Keesokan harinya ketika Aleeta terbangun, ia sudah berada di atas ranjang tempat tidurnya. Padahal seingatnya semalam ia tengah menonton drama keluarga bersama Mary di ruang TV. Lalu bagaimana bisa ia terbangun di kamarnya pagi ini? Siapa yang memindahkannya?
Apa Mary yang memindahkannya? Tapi rasanya itu tidak mungkin. Apa jangan-jangan ... Nicholas yang memindahkannya?“Nona.”Aleeta mengerjap lalu menoleh ke arah pintu kamarnya yang sudah terbuka.“Ternyata Anda sudah bangun.” Mary kembali berujar seraya melangkah masuk ke dalam kamar Aleeta. “Oh iya, Nona ingin memakai baju apa? Apa Nona ingin memakai baju khusus hari ini?”Aleeta mengernyit. “Baju khusus untuk apa?”Mary tersenyum. “Tentu saja untuk merayakan kaki Nona yang sudah sembuh. Saya yakin, hari ini Nona pasti bisa kembali berjalan lagi,” tutur Mary seraya membuka lemari. “Ah, apa Anda pakai dress putih ini saja? Sepertinya akan sangat cantik jika Anda“Bagaimana kalau hari ini kamu ikut aku berjalan-jalan?” Lukas bertanya ketika ia, Aleeta dan Mary sudah sampai di Loby rumah sakit.Aleeta menoleh. “Kenapa kamu jadi suka sekali mengajakku berjalan-jalan?” Ia balik bertanya, seraya terus berjalan ke arah mobil Steven yang sudah menunggunya di depan sana.“Memang apa salahnya? Lagipula anggap saja jalan-jalan kali ini sebagai bentuk perayaan atas kesembuhan kakimu,” sahut Lukas santai.“Sayangnya aku nggak tertarik merayakan kesembuhan kakiku bersamamu!” Ketus Aleeta yang berhasil membuat Mary tersenyum tipis.“Ayolah. Selagi aku mau memintamu dengan cara yang baik-baik. Aku yakin kamu akan semakin nggak suka kalau aku memaksamu,” desak Lukas.“Kamu ini kenapa, sih?!” Aleeta berteriak ketika langkahnya sampai di dekat mobil Steven. “Aku hanya ingin mengajakmu berjalan-jalan.” Lagi-lagi Lukas menjawabnya dengan nada yang begitu santai.Aleeta mendesah lalu menatap ke arah Mary. Ia berharap Mary bisa membantunya, tapi ternyata Mary leb
“Kamu akan mengerti setelah kamu melakukannya nanti.”Aleeta terdiam. Sebenarnya apa maksud Lukas? Kenapa pria itu tidak mengatakan secara langsung saja, apa maksud dari inti pembicaraannya saat ini? Aleeta kemudian berdecak.“Rasanya nggak ada gunanya ya aku bercerita padamu. Kamu selalu memberi jawaban yang hanya setengah-setengah,” cibir Aleeta seraya menyendok sisa ice cream cokelatnya.Kali ini Lukas tertawa. “Setidaknya hanya aku pilihan untukmu. Aku yakin, kamu nggak berani membicarakan soal Nicholas kepada siapapun selain aku, kan?”Aleeta memelotot horor. Bagaimana pria itu bisa tahu? Lukas tidak mungkin bisa membaca isi hatinya, kan?“T-tunggu dulu ...” Aleeta meletakkan sendok ice creamnya. “Sekarang coba katakan padaku kamu ini berada di pihak yang mana? Jujur saja sampai detik ini aku masih belum bisa membaca niatmu bersikap baik padaku. Apa jangan-jangan kamu juga menceritakan apa yang aku ceritakan selama ini kepada Nicholas?!” Aleeta tiba-tiba berubah menjadi begitu p
“Cobalah. Akan aku pukul wajah menyebalkanmu itu.”Lukas terkekeh mendengarnya. Ia akui, Aleeta memang pandai sekali membuatnya tertawa. “Sayang sekali aku nggak suka merebut milik saudaraku.”“Ternyata kamu nggak punya nyali,” ledek Aleeta.“Jangan berani memancing nyaliku. Aku nggak ingin kamu menyesal setelah melihat nyaliku nanti,” sahut Lukas santai.“Ck! Omong kosong.” Ketus Aleeta.Lukas hanya tersenyum. “Tadi kamu bilang kamu hanya hidup bersama ibumu selama dua puluh tujuh tahun. Lalu bagaimana dengan Ayahmu? Sebelumnya maaf kalau aku bersikap lancang, dan bertanya-tanya soal keluargamu.”Aleeta menggeleng. “Tenang saja. Kamu nggak lancang, kok. Justru sebaiknya kamu harus merasa bersyukur, karena baru kali ini aku mau menceritakan soal Ayahku kepada orang lain.”Lukas mengernyit. “Jadi kamu nggak pernah bercerita soal Ayahmu kepada siapapun selama ini?”“Nggak pernah.”“Kenap
Julian mengumpat seraya melemparkan setelan jas kerja ke hadapan Nicholas.“Kalau tahu seperti ini, lebih baik semalam aku mengantarmu pulang saja. Daripada kamu merepotkanku seperti ini!” Ketus Julian lalu merebahkan dirinya di sofa yang ada di kamar inap Nicholas.Nicholas terkekeh. “Terima kasih, Julian,” ujarnya sementara Julian hanya mendengus.Bagaimana Julian tidak kesal? Kemarin Nicholas memutuskan untuk menginap di rumah sakit. Dan ketika Julian menawarkan diri untuk menemani Nicholas, pria itu justru menolaknya. Salah satu alasan Nicholas menolak untuk di temani Julian karena, ia merasa kasihan jika Julian harus tidur di atas sofa. Julian pikir, Nicholas benar-benar merasa kasihan padanya. Maka dari itu, Julian memutuskan untuk menemani pria itu sampai malam saja. Lalu setelahnya ia akan pulang. Tapi, pagi-pagi sekali Nicholas sudah menghubunginya dan memintanya agar ia kembali ke rumah sakit. Bahkan Nich
“Dari mana?!” Nicholas bertanya dingin ketika melihat Aleeta masuk ke dalam rumah bersama Lukas. Sial! Tangan Nicholas semakin terkepal erat. Rasanya ia sudah sangat siap untuk meremukkan sesuatu. “Nicholas?” Aleeta tampak begitu terkejut dengan keberadaan Nicholas. Ia tidak menyangka kalau pria itu ternyata sudah pulang ke rumahnya. Kapan Nicholas pulang? Hanya pertanyaan itu yang saat ini mampu di pikirkan oleh kepala Aleeta. “Kalian tampak seperti orang yang baru saja pulang dari bersenang-senang,” ujar Nicholas dingin. Aleeta hanya bisa menelan ludah susah payah, ketika Nicholas mulai menatap dingin ke arahnya. “A-aku—“ “Kamu salah, Nich. Kami nggak jadi bersenang-senang karena hujan sudah lebih dulu datang dan mengacaukannya,” sahut Lukas santai. Dan tentunya hal itu berhasil membuat leher Aleeta semakin terasa begitu tercekat. Nicholas tersenyum miring. “Oh, ya?” Ujarnya dengan sebelah alis terangkat. “Hm. Kami hanya mampir ke kedai ice cream dan menikm
Aleeta turun di halte bus sembari merapatkan jaket. Ia melangkah lunglai menuju gang kecil yang akan membawanya ke kontrakan yang selama bertahun-tahun ini menjadi tempat tinggalnya. Rasanya lelah luar biasa. Aleeta melangkah pelan, bahkan sesekali berhenti, menatap ujung sepatunya dengan pikiran kosong. Kemudian Aleeta kembali melangkah menuju kontrakannya. Dalam satu hari ia harus bekerja di dua tempat sekaligus. Mulai dari pagi hingga menjelang pagi lagi. Tubuh Aleeta bahkan sampai terlihat begitu kurus dan pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang setiap hari semakin bertambah kentara. Terkadang tubuhnya juga terasa lemah karena kekurangan jam istirahat. Tapi Aleeta tidak boleh mengeluh. Aleeta menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu rumah. Belum sempat pintu itu tertutup, dia sudah mendengar seruan yang memekakkan telinganya. “Mana uangku?!” Aleeta mendesah lelah. Ia tidak kaget lagi mendapati Sonya menunggu kepulangannya di balik pintu. Bukan, bukan kepulangan
“Oh, sudah sadar rupanya?” Suara itu membuyarkan lamunan Aleeta. Ia segera menoleh dan menemukan Sonya yang sedang berdiri di dekat pintu. “Aku kira kamu akan mati dalam kecelakaan tadi?” Lagi-lagi Sonya kembali bersuara. Aleeta memejamkan mata sebelum kemudian ia berkata. “Ya. Jika bisa memilih aku memang lebih baik memilih untuk mati dalam kecelakaan tadi,” desisnya tajam. Sonya memicing. “Lalu kenapa kamu tidak mati saja, heh? Dari pada membuatku repot begini. Kamu tahu berapa banyak waktuku yang terbuang hanya untuk menunggumu di sini?” Aleeta tidak habis pikir. Ia baru saja terbangun beberapa menit yang lalu. Tapi kenapa Sonya sudah tega mengatakan hal seperti itu pada dirinya? Apa tidak ada hal lain yang bisa Ibunya katakan selain mengatakan tentang kematiannya? Apa memang sebegitu tidak berharganya Aleeta di mata Ibunya, hingga wanita itu mengharapkan kematiannya? “Ma ...” Aleeta menatap Sonya. “Kalau Mama ingin aku mati, kenapa Mama nggak membiarkan aku tergeletak di jal
“Tenanglah, Nicholas. Semuanya pasti akan baik-baik saja.” Karina—Ibu Nicholas berusaha menenangkan putranya.Karina tiba di rumah sakit satu jam setelah kecelakaan itu terjadi.“Bagaimana aku bisa tenang, Ma. Di sana ...” Nicholas tak sanggup melanjutkan perkataan.Karina mengangguk, paham dengan apa yang Nicholas rasakan. Ia hanya terus memeluk sembari mengusap lengan putranya sampai tiba-tiba pintu ruang operasi itu terbuka. Nicholas segera berdiri, menghapus air matanya dan menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi.“Dokter, bagaimana keadaannya, Dok? Bagaimana keadaan calon istri saya?” Tanya Nicholas tak sabaran.Dokter Moses langsung menatap Nicholas dengan tatapan yang tak bisa Nicholas artikan sama sekali. Tidak. Nicholas hanya tidak sanggup menerima jika apa yang akan di katakan oleh Dokter Moses adalah hal yang paling tidak ingin ia dengar sekarang. “Maafkan kami, Tuan Nicholas ...” Nicholas hanya bisa menggeleng saat dokter mengatakan hal tersebut. “Kami
“Dari mana?!” Nicholas bertanya dingin ketika melihat Aleeta masuk ke dalam rumah bersama Lukas. Sial! Tangan Nicholas semakin terkepal erat. Rasanya ia sudah sangat siap untuk meremukkan sesuatu. “Nicholas?” Aleeta tampak begitu terkejut dengan keberadaan Nicholas. Ia tidak menyangka kalau pria itu ternyata sudah pulang ke rumahnya. Kapan Nicholas pulang? Hanya pertanyaan itu yang saat ini mampu di pikirkan oleh kepala Aleeta. “Kalian tampak seperti orang yang baru saja pulang dari bersenang-senang,” ujar Nicholas dingin. Aleeta hanya bisa menelan ludah susah payah, ketika Nicholas mulai menatap dingin ke arahnya. “A-aku—“ “Kamu salah, Nich. Kami nggak jadi bersenang-senang karena hujan sudah lebih dulu datang dan mengacaukannya,” sahut Lukas santai. Dan tentunya hal itu berhasil membuat leher Aleeta semakin terasa begitu tercekat. Nicholas tersenyum miring. “Oh, ya?” Ujarnya dengan sebelah alis terangkat. “Hm. Kami hanya mampir ke kedai ice cream dan menikm
Julian mengumpat seraya melemparkan setelan jas kerja ke hadapan Nicholas.“Kalau tahu seperti ini, lebih baik semalam aku mengantarmu pulang saja. Daripada kamu merepotkanku seperti ini!” Ketus Julian lalu merebahkan dirinya di sofa yang ada di kamar inap Nicholas.Nicholas terkekeh. “Terima kasih, Julian,” ujarnya sementara Julian hanya mendengus.Bagaimana Julian tidak kesal? Kemarin Nicholas memutuskan untuk menginap di rumah sakit. Dan ketika Julian menawarkan diri untuk menemani Nicholas, pria itu justru menolaknya. Salah satu alasan Nicholas menolak untuk di temani Julian karena, ia merasa kasihan jika Julian harus tidur di atas sofa. Julian pikir, Nicholas benar-benar merasa kasihan padanya. Maka dari itu, Julian memutuskan untuk menemani pria itu sampai malam saja. Lalu setelahnya ia akan pulang. Tapi, pagi-pagi sekali Nicholas sudah menghubunginya dan memintanya agar ia kembali ke rumah sakit. Bahkan Nich
“Cobalah. Akan aku pukul wajah menyebalkanmu itu.”Lukas terkekeh mendengarnya. Ia akui, Aleeta memang pandai sekali membuatnya tertawa. “Sayang sekali aku nggak suka merebut milik saudaraku.”“Ternyata kamu nggak punya nyali,” ledek Aleeta.“Jangan berani memancing nyaliku. Aku nggak ingin kamu menyesal setelah melihat nyaliku nanti,” sahut Lukas santai.“Ck! Omong kosong.” Ketus Aleeta.Lukas hanya tersenyum. “Tadi kamu bilang kamu hanya hidup bersama ibumu selama dua puluh tujuh tahun. Lalu bagaimana dengan Ayahmu? Sebelumnya maaf kalau aku bersikap lancang, dan bertanya-tanya soal keluargamu.”Aleeta menggeleng. “Tenang saja. Kamu nggak lancang, kok. Justru sebaiknya kamu harus merasa bersyukur, karena baru kali ini aku mau menceritakan soal Ayahku kepada orang lain.”Lukas mengernyit. “Jadi kamu nggak pernah bercerita soal Ayahmu kepada siapapun selama ini?”“Nggak pernah.”“Kenap
“Kamu akan mengerti setelah kamu melakukannya nanti.”Aleeta terdiam. Sebenarnya apa maksud Lukas? Kenapa pria itu tidak mengatakan secara langsung saja, apa maksud dari inti pembicaraannya saat ini? Aleeta kemudian berdecak.“Rasanya nggak ada gunanya ya aku bercerita padamu. Kamu selalu memberi jawaban yang hanya setengah-setengah,” cibir Aleeta seraya menyendok sisa ice cream cokelatnya.Kali ini Lukas tertawa. “Setidaknya hanya aku pilihan untukmu. Aku yakin, kamu nggak berani membicarakan soal Nicholas kepada siapapun selain aku, kan?”Aleeta memelotot horor. Bagaimana pria itu bisa tahu? Lukas tidak mungkin bisa membaca isi hatinya, kan?“T-tunggu dulu ...” Aleeta meletakkan sendok ice creamnya. “Sekarang coba katakan padaku kamu ini berada di pihak yang mana? Jujur saja sampai detik ini aku masih belum bisa membaca niatmu bersikap baik padaku. Apa jangan-jangan kamu juga menceritakan apa yang aku ceritakan selama ini kepada Nicholas?!” Aleeta tiba-tiba berubah menjadi begitu p
“Bagaimana kalau hari ini kamu ikut aku berjalan-jalan?” Lukas bertanya ketika ia, Aleeta dan Mary sudah sampai di Loby rumah sakit.Aleeta menoleh. “Kenapa kamu jadi suka sekali mengajakku berjalan-jalan?” Ia balik bertanya, seraya terus berjalan ke arah mobil Steven yang sudah menunggunya di depan sana.“Memang apa salahnya? Lagipula anggap saja jalan-jalan kali ini sebagai bentuk perayaan atas kesembuhan kakimu,” sahut Lukas santai.“Sayangnya aku nggak tertarik merayakan kesembuhan kakiku bersamamu!” Ketus Aleeta yang berhasil membuat Mary tersenyum tipis.“Ayolah. Selagi aku mau memintamu dengan cara yang baik-baik. Aku yakin kamu akan semakin nggak suka kalau aku memaksamu,” desak Lukas.“Kamu ini kenapa, sih?!” Aleeta berteriak ketika langkahnya sampai di dekat mobil Steven. “Aku hanya ingin mengajakmu berjalan-jalan.” Lagi-lagi Lukas menjawabnya dengan nada yang begitu santai.Aleeta mendesah lalu menatap ke arah Mary. Ia berharap Mary bisa membantunya, tapi ternyata Mary leb
Keesokan harinya ketika Aleeta terbangun, ia sudah berada di atas ranjang tempat tidurnya. Padahal seingatnya semalam ia tengah menonton drama keluarga bersama Mary di ruang TV. Lalu bagaimana bisa ia terbangun di kamarnya pagi ini? Siapa yang memindahkannya? Apa Mary yang memindahkannya? Tapi rasanya itu tidak mungkin. Apa jangan-jangan ... Nicholas yang memindahkannya?“Nona.”Aleeta mengerjap lalu menoleh ke arah pintu kamarnya yang sudah terbuka. “Ternyata Anda sudah bangun.” Mary kembali berujar seraya melangkah masuk ke dalam kamar Aleeta. “Oh iya, Nona ingin memakai baju apa? Apa Nona ingin memakai baju khusus hari ini?”Aleeta mengernyit. “Baju khusus untuk apa?”Mary tersenyum. “Tentu saja untuk merayakan kaki Nona yang sudah sembuh. Saya yakin, hari ini Nona pasti bisa kembali berjalan lagi,” tutur Mary seraya membuka lemari. “Ah, apa Anda pakai dress putih ini saja? Sepertinya akan sangat cantik jika Anda
“Dimana ini?” Gumam Nicholas seraya membuka matanya perlahan.Ia menoleh ke samping, dimana ada Julian yang sedang duduk di sebuah sofa seraya menatap layar ponselnya. Seketika Nicholas mengumpat dalam hati.Julian pasti membawanya ke rumah sakit.“Nicholas. Kamu sudah bangun?” Julian segera mengantongi ponselnya ketika melihat Nicholas yang sudah sadar.Nicholas berusaha bangkit dari ranjang rumah sakit, tapi dengan cepat Julian menahannya.“Kamu mau kemana sih, Nich? Tenanglah nggak usah terburu-buru. Kamu masih bisa beristirahat sepuasnya di sini.” Kata Julian. Ia kembali mendorong dan membaringkan Nicholas ke atas ranjang rumah sakit.Nicholas mengeram. “Sialan kamu, Julian. Kenapa kamu membawaku ke sini?!”Julian mengernyit. “Tentu saja karena aku panik. Tadi kamu tiba-tiba pingsan begitu saja. Kamu pikir aku orang gila yang akan diam saja setelah melihat saudaraku pingsan seperti tadi?”Nicholas mendengus. “Ya. Kamu memang gila,” ujarnya pelan.Julian hanya bisa menekuk bibir ke
Arrggh!” Nicholas memukul stir kemudinya penuh emosi. Saat ini jam sudah menunjuk di angka delapan kurang dua puluh menit. Itu berarti Nicholas tadi menghabiskan waktu hampir setengah jam lebih untuk meladeni Aleeta.“Sialan!” Pria itu kembali mengumpat.Padahal tadi ia sudah berniat untuk tidak ingin memedulikan Aleeta. Tapi kenyataannya, Nicholas tidak bisa melakukannya. Ia tetap peduli. Bahkan ketika Aleeta hampir terjatuh dari teras tadi. Nicholas langsung bergerak cepat agar bisa menangkap tubuh wanita itu.“Ada apa dengan dirimu, Nich? Ada apa, berengsek?!” Nicholas memaki dirinya seraya terus melajukan mobil menyusuri jalan raya.Satu-satunya hal yng Nicholas pikirkan tadi hanyalah ia ingin segera pergi dari rumahnya. Agar ia tidak perlu berhadapan dengan Aleeta lebih lama lagi. Bahkan Nicholas juga sampai mengabaikan sarapannya juga agar ia bisa cepat-cepat menghindar dari Aleeta.Entah apa yang akan terjadi
Pagi ini, Nicholas ada jadwal meeting proyek pembangunan mall yang harus ia hadiri pukul delapan pagi. Dan sekarang sudah pukul tujuh. Masih ada waktu sekitar satu jam lagi bagi Nicholas untuk bersiap-siap sebelum berangkat ke lokasi meeting.Pria itu tampak tergesa menuruni rangkaian anak tangga. Sementara tangannya sibuk memasang jam tangan mahal di pergelangan tangan kirinya. Ia lalu melangkah menuju ruang makan. Setidaknya Nicholas harus mengisi perutnya terlebih dahulu sebelum berangkat bekerja.Baru saja langkah Nicholas menginjak pintu ruang makan. Ia langsung tertegun di tempatnya.“Pagi.”Tubuh Nicholas terasa seperti tersengat aliran listrik ketika mendengar suara bernada lembut itu menyapanya. Biasanya, di jam tujuh pagi seperti ini hanya ia yang makan seorang diri di ruang makan. Tapi entah kenapa pagi ini Aleeta sudah ada di sana? Duduk di sebelah kursi yang biasanya Nicholas tempati.Apa yang wanita itu