Dua tahun berlalu,"Ayo ... Marissa, kau sungguh menyerah dengan-ku," Willy yang berhasil membanting tubuh Marissa di atas matras."Akhh ... hah ... hah ...," nafas Marissa menderu, kuda-kuda menyerang masih tetap kuat di kedua tangannya, tatapan tajam melihat lawan di hadapannya."Ayo bangun, kau tahu kan hukuman apa yang akan kau dapatkan kalau kau kalah dariku," ucap Willy berdiri tegap tetap memasang kuda-kudanya dengan santai.Marissa bangkit tangannya mengepal dengan kuat, dia mulai berlari dan menyerang Willy secara bertubi tanpa henti, dari mulai tangan dan kakinya tetap bergerak sesuai dengan kekuatan yang masih dia miliki."Aargghh!" teriak Marissa berulang kali, namun semua serangannya tetap bisa di hindari oleh Willy, hingga Willy berhasil membuat tubuh Marissa terpelanting dan kedua tangan Willy menahan tubuh Marissa dengan kuat.Nafas mereka beradu menderu keras semua tepuk tangan dan sorak menggema di seluruh ruangan."Kau kalah, jadi malam ini kau tak bisa lari dariku
Marissa menatap dirinya di cermin sambil berhias diri. Hari ini dia dengan Willy ingin kencan berdua. Marissa meminta Willy menemaninya menonton."Kau yakin tidak takut di foto paparazi saat menonton dengan-ku sayang," ucap Willy sambil menyisirkan rambut Marissa."Kau yaa ... selalu saja mencari alasan, kau kenapa sih selalu menolak pergi dengaku? Apa ada wanita lain di luar sana!" Marissa yang mulai merajuk cemburu. 'Ah, beginikah rasanya di cintai dan cemburui.' Batin Willy tersenyum bahagia."Pokoknya hari ini aku hanya ingin bersamamu, dua hari lagi aku kan berangkat dan selama sebulan kita kan belum tentu bertemu," Marissa memeluk pinggang Willy tak ingin jauh atau melepaskannya."Baiklah istriku sayang, hari ini sepenuhnya aku milikmu!" ucap Willy.DEGG!!!Marissa tiba-tiba merasa dejavu dengan ucapan Willy barusan, samar di benaknya ada beberapa bayangan, namun semakin Marissa mengingatnya, bayangan itu menghilang dengan cepat.'Apa itu, sepertinya aku pernah merasakan hal sep
Grandma Rose menatap mereka semua yang datang dengan tajam, para pengawal langsung menunduk dan memberi hormat."Dasar bocah nakal. Hei, Dhyson ... kau jangan membuat tamuku ketakutan dengan membawa banyak pengawal seperti itu!" gerutu grandma Rose ketus terhadap laki-laki yang bernama Dhyson tadi."Nenek kau membuatku khawatir dan ta-kut." Dhyson melirik kearah Marissa, seketika matanya membulat lebar, kegirangan langsung menghampiri Marissa tanpa memperdulikan lagi ocehan yang keluar dari mulut grandma Rose."Ma-Marissa, benar kan kau Marissa?" menyakinkan kembali dengan mengucek kedua matanya di hadapan Marissa.Marissa memundurkan langkahnya hampir terjatuh, namun Willy segera menopang tubuh Marissa dengan cepat,"Aku, aku ... Dhyson, aku penggemar-mu, boleh aku minta foto!" Dhyson lupa diri akan tujuannya menjemput grandma Rose langsung merogoh saku jasnya, mengeluarkan ponsel dan bersiap berfoto bersama.Marissa menyadari arti penggemar langsung bersikap profesional, saat kamera
Willy menekan dada Marissa, memberikannya nafas buatan, hingga Marissa terbatuk dan mengeluarkan air dari mulutnya."Ma-Marissa, kau baik-baik saja," raut wajah Willy berubah pucat pasi, dia benar-benar panik takut terjadi sesuatu terhadap Marissa.Uhuk. Uhuk. Marissa menatap limbung sesaat suasana sekitar, di kepalanya muncul kembali bayangan dejavu yang hampir sama, lalu menghilang. 'Apa itu? Siapa orang yang kulihat tadi, kenapa wajahnya tak tergambar dengan jelas.' Batin Marissa."Sayang, kau dengar aku? Kau tidak apa-apa kan?" jantung Willy berdegup sangat kencang, dia tidak ingin kehilangan Marissa secepat itu."A-aku tidak apa-apa sayang," ucap Marissa, raut berubah sedikit saat menatap Willy, dia merasakan sedikit asing pada Willy."Syukurlah, syukurlah kalau kau tidak apa-apa!" Willy memeluk Marissa mengusap rambutnya dengan lembut, "Ayo kita ke dalam dan segera ganti bajumu nanti kau masuk angin!" Willy langsung memapah Marissa ala bridel style masuk ke dalam kamar mereka.
"Dominique, kau akhirnya pulang sayang," tanpa rasa ragu Haiden maju dan memeluk tubuh Marissa dengan erat.Marissa terkejut, segera menghempaskan jauh tubuh Haiden."Diana!" teriak Marissa segera mundur menghindari Haiden.Diana menghampiri Marissa, "Kau kenapa sayang? Ada apa?" suara Willy cemas dari sebrang ketika mendengar teriakan Marissa."Aku tidak apa-apa sayang, nanti setelah selesai rapat aku telpon lagi, bye sayang, muahh!" ucap Marissa lembut menutup telpon di telinganya."Kau tidak apa-apa Marissa?" ucap Diana sambil menatap kearah Haiden dan John, terutama Haiden yang terpaku melihat Marissa dan melewatinya begitu saja."Aku tidak apa-apa, sepertinya dia salah satu fans berat-ku!" lirik Marissa, "Ayo kita selesaikan tanda tangan kontrak dan segera pergi dari sini!" Marissa dan Diana langsung masuk ke dalam lift."John, apa kau bisa menjelaskannya?" ucap Haiden dengan nada kesal menatap John dengan tajam."Dia model yang semalam saya bicarakan Tuan, tapi sepertinya sema
"Pulang, pulang daritadi kau bilang pulang terus, apakah kau tidak merindukanku, hah!" Haiden berteriak seperti orang kesurupan meluapkan emosi dan kemarahannya yang dia pendam.Marissa tersentak, bergetar ketakutan, "Kau kenapa? Apa sedang ada masalah dengan pekerjaan-mu?" Marissa menarik diri dan segera bangkit dari duduknya."Dimana pintu keluar-nya!" tanya Marissa kebingungan mencari pintu di sekeliling ruangan. Meraba dengan tangannya. "Hahahaha!" tawa Haiden menggelegar, Marissa bergetar tambah ketakutan."Cepat buka, aku ingin keluar!" teriak Marissa tak kalah histeris."Marissa, hah benarkah namamu Marissa? Dimana kau bersembunyi selama ini hah? Kau pergi meninggalkanku hanya untuk menjadi seperti ini?" Haiden mencengangkan kedua tangan Marissa dengan paksa dan kasar."Lepaskan, jangan sampai aku berbuat kasar," Marissa mendelik kasar membalas tatapan Haiden."Hahahaha ... hahahaha," kembali tawa Haiden bergema di ruangan, "Katakan, katakan padaku, siapa yang mengajarimu be
Di apartemen Haiden."Tuan." John menghampiri Haiden membawa sebuah amplop dan menyerahkannya.Haiden membuka amplop tadi, terlihat jelas beberapa foto Marissa memasuki kediaman yang sangat di kenali Haiden."Brengsek berani sekali dia menyembunyikan Domi-ku selama dua tahun! Aku pastikan akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!" Haiden geram, meremas foto-foto yang di berikan John tadi."Sepertinya tidak seperti itu Tuan." John menyela bicara."Kau membelanya?" mata Haiden mendelik marah pada John."Tidak Tuan, saya hanya berbicara berdasarkan data yang kita miliki,""Maksudmu?""Saya menebak Nyonya kecelakaan Tuan, dan dia kehilangan ingatannya!" ucap John ragu-ragu melihat perubahan ekspresi wajah Tuannya yang langsung mendelikkan mata saat mendengar ucapannya."Kau gila, alasan macam apa itu," Haiden tak bisa menerima kenyataan."Dia memakai identitas Marissa baru dua tahun ini Tuan, dan dia sudah menikahi Nyonya, Tuan""Persetan!! Aku tidak perduli, bagiku dia adalah istriku sel
'Argghhh.' Batin Marissa berteriak, dan mendorong jauh tubuh Haiden."Kau!" Marissa mendelikkan matanya."Bagaimana apa kau sudah mulai mengingatku?" seringai Haiden tersenyum puas melihat reaksi Marissa yang panik.PAKKK!!Satu tamparan keras mendarat keras di wajah Haiden, Marissa merasa dirinya kotor, bagaimana dia bisa menjelaskan semua perbuatan Haiden pada Willy suaminya. Haiden menyentuh pipinya yang baru saja di tampar oleh Marisa, suasana mencekam di ruangan, hanya Diana yang tidak mengetahui dengan apa yang sedang terjadi."Berapa finalty yang harus ku bayar, katakan pada agency-ku. Aku akan membatalkan kontrak-nya!" ucap Marissa marah mengepalkan tangannya dan keluar ruangan.Haiden bahkan tidak percaya dia bisa melihat sisi lain Dominique di saat dirinya yang hilang ingatan. 'Inikah sifat asli yang selama ini kau tutupi.'"Tuan!" John menepuk pundak Haiden."Biarkan saja mungkin aku terlalu gegabah karena sangat merindukannya," ucap Haiden sedikit pun tidak menyesali perbu
Will menyadari kedatangan istri dan rivalnya. Dia hanya duduk menunggu di samping ruang operasi. Dominique menghampirinya. "Kau berbohong lagi!" cetusnya. Dia masih mode on merajuk. Will menarik tangan istrinya agar duduk disebelah dirinya. Tangan satunya melingkar di pinggang istrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan.Haiden duduk di sebelah istrinya. Hanya bisa menatap setiap perlakuan manis yang diberikan rivalnya. Dia kini sudah tidak pernah cemburu seperti dulu. Mereka berdua, sesama rival sudah sangat mengetahui kondisi masing-masing. Sesekali bertengkar. Namun, bukan pertengkaran yang besar selain berebut lebih dulu siapa yang mendapatkan jatah dari istrinya, selain itu. Mereka tidak pernah bertengkar. Sudah saling mengisi dan memahami. "Maafkan aku, sayang. Kau boleh menghukumku nanti. Aku akan menerima semua hukumannya!" dia mengecup kening istrinya. Mencoba menenangkan kemarahannya. "Iya, aku pastikan akan menghukummu secara berat. Kali ini aku tidak akan melepaskan beg
“Jangan sentuh? Kau yakin dengan ucapanmu itu?” goda Willy.“Iya, memangnya aku takut. Aku kan memiliki satu suami lagi, kau pikir, hah!” Dominique tak mau kalah melawan godaan suaminya.“Tidak ada apa-apa sayang, aku memang menginginkannya. Sudah lama sejak kau melahirkan dan mengurus anak-anak kita. Aku kangen!” Willy tetap menutupi hatinya. Mengusap kembali rambut istrinya sambil memandangi wajahnya dengan lembut."Sudah kalau tidak mau bicara, aku akan keluar!" ucap Dominique. Baru saja dia menarik selimutnya akan turun dari ranjang. Entah mereka memang tak mendengarnya atau terlalu fokus saat berbicara. Haiden sudah berdiri dihadapannya sambil melihat kedua tangannya. "Oh, jadi begini cara kalian? Melakukan hal yang enak tanpa mengajakku!" dengusnya kesal. Dominique menarik wajahnya sambil menghela nafas panjang. "Aku sudah selesai, jika kau memang menginginkan bilang saja sendiri!" Willy berjalan turun melenggang tanpa sehelai benang pun masuk ke kamar mandi. "Ah, tidak. Sud
Martha masih belum sanggup menatap wajah Will, dia hanya terus tertunduk ketika suaminya berkata seolah ada satu pedang yang langung menancap di dadanya. Will dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan hanya bisa menghela nafasnya. Bingung.“Kau tidak sedang bergurau denganku kan, Pah?” Will masih setengah tak percaya. Tubuhnya bahkan terasa bergetar, masih belum mempercayai semua ucapan ayahnya“Kau bisa bertanya langsung dengannya, apa aku sekarang sedang berbohong padamu atau tidak?” tanpa banyak berkata apapun Baron membalikkan tubuhnya. Jantung Martha benar-benar akan copot di tatap putranya. Meminta penjelasan tentang kehadirannya.“Huh, baiklah, ayo kita masuk, Nyonya. Sepertinya akan banyak hal yang akan kita bicarakan!” kali ini Martha terkejut saat mendengar ucapannya. Datar dan dingin. Berbeda saat pertama kali mereka tak sengaja bertemu.Langkah kakinya mengekori Will masuk ke ruang bacanya. Dia sudah duduk di sofa sambil terus memperhatikan wanita yang bernama Martha
“Bersiaplah hari ini kita akan menemuinya!” Baron berkata dengan sangat tegas. Menatap wanita yang duduk dihadapannya. Dia sedang menikmati sarapan paginya.Wanita yang beberapa hari ini telah resmi menjadi istrinya kembali. Dia yang dipaksa olehnya. Martha mau tidak mau menuruti semua kemauan Baron, daripada ada nyawa yang tidak bersalah berkorban untuk dirinya.Martha masih menatap wajah Baron. Bingung dengan ucapannya. Bertanya dalam hati apa yang akan ditemuinya nanti. “Aku hanya memintamu, menemaniku dan menemuinya. Apakah ada masalah? Mengapa kau menatapku seperti itu?” kembali Baron berbicara dengan suara sakrasnya. Membuat Martha tetap diam. Dia tak perduli dengan ucapannya. Dia tahu saat dia mencoba menjawab setiap perkataannya akan timbul hal yang tidak diinginkan.“Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapnya setengah terpaksa.“Apa kau sebegitu tak sukanya pergi bersamaku?” Baron menaikkan rahangnya dengan kasar menatap Martha yang baru beberapa hari ini resmi menjadi istr
"Jangan mendekat!" Sophie terus bergeser dari ranjangnya, saat Ramon mencoba mendekatinya. Sedangkan, John sibuk dengan dunianya sendiri. Dia seperti mendapatkan mainan baru. Saat pulang kerja dan setelah makan juga mandi hal yang dilakukan pertama kali adalah mengendong anaknya. Dia menjadi bapak siaga saat berada di rumah. "Inikan sudah empat puluh hari lebih, sayang. Masa aku nggak boleh dekat-dekat kamu sih!" Ramon merajuk. Namun, tak menghentikan aktifitasnya saat berusaha menggulingkan pertahanan istrinya. "Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya. Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya."Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya! Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya.John hanya meliriknya tanpa mengindahkan semua ucapan yang kelur dari mulut Ramon. Dia bahkan tak perduli dengan cibiran atau umpatan yan
"Sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan bawa aku kesana!" Martha memohon dengan penuh penekanan. Dia tak ingin seorang pun tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Baron tak mengindahkan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia tahu wanita itu sedang membohonginya. Dia melemparkan tubuh yang tidak muda lagi itu dengan kasar ke kursi penumpang. Setelah penyeretan yang dramatis. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Seperti seorang istri yang sedang kepergok suaminya berselingkuh. "Jangan membantah lagi, jika kau terus terusan menolakku, jangan salahkan jika senjata ini akan langsung bersarang ke perutmu!" ancamnya. Kini Baron sedang tidak bermain-main. Dia menodongkan senjata tepat disamping perutnya. Martha sudah kehilangan akal menghadapi lelaki yang sudah berumur itu. Yang memiliki sikap dan temperamen seperti anak remaja. Merajuk kalau keinginannya tak dituruti. Dia tak bersuara. Pasrah. Hingga Baron memasukkan senjatanya kembali ke jasnya. Dia bertanya
Baron masih saja mondar mandir di kamarnya. Menunggu wanita itu benar-benar bisa menenangkan hati, agar mereka bisa kembali pembicaraannya. Sebenarnya bukan berbicara, tapi Baron masih ingin meneruskan rasa penasarannya. Martha menghela nafasnya. Isak tangis terakhirnya sebelum dia benar-benar berhenti.“Apa kita sudah bisa berbicara sekarang?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Daripada dia menemani wanita yang sedang menangis. Dia lebih baik memukuli seluruh pengawalnya hingga babak belur.‘Huh, apa kata dunia, jika ada orang yang tahu aku mendengarkan seorang wanita menangis!’Baron meraup wajahnya dengan kasar. Sungguh dia pun tak menyangka bisa menemani wanita itu merajuk. Menangis terseduk selama satu jam.Martha menganggukkan kepalanya. Memberikan tanda, dia siap menerima introgasi dari laki-laki dihadapannya itu.“Jadi, penjelasan apa yang ingin kau berikan padaku?” Baron masih menatapnya tajam.‘Huh, dari dulu dia memang tak pernah mau mengalah. Padahal dia yang salah.
‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!
Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan