DEGPenjelasan Haiden membuat tubuh Dominique bergetar. Ada rasa bersalah menyelimuti dirinya. Dia telah salah sangka dan termakan provokasi oleh ucapan Rebecca. Rebecca yang memang menginginkan hubungan mereka hancur.Dominique tak mampu berkata. Dia hanya bisa memaki kebodohan-nya. Andai waktu masih bisa berputar kembali pada dua tahun lalu, mungkin yang akan dia lakukan adalah langsung meminta penjelasan dari Haiden. Bukan seperti orang bodoh yang melarikan diri. Penyesalan Dominique yang teramat dalam ialah melarikan diri dari masalah."Tapi ... Rebecca sungguh mencintaimu, Idenn." Akhirnya ucapan itu pun keluar dari mulutnya. Hati dan lukanya kembali terbuka saat mereka membahas."Aku tidak perduli. Yang aku cintai hanyalah dirimu. Hanya kamu satu-satunya sayang." Wajah Haiden pun sama. Menunjukkan luka yang tak bisa dia sembunyikan lagi.Haiden sudah pernah kehilangan Dominique selama sepuluh tahun. Lalu terpisah dua tahun kembali oleh hasutan Rebecca sehingga dia kehilangan Dom
John meraih sakunya dan memberikan sebuah amplop kepada Haiden. Dia kembali melihat sekitar. "Anda tidak menyakiti Nyonya kan Tuan?" Seloroh pertanyaan penasaran keluar dari mulut John. Haiden membulatkan matanya. Menendang kaki John, melemparkan amplop tadi keatas mejanya."Kau fikir aku pembunuh berdarah dingin yang akan memukuli istriku sendiri," cibir Haiden kesal atas ucapan yang keluar dari mulut John."Aish mungkin saja Tuan ... anda kan biasanya tak bisa menahan emosi." Celetuk John."Jaga mulutmu!" bentak Haiden."Cih ... kali ini saya bicara sebagai sahabat-mu." Dengus John kesal."Thanks John. Aku tidak sebodoh yang kau fikir. Dia hanya kelelahan menahan serangan yang sudah kutahan selama dua tahun ini. Yah ... kau tahulah aku sudah puasa selama dua tahun. Makanya kau juga cepat menikah. Agar kau bisa tahu seperti apa rasanya," cibir Haiden merasa lebih unggul dari sahabat dan juga pendamping sejatinya, John.John memalingkan wajah dan segera menghampiri dokter yang sedan
"Aku masih sangat lapar. " Ucap Dominique mengalihkan perang urat saraf di antara mereka. Haiden dan Willy langsung menoleh."Kau mau makan apa lagi?" Haiden dan Willy bersamaan."Kalian duduk. Aku akan ambil sendiri. Awas kalau ada yang berani menghampiri." Ancam Dominique memberi kode menggorok lehernya sendiri. Berdiri dan meninggalkan mereka yang masih bersitegang. 'Bikin seleraku hilang saja. Pagi pagi sudah berulah.' Dominique menghela nafas panjang di hati.Dia kembali menghampiri meja pilihan makanan. Sesaat dia melirik meja yang sudah di duduki dua laki laki yang kini ada dalam hidupnya. Mereka menatap Dominique tak berkedip.'Apa aku masih bisa menghindari mereka. Aku mencintai Willy. Namun, Haiden adalah suamiku. Haaahhh, kepalaku jadi pusing. Kalau seperti ini lebih baik tak mengingat segalanya. Aku bisa lepas dari penjara cinta Haiden.'"Kau mau tambah menu yang tadi?" Ucap seseorang yang sudah berada di samping Dominique menatapnya dengan lembut.Dominique menoleh terny
Haiden dan Willy saling menatap sesaat. Lalu mereka berlarian mengikuti Dominique."Ramon, ambilkan perlengkapan Carlos di mobil." Perintah Willy. Ramon mengangguk dan memenuhi perintahnya.Dominique keluar dari toilet. Wajahnya masih terlihat pucat dan memegangi perut."Masih sakit?" Willy lebih dulu menghampiri dan memeriksa kondisi Dominique. Melihat kening Dominique yang berkeringat."Sedikit, rasanya sangat tidak nyaman Will." Dominique menatap wajah Willy yang begitu menghawatirkan kondisinya."Kita kembali ke kamar sayang, siang ini akan kuurus agar kita segera kembali." Haiden menarik perlahan tangan Dominique.Dominique menggeleng, "Tidak. Aku mau disini Iden ... bersama Willy." Ucapan Dominique langsung menyayat-nyayat hati Haiden. Mendengar ucapan Dominique Willy merasa tenang karena dirinya tak perlu repot repot memaksa Dominique untuk ikut bersamanya."Dominique, mengertilah. Kembali pulang denganku." Haiden mengiba penuh harap menggenggam kedua tangan Dominique.Dominiqu
Dominique melirik Haiden yang berdiri di belakang Willy sambil melipat kedua tangannya."Entahlah rasanya aku mau sesuatu, tapi yang tidak membuat perutku mual," sahut Dominique sambil menyandarkan tubuhnya di tempat tidur."Aku pesankan coklat panas, mau?" tawar Willy.Dominique menggeleng."Buatkan aku jus mentimun." Seloroh Dominique tiba tiba membuat Willy menolehkan wajahnya pada Haiden. Dia hanya menaikan kedua pundaknya."Bagaimana aku harus membuatnya?" Willy menoleh kembali pada Dominique setelah dia berfikir keras mengingat sesuatu."Aku tidak tahu, tapi sepertinya harus di campur madu dan lemon," sahut Dominique.Willy menoleh Haiden, "Kau pernah membuatnya? Bagaimana caranya?" Willy terlihat binggung dengan petunjuk singkat Dominique."Aku pesan kan yogurt strawberry saja ya sayang," bujuk Haiden mengalihkan permintaannya.Dominique lagi lagi menggeleng. "Aku mau minum itu!" Dominique bersikeras. Akhirnya kedua lelaki binggung itu dengan petunjuk singkatnya, mereka mencoba
Dominique melirik Haiden, dia pun penasaran dengan apa yang di bawa oleh John."Apa itu?" Dominique bersuara lebih dulu memecahkan keheningan dan rasa tegang pada Haiden dan Willy. Willy sudah bergeser sejak Haiden membuka isi amplop tersebut dan mengintip isi laporan di dalamnya. Dia pun sangat penasaran.Haiden masih belum menjawabnya. Tatapan shock terlihat jelas dari pelupuk matanya. Dia sadar ini pasti akan terjadi. Hal yang terburuk dalam fikirannya sekarang menjadi nyata."Ayolah ... apa itu jangan buat aku penasaran?" Dominique akhirnya melangkah maju lebih dulu mengambil selembar kertas dari isi amplop tadi. Membacanya dan saat dia melihat namanya tercantum lalu hasil dari test laboratorium menyatakan bahwa dirinya hamil membuat Dominique terguncang.Kertas yang di pegangnya pun terjatuh. Tubuhnya hampir limbung jika Willy tak segera menangkapnya."Tidak apa-apa sayang ... ada aku! Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya." Willy berusaha menegarkan hati Dominique yang kalang k
'Dua hari yang sangat melelahkan. Aku bahkan tak bisa memikirkan kejutan apa lagi yang akan kudapat. Benar-benar membuatku sesak. Seandainya Marissa masih benar-benar ada, aku pasti akan berbagi semua senang dan sedihku.' Batin Dominique.Mata Dominique menatap keluar jendela tanpa terasa tangannya terus mengelus perutnya.'Walau aku menyakini janin yang ku kandung adalah milik Willy. Namun, beberapa saat terakhir aku juga sempat berhubungan dengan Haiden.''Cih, Dominique bodohnya dirimu. Bahkan kau sendiri meragukan siapa pemilik bayimu. Aku hanya takut jika yang aku kandung bukan milik Willy, aku benar-benar tak bisa membayangkan betapa sedihnya dia.'Mobil yang di tumpanginya membawanya berhenti di kediaman Willy. Dominique turun dari mobil dan melihat beberapa mobil sudah terparkir di pekarangan.'Huh, haruskah aku bertemu mereka sekarang? Aku hanya ingin ketenangan.' Keluhannya di hati. Bosan melihat pertengkaran mereka. Dia melangkah malas memasuki rumah, Diana sudah berlari k
CEKLEK! Dominique membuka pintu ruang baca."Silahkan grandma!" Dia mempersilahkan masuk disusul olehnya. Haiden mengikuti Dominique dan Willy menyandarkan tubuhnya di dinding.Grandma Rose mencoba menenangkan hati. Dia akan bercerita dan memberikan kabar yang setelah ini pun nasibnya masih di pertanyakan.Dominique duduk di samping grandma Rose. Menatap wajahnya yang ragu-ragu."Ada apa Grandma? Katakanlah!" Dia pun berusaha menenangkan hatinya yang gelisah sambil menyentuh tangan grandma Rose.Grandma Rose mengeluarkan dua lembar foto dari tas yang dia bawa."Apa kau masih mengenali ini?" Grandma Rose menunjukkan foto lama yang dibawanya.Dominique sesaat menatap bingung, lalu dia meraih foto itu dan melihatnya perlahan. "I-ini?" Dia menoleh kembali wajah grandma Rose yang terlihat gusar."Ba-bagaimana Grandma bisa mendapat ini?"Dominique menatap kembali kedua foto tersebut, tanpa terasa titik air matanya keluar dan menatap wajah Grandma yang cemas sambil menganggukkan kepalanya.