Kastara berjalan keluar kamar lewat pintu beranda yang baru dibukanya sambil memegang ponsel itu dengan erat hingga membuat Shena terheran-heran.‘Ada apa? Siapa yang menelepon Kastara? Mengapa tubuh Kastara mendadak menjadi tegang, seolah-olah ada yang terjadi?’ tukas Shena dalam hati dengan bingung dengan dahi berkerut dan mata yang mengikuti Kastara hingga berdiri tegak di balkon.Perlahan dia bangkit dari kursinya dan berjinjit ke pintu beranda untuk mendengar apa yang dibicarakan Kastara. Dia penasaran.“Bagaimana? Apa sudah ada hasilnya?” tanya Kastara yang terdengar samar di balik pintu kaca itu.Dahi Shena semakin berkerut, rasa penasarannya semakin meningkat hingga lupa pada tugas yang diberikan Kastara padanya. Dia menempelkan telinganya pada pintu supaya suara Kastara semakin jelas.“…. Jadi begitu info yang kau dapatkan? Baiklah, Bram, kau bisa kembali besok. Aku perlu bukti pembicaraanmu dengan informan itu. semoga kasus ini cepat terselesaikan ….” Lalu suara tawa Kastara
Hampir saja tangan Dellia melayang ke pipi anaknya. Matanya membulat menatap gadis itu dengan penuh amarah. Bagaimana mungkin gadis ini jatuh cinta pada kekasih kakaknya sendiri! Dia tidak percaya!Tangis Chelsea langsung pecah saat tangan ibunya menyentuh pipinya yang halus. Sepanjang hidupnya, dia belum pernah diperlakukan kasar seperti saat ini. Bukan salahnya dia jatuh cinta pada Steven, bukankah rasa cinta tidak bisa dikontrol. Saat mata bertemu mata, lalu rasa itu turun ke hati … bukankah seperti itu?“Ada apa, kenapa kau memukuli Chelsea, Delia?” tegur Iwan Duarte yang baru saja kembali dan mendengar keributan.“Anakmu yang satu ini sudah gila, Iwan! Dia jatuh cinta pada Stevan! Apa kau percaya?!?” seru Delia melengking.Wajah Iwan Duarte berubah mendengar perkataan Delia.“Kau bayangkan bagaimana bisa dia jatuh cinta pada kekasih kakaknya sendiri. Aku haru memukulnya agar dia sadar!” seru Delia lagi.Iwan Duarte terdiam beberapa saaat, lalu teringat ucapan orang kepercayaan yan
“Shena, perkenalkan, dia Kastara Wijaya yang akan bekerja sebagai penjaga barumu. Kemana pun kau pergi dia akan selalu menjagamu. Papa tidak mau mendengar kau memecat penjagamu seenak hatimu sendiri lagi. Mengerti? Karena Papa tidak mau kejadian awal bulan tadi terulang lagi. Untung saja ada Ron dan Evan yang sedang berada di halaman depan, kalau mereka tidak ada … mungkin nyawamu saat ini sudah berada di surga,” gerutu Iwan Duarte di depan anak gadisnya yang bersungut.Awal bulan tadi, Shena Duarte hampir menjadi korban penculikan oleh orang yang tidak dikenal. Gadis itu baru berusia dua puluh satu tahun, baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas terkenal di ibukota dan dia kembali ke kota ini untuk membantu ayahnya mengembangkan usaha mereka di bidang eksport import.Dia juga gadis yang sangat cantik, manis dan ramah. Padahal sejak pulang ke kota mereka, dia hampir tidak pernah keluar sendiri. Selalu bersama teman-temanya atau saudara-saudaranya. Tetapi dia gem
“Apa mukamu itu tidak bisa tersenyum? Paling tidak lebih ramah sedikit. Mukamu itu menyebalkan, tahu tidak?” gerutu Shena dengan kesal melihat wajah Kastara yang datar dan dingin.“Oke, kau memang digaji oleh Papa untuk menjadi penjagaku. Tetapi aku tidak mau kalau penjagaku selalu bermuka busuk seperti mukamu itu. Padahal kalau aku amati mukamu itu cukup tampan, Kastara. Jadi coba lah untuk tidak menakuti orang-orang didekatku, mengerti? Atau kau akan berakhir seperti penjaga sebelum dirimu yang langsung kutendang keluar dari gedung ini!” ancam Shena dengan senyuman dingin.Kastara tetap tidak beraksi dan masih tetap diam dan berdiri tegak, hanya matanya yang melihat ke kanan ke kiri, melihat situasi. Padahal mereka ada di dalam kantor Shena. Tidak mungkin kejadian buruk terjadi di sini.“Pa … katakan padaku, kau dapat penjaga ini dari mana? Apa dia lulusan angakatan darat? Kenapa ka
“Berapa usiamu, Kastara?” tanya Shena pagi ini di dalam mobil menuju ke kantor. Kebetulan ada banyak mobil di rumah Iwan Duarte yang bisa dibawa ke kantor selain mobil Jeep hijau milik Shena.“Aku?” tanya Kastara heran tiba-tiba gadis ini menanyakan usianya, tetapi dia tetap fokus ke jalan.“Iya, usiamu berapa? Memangnya di mobil ini ada orang lain selain kamu yang bernama Kastara? Namamu itu aneh sekali. Persis nama-nama jaman prasejarah,” cetus Shena sambil melamun ke samping kendaraan mereka di mana motor berderet-deret berjalan lambat karena macet.“Usiaku tahun ini dua puluh delapan, Nona. Namaku itu unik, karena Ayah mendapatkannya dari sebuah kitab kerajaan jaman dulu,” jawab Kastara dengan jujur.“Pantas saja, cocok sekali namamu itu dengan kepribadianmu yang kuno!” sejek Shena tertawa. Baru saja dia ingin melanjutkan pertanyaannya,
Kastara tiba-tiba merasa hawa tubuhnya menjadi panas dan gairah di dalam tubuhnya perlahan naik hingga tak tertahankan. Dia menjadi bergerak gelisah sendiri, sementara Shena sudah terduduk diam di kursinya dengan mata nyalang memandang pada Kastara yang ada di sampingnya. Tanpa buang waktu, dia langsung menarik Kastara dan menciumi bibir tipis Kastara tanpa jeda. Rasanya ada sesuatu yang liar di dalam tubuh dan ingin segera dilampiaskanya.Shinta dan Jessie segera memanggil helper yang ada di lorong untuk mengantarkan Kastara dan Shena ke kamar yang sudah mereka pesan setelah sebelumnya mengantar Deni dan Lisa ke kamar mereka.“Pasti seru!” tukas Jessie tertawa liar.“Kau tahu, ayahnya yang kaya itu sudah mengancamanya bahwa dia tidak boleh tidur dengan pengawalnya sendiri. (Shinta tertawa lebar) Aku ingin lihat apa yang akan dilakukan Paman Iwan saat tahu anak keasayangan itu tidur dengan pengawalnya s
“Pergi dari rumah ini, Shena! Aku tidak mau melihat tampangmu masih berada di sini!” seru Iwan Duarte keras.“Papa! Dengarkan aku dulu, Pa. kami dijebak, Pa. kami juga korban, Pa,” seru Shena membela diri dengan linangan air mata.“Aku tidak peduli kau dijebak atau pun tidak, kau sudah mencoreng nama baikku. Kau anak jahanam!” seru Iwan tegas.Air mata mengalir semakin deras saat Shena menyadari ayahnya bahkan mengumpat dirinya dengan tegas. Ya Tuhan, ini seperti mimpi buruk yang tidak pernah dia bayangkan akan menimpa dirinya.“Kau, Kastara! Tidak ada gaji maupun bonus! Kau sudah gagal dalam tugasmu! Pergi jauh-jauh dari sini, aku tidak mau melihat tampangmu juga dia!” seru Iwan mengusir Kastara juga Shena.Kastara hanya diam dan mengangguk. Dia hanya bekerja di sini … tetapi diusir seperti seorang pencuri seperti ini rasanya sakit sekali.Dia menghela napas.“Bawa dia pergi!” hardik Iwan menunjuk Shena yang masih belum bergerak dari posisinya sejak datang tadi.“Nona ….” Kastara men
“Iya, ke kampungku, Shena. Memangnya kau punya berapa banyak uang untuk bertahan di kota metropolitan ini? ini saja kita hanya menginap di motel. Kau tahu berapa hotel-hotel yang biasa kau dan ayahmu menginap satu malam? Anggap saja kau memiliki uang, tahan berapa lama hanya untuk membayar hotel? Belum makan, anggap saja hotel memberikan free breakfast, lalu makan siang dan malam? Jangan kau katakan kau hanya akan makan satu kali dalam sehari,” oceh Kastara panjang lebar.Shena terdiam mendengar ocehan Kastara. Memang masuk akal semua yang dikatakan Kastara, tapi di mana letak kampung itu? Seberapa jauh dari kota?“Di – mana letak – kampungmu, Kastara? Jauh kah dari sini?” tanya Shena pelan. Dia tidak sanggup membayangkan hidup di kampung, yang harus berjalan kaki kemana-mana, jalan berdebu dan tidak di aspal, iuuhh! Baru membayangkannya saja, kakinya langsung terasa lemas. Bagaimana ini?