"Bisakah aku," Dominique meminta turun dari pangkuan Haiden karena dia sudah tak nyaman jika harus makan diatas pangkuannya. "Tidak!!" sahut Haiden tegas.Dominique menghela nafasnya lagi saat Haiden tak menuruti permintaannya. Dominique sudah tak perduli ia pun mulai menggulung mie goreng dan memasukkan suapan ke dalam mulutnya. Haiden terus menatap Dominique tanpa berkedip.Dominique canggung di tatap tanpa berkedip apalagi John, pak Asep juga para pelayan menatap penasaran tingkah tuannya."Kau mau?" tawar Dominique mengulurkan mie goreng tadi ke mulut Haiden. Tanpa semua orang duga Haiden membuka mulut dan menerima suapan Dominique."Aaagghhhh pedas!!!" teriak Haiden.Wajah Haiden memerah seperti kepiting rebus, Haiden langsung mengambil air dan meminumnya."Ahahahahh." Dominique tertawa terbahak sedang John dan yang lain hanya bisa menahan tawa melihat tuannya yang kelabakan karena kepedasan. 'Rasakan pembalasan-ku.'"Kau gila!! Bagaimana kau bisa memakannya tanpa ekspresi!" Ha
"Iden jangan gila! Aku mohon turunkan aku." Dominique mengiba setengah terisak mencoba membujuk hati Haiden yang keras."Apa kau pikir aku akan mentolerir perselingkuhan-mu untuk kedua kalinya." Haiden tanpa ekspresi mengabaikan rasa ibanya."Siapa yang selingkuh sih." Dominique berusaha menyakinkan pikiran gila Haiden dengan mencoba menyentuh lengannya."Kau pikir aku buta sampai tidak bisa melihat penghianatan-mu di depan mataku!" Pikiran Haiden yang sudah semakin menggila."Aku tidak selingkuh Ideeen. Kau tadi kan dengar sendiri bu Ririn bilang aku sedang menghitung cookies untuk display." Dominique berusaha memegang tangan Haiden berusaha menenangkan kegilaannya. Haiden menepis tangan Dominique. Dan mobil melaju makin cepat.'Astaga dia benar-benar sudah gila! Bahkan dia tak mau mendengarkan penjelasanku. Aku tidak mau menikah dengannya apalagi menjadi bulan-bulanan sikap diktatornya.'"Sudah sampai Tuan!" Mobil mereka berhenti di kantor pencatatan pernikahan."Cepat turun!" Har
Saat naik ke loker Dominique di kejutkan oleh Justin yang sudah menunggunya. Dominique menganggukan kepala dan melewatinya."Aku antar pulang ya. Aku kangen makan nasi goreng langganan kamu." Ucapan Justin membuat langkah Dominique terhenti sesaat lalu masuk ke lokernya, mengambil baju dan masuk ke kamar mandi."Domi kau kenapa? Apa aku buat salah?" Justin mencegah Dominique turun yang terlihat tergesa setelah berganti baju. "Maafkan aku, aku pulang sudah ada yang jemput!" Dominique terpaksa mengeluarkan perkataan pedas agar Justin tidak lagi berharap padanya."Tidak mungkin. Kau pasti sedang berbohong. Kau hanya sengaja ingin menghindari-ku kan?" Justin masih tidak menerima keputusan sepihak dari Dominique memutuskan hubungan mereka."Sungguh aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bisa." Dominique menghempaskan tangan Justin yang terus memeganginya."Apa salahku katakan! Jika ada yang perlu aku perbaiki aku pasti akan memperbaiki-nya, tapi bukan begini caranya kita bisa bicara baik
'Sadarlah Dominique kau jangan terjebak.'"Ideeen.""Heem" Haiden sedang memakai celana pendek dan memilih baju."Pinjamkan bajumu please. Aku kan tidak bawa baju ganti." Haiden melirik Dominique yang masih menutupi dadanya dengan kedua tangan. Dia menatap Dominique yang ketakutan saat menatapnya.'Shit! Bagaimana aku bisa menahannya lebih lama. Dia imut dan manis sekali.'Haiden menghela nafasnya. "Lalu apa imbalannya?" Haiden masih menatap tajam Dominique sambil melipat kedua tangannya di dada.'Hihhh dasar pria arogan. Masih saja dia meminta imbalan padaku. Dia sama sekali tidak mau mengalah denganku memangnya siapa juga yang mau begini, ini kan semua keinginan-mu.'"Apapun," sahut Dominique dengan terpaksa memelas. 'Arghh, Domiii. Berani sekali mulutmu mengeluarkan kata-kata tercela seperti itu.'Haiden menyeringai, "Pilihlah sendiri!" Lalu dia berjalan keluar kamarnya menghampiri meja makan. 'Sudahlah. Bodo amat yang penting sekarang aku bisa menutupi tubuhku.'Dominique langsun
Haiden menurunkan Dominique saat di dalam kamar mandi. Dia memepet tubuh Dominique hingga ke tembok tangannya menyalahkan shower hingga tubuh mereka berdua basah kuyup."Akh Ideen sudah cukup. Aku kedinginan dan masih sangat lelah kau jangan menggangguku sekarang," Dominique menolak Haiden saat dia mulai menggerayangi tubuhnya yang menggigil dan merinding. Kedua tangan Dominique di cengkraman erat oleh Haiden di tembok dengan ganas Haiden mencium kembali bibir Dominique dengan rakus. Dominique yang kewalahan tergagap kehabisan nafas."Bernafas bodoh!" Haiden melepaskan ciumannya saat mendengar nafas Dominique yang menderu keras, memegangi wajah Dominique yang masih gelagapan."Iden sudahlah apa semalam kau belum puas menyiksaku, aku benar-benar lelah saat ini," suara Dominique bergetar sambil menggigit bibirnya menahan semua rasa yang membuncah dalam dirinya juga mengiba agar di kasihani oleh Haiden. 'Kau gila Dominique bahkan kau menyukai kecupannya barusan. Dia benar-benar membuat
Haiden memarkirkan mobilnya di pelataran restoran dekat apartemen miliknya. Dia membukakan pintu dan berjalan masuk menggandeng mesra pinggang kecil Dominique. Dari kejauhan sudah terlihat motor Justin bertengger di parkiran yang posisinya tidak jauh dari mobilnya Haiden.Pelayan menghampiri meja dan Haiden mulai memesankan makanan untuk Dominique. "Iden kenapa kau bawa kemari. Aku kan sudah bilang aku ingin makan ketoprak!" Dominique yang masih kesal, merajuk sambil menunjukkan wajah cemberutnya."Ini hukuman karena kau telah membohongi-ku!" dengus Haiden.'Aku berbohong dia saja yang bodoh! Masa ketoprak saja tidak tahu' cibir Dominique di hati."Aku tidak berbohong, Iden kau saja yang terlalu,""Ssstt diam. Atau aku tak akan segan memakanmu disini!""Isshh!!" desis Dominique beranjak dari duduknya."Kau mau kemana?" Haiden menarik tangan Dominique,"Aku mau ke toilet. Kenapa? Kau juga mau ikut?" Dominique mendelikkan matanya dengan kesal."Boleh!" Haiden beranjak dari duduknya m
"Ehem!" Haiden berdahem."Sudah aku kenyang," ucap Dominique menolak suapan Justin karena mendengar kode murka dari Haiden."Kau baru makan sedikit apa kau sedang sakit sampai tidak selera makan?" Ucap Justin menatap mata Dominique yang terus berusaha menghindarinya."Aku tidak apa-apa. Terima kasih. Aku mau pulang saja!""Oke aku antarkan!" Justin langsung berdiri dan akan menggeser kursi yang sedang Dominique duduki."Dia datang bersamaku dan sudah pasti akan pulang denganku." Haiden yang tidak mau kalah langsung menarik tangan Dominique ke pelukannya."Ideen sudah, aku sungguh lelah," lirih Dominique memelas dipelukan Haiden."Kau dengar sebaiknya kau pergi dan jauhi Dominique," ucap Haiden sambil memicingkan matanya dengan tajam kepada Justin."Kau tak berhak melarangku. Dominique kekasihku. Dan ini area pribadiku bukan pekerjaan kau sebaiknya bertindak secara profesional!" Justin yang tidak mau kalah adu argumen dengan Haiden.Mata Dominique melirik Justin yang terus menatapnya
Ponsel Justin berdering dia segera mengangkat telpon saat melihat nomor yang tertera dalam layar."Tuan kapan anda akan pulang?" suara dari sebrang telpon."Tidak lama lagi tolong kau persiapkan semuanya. Kau sudah dapatkan apa yang aku minta""Sudah Tuan apa perlu saya kirimkan sekarang atau ...,""Tidak perlu. Malam ini aku kesana.""Baik Tuan. Saya tunggu kedatangan anda" Justin menutup telpon tangannya mengepal dengan erat.Dominique terbangun dari tidurnya dia merasakan kembali sakit di seluruh tubuh dan perut lapar. 'Akh sakit sekali. Dasar serigala buas bagaimana aku bisa lolos darinya. Aku harus mencari alasan agar bisa keluar dari tempat ini.' Dominique berjalan pelan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan saat keluar kamar mandi ponselnya berdering."Iya bu Nat," sahut Dominique duduk dipinggir ranjang dan masih mengenakan handuk mandinya."Domi boleh ibu minta tolong undur cutimu ya, soalnya Mita dan Ajeng sedang sakit jadi ibu kurang personil."'Huh, tahu-tahu aku suda
Will menyadari kedatangan istri dan rivalnya. Dia hanya duduk menunggu di samping ruang operasi. Dominique menghampirinya. "Kau berbohong lagi!" cetusnya. Dia masih mode on merajuk. Will menarik tangan istrinya agar duduk disebelah dirinya. Tangan satunya melingkar di pinggang istrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan.Haiden duduk di sebelah istrinya. Hanya bisa menatap setiap perlakuan manis yang diberikan rivalnya. Dia kini sudah tidak pernah cemburu seperti dulu. Mereka berdua, sesama rival sudah sangat mengetahui kondisi masing-masing. Sesekali bertengkar. Namun, bukan pertengkaran yang besar selain berebut lebih dulu siapa yang mendapatkan jatah dari istrinya, selain itu. Mereka tidak pernah bertengkar. Sudah saling mengisi dan memahami. "Maafkan aku, sayang. Kau boleh menghukumku nanti. Aku akan menerima semua hukumannya!" dia mengecup kening istrinya. Mencoba menenangkan kemarahannya. "Iya, aku pastikan akan menghukummu secara berat. Kali ini aku tidak akan melepaskan beg
“Jangan sentuh? Kau yakin dengan ucapanmu itu?” goda Willy.“Iya, memangnya aku takut. Aku kan memiliki satu suami lagi, kau pikir, hah!” Dominique tak mau kalah melawan godaan suaminya.“Tidak ada apa-apa sayang, aku memang menginginkannya. Sudah lama sejak kau melahirkan dan mengurus anak-anak kita. Aku kangen!” Willy tetap menutupi hatinya. Mengusap kembali rambut istrinya sambil memandangi wajahnya dengan lembut."Sudah kalau tidak mau bicara, aku akan keluar!" ucap Dominique. Baru saja dia menarik selimutnya akan turun dari ranjang. Entah mereka memang tak mendengarnya atau terlalu fokus saat berbicara. Haiden sudah berdiri dihadapannya sambil melihat kedua tangannya. "Oh, jadi begini cara kalian? Melakukan hal yang enak tanpa mengajakku!" dengusnya kesal. Dominique menarik wajahnya sambil menghela nafas panjang. "Aku sudah selesai, jika kau memang menginginkan bilang saja sendiri!" Willy berjalan turun melenggang tanpa sehelai benang pun masuk ke kamar mandi. "Ah, tidak. Sud
Martha masih belum sanggup menatap wajah Will, dia hanya terus tertunduk ketika suaminya berkata seolah ada satu pedang yang langung menancap di dadanya. Will dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan hanya bisa menghela nafasnya. Bingung.“Kau tidak sedang bergurau denganku kan, Pah?” Will masih setengah tak percaya. Tubuhnya bahkan terasa bergetar, masih belum mempercayai semua ucapan ayahnya“Kau bisa bertanya langsung dengannya, apa aku sekarang sedang berbohong padamu atau tidak?” tanpa banyak berkata apapun Baron membalikkan tubuhnya. Jantung Martha benar-benar akan copot di tatap putranya. Meminta penjelasan tentang kehadirannya.“Huh, baiklah, ayo kita masuk, Nyonya. Sepertinya akan banyak hal yang akan kita bicarakan!” kali ini Martha terkejut saat mendengar ucapannya. Datar dan dingin. Berbeda saat pertama kali mereka tak sengaja bertemu.Langkah kakinya mengekori Will masuk ke ruang bacanya. Dia sudah duduk di sofa sambil terus memperhatikan wanita yang bernama Martha
“Bersiaplah hari ini kita akan menemuinya!” Baron berkata dengan sangat tegas. Menatap wanita yang duduk dihadapannya. Dia sedang menikmati sarapan paginya.Wanita yang beberapa hari ini telah resmi menjadi istrinya kembali. Dia yang dipaksa olehnya. Martha mau tidak mau menuruti semua kemauan Baron, daripada ada nyawa yang tidak bersalah berkorban untuk dirinya.Martha masih menatap wajah Baron. Bingung dengan ucapannya. Bertanya dalam hati apa yang akan ditemuinya nanti. “Aku hanya memintamu, menemaniku dan menemuinya. Apakah ada masalah? Mengapa kau menatapku seperti itu?” kembali Baron berbicara dengan suara sakrasnya. Membuat Martha tetap diam. Dia tak perduli dengan ucapannya. Dia tahu saat dia mencoba menjawab setiap perkataannya akan timbul hal yang tidak diinginkan.“Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapnya setengah terpaksa.“Apa kau sebegitu tak sukanya pergi bersamaku?” Baron menaikkan rahangnya dengan kasar menatap Martha yang baru beberapa hari ini resmi menjadi istr
"Jangan mendekat!" Sophie terus bergeser dari ranjangnya, saat Ramon mencoba mendekatinya. Sedangkan, John sibuk dengan dunianya sendiri. Dia seperti mendapatkan mainan baru. Saat pulang kerja dan setelah makan juga mandi hal yang dilakukan pertama kali adalah mengendong anaknya. Dia menjadi bapak siaga saat berada di rumah. "Inikan sudah empat puluh hari lebih, sayang. Masa aku nggak boleh dekat-dekat kamu sih!" Ramon merajuk. Namun, tak menghentikan aktifitasnya saat berusaha menggulingkan pertahanan istrinya. "Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya. Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya."Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya! Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya.John hanya meliriknya tanpa mengindahkan semua ucapan yang kelur dari mulut Ramon. Dia bahkan tak perduli dengan cibiran atau umpatan yan
"Sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan bawa aku kesana!" Martha memohon dengan penuh penekanan. Dia tak ingin seorang pun tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Baron tak mengindahkan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia tahu wanita itu sedang membohonginya. Dia melemparkan tubuh yang tidak muda lagi itu dengan kasar ke kursi penumpang. Setelah penyeretan yang dramatis. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Seperti seorang istri yang sedang kepergok suaminya berselingkuh. "Jangan membantah lagi, jika kau terus terusan menolakku, jangan salahkan jika senjata ini akan langsung bersarang ke perutmu!" ancamnya. Kini Baron sedang tidak bermain-main. Dia menodongkan senjata tepat disamping perutnya. Martha sudah kehilangan akal menghadapi lelaki yang sudah berumur itu. Yang memiliki sikap dan temperamen seperti anak remaja. Merajuk kalau keinginannya tak dituruti. Dia tak bersuara. Pasrah. Hingga Baron memasukkan senjatanya kembali ke jasnya. Dia bertanya
Baron masih saja mondar mandir di kamarnya. Menunggu wanita itu benar-benar bisa menenangkan hati, agar mereka bisa kembali pembicaraannya. Sebenarnya bukan berbicara, tapi Baron masih ingin meneruskan rasa penasarannya. Martha menghela nafasnya. Isak tangis terakhirnya sebelum dia benar-benar berhenti.“Apa kita sudah bisa berbicara sekarang?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Daripada dia menemani wanita yang sedang menangis. Dia lebih baik memukuli seluruh pengawalnya hingga babak belur.‘Huh, apa kata dunia, jika ada orang yang tahu aku mendengarkan seorang wanita menangis!’Baron meraup wajahnya dengan kasar. Sungguh dia pun tak menyangka bisa menemani wanita itu merajuk. Menangis terseduk selama satu jam.Martha menganggukkan kepalanya. Memberikan tanda, dia siap menerima introgasi dari laki-laki dihadapannya itu.“Jadi, penjelasan apa yang ingin kau berikan padaku?” Baron masih menatapnya tajam.‘Huh, dari dulu dia memang tak pernah mau mengalah. Padahal dia yang salah.
‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!
Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan