"Aku masih sangat lapar. " Ucap Dominique mengalihkan perang urat saraf di antara mereka. Haiden dan Willy langsung menoleh."Kau mau makan apa lagi?" Haiden dan Willy bersamaan."Kalian duduk. Aku akan ambil sendiri. Awas kalau ada yang berani menghampiri." Ancam Dominique memberi kode menggorok lehernya sendiri. Berdiri dan meninggalkan mereka yang masih bersitegang. 'Bikin seleraku hilang saja. Pagi pagi sudah berulah.' Dominique menghela nafas panjang di hati.Dia kembali menghampiri meja pilihan makanan. Sesaat dia melirik meja yang sudah di duduki dua laki laki yang kini ada dalam hidupnya. Mereka menatap Dominique tak berkedip.'Apa aku masih bisa menghindari mereka. Aku mencintai Willy. Namun, Haiden adalah suamiku. Haaahhh, kepalaku jadi pusing. Kalau seperti ini lebih baik tak mengingat segalanya. Aku bisa lepas dari penjara cinta Haiden.'"Kau mau tambah menu yang tadi?" Ucap seseorang yang sudah berada di samping Dominique menatapnya dengan lembut.Dominique menoleh terny
Haiden dan Willy saling menatap sesaat. Lalu mereka berlarian mengikuti Dominique."Ramon, ambilkan perlengkapan Carlos di mobil." Perintah Willy. Ramon mengangguk dan memenuhi perintahnya.Dominique keluar dari toilet. Wajahnya masih terlihat pucat dan memegangi perut."Masih sakit?" Willy lebih dulu menghampiri dan memeriksa kondisi Dominique. Melihat kening Dominique yang berkeringat."Sedikit, rasanya sangat tidak nyaman Will." Dominique menatap wajah Willy yang begitu menghawatirkan kondisinya."Kita kembali ke kamar sayang, siang ini akan kuurus agar kita segera kembali." Haiden menarik perlahan tangan Dominique.Dominique menggeleng, "Tidak. Aku mau disini Iden ... bersama Willy." Ucapan Dominique langsung menyayat-nyayat hati Haiden. Mendengar ucapan Dominique Willy merasa tenang karena dirinya tak perlu repot repot memaksa Dominique untuk ikut bersamanya."Dominique, mengertilah. Kembali pulang denganku." Haiden mengiba penuh harap menggenggam kedua tangan Dominique.Dominiqu
Dominique melirik Haiden yang berdiri di belakang Willy sambil melipat kedua tangannya."Entahlah rasanya aku mau sesuatu, tapi yang tidak membuat perutku mual," sahut Dominique sambil menyandarkan tubuhnya di tempat tidur."Aku pesankan coklat panas, mau?" tawar Willy.Dominique menggeleng."Buatkan aku jus mentimun." Seloroh Dominique tiba tiba membuat Willy menolehkan wajahnya pada Haiden. Dia hanya menaikan kedua pundaknya."Bagaimana aku harus membuatnya?" Willy menoleh kembali pada Dominique setelah dia berfikir keras mengingat sesuatu."Aku tidak tahu, tapi sepertinya harus di campur madu dan lemon," sahut Dominique.Willy menoleh Haiden, "Kau pernah membuatnya? Bagaimana caranya?" Willy terlihat binggung dengan petunjuk singkat Dominique."Aku pesan kan yogurt strawberry saja ya sayang," bujuk Haiden mengalihkan permintaannya.Dominique lagi lagi menggeleng. "Aku mau minum itu!" Dominique bersikeras. Akhirnya kedua lelaki binggung itu dengan petunjuk singkatnya, mereka mencoba
Dominique melirik Haiden, dia pun penasaran dengan apa yang di bawa oleh John."Apa itu?" Dominique bersuara lebih dulu memecahkan keheningan dan rasa tegang pada Haiden dan Willy. Willy sudah bergeser sejak Haiden membuka isi amplop tersebut dan mengintip isi laporan di dalamnya. Dia pun sangat penasaran.Haiden masih belum menjawabnya. Tatapan shock terlihat jelas dari pelupuk matanya. Dia sadar ini pasti akan terjadi. Hal yang terburuk dalam fikirannya sekarang menjadi nyata."Ayolah ... apa itu jangan buat aku penasaran?" Dominique akhirnya melangkah maju lebih dulu mengambil selembar kertas dari isi amplop tadi. Membacanya dan saat dia melihat namanya tercantum lalu hasil dari test laboratorium menyatakan bahwa dirinya hamil membuat Dominique terguncang.Kertas yang di pegangnya pun terjatuh. Tubuhnya hampir limbung jika Willy tak segera menangkapnya."Tidak apa-apa sayang ... ada aku! Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya." Willy berusaha menegarkan hati Dominique yang kalang k
'Dua hari yang sangat melelahkan. Aku bahkan tak bisa memikirkan kejutan apa lagi yang akan kudapat. Benar-benar membuatku sesak. Seandainya Marissa masih benar-benar ada, aku pasti akan berbagi semua senang dan sedihku.' Batin Dominique.Mata Dominique menatap keluar jendela tanpa terasa tangannya terus mengelus perutnya.'Walau aku menyakini janin yang ku kandung adalah milik Willy. Namun, beberapa saat terakhir aku juga sempat berhubungan dengan Haiden.''Cih, Dominique bodohnya dirimu. Bahkan kau sendiri meragukan siapa pemilik bayimu. Aku hanya takut jika yang aku kandung bukan milik Willy, aku benar-benar tak bisa membayangkan betapa sedihnya dia.'Mobil yang di tumpanginya membawanya berhenti di kediaman Willy. Dominique turun dari mobil dan melihat beberapa mobil sudah terparkir di pekarangan.'Huh, haruskah aku bertemu mereka sekarang? Aku hanya ingin ketenangan.' Keluhannya di hati. Bosan melihat pertengkaran mereka. Dia melangkah malas memasuki rumah, Diana sudah berlari k
CEKLEK! Dominique membuka pintu ruang baca."Silahkan grandma!" Dia mempersilahkan masuk disusul olehnya. Haiden mengikuti Dominique dan Willy menyandarkan tubuhnya di dinding.Grandma Rose mencoba menenangkan hati. Dia akan bercerita dan memberikan kabar yang setelah ini pun nasibnya masih di pertanyakan.Dominique duduk di samping grandma Rose. Menatap wajahnya yang ragu-ragu."Ada apa Grandma? Katakanlah!" Dia pun berusaha menenangkan hatinya yang gelisah sambil menyentuh tangan grandma Rose.Grandma Rose mengeluarkan dua lembar foto dari tas yang dia bawa."Apa kau masih mengenali ini?" Grandma Rose menunjukkan foto lama yang dibawanya.Dominique sesaat menatap bingung, lalu dia meraih foto itu dan melihatnya perlahan. "I-ini?" Dia menoleh kembali wajah grandma Rose yang terlihat gusar."Ba-bagaimana Grandma bisa mendapat ini?"Dominique menatap kembali kedua foto tersebut, tanpa terasa titik air matanya keluar dan menatap wajah Grandma yang cemas sambil menganggukkan kepalanya.
Setelah kepergian Grandma Rose."Kau bisa tidur di kamar tamu, Aramgyan." Willy memulai kembali mengeluarkan sengatan listriknya."Cih. Siapa kau berani memerintah. Kau sadar sedikitlah selama ini kau sudah terlalu lama mengklaim istriku." Dengus Haiden makin kesal ketika dia di pancing masalah Dominique."Hisszz!!" Dominique menghentakan kakinya meninggalkan kucing dan tikus yang masih bertikai.Sementara John, Ramon dan Carlos hanya bisa menggelengkan kepalanya.'Kapan mereka bisa akur?' Batin ketiganya."Sayang, tunggu aku!" Haiden segera berlari mengejar Dominique diikuti Willy yang tak mau kalah.Dia sudah menutupi tubuhnya dengan selimut. Rasanya hari ini otak dan tubuhnya malas meladeni kedua pria yang tak habis membuat kepalanya pusing.Haiden segera membuka bajunya dan melemparkan sembarangan lebih dulu melompat ke ranjang dan memeluk Dominique di balik selimutnya."Cih!" Willy tak mau kalah melepaskan bajunya dan tidur di samping Dominique.Dominique merasa tidak nyaman akan
CEKLEK."Idenn!" panggil Dominique sambil membuka pintu dan,"Arghh! Apa yang sedang kau lakukan, Will?" Dominique segera melerai dan menjauhkan tubuh Willy dari tubuh Haiden."Kau tidak apa-apa, Idenn?" Dominique membantu bangun Haiden yang bagian bibirnya sudah berdarah."Aku bisa jelaskan sayang. Ini tidak seperti apa yang kau fikirkan," Willy berusaha menyentuh tangan Dominique, berusaha menjelaskan."Lepas, Will. Aku kan sudah bilang, dia tidak akan melukaimu. Dia sudah berjanji padaku. Aku hanya meminta-mu berdamai, apakah itu sangat sulit, hah?" Dominique seketika meninggikan suaranya. Marah. Bagi Will ini pertama kalinya Dominique bersikap seperti padanya.DEGHHatinya langsung teriris. Rasanya sangat sakit. Dia bahkan tidak menyangka kata-kata kejam dan menusuk hatinya akan keluar dari mulut manis Dominique."Sayang, tolong ... dengarkan penjelasanku. Aku mohon," sekilas senyuman smirk muncul kembali dari wajah Haiden."Sudah, Will. Hentikan. Aku mohon!" Dominique mengibaskan
Will menyadari kedatangan istri dan rivalnya. Dia hanya duduk menunggu di samping ruang operasi. Dominique menghampirinya. "Kau berbohong lagi!" cetusnya. Dia masih mode on merajuk. Will menarik tangan istrinya agar duduk disebelah dirinya. Tangan satunya melingkar di pinggang istrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan.Haiden duduk di sebelah istrinya. Hanya bisa menatap setiap perlakuan manis yang diberikan rivalnya. Dia kini sudah tidak pernah cemburu seperti dulu. Mereka berdua, sesama rival sudah sangat mengetahui kondisi masing-masing. Sesekali bertengkar. Namun, bukan pertengkaran yang besar selain berebut lebih dulu siapa yang mendapatkan jatah dari istrinya, selain itu. Mereka tidak pernah bertengkar. Sudah saling mengisi dan memahami. "Maafkan aku, sayang. Kau boleh menghukumku nanti. Aku akan menerima semua hukumannya!" dia mengecup kening istrinya. Mencoba menenangkan kemarahannya. "Iya, aku pastikan akan menghukummu secara berat. Kali ini aku tidak akan melepaskan beg
“Jangan sentuh? Kau yakin dengan ucapanmu itu?” goda Willy.“Iya, memangnya aku takut. Aku kan memiliki satu suami lagi, kau pikir, hah!” Dominique tak mau kalah melawan godaan suaminya.“Tidak ada apa-apa sayang, aku memang menginginkannya. Sudah lama sejak kau melahirkan dan mengurus anak-anak kita. Aku kangen!” Willy tetap menutupi hatinya. Mengusap kembali rambut istrinya sambil memandangi wajahnya dengan lembut."Sudah kalau tidak mau bicara, aku akan keluar!" ucap Dominique. Baru saja dia menarik selimutnya akan turun dari ranjang. Entah mereka memang tak mendengarnya atau terlalu fokus saat berbicara. Haiden sudah berdiri dihadapannya sambil melihat kedua tangannya. "Oh, jadi begini cara kalian? Melakukan hal yang enak tanpa mengajakku!" dengusnya kesal. Dominique menarik wajahnya sambil menghela nafas panjang. "Aku sudah selesai, jika kau memang menginginkan bilang saja sendiri!" Willy berjalan turun melenggang tanpa sehelai benang pun masuk ke kamar mandi. "Ah, tidak. Sud
Martha masih belum sanggup menatap wajah Will, dia hanya terus tertunduk ketika suaminya berkata seolah ada satu pedang yang langung menancap di dadanya. Will dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan hanya bisa menghela nafasnya. Bingung.“Kau tidak sedang bergurau denganku kan, Pah?” Will masih setengah tak percaya. Tubuhnya bahkan terasa bergetar, masih belum mempercayai semua ucapan ayahnya“Kau bisa bertanya langsung dengannya, apa aku sekarang sedang berbohong padamu atau tidak?” tanpa banyak berkata apapun Baron membalikkan tubuhnya. Jantung Martha benar-benar akan copot di tatap putranya. Meminta penjelasan tentang kehadirannya.“Huh, baiklah, ayo kita masuk, Nyonya. Sepertinya akan banyak hal yang akan kita bicarakan!” kali ini Martha terkejut saat mendengar ucapannya. Datar dan dingin. Berbeda saat pertama kali mereka tak sengaja bertemu.Langkah kakinya mengekori Will masuk ke ruang bacanya. Dia sudah duduk di sofa sambil terus memperhatikan wanita yang bernama Martha
“Bersiaplah hari ini kita akan menemuinya!” Baron berkata dengan sangat tegas. Menatap wanita yang duduk dihadapannya. Dia sedang menikmati sarapan paginya.Wanita yang beberapa hari ini telah resmi menjadi istrinya kembali. Dia yang dipaksa olehnya. Martha mau tidak mau menuruti semua kemauan Baron, daripada ada nyawa yang tidak bersalah berkorban untuk dirinya.Martha masih menatap wajah Baron. Bingung dengan ucapannya. Bertanya dalam hati apa yang akan ditemuinya nanti. “Aku hanya memintamu, menemaniku dan menemuinya. Apakah ada masalah? Mengapa kau menatapku seperti itu?” kembali Baron berbicara dengan suara sakrasnya. Membuat Martha tetap diam. Dia tak perduli dengan ucapannya. Dia tahu saat dia mencoba menjawab setiap perkataannya akan timbul hal yang tidak diinginkan.“Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapnya setengah terpaksa.“Apa kau sebegitu tak sukanya pergi bersamaku?” Baron menaikkan rahangnya dengan kasar menatap Martha yang baru beberapa hari ini resmi menjadi istr
"Jangan mendekat!" Sophie terus bergeser dari ranjangnya, saat Ramon mencoba mendekatinya. Sedangkan, John sibuk dengan dunianya sendiri. Dia seperti mendapatkan mainan baru. Saat pulang kerja dan setelah makan juga mandi hal yang dilakukan pertama kali adalah mengendong anaknya. Dia menjadi bapak siaga saat berada di rumah. "Inikan sudah empat puluh hari lebih, sayang. Masa aku nggak boleh dekat-dekat kamu sih!" Ramon merajuk. Namun, tak menghentikan aktifitasnya saat berusaha menggulingkan pertahanan istrinya. "Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya. Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya."Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya! Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya.John hanya meliriknya tanpa mengindahkan semua ucapan yang kelur dari mulut Ramon. Dia bahkan tak perduli dengan cibiran atau umpatan yan
"Sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan bawa aku kesana!" Martha memohon dengan penuh penekanan. Dia tak ingin seorang pun tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Baron tak mengindahkan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia tahu wanita itu sedang membohonginya. Dia melemparkan tubuh yang tidak muda lagi itu dengan kasar ke kursi penumpang. Setelah penyeretan yang dramatis. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Seperti seorang istri yang sedang kepergok suaminya berselingkuh. "Jangan membantah lagi, jika kau terus terusan menolakku, jangan salahkan jika senjata ini akan langsung bersarang ke perutmu!" ancamnya. Kini Baron sedang tidak bermain-main. Dia menodongkan senjata tepat disamping perutnya. Martha sudah kehilangan akal menghadapi lelaki yang sudah berumur itu. Yang memiliki sikap dan temperamen seperti anak remaja. Merajuk kalau keinginannya tak dituruti. Dia tak bersuara. Pasrah. Hingga Baron memasukkan senjatanya kembali ke jasnya. Dia bertanya
Baron masih saja mondar mandir di kamarnya. Menunggu wanita itu benar-benar bisa menenangkan hati, agar mereka bisa kembali pembicaraannya. Sebenarnya bukan berbicara, tapi Baron masih ingin meneruskan rasa penasarannya. Martha menghela nafasnya. Isak tangis terakhirnya sebelum dia benar-benar berhenti.“Apa kita sudah bisa berbicara sekarang?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Daripada dia menemani wanita yang sedang menangis. Dia lebih baik memukuli seluruh pengawalnya hingga babak belur.‘Huh, apa kata dunia, jika ada orang yang tahu aku mendengarkan seorang wanita menangis!’Baron meraup wajahnya dengan kasar. Sungguh dia pun tak menyangka bisa menemani wanita itu merajuk. Menangis terseduk selama satu jam.Martha menganggukkan kepalanya. Memberikan tanda, dia siap menerima introgasi dari laki-laki dihadapannya itu.“Jadi, penjelasan apa yang ingin kau berikan padaku?” Baron masih menatapnya tajam.‘Huh, dari dulu dia memang tak pernah mau mengalah. Padahal dia yang salah.
‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!
Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan