannya." "Jika kamu sudah kembali bertemu dengannya segera hubungiku." "Baik." Ginny memutuskan sambungan teleponnya. Ardiyanto sangat penasaran seberapa mirip perempuan itu dengan Josefina, karena Ginny menceritakannya dengan penuh keyakinan. Marien melihat suaminya keluar dari kamar dengan ekspresi wajah yang bingung. Marien menyapa Ardiyanto mengajak lelaki itu untuk minum teh bersama di ruang keluarga. Ardiyanto mengiyakan, mengikuti langkah Marien yang ada di depan. Pasangan suami dan istri tersebut telah duduk di sofa panjang, bersebelahan. Marien menyodorkan secangkir teh kepada suaminya, tapi Ardiyanto kelihatan seperti orang linglung. "Pa?" Marien menegur Ardiyanto. Lamunan Ardiyanto pun buyar. Ia menerima cangkir yang diberikan Marien kepadanya. "Terima kasih." Ardiyanto menyesap tehnya dengan hati-hati. "Tidak mungkin. Ini aneh," gumamnya. "Apanya yang aneh? Tehnya?" tanya Marien. Ard
Prita baru saja tiba di rumah sakit keesokan harinya dan menemui dokter terlebih dahulu sebelum menemui Akarsana di ruang perawatannya. Di ruang dokter, Prita mendapat kabar bagus yang disampaikan oleh dokter yang akan menangani Akarsana selama di meja operasi. Dokter telah menentukan jadwal operasi Akarsana. "Dua minggu lagi." Sepasang mata Prita seketika berbinar. Bibir wanita itu yang dipoles merah menyala tampak tertarik, membentuk sebuah senyuman lebar. Ia begitu bahagia, karena sebentar lagi Akarsana akan sembuh setelah melakukan operasi. "Terima kasih." Prita mengucapkan dua kata itu lagi sebelum menghilang di balik pintu ruangan dokter. Prita mempercepat langkah. Wanita itu berjalan riang, perasaannya lebih ringan, kini Prita tidak menahan beban, karena memikirkan kesehatan Akarsana lagi. Tangan kanan Prita menggapai gagang pintu ruang perawatan Akarsana. Ia membukanya dengan cepat, berjalan menghampiri ranjang Akarsana. Putranya sedang berbaring sembari menatap ke
Sofia ikut berduka atas kehilangan yang Diana alami. Sebagai saudara Renjana, Sofia ikut merasakan rasa bersalah. Mungkin, ia akan membawa perasaan ini sampai selamanya. Di dalam kepalanya secara otomatis akan terus mengingat kejadian pagi ini di rumah. Akarsana semula menundukan kepalanya, lantas mendongak seiring mendengar suara tangis dan jeritan Diana di dalam ruang perawatannya. Akarsana meraup wajahnya dengan kasar. Tidak dia sangka kalau Renjana akan melakukan hal sefatal ini. Akarsana tidak tahu menahu awalnya. Andai saja Diana tidak datang ke rumah, mungkin Akarsana dan Sofia tetap tidak akan mengetahuinya. Lelaki itu merasakan kursi di sebelahnya bergerak, ternyata Sofia beranjak dari kursi hendak mendekat ke pintu ruangan Diana. Akarsana menahan lengan Sofia, kemudian menggelengkan kepalanya. "Biarkan Pelangi saja yang menenangkan Diana," tutur Akarsana lembut. "Jika Diana melihat kamu, maka secara otomatis Diana akan bertambah sedih." Gadis itu duduk kembali ke kursin
Ketika Pelangi tiba di rumah Akarsana, perempuan itu tidak menemukan siapa-siapa di pos satpam. Biasanya akan ada Pak Udin yang menyapa, dan menyambut kedatangannya dengan ramah, tapi Pelangi tidak menemukan lelaki setengah baya itu di dalam posnya. Pelangi mendengar suara ribut-ribut dari luar. Dia mengenali suara itu sebagai suara Diana—sang adik. Pelangi tidak buang-buang waktu. Dengan cepat Pelangi berlari menuju ke dalam, berusaha menghentikan kekacauan yang dibuat oleh Diana hari ini. Sementara di dalam rumah Maheswara, Diana berusaha menyerang Renjana, tapi dihalangi oleh Prita yang berdiri di tengah-tengah Diana dan Renjana. Diana mencak-mencak, karena Renjana tidak berusaha menjelaskan kepada keluarganya. Sama halnya dengan Renjana, Prita pun bungkam saat ditanya kebenaran dari kata-kata Diana. Prita hanya menjelaskan kalau Diana adalah adiknya Pelangi. Cuma itu saja. "Tante jangan diam saja! Cepat jelaskan kepada mereka di sini kalau Renjana bersalah! Dan yang aku kataka
Sungguh, Akarsana tidak dapat mengatakan apa-apa. Tentu saja Akarsana terkejut, begitu pun dengan Sofia yang sedari tadi hanya mendengarkan saja. Napas Diana memburu. Kedatangannya kemari tentu ingin menuntut pertanggungjawaban dari Renjana. Padahal dia sudah datang kemari bersama Pelangi, tapi Renjana terus menghindar dan menghindar. Diana tidak meminta apa-apa dari Renjana—selain untuk menikahinya, tapi Diana seolah mengemis belas kasih lelaki itu. Bayi di dalam perutnya bukan bayi siapa-siapa kecuali milik Renjana. Diana tidak pernah melakukan hubungan semacam itu dengan lelaki selain Renjana! Jadi Diana dengan lantang mengatakan kalau bayi itu adalah anak Renjana! "Ma ... ini benar? Renjana, cepat jawab!" bentak Akarsana pada adik lelakinya. Renjana hanya diam mematung seperti orang bodoh. Walau dibentak Akarsana, dimaki dan ditekan oleh Diana, Renjana tidak berniat memberikan jawaban yang Akarsana mau. "Aku tidak mau tahu. Kamu harus tanggung jawab, atau kalau tidak, aku aka
Pelangi terpaku, matanya membulat, jantungnya berdebar tak karuan. Kata-kata Akarsana barusan menggantung di udara, menggema di telinganya seperti melodi yang tak pernah ia bayangkan akan didengarnya. "A-apa?" Pelangi terbata, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menggelengkan kepala perlahan, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah dengar. "A-apa kau bilang tadi?" Akarsana tersenyum lembut, tatapannya terkunci pada mata Pelangi yang berkaca-kaca. "Aku bilang, aku mencintaimu, Pelangi." Pelangi merasakan aliran hangat menjalar di seluruh tubuhnya dan merasakan kebahagian yang meluap-luap di hatinya. Ini seperti mimpi. Akarsana, pria yang selama ini ia kagumi diam-diam, pria yang selalu membuatnya tersipu malu setiap kali bertemu, kini berdiri di hadapannya, menyatakan cinta yang selama ini hanya ia pendam dalam hati. "Aku... aku tidak salah dengar, kan?" Pelangi masih berusaha meyakinkan dirinya. Akarsana terkekeh pelan, "Tidak, Pelangi. Kau tidak salah dengar. Aku sungguh-su
Kedatangan Akarsana secara tiba-tiba di depan rumah susunnya, telah merampas kesadaran Pelangi untuk beberapa saat. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan lidahnya terasa kelu saat. Akarsana tersenyum hangat kepadanya, wajahnya sangat ramah, membuat jantung Pelangi berdebaran dengan kencang. Pelangi sedang tidak bermimpi, kan? Pelangi hampir saja menampar pipinya sendiri guna menyadarkan dirinya. "Ah! Tidak apa-apa. Kamu tidak menggangguku, kok. Aku juga tidak sedang sibuk, tapi, dari mana kamu tahu alamat rumahku, Akarsana?" tanya Pelangi penasaran. "Oh, ya. Terima kasih untuk bunganya." Sebuket bunga yang dibawa Akarsana kini telah berpindah ke dalam pelukan Pelangi. Perempuan itu tidak bisa menyembunyikan betapa bahagia dirinya. "Apa aku boleh masuk?" Akarsana tidak menjawab pertanyaan Pelangi, lelaki itu malah meminta diajak masuk ke dalam rumah Pelangi. "Oh, tentu." Pelangi berjalan ke pinggir. "Masuklah, Akarsana!" ajak Pelangi menunjuk ke sofa yang ada di ruang tamu. "Teri
Renjana, anak itu benar-benar menambah beban pikiran bagi Prita. Belum selesai masalah warisan yang direbut oleh Pelangi, kini muncul masalah baru lagi atas ulah salah satu anak lelakinya. Berbeda dengan Akarsana yang lemah lembut, tidak banyak tingkah, Renjana justru tidak bosan membuat Prita pusing kepala! Sepeninggal Pelangi dan Diana keluar dari rumahnya, Prita berteriak sembari melangkah menuju ke lantai atas. Prita dibuat marah oleh Renjana, karena Renjana Prita harus pura-pura berada di kubu Pelangi. Andai saja Prita tidak berniat merebut kembali warisan Kayla yang kini telah berpindah tangan kepada Pelangi, Prita tidak akan sudi memperlakukan Pelangi dengan baik! Prita tidak menyukai perempuan miskin itu. "Renjana!" Prita mempercepat langkah menuju kamar lelaki itu. Sesampainya di depan pintu, wanita setengah baya tersebut menggebrak-gebrak pintu dengan mengerahkan seluruh tenaganya. "Mama tahu kamu di dalam, Renjana! Sekarang, buka pintunya! Mama butuh penjelasan kamu,
Perempuan mana yang mau bertahan dengan suami yang sudah selingkuh di belakang istri selama ini? Tidak ada. Begitu pun dengan Naomi. Sampai mati pun, Naomi tidak akan mau bertahan dengan lelaki itu. Lebih baik Naomi pergi, dan kembali ke Indonesia saja. Naomi menyiapkan koper besar, diletakkannya benda itu ke atas ranjang. Satu per satu baju dari lemarinya ia masukan ke dalam kopernya. Perempuan itu berniat kabur dari suaminya setelah lelaki itu ketahuan selingkuh darinya. Naomi tidak tahan lagi, ia sudah cukup frustrasi atas keadaan yang ia alami sekarang. Sambil menangis, perempuan itu menata baju dan beberapa pakaiannya ke dalam koper. Sekarang ini tujuan utama Naomi adalah kembali ke tempat ia lahir dan dibesarkan. Di sini Naomi tidak sebahagia yang orang kira. "Aku sudah tidak sanggup lagi hidup dengan lelaki berengsek itu!" Naomi membanting tutup kopernya dengan keras. Dengan gerakkan kasar, perempuan itu menarik resleting kopernya, kemudian duduk sembari menghela napas pan
"Kak Pelangi, tunggu." Diana menahan lengan sang Kakak. Kini, kedua perempuan itu telah berada di rumah Maheswara. Diana menatap rumah di depannya dengan seksama. "Kakak yakin ini rumahnya Renjana?" tanya Diana menatap Pelangi tak percaya, karena ia sering ke rumah ini untuk menjemput dan mengantarkan pakaian kotor.Pelangi mengangguk. Ia menurunkan tangan Diana yang memegangi lengannya. "Sudah, Diana. Jangan banyak membuang waktu!" Tidak biasanya Pelangi menjadi sangat marah. Biasanya perempuan itu hanya akan diam dan tidak banyak melakukan apa-apa, tapi kali ini ia tidak memilih diam. Adik perempuan satu-satunya dihamili seorang lelaki dan faktanya, lelaki itu adalah Renjana, salah satu anggota keluarga Maheswara yang beberapa kali ia temui di rumah itu. Langkah Diana ragu. Dalam kepala Diana, ia takut—mereka akan diusir oleh satpam di rumah itu, karena menerobos masuk ke dalam begitu saja. "Non Pelangi," sapa Pak Udin dari dalam pos satpam yang berada di dekat gerbang rumah.
"Kak, Kenapa? Kak Pelangi kenal dengan Renjana?" tanya Diana heran. Pelangi tidak percaya. Namun yang ia lihat memang kenyataan. Sesuai dengan dugaan Pelangi, Renjana pacar Diana adalah adiknya Akarsana. Anak kedua dari Prita. Tidak pernah Pelangi sangka akan terjadi hal seperti ini. "Kak," tegur Diana semakin bingung. Pelangi bisa merasakan dorongan pada bahunya oleh Diana. Sesaat, Pelangi kehilangan kesadarannya. Pelangi berusaha mengatur napas dan memberitahu pada Diana, siapa Renjana sebenarnya. "Kak, jawab aku!" seru Diana mulai tidak sabaran. "Aku kenal dengan Renjana, bahkan aku tahu di mana rumah lelaki itu," gumam Pelangi. "Apa?" desis Diana tidak percaya. Bagaimana Pelangi bisa tahu tentang Renjana? Bahkan tahu alamat rumah Renjana. Apa yang membuat Pelangi begitu yakin kenal dengan lelaki itu? "Tidak mungkin," gumam Diana menolak untuk percaya. Hati kecil Diana seolah tidak terima sang Kakak mengenali Renjana. Diana lebih mengenali Renjana selama ini, tap