"Tuan anda yakin akan melakukan ini?" tanya Ramon yang melihat Tuannya sudah menggendong Dominique."Jangan buang waktu, waktu kita tidak banyak, cepat selesaikan sisanya," perintah Willy. 'Bertahanlah sebentar lagi, aku pasti akan membawamu pergi sayang.'Willy mengusap lembut pipi Dominique, merengkuhnya ke dalam pelukan membawa Dominique ke suatu tempat, membaringkannya di ranjang dan melakukan sesuatu hal yang Dominique tidak sadari."Jadi kapan kau akan pergi dari apartemenku?" tanya Haiden ketus pada Rebecca di sela perjalanan pulang sehabis mereka mengunjungi taman bermain."Haruskah kau bersikap dingin terus padaku Gyan, apa kau sama sekali tak bisa memahami perasaan-ku," ucap Rebecca mengiba sambil mengusap rambut Terry yang tertidur di pangkuannya."Apa yang kau lakukan dulu bukankan aku sudah membayar lunas hutangku!" seringai Haiden melipat kedua tangannya."Kau tahu bukan itu yang aku mau, aku mau ...,""Jangan berpikir gila, cepatlah pergi di saat aku masih bersikap luna
"Sudah sayang jangan bahas lagi, lebih baik sekarang kita diskusikan rencana kita yang tertunda," Haiden mengelus perut Dominique."Rencana apa? Aku sedang tidak mood, jadi kau jangan ganggu aku malam ini, aku mau tidur sen-" Haiden langsung menyerang bibir Dominique dengan lembut, Dominique berontak namun semakin Dominique bergerak, semakin membuat Haiden membara."Ayo ... sayang, aku sudah tidak tahan!" Haiden melepaskan kecupannya, merebahkan tubuh Dominique perlahan di tempat tidur dan mulai melakukan olahraga malam mereka yang bergelora.Haiden memeluk tubuh Dominique, "Istirahatlah sebentar, satu jam lagi kita mulai pemanasan lagi ya," bisik Haiden mersa di telinga Dominique."Idenn, bisakah,""No. Istirahat sayang kalau tidak aku akan mulai memakanmu lagi sekarang." mengusap rambut Dominique penuh kasih sayang. Haiden ingin secepatnya mendapatkan penerus dari rahim Dominique. Haiden benar-benar tak melewatkan kesempatan untuk bercengkrama dengan Dominique, malam ini dia memaka
Dominique meremas hasil tes DNA yang di berikan Rebecca. Hatinya masih tidak bisa menerima dengan apa yang dia baca."Tinggalkan dia, pergilah diam-diam, jangan ganggu hubungan kami. Biarkan Terry memiliki ayahnya!" Rebecca meninggalkan Dominique yang tak bisa berkata.Seketika tubuh Dominique terhuyung, niatnya akan bersenang-senang lenyap. Dia tak jadi masuk ruko malah berjalan berbalik tanpa arah. Willy tahu terjadi tak beres terus mengikutinya.Tangis Dominique pecah, hatinya benar-benar terluka setelah mendengar ucapan Rebecca, baru saja dia mulai mempercayai Haiden, namun kenyataan yang dia terima berbeda. Dominique jongkok di tepi jalan berteriak keras, menangis sekuatnya bahkan siang itu, tiba-tiba awan mendung menyelimuti seperti hati Dominique yang terkoyak. Tangisnya seperti hujan yang turun membasahi bumi, dia bahkan tak bisa mendengar ketika suara guntur yang bergema saling bersahutan. Dominique menangis sejadi-jadinya, pikirannya sudah kosong. Berulang kali Willy mencob
"Geledah semua ruangan jangan sampai ada yang terlewat!" perintah Haiden sambil menatap lekat-lekat wajah Willy yang duduk santai sambil mengepulkan asap rokoknya.Beberapa menit berlalu mereka semua kembali dan memberi isyarat tak menemukan apapun. Willy berdiri dengan santainya menghampiri Haiden."Apa yang kau lakukan, katakan!" amarah Haiden berkobar menarik kembali kerah kemeja Willy."Hah? Apa aku tidak salah dengar? Kau sedang bertanya kepadaku. Harusnya aku yang bertanya padamu, kenapa dia bisa pergi meninggalkan-mu," Willy menepis tangan Haiden, kali ini dia mulai membalas tatapan kemarahan yang sama dengan Haiden."Jaga bicara-mu, katakan dimana dia, kau jangan berbohong, aku jelas mengecek ponselnya, terakhir kali orang yang menghubunginya adalah kau!" tuding Haiden mendelik dengan api cemburu dan marah."Hahaha ... hahaha ...," tawa Willy bergema merauk wajahnya dengan kasar, "Seandainya itu benar terjadi dan dia berlari kearahku, dia akan kudekap, dan tak akan pernah aku
Dominique menggerakkan tangannya, memecahkan pertikaian mulut antara Willy dan Carlos."Tu-tuan ... ta-tangan Nona Dominique," ucap Ramon yang melihat tangan Dominique bergerak.Mereka berdua berbalik, Carlos segera mengecek kondisi Dominique, saat menyentuh nadi mata Dominique perlahan terbuka."Will, lihat dia membuka matanya," ucap Carlos, Willy segera menghampiri dan duduk kembali di tepi ranjang, menggenggam tangan Dominique."Kau sudah sadar? Bagaimana keadaanmu? Mana yang sakit?" tatapan mata Willy hangat saat menyapa Dominique memburu Dominique dengan pertanyaan yang bergejolak semenjak satu minggu yang lalu.Dominique menggerakkan tubuhnya yang terasa kaku, dia memandangi wajah Willy dengan tatapan aneh lalu matanya memberi isyarat perlahan,"Aku bantu ya," Willy mengangkat perlahan tubuh Dominique, menaruh bantal sebagai penyangga untuk punggung Dominique."Minumlah dulu," Willy meraih gelas di samping ranjang tidurnya melayani Dominique minum dengan tatapan lembut.Carlos s
Dua tahun berlalu,"Ayo ... Marissa, kau sungguh menyerah dengan-ku," Willy yang berhasil membanting tubuh Marissa di atas matras."Akhh ... hah ... hah ...," nafas Marissa menderu, kuda-kuda menyerang masih tetap kuat di kedua tangannya, tatapan tajam melihat lawan di hadapannya."Ayo bangun, kau tahu kan hukuman apa yang akan kau dapatkan kalau kau kalah dariku," ucap Willy berdiri tegap tetap memasang kuda-kudanya dengan santai.Marissa bangkit tangannya mengepal dengan kuat, dia mulai berlari dan menyerang Willy secara bertubi tanpa henti, dari mulai tangan dan kakinya tetap bergerak sesuai dengan kekuatan yang masih dia miliki."Aargghh!" teriak Marissa berulang kali, namun semua serangannya tetap bisa di hindari oleh Willy, hingga Willy berhasil membuat tubuh Marissa terpelanting dan kedua tangan Willy menahan tubuh Marissa dengan kuat.Nafas mereka beradu menderu keras semua tepuk tangan dan sorak menggema di seluruh ruangan."Kau kalah, jadi malam ini kau tak bisa lari dariku
Marissa menatap dirinya di cermin sambil berhias diri. Hari ini dia dengan Willy ingin kencan berdua. Marissa meminta Willy menemaninya menonton."Kau yakin tidak takut di foto paparazi saat menonton dengan-ku sayang," ucap Willy sambil menyisirkan rambut Marissa."Kau yaa ... selalu saja mencari alasan, kau kenapa sih selalu menolak pergi dengaku? Apa ada wanita lain di luar sana!" Marissa yang mulai merajuk cemburu. 'Ah, beginikah rasanya di cintai dan cemburui.' Batin Willy tersenyum bahagia."Pokoknya hari ini aku hanya ingin bersamamu, dua hari lagi aku kan berangkat dan selama sebulan kita kan belum tentu bertemu," Marissa memeluk pinggang Willy tak ingin jauh atau melepaskannya."Baiklah istriku sayang, hari ini sepenuhnya aku milikmu!" ucap Willy.DEGG!!!Marissa tiba-tiba merasa dejavu dengan ucapan Willy barusan, samar di benaknya ada beberapa bayangan, namun semakin Marissa mengingatnya, bayangan itu menghilang dengan cepat.'Apa itu, sepertinya aku pernah merasakan hal sep
Grandma Rose menatap mereka semua yang datang dengan tajam, para pengawal langsung menunduk dan memberi hormat."Dasar bocah nakal. Hei, Dhyson ... kau jangan membuat tamuku ketakutan dengan membawa banyak pengawal seperti itu!" gerutu grandma Rose ketus terhadap laki-laki yang bernama Dhyson tadi."Nenek kau membuatku khawatir dan ta-kut." Dhyson melirik kearah Marissa, seketika matanya membulat lebar, kegirangan langsung menghampiri Marissa tanpa memperdulikan lagi ocehan yang keluar dari mulut grandma Rose."Ma-Marissa, benar kan kau Marissa?" menyakinkan kembali dengan mengucek kedua matanya di hadapan Marissa.Marissa memundurkan langkahnya hampir terjatuh, namun Willy segera menopang tubuh Marissa dengan cepat,"Aku, aku ... Dhyson, aku penggemar-mu, boleh aku minta foto!" Dhyson lupa diri akan tujuannya menjemput grandma Rose langsung merogoh saku jasnya, mengeluarkan ponsel dan bersiap berfoto bersama.Marissa menyadari arti penggemar langsung bersikap profesional, saat kamera
Will menyadari kedatangan istri dan rivalnya. Dia hanya duduk menunggu di samping ruang operasi. Dominique menghampirinya. "Kau berbohong lagi!" cetusnya. Dia masih mode on merajuk. Will menarik tangan istrinya agar duduk disebelah dirinya. Tangan satunya melingkar di pinggang istrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan.Haiden duduk di sebelah istrinya. Hanya bisa menatap setiap perlakuan manis yang diberikan rivalnya. Dia kini sudah tidak pernah cemburu seperti dulu. Mereka berdua, sesama rival sudah sangat mengetahui kondisi masing-masing. Sesekali bertengkar. Namun, bukan pertengkaran yang besar selain berebut lebih dulu siapa yang mendapatkan jatah dari istrinya, selain itu. Mereka tidak pernah bertengkar. Sudah saling mengisi dan memahami. "Maafkan aku, sayang. Kau boleh menghukumku nanti. Aku akan menerima semua hukumannya!" dia mengecup kening istrinya. Mencoba menenangkan kemarahannya. "Iya, aku pastikan akan menghukummu secara berat. Kali ini aku tidak akan melepaskan beg
“Jangan sentuh? Kau yakin dengan ucapanmu itu?” goda Willy.“Iya, memangnya aku takut. Aku kan memiliki satu suami lagi, kau pikir, hah!” Dominique tak mau kalah melawan godaan suaminya.“Tidak ada apa-apa sayang, aku memang menginginkannya. Sudah lama sejak kau melahirkan dan mengurus anak-anak kita. Aku kangen!” Willy tetap menutupi hatinya. Mengusap kembali rambut istrinya sambil memandangi wajahnya dengan lembut."Sudah kalau tidak mau bicara, aku akan keluar!" ucap Dominique. Baru saja dia menarik selimutnya akan turun dari ranjang. Entah mereka memang tak mendengarnya atau terlalu fokus saat berbicara. Haiden sudah berdiri dihadapannya sambil melihat kedua tangannya. "Oh, jadi begini cara kalian? Melakukan hal yang enak tanpa mengajakku!" dengusnya kesal. Dominique menarik wajahnya sambil menghela nafas panjang. "Aku sudah selesai, jika kau memang menginginkan bilang saja sendiri!" Willy berjalan turun melenggang tanpa sehelai benang pun masuk ke kamar mandi. "Ah, tidak. Sud
Martha masih belum sanggup menatap wajah Will, dia hanya terus tertunduk ketika suaminya berkata seolah ada satu pedang yang langung menancap di dadanya. Will dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan hanya bisa menghela nafasnya. Bingung.“Kau tidak sedang bergurau denganku kan, Pah?” Will masih setengah tak percaya. Tubuhnya bahkan terasa bergetar, masih belum mempercayai semua ucapan ayahnya“Kau bisa bertanya langsung dengannya, apa aku sekarang sedang berbohong padamu atau tidak?” tanpa banyak berkata apapun Baron membalikkan tubuhnya. Jantung Martha benar-benar akan copot di tatap putranya. Meminta penjelasan tentang kehadirannya.“Huh, baiklah, ayo kita masuk, Nyonya. Sepertinya akan banyak hal yang akan kita bicarakan!” kali ini Martha terkejut saat mendengar ucapannya. Datar dan dingin. Berbeda saat pertama kali mereka tak sengaja bertemu.Langkah kakinya mengekori Will masuk ke ruang bacanya. Dia sudah duduk di sofa sambil terus memperhatikan wanita yang bernama Martha
“Bersiaplah hari ini kita akan menemuinya!” Baron berkata dengan sangat tegas. Menatap wanita yang duduk dihadapannya. Dia sedang menikmati sarapan paginya.Wanita yang beberapa hari ini telah resmi menjadi istrinya kembali. Dia yang dipaksa olehnya. Martha mau tidak mau menuruti semua kemauan Baron, daripada ada nyawa yang tidak bersalah berkorban untuk dirinya.Martha masih menatap wajah Baron. Bingung dengan ucapannya. Bertanya dalam hati apa yang akan ditemuinya nanti. “Aku hanya memintamu, menemaniku dan menemuinya. Apakah ada masalah? Mengapa kau menatapku seperti itu?” kembali Baron berbicara dengan suara sakrasnya. Membuat Martha tetap diam. Dia tak perduli dengan ucapannya. Dia tahu saat dia mencoba menjawab setiap perkataannya akan timbul hal yang tidak diinginkan.“Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapnya setengah terpaksa.“Apa kau sebegitu tak sukanya pergi bersamaku?” Baron menaikkan rahangnya dengan kasar menatap Martha yang baru beberapa hari ini resmi menjadi istr
"Jangan mendekat!" Sophie terus bergeser dari ranjangnya, saat Ramon mencoba mendekatinya. Sedangkan, John sibuk dengan dunianya sendiri. Dia seperti mendapatkan mainan baru. Saat pulang kerja dan setelah makan juga mandi hal yang dilakukan pertama kali adalah mengendong anaknya. Dia menjadi bapak siaga saat berada di rumah. "Inikan sudah empat puluh hari lebih, sayang. Masa aku nggak boleh dekat-dekat kamu sih!" Ramon merajuk. Namun, tak menghentikan aktifitasnya saat berusaha menggulingkan pertahanan istrinya. "Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya. Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya."Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya! Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya.John hanya meliriknya tanpa mengindahkan semua ucapan yang kelur dari mulut Ramon. Dia bahkan tak perduli dengan cibiran atau umpatan yan
"Sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan bawa aku kesana!" Martha memohon dengan penuh penekanan. Dia tak ingin seorang pun tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Baron tak mengindahkan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia tahu wanita itu sedang membohonginya. Dia melemparkan tubuh yang tidak muda lagi itu dengan kasar ke kursi penumpang. Setelah penyeretan yang dramatis. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Seperti seorang istri yang sedang kepergok suaminya berselingkuh. "Jangan membantah lagi, jika kau terus terusan menolakku, jangan salahkan jika senjata ini akan langsung bersarang ke perutmu!" ancamnya. Kini Baron sedang tidak bermain-main. Dia menodongkan senjata tepat disamping perutnya. Martha sudah kehilangan akal menghadapi lelaki yang sudah berumur itu. Yang memiliki sikap dan temperamen seperti anak remaja. Merajuk kalau keinginannya tak dituruti. Dia tak bersuara. Pasrah. Hingga Baron memasukkan senjatanya kembali ke jasnya. Dia bertanya
Baron masih saja mondar mandir di kamarnya. Menunggu wanita itu benar-benar bisa menenangkan hati, agar mereka bisa kembali pembicaraannya. Sebenarnya bukan berbicara, tapi Baron masih ingin meneruskan rasa penasarannya. Martha menghela nafasnya. Isak tangis terakhirnya sebelum dia benar-benar berhenti.“Apa kita sudah bisa berbicara sekarang?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Daripada dia menemani wanita yang sedang menangis. Dia lebih baik memukuli seluruh pengawalnya hingga babak belur.‘Huh, apa kata dunia, jika ada orang yang tahu aku mendengarkan seorang wanita menangis!’Baron meraup wajahnya dengan kasar. Sungguh dia pun tak menyangka bisa menemani wanita itu merajuk. Menangis terseduk selama satu jam.Martha menganggukkan kepalanya. Memberikan tanda, dia siap menerima introgasi dari laki-laki dihadapannya itu.“Jadi, penjelasan apa yang ingin kau berikan padaku?” Baron masih menatapnya tajam.‘Huh, dari dulu dia memang tak pernah mau mengalah. Padahal dia yang salah.
‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!
Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan