'Dua hari yang sangat melelahkan. Aku bahkan tak bisa memikirkan kejutan apa lagi yang akan kudapat. Benar-benar membuatku sesak. Seandainya Marissa masih benar-benar ada, aku pasti akan berbagi semua senang dan sedihku.' Batin Dominique.Mata Dominique menatap keluar jendela tanpa terasa tangannya terus mengelus perutnya.'Walau aku menyakini janin yang ku kandung adalah milik Willy. Namun, beberapa saat terakhir aku juga sempat berhubungan dengan Haiden.''Cih, Dominique bodohnya dirimu. Bahkan kau sendiri meragukan siapa pemilik bayimu. Aku hanya takut jika yang aku kandung bukan milik Willy, aku benar-benar tak bisa membayangkan betapa sedihnya dia.'Mobil yang di tumpanginya membawanya berhenti di kediaman Willy. Dominique turun dari mobil dan melihat beberapa mobil sudah terparkir di pekarangan.'Huh, haruskah aku bertemu mereka sekarang? Aku hanya ingin ketenangan.' Keluhannya di hati. Bosan melihat pertengkaran mereka. Dia melangkah malas memasuki rumah, Diana sudah berlari k
CEKLEK! Dominique membuka pintu ruang baca."Silahkan grandma!" Dia mempersilahkan masuk disusul olehnya. Haiden mengikuti Dominique dan Willy menyandarkan tubuhnya di dinding.Grandma Rose mencoba menenangkan hati. Dia akan bercerita dan memberikan kabar yang setelah ini pun nasibnya masih di pertanyakan.Dominique duduk di samping grandma Rose. Menatap wajahnya yang ragu-ragu."Ada apa Grandma? Katakanlah!" Dia pun berusaha menenangkan hatinya yang gelisah sambil menyentuh tangan grandma Rose.Grandma Rose mengeluarkan dua lembar foto dari tas yang dia bawa."Apa kau masih mengenali ini?" Grandma Rose menunjukkan foto lama yang dibawanya.Dominique sesaat menatap bingung, lalu dia meraih foto itu dan melihatnya perlahan. "I-ini?" Dia menoleh kembali wajah grandma Rose yang terlihat gusar."Ba-bagaimana Grandma bisa mendapat ini?"Dominique menatap kembali kedua foto tersebut, tanpa terasa titik air matanya keluar dan menatap wajah Grandma yang cemas sambil menganggukkan kepalanya.
Setelah kepergian Grandma Rose."Kau bisa tidur di kamar tamu, Aramgyan." Willy memulai kembali mengeluarkan sengatan listriknya."Cih. Siapa kau berani memerintah. Kau sadar sedikitlah selama ini kau sudah terlalu lama mengklaim istriku." Dengus Haiden makin kesal ketika dia di pancing masalah Dominique."Hisszz!!" Dominique menghentakan kakinya meninggalkan kucing dan tikus yang masih bertikai.Sementara John, Ramon dan Carlos hanya bisa menggelengkan kepalanya.'Kapan mereka bisa akur?' Batin ketiganya."Sayang, tunggu aku!" Haiden segera berlari mengejar Dominique diikuti Willy yang tak mau kalah.Dia sudah menutupi tubuhnya dengan selimut. Rasanya hari ini otak dan tubuhnya malas meladeni kedua pria yang tak habis membuat kepalanya pusing.Haiden segera membuka bajunya dan melemparkan sembarangan lebih dulu melompat ke ranjang dan memeluk Dominique di balik selimutnya."Cih!" Willy tak mau kalah melepaskan bajunya dan tidur di samping Dominique.Dominique merasa tidak nyaman akan
CEKLEK."Idenn!" panggil Dominique sambil membuka pintu dan,"Arghh! Apa yang sedang kau lakukan, Will?" Dominique segera melerai dan menjauhkan tubuh Willy dari tubuh Haiden."Kau tidak apa-apa, Idenn?" Dominique membantu bangun Haiden yang bagian bibirnya sudah berdarah."Aku bisa jelaskan sayang. Ini tidak seperti apa yang kau fikirkan," Willy berusaha menyentuh tangan Dominique, berusaha menjelaskan."Lepas, Will. Aku kan sudah bilang, dia tidak akan melukaimu. Dia sudah berjanji padaku. Aku hanya meminta-mu berdamai, apakah itu sangat sulit, hah?" Dominique seketika meninggikan suaranya. Marah. Bagi Will ini pertama kalinya Dominique bersikap seperti padanya.DEGHHatinya langsung teriris. Rasanya sangat sakit. Dia bahkan tidak menyangka kata-kata kejam dan menusuk hatinya akan keluar dari mulut manis Dominique."Sayang, tolong ... dengarkan penjelasanku. Aku mohon," sekilas senyuman smirk muncul kembali dari wajah Haiden."Sudah, Will. Hentikan. Aku mohon!" Dominique mengibaskan
"Aku mau ikut di mobil grandma saja!"Dominique menolak masuk ke dalam mobil Haiden atau pun Willy."Ayo Grandma," tanpa ragu Dominique langsung menggandeng tangannya.Haiden dan Willy sudah tak bisa menolak lagi kemauan Dominique. Mereka pasrah, daripada mendapatkan amukan kemarahan darinya dan mereka tak mendapatkan jatahnya. CEKLEKMata Dominique membulat lebar ketika sesorang memberi tanda menutup mulut, hampir saja Dominique berteriak.BRAKPintu tertutup."An-anda sedang apa disini Tuan Richard? Rich-ard," dia bengong saat mengulangi nama terakhir dan menengok kearah grandma."Maaf sayang, Richard memaksa Grandma untuk bertemu dengan-mu. Grandma tidak punya cara lain selain menyembunyikannya di dalam mobil. Kau tahu sendiri, dua suami itu pencemburu!" jelas Grandma Rose."Aku juga pecemburu Grandma, dan sayangnya aku kalah cepat dari mereka!"Dominique membalikkan tubuhnya menatap Richard, dia bahkan tidak menyangka bisa bertemu dengan tunangan-nya dalam situasi seperti ini. Tu
Willy hanya bisa menahan semua kekesalan dalam hati. Tak ingin marah ataupun berteriak pada Dominique. Dia benar-benar ingin menjaga Dominique dan calon bayi yang sedang di kandungnya. Perjalanan yang melelahkan hatinya. Akhirnya Dominique kembali pada kota kelahirannya. Dia sedikit kecut karena harus kembali ke apartemen Haiden. "Aku tidak mau tinggal di sini, Iden. Di sini sumpek dan membosankan,"Baru saja mereka mendarat. Namun, Dominique sudah mengeluarkan keluhannya. Dia hanya tak ingin memiliki kenangan buruk tentang tinggal di apartemen Haiden. Apalagi saat dia membayangkan sosok Rebecca yang menjadi penyebab retaknya rumah tangga mereka. "Aku sudah mendapatkan tempat yang baru. Suasananya sejuk dan nyaman. Aku yakin kau pasti betah tinggal di sana. Apa kau mau kita pergi ke sana sekarang?"Willy bersimpuh, mengenggam kedua tangan Dominique. Berusaha membujuknya. "Aku tidak mau," tolaknya. "Lalu kau mau tinggal di mana sayang? Aku akan menuruti semua kemauan-mu," kembali
"Sedang apa kau di sini?"Haiden menaikan rahangnya dengan keras saat menatap Shopie. "Se-selamat siang Pak, ma-af saya yang salah saat menyebrang tidak melihat jalan!"Shopie membungkukkan badan meminta maaf. Dia tak ingin di blacklist sebagai karyawan tidak baik jika mencari masalah dengan pemilik tempatnya bekerja. "Sebaiknya kau cepat pergi. Jangan mengganggu urusan kami," Haiden berkata dengan sangat dingin. "Ba-baiik Pak. Saya pamit!"Shopie berbalik dan akan pergi. Grep"Kau mau kemana? Aku ikut!"Dominique sudah mengalungkan tangannya di lengan Shopie. "Kau mau kemana sayang? Ayolah jangan buat yang aneh aneh. Kita baru sampai dan ingat kau harus banyak beristirahat," Haiden mencengah kepergiannya. Hal yang sama akan dilakukan Willy. Namun, sudah diwakilkan lebih dulu oleh Haiden. "Ah Iden. Jangan ganggu. Aku ingin makan ketoprak, cilok dan mie ayam dengan Shopie. Aku bisa pergi dengan Diana kok. Kalian tidak usah khawatir!""Tidak. Aku tidak mengizinkan!" Haiden berbica
"Uhm, itu sepertinya ... aku tidak bisa. Aku sudah ada janji dengan seseorang nanti malam," kikuk Shopie di buatnya. Dia binggung menjawab keinginan Dominique, tapi kembali melihat delikan dari kedua orang di hadapannya membuatnya susah menelan ludah dan bernafas."Apa kalian melarang Shopie-ku untuk menginap, hah?" Dominique melayangkan pandangannya kepada mereka karena kesal."Huh, memangnya aku mengeluarkan komentar?" sewot Haiden.Dominique melayangkan pandangannya pada Willy."Aku? Apa selama ini aku pernah melarang-mu?" Willy melirikkan mata saat kata larangan di keluarkan dari mulutnya. Dia menyindir Haiden."Baiklah kalau begitu tidak akan masalah dong kalau Shopie menginap," dengusnya.Kedua lelaki itu tak menjawab. Meraka acuh tak acuh."Jangan menyentuhku. Satu bulan. Itu hukuman kalian!""APA? KAU GILA DOMINIQUE!" keduannya kompak membuka suara sambil membulatkan matanya dengan lebar.'Cih, kau fikir kalian saja yang bisa mengancamku. Aku juga bisa!' kesalnya.'Haduh Domi