“Apa mukamu itu tidak bisa tersenyum? Paling tidak lebih ramah sedikit. Mukamu itu menyebalkan, tahu tidak?” gerutu Shena dengan kesal melihat wajah Kastara yang datar dan dingin.
“Oke, kau memang digaji oleh Papa untuk menjadi penjagaku. Tetapi aku tidak mau kalau penjagaku selalu bermuka busuk seperti mukamu itu. Padahal kalau aku amati mukamu itu cukup tampan, Kastara. Jadi coba lah untuk tidak menakuti orang-orang didekatku, mengerti? Atau kau akan berakhir seperti penjaga sebelum dirimu yang langsung kutendang keluar dari gedung ini!” ancam Shena dengan senyuman dingin.
Kastara tetap tidak beraksi dan masih tetap diam dan berdiri tegak, hanya matanya yang melihat ke kanan ke kiri, melihat situasi. Padahal mereka ada di dalam kantor Shena. Tidak mungkin kejadian buruk terjadi di sini.
“Pa … katakan padaku, kau dapat penjaga ini dari mana? Apa dia lulusan angakatan darat? Kenapa kaku seperti robot? Aku tidak suka,” gerutu Shena pada ayahnya yang langsung tertawa keras mendengar gerutuan anaknya itu.
“Dia cocok sekali denganmu, Sayang. Ini belum sampai dua puluh empat jam dia menemanimu. Tunggu sampai dua puluh empat jam kau pasti akan menyukainya,” jawab Iwan Duarte dengan tawa yang sama.
“Haa? Maksud Papa? Papa ingin menjodohkan dia dengan aku? Aku anakmu, Pa! Kau ingin punya menantu seorang bodyguard?” tanya Shena mendelik walau dia tahu ayahnya tidak akan melihat wajahnya karena percakapan mereka melalui interkom.
“Dasar bodoh! Tidak mungkin Papa menjodohkanmu dengan Kastara, Sayang. Kau anak kesayangan Papa yang cantik, ayu dan pintar. Paling tidak kau akan mendapatkan lelaki yang sebanding denganmu, Sayang, seorang CEO,” jawab Iwan tertawa lebar.
Shena langsung mengusap dadanya lega. Hampir saja jantungnya lepas andai ayahnya menjawab iya, dia akan dijodohkan dengan Kastara.
“Papa tidak berniat menjodohkanku, kan?” tanya Shena hati-hati.
“Kakakmu saja belum menikah, apa kau ingin mendahului kakakmu?” Iwan Duarte balik bertanya.
“Ahh … tidak, tidak … aku masih ingin bersenang-senang dengan teman-temanku, Pa. Jangan menjodohkan aku, Pa … ingat, aku tidak mau dijodohkan dengan lelaki manapun,” tukas Shena ketus. Wajah bersungut kembali terpancar di raut wajah ayu itu.
Iwan Duarte tertawa lagi.
***
“Aku ingin ke mall, Kastara. Apa kau akan mengawalkku pergi?” tanya Shena ketika sore hari sepulang dari kantor.
“Aku akan mengantarmu kemana saja, Nona,” jawab Kastara seperti biasa, datar dan dingin.
“Itu berarti kau yang akan mengemudikan mobilku?” tanya Shena lagi. apa sekarang dia akan memiliki seorang sopir dan penjaga sekaligus? Hebat sekali!
“Tentu saja, Nona. Karena itu tugasku,” jawab Kastara kaku.
Shena mengambil ponsel di dalam kantong celana dan menekan nomor ayahnya secepat mungkin.
“Pa, sebenarnya Papa itu memberiku pengawal atau sopir sih?” tanyanya dengan kesal.
Dia tidak suka diatur-atur dan lagi dia suka sekali mengendarai kendaraannya sendiri. Mobil Land Rover Defender sudah menjadi kendaraan gadis itu sejak duduk di bangku kuliah. Mobil besar berwarna hijau navy itu selalu menemaninya kemana saja. Bagaimana mungkin dia bisa memberikan pada si penjaga untuk mengemudikan kendaraannya? Mati pun dia tidak rela melepaskannya.
“Nona, mau pergi sekarang?” tanya Kastara pelan.
“Kau tahu … aku ingin mengemudikan sendiri mobilku, Kastara. Jadi lebih baik kau duduk di belakang saja,” tukas Shena bersiap naik ke bagian depan mobil yang terparkir di deretan direksi.
“Apa kau sedang bermimpi, Nona? Tuan Iwan menggajiku untuk menjaga keselamatanmu di mana pun kau berada. kalau kau yang mengemudikan sendiri mobil ini, lalu bagaimana caranya aku bertugas?” tanya Kastara sambil menyugar rambut hitam dan tebal itu.
“Yaa … terserah padamu bagaimana kau memikirkan caranya. Aku malas berdebat denganmu. Sekarang aku mau ke mall. Kau mau ikut atau tidak? Aku ini sudah lebih dari lima tahun mengendarai mobil, bukan baru sehari dua hari kalau itu yang kau takutkan. Dan aku tidak pernah mengalami kecelakaan satu kali pun,” jawab Shena sombong.
“Puji Tuhan kalau begitu, Nona. Tidak perlu sombong, karena tidak ada seorang sopir yang ingin mobil yang dikendarainya mengalami kecelaaan. Begitu juga aku,” ucap Kastara tenang.
Wajah Shena langsung memerah. Ucapan Kastara sungguh mengena di hatinya.
“Ucapanmu memang benar, Kastara, tapi aku tidak suka mobilku dikendarai oleh orang lain. Itu masalahnya!” jawab Shena to the point. Darahnya berlomba naik hingga ke ubun-ubun. Dia belum pernah dipermalukan seperti ini. Tetapi untungnya mereka masih berada di lobi gedung kantor dan sudah banyak yang pulang.
Kastara terdiam, seumur hidupnya dia belum pernah menemukan ada pemilik kendaraan yang menolak seorang sopir membawa mobilnya. Ini aneh sekali baginya yang hanya orang kampung.
“Jadi sekarang kita akan pergi atau tidak, Nona?” tanya Kastara setelah berhasil menurunkan egonya.
“Pulang saja. Aku malas, gairah berbelanjaku sudah hilang. Nanti malam saja kalau ada teman yang mau mengajakku pergi,” tukas Shena cemberut.
“Kalau Nona akan pergi nanti malam, itu berarti aku juga harus ikut. Karena tugasku menjagamu, Nona,” jawab Kastara pelan. Dia sudah memikirkan harus lembur malam ini.
“Ya sudah, tidak jadi semua. Aku mau tidur saja! Kau pulang saja,” jawab Shena geram.
Sore itu mereka pulang dengan kendaraan kantor. Padahal Kastara sudah menurunkan egonya andai Shena benar-benar akan ke mall, dia rela duduk di belakang.
***
“Bagaimana? Apa kau sudah terbiasa dengan Kastara?” tanya Iwan malam itu di ruang keluarga yang besar dan luas.
“Terpaksa terbiasa, Pa. Dia itu sontoloyo sekali, menyebalkan!” sungut Shena dengan muka bertekuk.
“Loh memangnya apa yang dilakukannya padamu, Sayang?” tanya Iwan penasaran melihat Shena yang geram, gusar dan emosi.
“Ahh … sudahlah. Kuceritakan juga Papa tidak akan mengerti. Lupakan saja. Bahkan aku mau pergi dengan temanku, dia mau ikut! Menyebalkan sekali!” seru Shena kembali emosi mengingat kejadian tadi sore.
“Bahkan dia siap untuk lembur,” sambung Shena berapi-api.
Iwan Duarte terbahak hingga terpingkal-pingkal sambil mengeluarkan kedua jempolnya.
“Bagus sekali. Memang tepat sekali yang dikatakannya. Kalau kau pergi malam, justru dia harus siap, Shena. Banyak kejahatan yang terjadi di malam hari. Apa kau tidak tahu itu?” ucap Iwan Duarte masih tertawa.
“Papa senang sekali tertawa sampai terpingkal-pingkal. Aku sudah muak melihat wajahnya yang terus berada di dalam kantor. Aku sampai tidak bisa berkencan dengan pacarku. Coba Papa katakan padaku, bagaimana aku bisa berkencan dengan Stevan kalau dia selalu mengikutiku, Pa,” tanya Shena kesal. Untung saja kekasihnya saat ini ada di ibukota, jadi mereka hanya berhubungan dengan telepon dan video call setiap malam.
“Baguslah kalau begitu. Kalau kau mau kencan katakan saja pada Kastara, dia pasti mengerti dan menjauh darimu. Tetapi tetap berada di sekitarmu, Sayang,” Iwan Duarte memberikan gambaran.
“Huh … tetap saja aku dan Stevan tidak akan leluasa. Mana ada orang berkencan diikuti pegawal? Aku bukan selebriti begitu juga Stevan. Bagaimana kalau Papa ganti saja dia. Dia itu menyebalkan! Aku sungguh-sungguh, Pa,” seru Shena serius. Benaknya mulai mencari akal untuk mengerjai Kastara ….
***
“Berapa usiamu, Kastara?” tanya Shena pagi ini di dalam mobil menuju ke kantor. Kebetulan ada banyak mobil di rumah Iwan Duarte yang bisa dibawa ke kantor selain mobil Jeep hijau milik Shena.“Aku?” tanya Kastara heran tiba-tiba gadis ini menanyakan usianya, tetapi dia tetap fokus ke jalan.“Iya, usiamu berapa? Memangnya di mobil ini ada orang lain selain kamu yang bernama Kastara? Namamu itu aneh sekali. Persis nama-nama jaman prasejarah,” cetus Shena sambil melamun ke samping kendaraan mereka di mana motor berderet-deret berjalan lambat karena macet.“Usiaku tahun ini dua puluh delapan, Nona. Namaku itu unik, karena Ayah mendapatkannya dari sebuah kitab kerajaan jaman dulu,” jawab Kastara dengan jujur.“Pantas saja, cocok sekali namamu itu dengan kepribadianmu yang kuno!” sejek Shena tertawa. Baru saja dia ingin melanjutkan pertanyaannya,
Kastara tiba-tiba merasa hawa tubuhnya menjadi panas dan gairah di dalam tubuhnya perlahan naik hingga tak tertahankan. Dia menjadi bergerak gelisah sendiri, sementara Shena sudah terduduk diam di kursinya dengan mata nyalang memandang pada Kastara yang ada di sampingnya. Tanpa buang waktu, dia langsung menarik Kastara dan menciumi bibir tipis Kastara tanpa jeda. Rasanya ada sesuatu yang liar di dalam tubuh dan ingin segera dilampiaskanya.Shinta dan Jessie segera memanggil helper yang ada di lorong untuk mengantarkan Kastara dan Shena ke kamar yang sudah mereka pesan setelah sebelumnya mengantar Deni dan Lisa ke kamar mereka.“Pasti seru!” tukas Jessie tertawa liar.“Kau tahu, ayahnya yang kaya itu sudah mengancamanya bahwa dia tidak boleh tidur dengan pengawalnya sendiri. (Shinta tertawa lebar) Aku ingin lihat apa yang akan dilakukan Paman Iwan saat tahu anak keasayangan itu tidur dengan pengawalnya s
“Pergi dari rumah ini, Shena! Aku tidak mau melihat tampangmu masih berada di sini!” seru Iwan Duarte keras.“Papa! Dengarkan aku dulu, Pa. kami dijebak, Pa. kami juga korban, Pa,” seru Shena membela diri dengan linangan air mata.“Aku tidak peduli kau dijebak atau pun tidak, kau sudah mencoreng nama baikku. Kau anak jahanam!” seru Iwan tegas.Air mata mengalir semakin deras saat Shena menyadari ayahnya bahkan mengumpat dirinya dengan tegas. Ya Tuhan, ini seperti mimpi buruk yang tidak pernah dia bayangkan akan menimpa dirinya.“Kau, Kastara! Tidak ada gaji maupun bonus! Kau sudah gagal dalam tugasmu! Pergi jauh-jauh dari sini, aku tidak mau melihat tampangmu juga dia!” seru Iwan mengusir Kastara juga Shena.Kastara hanya diam dan mengangguk. Dia hanya bekerja di sini … tetapi diusir seperti seorang pencuri seperti ini rasanya sakit sekali.Dia menghela napas.“Bawa dia pergi!” hardik Iwan menunjuk Shena yang masih belum bergerak dari posisinya sejak datang tadi.“Nona ….” Kastara men
“Iya, ke kampungku, Shena. Memangnya kau punya berapa banyak uang untuk bertahan di kota metropolitan ini? ini saja kita hanya menginap di motel. Kau tahu berapa hotel-hotel yang biasa kau dan ayahmu menginap satu malam? Anggap saja kau memiliki uang, tahan berapa lama hanya untuk membayar hotel? Belum makan, anggap saja hotel memberikan free breakfast, lalu makan siang dan malam? Jangan kau katakan kau hanya akan makan satu kali dalam sehari,” oceh Kastara panjang lebar.Shena terdiam mendengar ocehan Kastara. Memang masuk akal semua yang dikatakan Kastara, tapi di mana letak kampung itu? Seberapa jauh dari kota?“Di – mana letak – kampungmu, Kastara? Jauh kah dari sini?” tanya Shena pelan. Dia tidak sanggup membayangkan hidup di kampung, yang harus berjalan kaki kemana-mana, jalan berdebu dan tidak di aspal, iuuhh! Baru membayangkannya saja, kakinya langsung terasa lemas. Bagaimana ini?
Untuk pertama kalinya, Shena merasakan enaknya berada di atas kereta api. Selama ini dia hanya pernah naik kereta gantung dan kereta api cepat di luar negeri.“Ternyata enak juga naik kereta api, Kastara. Apa aku bisa tidur di sini?” tanya Shena pada lelaki yang sejak tadi hanya diam menatap pemandangan yang berlari cepat di samping jendela gerbong.Kastara tidak menyahut, dia hanya mengangguk. Shena langsung meraih ransel Kastara untuk dijadikan bantal kepala. Dan lagi-lagi lelaki itu hanya diam seribu kata membiarkan Shena melakukan apa yang ingin dilakukannya.“Kau tidak ingin tidur?” tanya Shena sambil membenahi ransel itu agar terasa agak tak nyaman di kepalanya.“Tidak. Kau tidur saja, aku akan berjaga di sini,” jawab Kastara datar. Shena menatapnya dengan pandangan yang tak dipahaminya sendiri.“Memangnya apa ada penjahat di sini?
Selesai makan, Kastara mengajak Shena untuk kembali ke gerbong mereka. Tetapi gadis itu menolak, dia msih ingin berada di gerbong makanan ini karena dari jendela yang ada di gerbong makanan itu mereka bisa mendapatkan pemandangan di luar dengan lebih leluasa. Tidak ada tirai-tirai yang ditutup seperti di gerbong mereka karena cuaca yang panas di luar.Kastara hanya bisa menuruti keinginan gadis muda itu. Tiba-tiba ponsel yang ada di kantong celananya bergetar, dia segera mengangkatnya.“Ada apa?” sapa Kastara pendek tanpa melihat layar lagi, dia sudah tahu siapa yang menghubunginya.Lalu terdengar suara samar-samar dari seberang ponsel. Shena mengernyit, suara wanita … siapa dia? Gadis itu mendekatkan telinganya ke arah Kastara untuk mencoba mendengar. Tetapi sampai ponsel dimatikan dia sama sekali tidak memperoleh info tentang siapa yang menghubungi penjaga-nya itu.“Ayo kit
“Aku tidak menyumpahimu, Nona Shena, hanya mengingatkan agar kau jangan berbicara saat sedang makan. Kau kan tidak tahu apa yang akan kau telan atau tertelan seperri tadi. Lagi pula tersedak makanan itu berbahaya, kau bisa kehilangan nyawa tanpa bermaksud untuk bunuh diri. Kau bisa meihat data berapa banyak orang yang meninggal gara-gara tersedak,” balas Kastara panjang lebar. Lalu dia menarik napas sebelum melanjutkan makannya yang tertunda.Shena mendelik.“Iya—iya … profesor Kastara, aku mengerti,” jawab Shena sewot.Kastara tertawa melihat kelakuan gadis itu yang mendelik dengan mata yang membulat.Selesai makan, Kastara mengambil ranselnya dan mengeluarkan jaket tebal untuk digunakannya sebagai bantal. Dia mengantuk.“Kau mau apa?” tanya Shena melihat ransel yang empuk menjadi kempes.“Aku mau tidur. Karena kau sudah tidur lama, jadi gantian kau yang berjaga, Shena,” jawab Kastara santai sambil menguap lebar.“Haaa?” Shena terkejut ketika Kastara menyurunya untuk berjaga. Belum p
“Masih satu jam lagi. Baiklah ayo kita makan dulu sebelum kereta tiba di stasiun. Nanti akan susah mencari makan jika sudah berkendara,” ajak Kastara sambil berdiri dan merapikan pakaiannya yang lusuh karena tidur tadi.”Shena mengangguk cepat dan langsung mengikuti Kastara yang sudah berjalan lebih dulu darinya.Begitu memasukki gerbong makanan, mereka langsung disambut dengan aroma makanan yang super sedap hingga membuat perut Shena kembali berdendang.“Aku mau nasi goreng kemarin, Kastara,” bisik Shena cepat sambil melirik ke deretan kursi yang penuh dengan penumpang kereta karena sekarang memang jam sarapan pagi.Kastara mengangguk. Dia melihat sambil mencari meja kosong, tetapi sepertinya di jam-jam begini tidak ada meja dan kursi yang kosong.Setelah memesan dua nasi goreng dan dua jus jeruk, Kastara juga mengambil beberapa gorengan dan kue-kue
Hampir saja tangan Dellia melayang ke pipi anaknya. Matanya membulat menatap gadis itu dengan penuh amarah. Bagaimana mungkin gadis ini jatuh cinta pada kekasih kakaknya sendiri! Dia tidak percaya!Tangis Chelsea langsung pecah saat tangan ibunya menyentuh pipinya yang halus. Sepanjang hidupnya, dia belum pernah diperlakukan kasar seperti saat ini. Bukan salahnya dia jatuh cinta pada Steven, bukankah rasa cinta tidak bisa dikontrol. Saat mata bertemu mata, lalu rasa itu turun ke hati … bukankah seperti itu?“Ada apa, kenapa kau memukuli Chelsea, Delia?” tegur Iwan Duarte yang baru saja kembali dan mendengar keributan.“Anakmu yang satu ini sudah gila, Iwan! Dia jatuh cinta pada Stevan! Apa kau percaya?!?” seru Delia melengking.Wajah Iwan Duarte berubah mendengar perkataan Delia.“Kau bayangkan bagaimana bisa dia jatuh cinta pada kekasih kakaknya sendiri. Aku haru memukulnya agar dia sadar!” seru Delia lagi.Iwan Duarte terdiam beberapa saaat, lalu teringat ucapan orang kepercayaan yan
Kastara berjalan keluar kamar lewat pintu beranda yang baru dibukanya sambil memegang ponsel itu dengan erat hingga membuat Shena terheran-heran.‘Ada apa? Siapa yang menelepon Kastara? Mengapa tubuh Kastara mendadak menjadi tegang, seolah-olah ada yang terjadi?’ tukas Shena dalam hati dengan bingung dengan dahi berkerut dan mata yang mengikuti Kastara hingga berdiri tegak di balkon.Perlahan dia bangkit dari kursinya dan berjinjit ke pintu beranda untuk mendengar apa yang dibicarakan Kastara. Dia penasaran.“Bagaimana? Apa sudah ada hasilnya?” tanya Kastara yang terdengar samar di balik pintu kaca itu.Dahi Shena semakin berkerut, rasa penasarannya semakin meningkat hingga lupa pada tugas yang diberikan Kastara padanya. Dia menempelkan telinganya pada pintu supaya suara Kastara semakin jelas.“…. Jadi begitu info yang kau dapatkan? Baiklah, Bram, kau bisa kembali besok. Aku perlu bukti pembicaraanmu dengan informan itu. semoga kasus ini cepat terselesaikan ….” Lalu suara tawa Kastara
“Bagaimana keadaan putriku?” tanya Iwan Duarte pada lelaki yang ada di hadapannya. Saat ini mereka sedang duduk di kedai kopi tak jauh dari kediaman Bastian Kusuma.“Kelihatan baik dan wajahnya juga ceria. Tidak nampak kesedihan di wajah cantiknya itu, Bos. Aku yakin penjaga itu berhasil meraih hatinya. Lagi pula dia juga orang miskin seperti dugaanmu, Bos. Info yang kudapat dari orang sekitar, Tuan Bastian Kusuma memiliki dua putra dan dua putri. Dua putrinya sudah menikah dan keluar dari rumah besar itu. Sementara putra tertuanya sekarang sedang di ibukota. Aku tidak tahu ada urusan apa dia di ibukota. Putra bungsunya itu yang memang bertugas mengurusi ekspedisinya,” jawab lelaki berbadan tegap dan berkumis tebal itu.“Hem … jadi anakku berhasil menggaet pengusaha kampung,” balas Iwan Duarte menghela napas panjang.“Bisa dibilang begitu, Bos,” jawab lelaki itu lagi.“Baiklah, terima kasih infomu, Darwis,” tukas Iwan Duarte lega.“Jangan lupa ….” Ucap Darwis dengan jari jempol dan te
Kastara segera berlari menuruni anak tangga dengan cepat dan segera membuka pintu depan yang kuncinya selalu tergantung di pintu setiap malam setelah mengunci pintu. Dia keluar setelah pintu terbuka dan langsung memanggil anjing penjaganya yang ada enam ekor itu. Semuanya berkumpul di depan Kastara setelah mendengar panggilan lelaki tampan itu.Dia mengelus kepala keenam anjing petarung itu dengan lembut.“Apa yang kalian lihat, teman,” bisik Kastara pelan karena dia hanya ingin membuat anjing-anjing itu berhenti mengonggong. Suara yang berisik akan membangunkan seisi rumah. Dan dia tidak ingin Shena terbangun.Dia mencoba melihat ke sekeliling rumah mencari apa ada sesuatu yang mencurigakan, tetapi tidak ada apa-apa. Mungkin juga orang yang mencoba masuk tadi sudah lari tungang langgang begitu ke enam anjingnya mengonggong ke arah mereka. itu sudah pasti karena Kastara menemukan sebelah sandal yang terputus talinya di depan pagar. Dia tertawa tanpa suara. Tiba-tiba, “Tara!”Suara pan
‘Ini gila!’ bisik Kastara dalam hati memikirkan perkataan Bram barusan. Rasanya tidak mungkin Iwan Duarte menghabisi istri dan anak-anaknya sendiri dan meninggalkan seorang anak kesayangannya. Kastara menyugar rambut dengan gelisah.Tetapi tiba-tiba daun yang bergoyang di halaman depan rumahnya membuatnya heran. Itu pohon kelapa dan tingginya hanya setinggi satu meter lebih sedikit, tidak ada angin yang membuat pohon atau rumput di sekelilingnya bergoyang. Jadi apakah ada seseorang di bawah sana? Dahinya langsung berkerut sempurna. Dia mendekati jendela dan menajamkan pandangannya pada pohon kelapa itu.Tiba-tiba seberkas sinar senter menyorot ke lantai dua, kamarnya. Dia terkejut dan mundur ke tembok. Benar dugaannya ada orang yang sedang mengamati kamarnya! Siapa dia?!? Mau apa orang itu !?Kastara langsun melihat ke ranjang dan Shena masih terlelap dan tidak terganggu sama sekali. Dia harus turun dan menangkap basah maling yang mengintip kamarnya itu!Perlahan, Kastara membuka pint
“Kau tidak demam, kan?” tanya Kastara heran dengan punggung tangannya di dahi Shena.Shena menggeleng sambil tertawa, “Tidak, aku baik-baik saja, Tara. Hanya ingin tidur sambil memelukmu. Boleh tidak?”“Kau—kau ingin memelukku? Tentu saja boleh, Shena. Aku senang sekali kalau itu kemauanmu sendiri — atau jangan-jangan kau sedang ngidam? Kudengar di televisi mengatakan bahwa istri yang sedang hamil suka berbuat yang aneh-aneh! Kebanyakan mungkin berasal dari perasaan mereka yang tidak tercapai …,” Kastara tergelak setelah mengucapkan kata-katanya sendiri.“Tapi … itu bukan kemauanku sendiri, Tara. Ini pasti kemauan si jabang bayi yang ingin kau peluk,” sanggah Shena dengan roman cemberut.Kastara tergelak lagi melihat wajah Shena, “Sudah-sudah, tak masalah bagiku mau kau yang ingin atau bayimu yang ingin memelukku. Aku senang sekali mendengarnya. Baiklah, malam ni kita akan tidur satu ranjang. Tapi ranjang ini tidak terlalu besar ….” Kastara mengernyit lagi sambil memikirkan ide apa ya
“Ini, Ibu sedang membaca berita kecelakaan yang terjadi beberapa tahun silam yang sepertinya kasusnya dibuka kembali. Mana Shena? Apa dia belum bangun?” tanya Widya dengan dahi berkerut.“Bu, ada yang ingin aku bicarakan pada Ayah dan Ibu, tetapi karena ayah pergi, sebaiknya aku ceritan saja pada Ibu. Mungkin nanti setelah Ayah pulang, Ibu bisa ceritakan pada Ayah,” tukas Kastara pelan.“Ada apa, Tara? Sesuatu yang buruk terjadi?” tanya Widya memburu khawatir.“Tidak—tidak, bukan hal yang buruk, tetapi justru hal yang menggembirakan, Bu. Masalahnya Ayah pasti akan naik darah begitu aku menceritakannya,” jawab Kastara tertawa keci. Tiba-tiba Bi Asih muncul sambil membawa semangkuk bubur ayam yang masih mengepulkan uap panas. aromanya sungguh harum sekali, membuat perut Kastara langsung bergolak karena lapar.“Terima kasih, Bi, tahu aja aku lagi lapar,” ucap Kastara dengan cengiran.“Bi Asih masih ingat kelakuanmu, kalau lapar, Tara, yang suka mengobrak-abrik dapur mencari makanan,” ja
“Siapa yang mengirimimu uang?” tanya Kastara ketika Shena masuk ke mobil dengan muka semringah.“Papa. Aku minta dia mengirimiku uang warisan Mama yang sempat dipegangnya karena aku tidak mau bekerja di perusahaan Papa setelah aku tamat. Akhirnya … yah seperti yang kau pikirkan aku mengalah dan bekerja di perusahaan. Lalu karena Papa mengusirku dan membekukan uang-uangku, aku minta dia mencairkan uang Mama dan mengirimkannya padaku. Itu hakku Kastara, tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan maupun Papa. Mama lebih menyayangiku dibanding adik-adikku yang lain …. Tapi … mengapa Mama pergi bersama mereka?” Air mata Shena kembali menetes perlahan teringat ibunya yang meninggal tiba-tiba tanpa mengucapkan pesan terakhir untuknya.Kastara menghela napas, “Itu sudah takdirnya, Shena. Jangan sedih, ya, kita doakan agar Mama dan adik-adikku berbahagia di surga. Tugas mereka di dunia sudah selesai. Jangan ditangisi lagi.” Kastara mengambil dua helai tisu dari dashboard dan memberikannya pad
Pagi itu Kastara bersama Shena mengemudikan mobil menuju ke kantor catatan sipil yang ada di kabupaten dengan membawa surat-surat yang dibutuhkan, tidak menunggu lama, satu jam kemudian mobil kembali melaju Ke kabupaten kota yang jaraknya hampir memerlukan jarak tempuh hampir dua jam. Shena tidak banyak kata selama di perjalanan. Dia masih ragu, akankah dia dan Kastara benar-benar menikah dan menjadi keluarga?“Kenapa diam saja? Apa perutmu terasa mual? Kembung? Atau sakit?” tanya Kastara memulai percakapan pagi itu.“Tidak, hanya tidak tahu harus berkata apa, Tara,” jawab Shena sambil mengalihkan pandangan melihat pemandangan dari jendela mobil.“Apa kau masih ragu menikah denganku? Surat itu akan jadi dalam dua hari, Shena. Setelah itu kau akan menjadi tanggung jawabku sepenuhnya,” tukas Kastara dengan sungguh-sungguh.Shena terdiam, walau bagaimana pun dia masih khawatir karena tidak ada seorang pun keluarga Kastara yang mengucapkan selamat padanya atau pun seandainya mereka tidak