"Sudah sayang jangan bahas lagi, lebih baik sekarang kita diskusikan rencana kita yang tertunda," Haiden mengelus perut Dominique."Rencana apa? Aku sedang tidak mood, jadi kau jangan ganggu aku malam ini, aku mau tidur sen-" Haiden langsung menyerang bibir Dominique dengan lembut, Dominique berontak namun semakin Dominique bergerak, semakin membuat Haiden membara."Ayo ... sayang, aku sudah tidak tahan!" Haiden melepaskan kecupannya, merebahkan tubuh Dominique perlahan di tempat tidur dan mulai melakukan olahraga malam mereka yang bergelora.Haiden memeluk tubuh Dominique, "Istirahatlah sebentar, satu jam lagi kita mulai pemanasan lagi ya," bisik Haiden mersa di telinga Dominique."Idenn, bisakah,""No. Istirahat sayang kalau tidak aku akan mulai memakanmu lagi sekarang." mengusap rambut Dominique penuh kasih sayang. Haiden ingin secepatnya mendapatkan penerus dari rahim Dominique. Haiden benar-benar tak melewatkan kesempatan untuk bercengkrama dengan Dominique, malam ini dia memaka
Dominique meremas hasil tes DNA yang di berikan Rebecca. Hatinya masih tidak bisa menerima dengan apa yang dia baca."Tinggalkan dia, pergilah diam-diam, jangan ganggu hubungan kami. Biarkan Terry memiliki ayahnya!" Rebecca meninggalkan Dominique yang tak bisa berkata.Seketika tubuh Dominique terhuyung, niatnya akan bersenang-senang lenyap. Dia tak jadi masuk ruko malah berjalan berbalik tanpa arah. Willy tahu terjadi tak beres terus mengikutinya.Tangis Dominique pecah, hatinya benar-benar terluka setelah mendengar ucapan Rebecca, baru saja dia mulai mempercayai Haiden, namun kenyataan yang dia terima berbeda. Dominique jongkok di tepi jalan berteriak keras, menangis sekuatnya bahkan siang itu, tiba-tiba awan mendung menyelimuti seperti hati Dominique yang terkoyak. Tangisnya seperti hujan yang turun membasahi bumi, dia bahkan tak bisa mendengar ketika suara guntur yang bergema saling bersahutan. Dominique menangis sejadi-jadinya, pikirannya sudah kosong. Berulang kali Willy mencob
"Geledah semua ruangan jangan sampai ada yang terlewat!" perintah Haiden sambil menatap lekat-lekat wajah Willy yang duduk santai sambil mengepulkan asap rokoknya.Beberapa menit berlalu mereka semua kembali dan memberi isyarat tak menemukan apapun. Willy berdiri dengan santainya menghampiri Haiden."Apa yang kau lakukan, katakan!" amarah Haiden berkobar menarik kembali kerah kemeja Willy."Hah? Apa aku tidak salah dengar? Kau sedang bertanya kepadaku. Harusnya aku yang bertanya padamu, kenapa dia bisa pergi meninggalkan-mu," Willy menepis tangan Haiden, kali ini dia mulai membalas tatapan kemarahan yang sama dengan Haiden."Jaga bicara-mu, katakan dimana dia, kau jangan berbohong, aku jelas mengecek ponselnya, terakhir kali orang yang menghubunginya adalah kau!" tuding Haiden mendelik dengan api cemburu dan marah."Hahaha ... hahaha ...," tawa Willy bergema merauk wajahnya dengan kasar, "Seandainya itu benar terjadi dan dia berlari kearahku, dia akan kudekap, dan tak akan pernah aku
Dominique menggerakkan tangannya, memecahkan pertikaian mulut antara Willy dan Carlos."Tu-tuan ... ta-tangan Nona Dominique," ucap Ramon yang melihat tangan Dominique bergerak.Mereka berdua berbalik, Carlos segera mengecek kondisi Dominique, saat menyentuh nadi mata Dominique perlahan terbuka."Will, lihat dia membuka matanya," ucap Carlos, Willy segera menghampiri dan duduk kembali di tepi ranjang, menggenggam tangan Dominique."Kau sudah sadar? Bagaimana keadaanmu? Mana yang sakit?" tatapan mata Willy hangat saat menyapa Dominique memburu Dominique dengan pertanyaan yang bergejolak semenjak satu minggu yang lalu.Dominique menggerakkan tubuhnya yang terasa kaku, dia memandangi wajah Willy dengan tatapan aneh lalu matanya memberi isyarat perlahan,"Aku bantu ya," Willy mengangkat perlahan tubuh Dominique, menaruh bantal sebagai penyangga untuk punggung Dominique."Minumlah dulu," Willy meraih gelas di samping ranjang tidurnya melayani Dominique minum dengan tatapan lembut.Carlos s
Dua tahun berlalu,"Ayo ... Marissa, kau sungguh menyerah dengan-ku," Willy yang berhasil membanting tubuh Marissa di atas matras."Akhh ... hah ... hah ...," nafas Marissa menderu, kuda-kuda menyerang masih tetap kuat di kedua tangannya, tatapan tajam melihat lawan di hadapannya."Ayo bangun, kau tahu kan hukuman apa yang akan kau dapatkan kalau kau kalah dariku," ucap Willy berdiri tegap tetap memasang kuda-kudanya dengan santai.Marissa bangkit tangannya mengepal dengan kuat, dia mulai berlari dan menyerang Willy secara bertubi tanpa henti, dari mulai tangan dan kakinya tetap bergerak sesuai dengan kekuatan yang masih dia miliki."Aargghh!" teriak Marissa berulang kali, namun semua serangannya tetap bisa di hindari oleh Willy, hingga Willy berhasil membuat tubuh Marissa terpelanting dan kedua tangan Willy menahan tubuh Marissa dengan kuat.Nafas mereka beradu menderu keras semua tepuk tangan dan sorak menggema di seluruh ruangan."Kau kalah, jadi malam ini kau tak bisa lari dariku
Marissa menatap dirinya di cermin sambil berhias diri. Hari ini dia dengan Willy ingin kencan berdua. Marissa meminta Willy menemaninya menonton."Kau yakin tidak takut di foto paparazi saat menonton dengan-ku sayang," ucap Willy sambil menyisirkan rambut Marissa."Kau yaa ... selalu saja mencari alasan, kau kenapa sih selalu menolak pergi dengaku? Apa ada wanita lain di luar sana!" Marissa yang mulai merajuk cemburu. 'Ah, beginikah rasanya di cintai dan cemburui.' Batin Willy tersenyum bahagia."Pokoknya hari ini aku hanya ingin bersamamu, dua hari lagi aku kan berangkat dan selama sebulan kita kan belum tentu bertemu," Marissa memeluk pinggang Willy tak ingin jauh atau melepaskannya."Baiklah istriku sayang, hari ini sepenuhnya aku milikmu!" ucap Willy.DEGG!!!Marissa tiba-tiba merasa dejavu dengan ucapan Willy barusan, samar di benaknya ada beberapa bayangan, namun semakin Marissa mengingatnya, bayangan itu menghilang dengan cepat.'Apa itu, sepertinya aku pernah merasakan hal sep
Grandma Rose menatap mereka semua yang datang dengan tajam, para pengawal langsung menunduk dan memberi hormat."Dasar bocah nakal. Hei, Dhyson ... kau jangan membuat tamuku ketakutan dengan membawa banyak pengawal seperti itu!" gerutu grandma Rose ketus terhadap laki-laki yang bernama Dhyson tadi."Nenek kau membuatku khawatir dan ta-kut." Dhyson melirik kearah Marissa, seketika matanya membulat lebar, kegirangan langsung menghampiri Marissa tanpa memperdulikan lagi ocehan yang keluar dari mulut grandma Rose."Ma-Marissa, benar kan kau Marissa?" menyakinkan kembali dengan mengucek kedua matanya di hadapan Marissa.Marissa memundurkan langkahnya hampir terjatuh, namun Willy segera menopang tubuh Marissa dengan cepat,"Aku, aku ... Dhyson, aku penggemar-mu, boleh aku minta foto!" Dhyson lupa diri akan tujuannya menjemput grandma Rose langsung merogoh saku jasnya, mengeluarkan ponsel dan bersiap berfoto bersama.Marissa menyadari arti penggemar langsung bersikap profesional, saat kamera
Willy menekan dada Marissa, memberikannya nafas buatan, hingga Marissa terbatuk dan mengeluarkan air dari mulutnya."Ma-Marissa, kau baik-baik saja," raut wajah Willy berubah pucat pasi, dia benar-benar panik takut terjadi sesuatu terhadap Marissa.Uhuk. Uhuk. Marissa menatap limbung sesaat suasana sekitar, di kepalanya muncul kembali bayangan dejavu yang hampir sama, lalu menghilang. 'Apa itu? Siapa orang yang kulihat tadi, kenapa wajahnya tak tergambar dengan jelas.' Batin Marissa."Sayang, kau dengar aku? Kau tidak apa-apa kan?" jantung Willy berdegup sangat kencang, dia tidak ingin kehilangan Marissa secepat itu."A-aku tidak apa-apa sayang," ucap Marissa, raut berubah sedikit saat menatap Willy, dia merasakan sedikit asing pada Willy."Syukurlah, syukurlah kalau kau tidak apa-apa!" Willy memeluk Marissa mengusap rambutnya dengan lembut, "Ayo kita ke dalam dan segera ganti bajumu nanti kau masuk angin!" Willy langsung memapah Marissa ala bridel style masuk ke dalam kamar mereka.