"Apa kamu sudah gila?"teriaknya. Tatapan semua orang mengarah kepadanya.
"Mungkin aku memang sudah gila."Ardian agak mencondongkan kepalanya ke depan. "Kamu sadar apa yang kamu katakan tadi, kan?"Pelangi mengangguk."Tapi kenapa?""Karena aku ingin dia sembuh.""Tapi kamu tidak akan bisa bersamanya.""Aku tahu dan itu tidak masalah. Cinta akan menemukan jalannya sendiri." Pelangi tersenyum sendu.Ardian menyandarkan tubuhnya dikursi dan bersidekap sambil menatap Pelangi."Cinta sudah membuatmu berpikir tidak waras dan bertindak bodoh.""Itulah cinta. Dalam mencintai seseorang yang terpenting adalah melihat orang itu bahagia.""Kau tahu menjadi pedonor hati itu tidak mudah harus melewati serangkaian tes yang cukup panjang dan si pedonor harus dalam keadaan benar-benar sehat. Selain itu mungkin ada beberapa efek samping setelah mendonorkan hati, tapi tidak terjadi pada setiap pedonor.""Aku sehat.""Masalahnya apa hatimu itu cocok untuk didonorkan, karena ada berbagai macam pertimbangan seperti golongan darah, usia, tinggi badan hingga kesehatan pedonor secara keseluruhan."Pelangi terdiam."Kalau begitu periksa saja aku siapa tahu cocok.""Apa kamu yakin kamu akan melakukan ini?""Tentu saja yakin."Ardian kembali mengembuskan napas panjang. "Sebaiknya kamu pikirkan baik-baik lagi.""Tidak perlu dipikirkan lagi.""Kamu benar-benar sudah gila. Baiklah. Jika itu keinginanmu. Kamu sudah tahu resikonya."Pelangi mengangguk."Bagaimana dengan Ayahmu?""Jangan mengatakan apa pun pada Ayah. Aku tidak ingin kesehatannya bertambah buruk.""Aku mengerti.""Aku akan bicara pada dokter. Besok pagi datanglah ke sini lagi."Pelangi mengangguk. Ia melihat jam tangannya."Aku harus segera pergi. Aku harus menjual bunga-bungaku."Pelangi segera pergi dari hadapan Ardian. Ia pulang ke rumah susunnya untuk mengambil bunga-bunga buatannya yang akan dijual, kemudian ia pergi berkeliling menjajakan dagangannya sampai masuk ke sebuah komplek perumahan mewah. Pelangi melihat seorang wanita tua yang sedang duduk di taman depan rumahnya. Pelangi menghampiri gerbang rumah itu."Nyonya apa ingin membeli bungaku? Bunganya bagus-bagus."Seorang satpam mengusir Pelangi. "Kamu tidak boleh berjualan di sini.""Lepaskan gadis itu!" teriak seorang wanita tua dari balik gerbang. "Suruh dia masuk!"Satpam melepaskan Pelangi dan gadis itu menyengir lebar kepadanya. Pintu gerbang dibuka dan Pelangi masuk. Ia langsung menghampiri wanita itu."Ayo duduklah!""Apa Nyonya mau membeli bunga-bungaku?"Wanita itu melihat ke arah keranjang bunga yang dibawa Pelangi."Apa kamu yang membuatnya?""Iya."Wanita itu mengambil setangkai bunga mawar ungu."Bunganya sangat bagus."Pelangi tersipu malu mendapat pujian darinya. Mata tajam wanita itu mengawasi Pelangi dari ujung rambut sampai ujung kaki membuat Pelangi sedikit jengah ditatap seperti itu. Ia menjadi salah tingkah."Aku tidak akan membeli bungamu, tapi aku ingin kamu menjadi temanku bicaraku."Senyuman Pelangi memudar."Jangan khwatir! Aku akan membayarmu."Pelangi mengerjap-ngerjapkan matanya. "Aku tidak mengerti, Nyonya."Wanita itu tersenyum simpul. "Aku akan membayarmu sebagai teman bicara."Pelangi menatap wanita itu tak tak percaya, tapi ia juga merasa kasihan pada wanita itu. Pelangi berpikir mungkin wanita tua itu merasa kesepian tinggal di rumah besarnya."Baiklah, tapi aku belum tahu siapa nama Anda?""Ah aku lupa memperkenalkan diriku. Namaku Kayla.""Namaku, Pelangi.""Baiklah Pelangi mulai sekarang kamu akan menjadi teman bicaraku."Sore itu mereka habiskan waktu dengan bicara. Pelangi menceritakan tentang keluarganya dan tentang kegiatannya selama ini. Kayla merasa iba dengan kehidupan Pelangi yang menjadi tulang punggung keluarganya."Jadi kamu tiga bersaudara?""Iya.""Adik perempuanmu baru saja selesai kuliah?""Iya.""Kenapa kamu putus sekolah?""Aku harus memgutamakan pendidikan adik-adikku dulu.""Kamu sudah banyak berkorban untuk keluargamu. Kamu adalah Kakak yang baik.""Aku sangat menyayangi mereka.""Tentu saja kamu sangat sayang mereka."Kayla meminum tehnya. Wajah sendunya diangkat menatap langit yang semakin beranjak sore."Aku senang bisa bicara denganmu, Pelangi."Wanita itu kembali menatapnya. "Aku jadi merasa tidak kesepian lagi.""Apa Nyonya Kayla tinggal di sini sendirian?""Suamiku sudah meninggal dan aku tidak memiliki anak. Aku tinggal bersama saudara kembarku dan dua keponakanku, tapi walapun begitu aku merasa tidak tinggal bersama mereka.""Kenapa merasa seperti itu?""Aku memiliki hubungan yang buruk dengan saudara kembarku. Dia menginginkan aku cepat mati untuk mengambil semua harta yang aku miliki. Dia tidak pernah mempedulikanku yang dia pedulikan hanyalah uang. Adikku itu gila harta.""Aku turut prihatin."Pelangi tidak tahu harus berkata apa. Seharusnya ia tidak pernah bertanya soal keluarganya."Sebaiknya kamu segera pulang. Ini sudah sangat sore. Adik-adikmu sudah menunggumu di rumah.""Anda benar. Aku akan pulang sekarang.""Dan ini bayaranmu."Pelangi kaget melihat uang begitu banyak yang diberikan oleh nyonya Kayla."Ini terlalu banyak.""Tidak apa-apa. Ambil saja! Sisanya bisa kamu simpan untuk pengobatan Ayahmu.""Terima kasih banyak, Nyonya Kayla!""Besok siang aku akan menunggumu di sini."Pelangi pergi dan tidak lama kemudian sebuah mobil sedan hitam memasuki gerbang. Seorang wanita keluar dari mobil, lalu berjalan menghampiri Kayla dengan wajah angkuh dan sombong."Bagaimana keadaan Akarsana?""Aku tidak tahu kamu peduli padanya,"sindirnya."Prita, bagaimana pun juga dia adalah keponakanku."Wanita yang bernama Prita itu berdecak. "Kamu pasti mengharapkan dia mati secepatnya agar kamu tidak perlu memberikan hartamu padanya." Wanita itu terdengar yakin."Prita, kamu keterlaluan sekali. Kenapa kamu selalu berpikiran kotor terhadap saudaramu sendiri?" Kayla geram dibuatnya."Bukannya kamu juga sama?""Aku tidak pernah salah menilai orang. Hati dan pikiranmu sudah diselimuti oleh rasa dengki dan iri hati padaku sejak dulu. Jika bukan karena permintaan orang tua kita, aku tidak akan mengizinkanmu tinggal di rumahku. Mungkin kalian sudah tinggal di jalanan sekarang dan tentu saja dengan kebaikan hatiku aku memperkerjakan putramu di perusahaanku. Akarsana, dia anak yang baik, tapi sayang dia memiliki Ibu macam kamu yang selalu meracuni pikirannya."Prita menatap geram pada saudara kembarnya. Ia sudah tidak tahan hidup satu atap dengan saudara kembarnya itu. Kebenciannya pada Kayla dimulai sejak orang tua mereka selalu membeda-bedakan mereka. Kayla selalu menjadi anak kesayangan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkannya mulai dari karir, cinta, dan harta yang melimpah."Dari dulu sampai sekarang, kamu tidak pernah berubah. Setiap hari kamu selalu memboroskan uangmu pantas saja kamu tidak pernah bisa menjadi orang kaya sebaliknya kamu jatuh miskin. Harta warisan bagianmu dari orang tua kita sudah kamu habiskan begitu saja.""Diam kau Kayla! Aku tidak ingin mendengar ceramahmu lagi. Aku sudah muak." Wajah Prita diliputi oleh seribu satu kekesalan. Ia masuk ke dalam rumah.Di rumah sakit, Ardian yang sedang melihat keadaan Akarsana, pria itu tiba-tiba membuka matanya.Pelan tapi pasti, jari-jari tangan milik Akarsana mulai bergerak. Meskipun hanya pelan, terkesan halu, masih dapat ditangkap oleh penglihatan Ardian. Laki-laki itu lantas berjalan ke sisi brankar, tubuhnya sedikit mencondong, memastikan penglihatannya tidak salah.Jari itu kembali bergerak. Kali ini Ardian sangat yakin dengan penglihatannya. Dengan cepat, tangan Ardian menekan tombol nurse call di atas brankar milik Akarsana.“Akarsana, bisa mendengar saya?” Ardian tentu saja mengerti jika pertanyaannya tidak akan dijawab, tapi itu semua keluar begitu saja dari mulutnya. Reflek saat melihat pergerakan dari Akarsana yang dikatakan koma.Tidak tenang karena belum ada tanda-tanda dokter akan datang, Ardian memilih untuk bergegas melangkah keluar. Dia ingin Akarsana segera mendapatkan pemeriksaan terkait kondisinya saat ini.Ini kabar baik. Sangat baik.Bangunnya Akarsana dari koma adalah keajaiban yang ditunggu oleh Pelangi, sepupunya. Ardian sudah bisa membayangkan seperti apa respon Pe
Tubuh yang dibalut pakaian dari merk terkenal itu menjadi pusat perhatian orang, namun hal itu tidak terasa mengganggu bagi Prita. Sudah biasa bagi Prita menjadi perhatian termasuk gadis yang baru saja meliriknya sekilas yang ada dipikirannya saat ini adalah secepatnya bertemu dengan Akarsana.Setelah memastikan ruang rawat sudah benar, Prita langsung menekan pegangan pintu dan mendorongnya pelan. Dia bisa melihat Akarsana yang terlihat begitu lemah dengan jarum infus di tangan kanan.Prita melangkah perlahan memastikan suara ketukan heels yang dikenakan tidak mengganggu istirahat Akarsana. Sayang, harapannya tidak terkabul saat melihat Akarsana perlahan membuka mata.Oh Tuhan, hati Prita bergetar melihat tatapan lemah Akarsana.“Nak, bagaimana keadaan kamu? Masih ada yang sakit?” tanya Prita seraya mengusap puncak kepala Akarsana dengan lembut.“Ma … Na, Naomi di mana?” tanya Akarsana dengan suara lemah. "Aku mau bertemu dengan dia, Ma. Aku mau tanya kenapa di pergi begitu saja."Rau
Lelah tetapi juga bahagia. Itulah yang dirasakan Pelangi saat ini. Setelah mengunjungi sang Ayah dan memastikan keadaan laki-laki itu baik-baik saja, Pelangi melangkahkan kaki keluar rumah sakit.Setelah keluar dari halaman rumah sakit, Pelangi memberhentikan angkutan umum. Pelangi langsung bergerak menuju rumah seseorang. Orang itu selalu meminta dirinya untuk menemani berbicara dan tentu saja Pelangi tidak menolak. Dia juga merasa nyaman saat berbicara dengan orang itu.Setelah sampai dan membayar ongkos angkutan umum, Pelangi langsung disambut baik oleh wanita yang tengah berkutat dengan tanaman hias. Senyuman itu yang Pelangi rindukan setelah kepergiaan sang Ibu. Orang itu seakan memberikan sosok ibu yang masih diperlukan oleh Pelangi."Pelangi,” sambutnya dengan senyum gembira. Padahal, dia tadi mengira Pelangi tidak akan datang karena ini sudah telat dua puluh menit dari kebiasaan mereka.Pelangi dengan sedikit canggung membalas pelukan Kayla. Keduanya lantas duduk di kursi yang
Pelangi menurunkan tas dari bahunya. Ia dan adik laki-lakinya baru saja tiba di rumah bertepatan dengan adik perempuannya. Adik perempuan Pelangi baru saja kembali dari kampus. Baru saja tiba di rumah, gadis itu membanting tas dan ponselnya ke atas kursi yang ada di ruang tamu. Pelang menjadi sangat heran. Apa yang membuat adiknya menjadi sangat marah dan uring-uringan begini? Sebagai Kakak yang baik, Pelangi menghampiri adik perempuannya. Berusaha mengajak gadis itu bicara dan meminta adiknya agar lebih tenang. Gerakkan kasar Diana membuat perempuan itu mengembuskan napas. Jujur saja Pelangi lelah dan ingin istirahat, tapi melihat Diana uring-uringan seperti itu membuat Pelangi urung untuk istirahat. Ia tidak akan tenang sebelum mengetahui masalah sang Adik. "Kamu kenapa? Ada masalah? Kakak lihat, kamu pulang-pulang malah marah kayak gini. Coba sini cerita sama Kakak," bujuk Pelangi penuh kelembutan. Gadis itu menatap sang Kakak dengan tatapan seolah ingin menerkam. Dientak
Kabar tentang Akarsana yang akhirnya mendapatkan donor hati pun disambut gembira oleh Prita yang baru saja datang menjenguk putranya. Wanita itu merasa tidak percaya dengan kata-kata yang disampaikan oleh dokter kepadanya. Dia sampai mengulang pertanyaannya lebih dari dua kali untuk memastikan. Prita seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tentu saja wanita itu sangat senang. Dia mengucapkan syukur karena akhirnya Akarsana mendapatkan donor yang tepat seperti yang dikatakan dokter. Prita memeluk Akarsana, membelai rambut anak lelakinya sambil menangis terharu. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain mengucapkan terima kasih juga kepada dokter yang telah menangani Akarsana. "Sama-sama, Bu." Dokter membalas dengan sopan. Setelah dokter pergi, Prita duduk di samping tempat tidur. "Pasti kamu sangat senang, bukan?" Akarsana mengangguk. "Iya. Akhirnya aku memiliki harapan hidup lagi dan aku sangat bersyukur ada orang baik yang mau menolongku, meskipun aku tidak ta
Kepala Diana berdenyut hebat. Ia merasakan kesakitan di seluruh tubuhnya. Rasanya seperti remuk, Diana sontak meringis saat menggerakkan kedua kakinya. Hawa dingin seketika menyapa kulit tubuhnya. Diana tanpa sadar menyentuh lengannya, kemudian kebingungan sendiri, karena saat ia tidak mengenakan apa-apa. Tubuh Diana dibungkus selimut tebal. Di sampingnya ada Renjana sedang tertidur pulas. Diana panik, ia memegangi kepalanya mencoba mengingat apa yang telah terjadi semalam. Diana menggigit ujung jarinya. Ia memukul kepalanya sendiri dengan gemas karena tidak kunjung mengingat apa pun. "Apa yang terjadi? Aku dan Renjana ....," gumam Diana menggigit bibir bawahnya. Renjana sama sekali tidak bergerak di atas tempat tidur. Diana hanya mendengar dengkuran halus dari lelaki tampan itu. Diana memungut bajunya di lantai, lantas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sembari menunggu Renjana bangun, Diana akan mandi lebih dulu. Baru setelah itu meminta pertanggungjawaban lelak
Pelangi menekan bel sekali. Ia menunggu dengan tenang di pintu sembari menunggu pemilik rumah membukakannya. Tidak menunggu terlalu lama, Pelangi mendengar suara kunci yang dibuka dari dalam. Pelangi menggerakkan kedua kakinya berjalan mundur ke belakang bersamaan dengan pintu dibuka. Pelangi dan si pemilik rumah sama-sama tersenyum ketika keduanya saling menatap. Pelangi mengangguk kecil menyapa Kayla. Wanita itu mengajak Pelangi masuk ke dalam rumahnya untuk mengobrol. "Kita ngobrol di taman belakang yuk, Pelangi," ajak Kayla berjalan di depan. "Oh, ya. Kamu mau minum apa? Bagaimana perjalanannya tadi? Kamu naik apa?" tanya Kayla panjang lebar. "Lumayan macet, Bu. Tadi saya kemari naik angkutan umum." Pelangi menjawab sambil tersenyum. "Saya minum air putih saja sudah cukup, kok." Kayla melangkah ke arah dapur. "Lho, jangan air putih saja dong! Di sini ada banyak minuman yang lebih enak. Saya buatkan jus buah saja, ya?" "Apa tidak merepotkan, Bu?" tanya Pelangi. "Sama
"Iya, Om Ardi. Wanita itu mirip Josefina, tapi aku belum bertemu langsung dengannya." "Jika kamu sudah kembali bertemu dengannya segera hubungiku." "Baik." Ginny memutuskan sambungan teleponnya. Ardiyanto sangat penasaran seberapa mirip perempuan itu dengan Josefina, karena Ginny menceritakannya dengan penuh keyakinan. Marien melihat suaminya keluar dari kamar dengan ekspresi wajah yang bingung. Marien menyapa Ardiyanto mengajak lelaki itu untuk minum teh bersama di ruang keluarga. Ardiyanto mengiyakan, mengikuti langkah Marien yang ada di depan. Pasangan suami dan istri tersebut telah duduk di sofa panjang, bersebelahan. Marien menyodorkan secangkir teh kepada suaminya, tapi Ardiyanto kelihatan seperti orang linglung. "Pa?" Marien menegur Ardiyanto. Lamunan Ardiyanto pun buyar. Ia menerima cangkir yang diberikan Marien kepadanya. "Terima kasih." Ardiyanto menyesap tehnya dengan hati-hati. "Tidak mungkin. Ini aneh," gumamnya. "Apanya yang aneh? Tehnya?" tanya Marien. Ard
Diana menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya sebelum berbicara. Semua orang di ruangan itu menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu penjelasan."Aku akan menceritakan semuanya," katanya, suaranya masih sedikit bergetar.Pelangi duduk di sampingnya, memberikan dukungan diam-diam.Diana meremas jemarinya sebelum akhirnya mulai bercerita.***"Tiga hari yang lalu, aku mendapat pesan dari nomor tak dikenal yang memintaku datang ke sebuah hotel di pusat kota. Katanya, ada seseorang yang ingin berbicara denganku soal kasus yang sedang aku ajukan ke polisi. Ya, aku melaporkan Renjana ke polisi karena dia sudah mendorongku dari tangga."Diana menghela napas, lalu melanjutkan."Aku merasa curiga, tapi aku tetap pergi. Aku pikir, mungkin ini kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang Renjana. Jadi, aku datang ke hotel itu."Semua orang tetap diam, mendengarkan dengan saksama."Ketika aku tiba di kamar hotel yang disebutkan dalam pesan, ruangan itu kosong. Tapi b
Pelangi berjalan menuju taman belakang, mencoba menenangkan pikirannya. Udara sore yang sejuk seharusnya bisa meredakan kegelisahannya, tetapi pikirannya masih dipenuhi kata-kata Naomi. "Aku kembali untuk memastikan sesuatu yang seharusnya tidak pernah berubah." Apa maksudnya? Apa Naomi benar-benar berpikir bahwa ia masih memiliki tempat di sisi Akarsana? Pelangi meremas jemarinya sendiri. Tidak, ia tidak boleh membiarkan dirinya dikendalikan oleh ketakutan, tapi bagaimana bisa, jika bahkan ibu mertuanya tampak lebih memilih Naomi? "Kenapa kau terlihat begitu muram?" Pelangi tersentak dan menoleh. Akarsana berdiri di belakangnya, menatapnya dengan ekspresi lembut. Ia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia hanya menatap suaminya, mencoba mencari sesuatu di dalam matanya. Bukti bahwa Akarsana tetap di sisinya. Bukti bahwa perasaannya tidak akan goyah hanya karena Naomi kembali. "Kau diam saja," kata Akarsana, berjalan mendekat. "Apa ada yang mengganggumu?" Pelangi menghela napa
Pelangi duduk di meja makan, mengaduk kopinya dengan tatapan kosong. Pagi ini terasa dingin, bukan hanya karena cuaca, tetapi juga karena hawa yang mengelilinginya.Ketika langkah kaki terdengar, ia mendongak dan melihat Naomi berjalan memasuki ruang makan dengan percaya diri, mengenakan gaun sutra tipis yang terlalu mencolok untuk pagi hari."Selamat pagi!" sapanya dengan senyum yang dipaksakan manis.Pelangi tidak menjawab. Ia hanya menegakkan punggungnya, mencoba mempertahankan harga dirinya.Naomi tertawa kecil. "Kenapa diam saja? Apa kau marah karena aku di sini?"Pelangi menggenggam cangkir kopinya erat. "Aku tidak punya alasan untuk marah. Aku hanya heran kenapa seseorang yang seharusnya tidak punya tempat di rumah ini masih saja berkeliaran."Naomi tersenyum, lalu duduk di kursi di seberang Pelangi. "Sayang sekali, sepertinya ibu mertuamu tidak berpikir begitu."Pelangi menahan napas. Ia tahu ibu mertuanya memang menyukai Naomi sejak dulu, bahkan lebih dari dirinya. Itu yang m
Dengan gaun tidurnya yang elegan, wanita itu berdiri di ambang pintu dengan senyuman lembut. "Kita perlu bicara," katanya pelan. Akarsana mengepalkan tangannya. Ia tahu ini hanya awal dari kekacauan yang lebih besar. Naomi menutup pintu perlahan dan berjalan mendekat. Dengan gaun tidurnya yang elegan dan rambut panjangnya yang tergerai sempurna, ia terlihat seperti ilusi dari masa lalu. "Akarsana," ucapnya lembut. "Kita perlu bicara." "Aku tidak punya urusan lagi denganmu," jawab Akarsana tegas. Naomi tersenyum tipis, lalu duduk di sofa seolah itu masih rumahnya. "Tidak bisakah kita berbicara sebagai teman lama?" Akarsana tertawa sinis. "Teman lama? Kau pikir setelah apa yang kau lakukan, aku masih bisa menganggapmu teman?" Naomi menunduk, berpura-pura merasa bersalah. "Aku tahu aku telah menyakitimu. Aku menyesal." "Menyesal?" Akarsana menatapnya tajam. "Kau meninggalkanku demi pria lain, Naomi. Kau menghancurkan segalanya, dan sekarang kau kembali seolah-olah tidak terj
Pelangi ingin mempercayainya, tapi senyuman itu tidak sepenuhnya meyakinkannya. Dengan perasaan tak menentu, ia memilih untuk tidak mendesak. Namun, di dalam hatinya, ada bisikan kecil yang mulai mengusiknya. Apakah ini ada hubungannya dengan Naomi? Sebenarnya, sejak subuh tadi, Akarsana sudah merasa kepalanya berat. Begitu ia membuka matanya, ia menemukan pesan dari Naomi—sebuah foto lama mereka berdua. Dalam foto itu, Naomi ada di dalam pelukannya, tertawa bahagia. Itu adalah kenangan mereka dulu, saat semuanya masih terasa sempurna. Dan yang lebih mengganggunya adalah pesan yang menyertainya: "Kenangan tidak pernah benar-benar hilang, kan?" Akarsana mengembuskan napas berat. Ia tidak mengerti apa yang sedang direncanakan Naomi, tetapi ia tahu satu hal—wanita itu tidak datang ke rumah ini tanpa alasan. Dengan cepat, ia menghapus pesan itu. Ia tidak ingin Pelangi melihatnya dan salah paham. Namun, tanpa ia sadari, tindakannya justru menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar
Pelangi berdiri di dapur, tangannya sibuk memotong buah. Meski begitu, pikirannya penuh dengan kejadian hari ini. Naomi. Wanita itu masih begitu cantik, masih begitu anggun, tapi yang lebih mengganggunya adalah bagaimana reaksi Akarsana. Suaminya memang marah, tapi di dalam kemarahan itu, Pelangi bisa merasakan ada emosi lain yang tersembunyi. Ia takut. Takut bahwa Naomi masih memiliki tempat di hati Akarsana. Pelangi tersentak dari lamunannya saat dua tangan melingkar di pinggangnya dari belakang. "Aku mencarimu," suara berat Akarsana terdengar di telinganya. Pelangi menegang sejenak, sebelum perlahan bersandar pada tubuh hangat suaminya. "Aku di sini," jawabnya pelan. Akarsana menariknya lebih erat ke dalam pelukan. "Aku tahu ini tidak mudah bagimu," katanya dengan suara yang lebih lembut. "Tapi aku ingin kau tahu satu hal." Pelangi menunggu dalam diam. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan Naomi," lanjut Akarsana tegas. "Aku tidak mencintainya. Aku tidak mengin
Sofia bergegas mendekati kakaknya. "Kak, kau tidak perlu bicara dengannya. Dia—" "Tidak apa-apa, Sofia," potong Akarsana datar. Sofia menatap kakaknya dengan ekspresi tidak setuju. "Tapi...." "Aku bilang, tidak apa-apa." Nada suara Akarsana membuat Sofia terdiam. Dengan enggan, ia melirik Naomi sekali lagi sebelum berbalik pergi, masih dengan amarah yang jelas di wajahnya. Kini, hanya ada Akarsana dan Naomi di taman. Keheningan menyelimuti mereka. Naomi menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri berkata, "Bisakah kita bicara di dalam?" Akarsana menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Di ruang kerjaku. Lantai satu." Naomi mengikuti Akarsana masuk ke dalam rumah, hatinya berdegup kencang. *** Akarsana berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan punggung menghadap Naomi. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, menahan perasaan yang berkecamuk. Naomi duduk di sofa, merasa begitu canggung dalam ruangan yang penuh dengan kehadiran pria itu. Keheningan membunuh mere
"Apa?" katanya dengan suara lebih tinggi dari sebelumnya. "Ibuku mengizinkan dia tinggal di sini?"Pelangi mengangguk perlahan, melihat bagaimana rahang Akarsana mengatup kuat.Akarsana menghela napas tajam, lalu melangkah ke ruang tengah dengan langkah cepat. Ia tidak bisa percaya ini. Setelah semua yang Naomi lakukan padanya, bagaimana mungkin ibunya membiarkan wanita itu kembali ke dalam kehidupannya?Ketika ia sampai di ruang tengah, ia menemukan Prita duduk santai di sofa dengan secangkir teh di tangannya."Ibu," suaranya terdengar dalam dan penuh amarah, "apa yang kau pikirkan?"Prita hanya melirik sekilas ke arah putranya dan meletakkan cangkir tehnya di atas meja. "Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar."Akarsana menatap ibunya dengan tajam. "Membiarkan wanita yang telah mengkhianatiku tinggal di rumah ini? Itu yang ibu pikir benar?"Prita tetap tenang. "Naomi baru kembali ke kota ini dan tidak punya tempat tinggal. Aku tidak akan membiarkan seorang wanita yang dulu ham
Pelangi duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke arah jendela yang masih basah oleh sisa hujan. Kepalanya dipenuhi dengan kata-kata Prita yang terus bergema dalam pikirannya."Naomi itu dulu segalanya bagi Akarsana.""Cinta pertama sulit dilupakan.""Kalau bukan karena keadaan, mungkin mereka masih bersama sekarang."Pelangi menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan sesak yang menekan dadanya. Seharusnya ia tidak merasa seperti ini. Seharusnya ia percaya pada Akarsana. Tapi, bayangan Naomi yang berdiri di depan pintu tadi dengan ekspresi terluka dan penuh kehilangan, membuatnya ragu.Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. "Pelangi?"Pelangi menghela napas dan berusaha menyembunyikan perasaannya sebelum menjawab, "Masuk saja!"Prita membuka pintu dan menyandarkan tubuhnya di ambang pintu dengan ekspresi santai, seolah tidak menyadari badai yang tengah berkecamuk di hati Pelangi."Naomi sudah setuju untuk tinggal di sini sementara waktu," kata Prita tanpa basa-basi.Pelangi