Grandma Rose menatap mereka semua yang datang dengan tajam, para pengawal langsung menunduk dan memberi hormat."Dasar bocah nakal. Hei, Dhyson ... kau jangan membuat tamuku ketakutan dengan membawa banyak pengawal seperti itu!" gerutu grandma Rose ketus terhadap laki-laki yang bernama Dhyson tadi."Nenek kau membuatku khawatir dan ta-kut." Dhyson melirik kearah Marissa, seketika matanya membulat lebar, kegirangan langsung menghampiri Marissa tanpa memperdulikan lagi ocehan yang keluar dari mulut grandma Rose."Ma-Marissa, benar kan kau Marissa?" menyakinkan kembali dengan mengucek kedua matanya di hadapan Marissa.Marissa memundurkan langkahnya hampir terjatuh, namun Willy segera menopang tubuh Marissa dengan cepat,"Aku, aku ... Dhyson, aku penggemar-mu, boleh aku minta foto!" Dhyson lupa diri akan tujuannya menjemput grandma Rose langsung merogoh saku jasnya, mengeluarkan ponsel dan bersiap berfoto bersama.Marissa menyadari arti penggemar langsung bersikap profesional, saat kamera
Willy menekan dada Marissa, memberikannya nafas buatan, hingga Marissa terbatuk dan mengeluarkan air dari mulutnya."Ma-Marissa, kau baik-baik saja," raut wajah Willy berubah pucat pasi, dia benar-benar panik takut terjadi sesuatu terhadap Marissa.Uhuk. Uhuk. Marissa menatap limbung sesaat suasana sekitar, di kepalanya muncul kembali bayangan dejavu yang hampir sama, lalu menghilang. 'Apa itu? Siapa orang yang kulihat tadi, kenapa wajahnya tak tergambar dengan jelas.' Batin Marissa."Sayang, kau dengar aku? Kau tidak apa-apa kan?" jantung Willy berdegup sangat kencang, dia tidak ingin kehilangan Marissa secepat itu."A-aku tidak apa-apa sayang," ucap Marissa, raut berubah sedikit saat menatap Willy, dia merasakan sedikit asing pada Willy."Syukurlah, syukurlah kalau kau tidak apa-apa!" Willy memeluk Marissa mengusap rambutnya dengan lembut, "Ayo kita ke dalam dan segera ganti bajumu nanti kau masuk angin!" Willy langsung memapah Marissa ala bridel style masuk ke dalam kamar mereka.
"Dominique, kau akhirnya pulang sayang," tanpa rasa ragu Haiden maju dan memeluk tubuh Marissa dengan erat.Marissa terkejut, segera menghempaskan jauh tubuh Haiden."Diana!" teriak Marissa segera mundur menghindari Haiden.Diana menghampiri Marissa, "Kau kenapa sayang? Ada apa?" suara Willy cemas dari sebrang ketika mendengar teriakan Marissa."Aku tidak apa-apa sayang, nanti setelah selesai rapat aku telpon lagi, bye sayang, muahh!" ucap Marissa lembut menutup telpon di telinganya."Kau tidak apa-apa Marissa?" ucap Diana sambil menatap kearah Haiden dan John, terutama Haiden yang terpaku melihat Marissa dan melewatinya begitu saja."Aku tidak apa-apa, sepertinya dia salah satu fans berat-ku!" lirik Marissa, "Ayo kita selesaikan tanda tangan kontrak dan segera pergi dari sini!" Marissa dan Diana langsung masuk ke dalam lift."John, apa kau bisa menjelaskannya?" ucap Haiden dengan nada kesal menatap John dengan tajam."Dia model yang semalam saya bicarakan Tuan, tapi sepertinya sema
"Pulang, pulang daritadi kau bilang pulang terus, apakah kau tidak merindukanku, hah!" Haiden berteriak seperti orang kesurupan meluapkan emosi dan kemarahannya yang dia pendam.Marissa tersentak, bergetar ketakutan, "Kau kenapa? Apa sedang ada masalah dengan pekerjaan-mu?" Marissa menarik diri dan segera bangkit dari duduknya."Dimana pintu keluar-nya!" tanya Marissa kebingungan mencari pintu di sekeliling ruangan. Meraba dengan tangannya. "Hahahaha!" tawa Haiden menggelegar, Marissa bergetar tambah ketakutan."Cepat buka, aku ingin keluar!" teriak Marissa tak kalah histeris."Marissa, hah benarkah namamu Marissa? Dimana kau bersembunyi selama ini hah? Kau pergi meninggalkanku hanya untuk menjadi seperti ini?" Haiden mencengangkan kedua tangan Marissa dengan paksa dan kasar."Lepaskan, jangan sampai aku berbuat kasar," Marissa mendelik kasar membalas tatapan Haiden."Hahahaha ... hahahaha," kembali tawa Haiden bergema di ruangan, "Katakan, katakan padaku, siapa yang mengajarimu be
Di apartemen Haiden."Tuan." John menghampiri Haiden membawa sebuah amplop dan menyerahkannya.Haiden membuka amplop tadi, terlihat jelas beberapa foto Marissa memasuki kediaman yang sangat di kenali Haiden."Brengsek berani sekali dia menyembunyikan Domi-ku selama dua tahun! Aku pastikan akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!" Haiden geram, meremas foto-foto yang di berikan John tadi."Sepertinya tidak seperti itu Tuan." John menyela bicara."Kau membelanya?" mata Haiden mendelik marah pada John."Tidak Tuan, saya hanya berbicara berdasarkan data yang kita miliki,""Maksudmu?""Saya menebak Nyonya kecelakaan Tuan, dan dia kehilangan ingatannya!" ucap John ragu-ragu melihat perubahan ekspresi wajah Tuannya yang langsung mendelikkan mata saat mendengar ucapannya."Kau gila, alasan macam apa itu," Haiden tak bisa menerima kenyataan."Dia memakai identitas Marissa baru dua tahun ini Tuan, dan dia sudah menikahi Nyonya, Tuan""Persetan!! Aku tidak perduli, bagiku dia adalah istriku sel
'Argghhh.' Batin Marissa berteriak, dan mendorong jauh tubuh Haiden."Kau!" Marissa mendelikkan matanya."Bagaimana apa kau sudah mulai mengingatku?" seringai Haiden tersenyum puas melihat reaksi Marissa yang panik.PAKKK!!Satu tamparan keras mendarat keras di wajah Haiden, Marissa merasa dirinya kotor, bagaimana dia bisa menjelaskan semua perbuatan Haiden pada Willy suaminya. Haiden menyentuh pipinya yang baru saja di tampar oleh Marisa, suasana mencekam di ruangan, hanya Diana yang tidak mengetahui dengan apa yang sedang terjadi."Berapa finalty yang harus ku bayar, katakan pada agency-ku. Aku akan membatalkan kontrak-nya!" ucap Marissa marah mengepalkan tangannya dan keluar ruangan.Haiden bahkan tidak percaya dia bisa melihat sisi lain Dominique di saat dirinya yang hilang ingatan. 'Inikah sifat asli yang selama ini kau tutupi.'"Tuan!" John menepuk pundak Haiden."Biarkan saja mungkin aku terlalu gegabah karena sangat merindukannya," ucap Haiden sedikit pun tidak menyesali perbu
Haiden mengepalkan kedua tangannya, kepalanya panas, hatinya terbakar cemburu dan tanpa sadar dia mengeluarkan pistol dan menarik pelatuknya tanpa ragu mengarahkannya ke tubuh Marissa. Marissa terkejut dan menatap mata Haiden dengan tatapan ingin membunuhnya.Ramon, John, Carlos, Diana dan beberapa pengawal dua kubu segera berdatangan, semua mata menatap pada pertunjukan yang sedang terjadi."Tembak-lah, setidaknya aku tidak menjadi pengecut seperti-mu," ucap Willy dengan santainya menusuk jantung Haiden, mengompori hati Haiden yang sudah seperti bom Hiroshima dan Nagasaki."Berani sekali kau menghianatiku Dominique!" teriak Haiden menarik pelatuknya, John segera berlari kearah tuannya sebisa mungkin mencegah arah tembakan tuannya meleset, Willy hampir tak percaya ada orang yang lebih gila darinya soal kecemburuan bahkan dia tak perduli bahwa dia sangat mencintainya. John menghindarkan tembakan Haiden kearah langit langit kamar hanya saja kecepatan peluru tadi langsung membuat lenga
Satu jam berlalu,Marissa yang gelisah menanti hanya mondar mandir di ruangan. Haiden terus berdiri menatap Marissa tanpa berkedip, sedangkan Willy tampak sibuk di meja makan menyiapkan makan siang untuk Marissa."Sayang," panggil Willy membuyarkan lamunan Marissa, memeluknya dari belakang.Marissa menoleh, "Makan dulu ya, kau belum makan siang kan." ucap Willy menarik pinggang Marissa ke meja makan.Haiden mengikuti, "Kita akan makan siang bersama Tuan Aramgyan," ucap Willy tetap berusaha sopan dan Willy menarik kursi untuk duduk Marissa.Haiden tidak ingin berjauhan lagi dengan Marissa langsung duduk di sebelahnya, sambil terus menatap Marissa."Kau makan yang mana dulu sayang, aku ambilkan," ucap Willy menatap wajah Marissa penuh kesabaran dan kelembutan saat berbicara dengan Marissa. 'Cih, kalau hanya berbicara dan menatap sepetimu aku juga bisa.' Haiden yang bergumam kembali rasanya dia pun ingin melayani Marissa karena sudah lama tak menatap wajahnya yang berbinar saat membica