Keesokan harinya. Saat akan berbelok ke koridor kelas Dominique bertabrakan kembali dengan Haiden kali ini Dominique menumpahkan jus strawberry di baju Haiden. "Ah, maaf, maaf" Dominique merasa bersalah mencoba membersihkan baju Haiden dengan tissue, namun Haiden yang merasa kesal mencengkram kedua tangan Dominique dengan keras dan kasar. "Kau, kali ini kau harus bertanggung jawab penuh. Aku tidak akan melepaskanmu lagi," tatap Haiden penuh dengan kemarahan.Dominique binggung sesaat lalu dia tersadar peristiwa tabrakan kemarin, "Aw sakit. Maaf ka-kamu, yang kemarin kan?" Dominique kembali merasa bersalah. 'Owh jadi kalau aku bersikap kasar padamu kau baru mengingatku. Baiklah sesuai permintaanmu' batin Haiden.Haiden menghempaskan cengkaram kuat tangannya pada Domi berjalan meninggalkan Domi di ikuti oleh John.Domi terus memegani tangannya yang sakit. Dan saat masuk kelas matanya langsung tertuju pada Haiden yang tentu saja sedang menatapnya dengan tajam buluk kuduk Domi berdiri
Setelah kejadian hari itu sikap Haiden semakin menjadi. Bak seorang sultan Dominique harus bersedia melayani dan menuruti semua kemaunnya. Dominique selalu di antar dan jemput oleh Haiden. Sampai di sekolah membawakan tas Haiden, melayani makan nya terkadang minta di suapi dan mengerjakan tugas-tugas Haiden. Bahkan karena begitu banyak ulah dan tugas-tugas Haiden yang tidak jelas sering membuat Dominique kecapean dan ketiduran. Dominique tidak tahu saat dia tertidur, Haiden selalu menjaga, melindungi, bahkan bersuara pun Haiden larang.Kejadian berlangsung sampai tiga bulan. Orangtua Haiden mengetahui perilaku anaknya dan menentang hubungan mereka. Mereka masih beranggapan Haiden menyukai Dominique pasti hanya sesaat dan tidak serius.Saat orangtua Haiden menerima kenyataan bahwa Haiden serius dengan hubungannya, mereka langsung menentang mengambil langkah mengirim Haiden ke Inggris. Mereka tidak ingin anak yang mereka banggakan dan sekaligus calon pemilik puluhan perusahan berhubung
Dominique berjalan malas keluar kamar melirik Haiden yang sudah duduk di meja makan, namun tangannya sibuk memeriksa laporan yang diberikan John. Dia membawa baju ganti ke dalam kamar mandi. Tidak lama Dominique keluar dengan baju model sabrina dan celana jeans boyfriend yang robek-robek.Dominique kembali ke kamarnya untuk merapikan diri. Dia keluar kamar tangannya sibuk dengan ponsel dan masih mengenakan sendal jepit. Dia tersenyum dan asik sendiri. Haiden meliriknya memperhatikan tingkah Dominique yang cuek mengambil makanan dimeja dan mulai sarapan dengan ponselnya."Ekhem," Haiden berdeham.Dominique meliriknya, "apa?" sahut Dominique sewot."Sedang apa kau?" Haiden yang penasaran sekaligus terganggu oleh Dominique, dia menjadi tidak focus pada pekerjaannya."Makan oh aku lupa!" Dominique meletakkan sendoknya. "Kau mau aku ambilkan?" tawar Dominique tersenyum semanis mungkin sedangkan tangan satunya masih memegang ponsel."John!" Haiden memberi perintah.John menggerakkan tubuh
Setelah perut kenyang Dominique berjalan berkeliling villa. Saat sedang asyik menikmati suasana, John menghampiri."Nona Dominique, tuan Haiden sedang menunggu anda." Dominique berbalik menatap John sesaat."Apa perlu kau bersikap kaku seperti itu padaku, bukan-kah kita juga teman. Aku tidak suka dengan caramu memanggilku," protes Dominique."Maaf Nona, Tuan akan marah jika menunggu terlalu lama." John yang mengacuhkan ucapan Dominique."Ish, kau!" Dominique kesal menghentakkan kakinya berjalan mengekori John.'Apa lagi ini.' Mata Dominique disuguhkan dengan keberadaan motor Trill balap, suara knalpot bising terdengar keras terus dimainkan oleh Haiden. Dominique segera berjalan mendekati mengambil helm dari tangan John.'Kegilaan apa lagi yang akan dia lakukan. Sabar Dominique buat dia puas hari ini memohonlah lalu kau bisa pulang.' Baru saja pantat Dominique menempel pada jok motor langsung menyala dan melaju sangat kencang. Dominique yang terkejut langsung memeluk tubuh Haiden denga
Dominique menuruni tangga melirik ponselnya tergeletak di atas meja dia menghampiri dan mengambil ponsel tersebut. 'Tas-ku di mana yaa. Aku harus segera menyembunyikannya sebelum setan itu turun dan mengambilnya lagi dariku.' Mata Dominique terus berkeliling mencari tasnya."Kau mencari ini?" Haiden bersuara tanpa terdengar langkah kakinya sudah berdiri di belakang Dominique sambil memegangi tasnya. Wajahnya yang tampan juga cerah serta senyuman yang mempesona sangat menyebalkan membuat Dominique makin kesal. 'Huh, aku telat ternyata sudah ada di tangannya.' Dominique berusaha tersenyum senatural mungkin walaupun hatinya kesal setengah mati agar dia bisa mendapatkan tasnya, tanpa di duga Haiden melemparkan tasnya hingga terjatuh tepat di kaki dan berjalan cuek melewati Dominique.'Dasar pria gila.' Umpat Dominique.Dominique jongkok mengambil tas yang di buang Haiden. "Berikan padaku!" Haiden yang duduk dengan tangannya yang terus terulur pada Dominique."Apanya?" Dominique berlagak
"Bisakah aku," Dominique meminta turun dari pangkuan Haiden karena dia sudah tak nyaman jika harus makan diatas pangkuannya. "Tidak!!" sahut Haiden tegas.Dominique menghela nafasnya lagi saat Haiden tak menuruti permintaannya. Dominique sudah tak perduli ia pun mulai menggulung mie goreng dan memasukkan suapan ke dalam mulutnya. Haiden terus menatap Dominique tanpa berkedip.Dominique canggung di tatap tanpa berkedip apalagi John, pak Asep juga para pelayan menatap penasaran tingkah tuannya."Kau mau?" tawar Dominique mengulurkan mie goreng tadi ke mulut Haiden. Tanpa semua orang duga Haiden membuka mulut dan menerima suapan Dominique."Aaagghhhh pedas!!!" teriak Haiden.Wajah Haiden memerah seperti kepiting rebus, Haiden langsung mengambil air dan meminumnya."Ahahahahh." Dominique tertawa terbahak sedang John dan yang lain hanya bisa menahan tawa melihat tuannya yang kelabakan karena kepedasan. 'Rasakan pembalasan-ku.'"Kau gila!! Bagaimana kau bisa memakannya tanpa ekspresi!" Ha
"Iden jangan gila! Aku mohon turunkan aku." Dominique mengiba setengah terisak mencoba membujuk hati Haiden yang keras."Apa kau pikir aku akan mentolerir perselingkuhan-mu untuk kedua kalinya." Haiden tanpa ekspresi mengabaikan rasa ibanya."Siapa yang selingkuh sih." Dominique berusaha menyakinkan pikiran gila Haiden dengan mencoba menyentuh lengannya."Kau pikir aku buta sampai tidak bisa melihat penghianatan-mu di depan mataku!" Pikiran Haiden yang sudah semakin menggila."Aku tidak selingkuh Ideeen. Kau tadi kan dengar sendiri bu Ririn bilang aku sedang menghitung cookies untuk display." Dominique berusaha memegang tangan Haiden berusaha menenangkan kegilaannya. Haiden menepis tangan Dominique. Dan mobil melaju makin cepat.'Astaga dia benar-benar sudah gila! Bahkan dia tak mau mendengarkan penjelasanku. Aku tidak mau menikah dengannya apalagi menjadi bulan-bulanan sikap diktatornya.'"Sudah sampai Tuan!" Mobil mereka berhenti di kantor pencatatan pernikahan."Cepat turun!" Har
Saat naik ke loker Dominique di kejutkan oleh Justin yang sudah menunggunya. Dominique menganggukan kepala dan melewatinya."Aku antar pulang ya. Aku kangen makan nasi goreng langganan kamu." Ucapan Justin membuat langkah Dominique terhenti sesaat lalu masuk ke lokernya, mengambil baju dan masuk ke kamar mandi."Domi kau kenapa? Apa aku buat salah?" Justin mencegah Dominique turun yang terlihat tergesa setelah berganti baju. "Maafkan aku, aku pulang sudah ada yang jemput!" Dominique terpaksa mengeluarkan perkataan pedas agar Justin tidak lagi berharap padanya."Tidak mungkin. Kau pasti sedang berbohong. Kau hanya sengaja ingin menghindari-ku kan?" Justin masih tidak menerima keputusan sepihak dari Dominique memutuskan hubungan mereka."Sungguh aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bisa." Dominique menghempaskan tangan Justin yang terus memeganginya."Apa salahku katakan! Jika ada yang perlu aku perbaiki aku pasti akan memperbaiki-nya, tapi bukan begini caranya kita bisa bicara baik
Will menyadari kedatangan istri dan rivalnya. Dia hanya duduk menunggu di samping ruang operasi. Dominique menghampirinya. "Kau berbohong lagi!" cetusnya. Dia masih mode on merajuk. Will menarik tangan istrinya agar duduk disebelah dirinya. Tangan satunya melingkar di pinggang istrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan.Haiden duduk di sebelah istrinya. Hanya bisa menatap setiap perlakuan manis yang diberikan rivalnya. Dia kini sudah tidak pernah cemburu seperti dulu. Mereka berdua, sesama rival sudah sangat mengetahui kondisi masing-masing. Sesekali bertengkar. Namun, bukan pertengkaran yang besar selain berebut lebih dulu siapa yang mendapatkan jatah dari istrinya, selain itu. Mereka tidak pernah bertengkar. Sudah saling mengisi dan memahami. "Maafkan aku, sayang. Kau boleh menghukumku nanti. Aku akan menerima semua hukumannya!" dia mengecup kening istrinya. Mencoba menenangkan kemarahannya. "Iya, aku pastikan akan menghukummu secara berat. Kali ini aku tidak akan melepaskan beg
“Jangan sentuh? Kau yakin dengan ucapanmu itu?” goda Willy.“Iya, memangnya aku takut. Aku kan memiliki satu suami lagi, kau pikir, hah!” Dominique tak mau kalah melawan godaan suaminya.“Tidak ada apa-apa sayang, aku memang menginginkannya. Sudah lama sejak kau melahirkan dan mengurus anak-anak kita. Aku kangen!” Willy tetap menutupi hatinya. Mengusap kembali rambut istrinya sambil memandangi wajahnya dengan lembut."Sudah kalau tidak mau bicara, aku akan keluar!" ucap Dominique. Baru saja dia menarik selimutnya akan turun dari ranjang. Entah mereka memang tak mendengarnya atau terlalu fokus saat berbicara. Haiden sudah berdiri dihadapannya sambil melihat kedua tangannya. "Oh, jadi begini cara kalian? Melakukan hal yang enak tanpa mengajakku!" dengusnya kesal. Dominique menarik wajahnya sambil menghela nafas panjang. "Aku sudah selesai, jika kau memang menginginkan bilang saja sendiri!" Willy berjalan turun melenggang tanpa sehelai benang pun masuk ke kamar mandi. "Ah, tidak. Sud
Martha masih belum sanggup menatap wajah Will, dia hanya terus tertunduk ketika suaminya berkata seolah ada satu pedang yang langung menancap di dadanya. Will dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan hanya bisa menghela nafasnya. Bingung.“Kau tidak sedang bergurau denganku kan, Pah?” Will masih setengah tak percaya. Tubuhnya bahkan terasa bergetar, masih belum mempercayai semua ucapan ayahnya“Kau bisa bertanya langsung dengannya, apa aku sekarang sedang berbohong padamu atau tidak?” tanpa banyak berkata apapun Baron membalikkan tubuhnya. Jantung Martha benar-benar akan copot di tatap putranya. Meminta penjelasan tentang kehadirannya.“Huh, baiklah, ayo kita masuk, Nyonya. Sepertinya akan banyak hal yang akan kita bicarakan!” kali ini Martha terkejut saat mendengar ucapannya. Datar dan dingin. Berbeda saat pertama kali mereka tak sengaja bertemu.Langkah kakinya mengekori Will masuk ke ruang bacanya. Dia sudah duduk di sofa sambil terus memperhatikan wanita yang bernama Martha
“Bersiaplah hari ini kita akan menemuinya!” Baron berkata dengan sangat tegas. Menatap wanita yang duduk dihadapannya. Dia sedang menikmati sarapan paginya.Wanita yang beberapa hari ini telah resmi menjadi istrinya kembali. Dia yang dipaksa olehnya. Martha mau tidak mau menuruti semua kemauan Baron, daripada ada nyawa yang tidak bersalah berkorban untuk dirinya.Martha masih menatap wajah Baron. Bingung dengan ucapannya. Bertanya dalam hati apa yang akan ditemuinya nanti. “Aku hanya memintamu, menemaniku dan menemuinya. Apakah ada masalah? Mengapa kau menatapku seperti itu?” kembali Baron berbicara dengan suara sakrasnya. Membuat Martha tetap diam. Dia tak perduli dengan ucapannya. Dia tahu saat dia mencoba menjawab setiap perkataannya akan timbul hal yang tidak diinginkan.“Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapnya setengah terpaksa.“Apa kau sebegitu tak sukanya pergi bersamaku?” Baron menaikkan rahangnya dengan kasar menatap Martha yang baru beberapa hari ini resmi menjadi istr
"Jangan mendekat!" Sophie terus bergeser dari ranjangnya, saat Ramon mencoba mendekatinya. Sedangkan, John sibuk dengan dunianya sendiri. Dia seperti mendapatkan mainan baru. Saat pulang kerja dan setelah makan juga mandi hal yang dilakukan pertama kali adalah mengendong anaknya. Dia menjadi bapak siaga saat berada di rumah. "Inikan sudah empat puluh hari lebih, sayang. Masa aku nggak boleh dekat-dekat kamu sih!" Ramon merajuk. Namun, tak menghentikan aktifitasnya saat berusaha menggulingkan pertahanan istrinya. "Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya. Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya."Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya! Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya.John hanya meliriknya tanpa mengindahkan semua ucapan yang kelur dari mulut Ramon. Dia bahkan tak perduli dengan cibiran atau umpatan yan
"Sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan bawa aku kesana!" Martha memohon dengan penuh penekanan. Dia tak ingin seorang pun tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Baron tak mengindahkan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia tahu wanita itu sedang membohonginya. Dia melemparkan tubuh yang tidak muda lagi itu dengan kasar ke kursi penumpang. Setelah penyeretan yang dramatis. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Seperti seorang istri yang sedang kepergok suaminya berselingkuh. "Jangan membantah lagi, jika kau terus terusan menolakku, jangan salahkan jika senjata ini akan langsung bersarang ke perutmu!" ancamnya. Kini Baron sedang tidak bermain-main. Dia menodongkan senjata tepat disamping perutnya. Martha sudah kehilangan akal menghadapi lelaki yang sudah berumur itu. Yang memiliki sikap dan temperamen seperti anak remaja. Merajuk kalau keinginannya tak dituruti. Dia tak bersuara. Pasrah. Hingga Baron memasukkan senjatanya kembali ke jasnya. Dia bertanya
Baron masih saja mondar mandir di kamarnya. Menunggu wanita itu benar-benar bisa menenangkan hati, agar mereka bisa kembali pembicaraannya. Sebenarnya bukan berbicara, tapi Baron masih ingin meneruskan rasa penasarannya. Martha menghela nafasnya. Isak tangis terakhirnya sebelum dia benar-benar berhenti.“Apa kita sudah bisa berbicara sekarang?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Daripada dia menemani wanita yang sedang menangis. Dia lebih baik memukuli seluruh pengawalnya hingga babak belur.‘Huh, apa kata dunia, jika ada orang yang tahu aku mendengarkan seorang wanita menangis!’Baron meraup wajahnya dengan kasar. Sungguh dia pun tak menyangka bisa menemani wanita itu merajuk. Menangis terseduk selama satu jam.Martha menganggukkan kepalanya. Memberikan tanda, dia siap menerima introgasi dari laki-laki dihadapannya itu.“Jadi, penjelasan apa yang ingin kau berikan padaku?” Baron masih menatapnya tajam.‘Huh, dari dulu dia memang tak pernah mau mengalah. Padahal dia yang salah.
‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!
Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan