"CEO Harris Wijaya Grup, Dhexel Harris Wijaya tertangkap kamera sedang tidur bersama seorang wanita di sebuah kamar hotel mewah pagi ini."
"Para klien dan investor yang sempat bekerja sama dengannya pun kini mulai mempertanyakan reputasi baik dari Sang CEO yang disebut hanya settingan selama ini.""Beberapa saham di bawah Harris Wijaya Grup pun secara mengejutkan langsung terpengaruh sejak berita ini diturunkan."Suara pembawa berita itu tidak berhenti terdengar di rumah keluarga Dhexel sampai kedua orang tua Dhexel, Dexter dan Rebecca pun menjadi cemas mendengarnya.Bahkan Rebecca terus menelepon Dhexel namun anaknya tidak kunjung menjawab teleponnya.Sampai tidak lama kemudian, suara mobil berhenti terdengar di depan rumah dan Rebecca pun langsung berlari keluar.Marlo sendiri menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah besar yang merupakan rumah keluarga Harris Wijaya dan Dhexel langsung melihat ibunya di sana."Dhexel, kau sudah pulang? Kau baik-baik saja? Mama sudah melihat beritanya. Apa pria itu benar-benar kau? Dan bagaimana itu bisa terjadi, Dhexel?""Kita bicarakan di dalam saja, Ma. Aku dijebak, Ma. Ini ulah salah satu lawan bisnisku.""Astaga, jadi itu benar kau? Tapi siapa yang berani melakukan itu padamu?""Entahlah, Ma. Tapi Mama jangan khawatir, aku akan mencari tahu tentang itu.""Ck, Dhexel! Jangan menganggap masalah ini sepele, kita sedang bersiap meluncurkan produk baru dan berita ini sudah membuat investor dan klien bisnis kita cukup heboh.""Aku mengerti, Ma! Aku berjanji akan segera menyelesaikannya. Mama jangan khawatir."Dhexel terus menenangkan Rebecca dan mereka pun masuk ke dalam rumah untuk berunding.Sementara di sisi lain, Selina sendiri akhirnya sampai ke markas para rentenir, orang yang sudah memberinya tugas untuk menipu Dhexel.Untuk sesaat Selina menggeram kesal melihat para anak buah rentenir yang berjaga di depan markas."Apa yang kalian lihat, Brengsek? Mana Bosmu? Keterlaluan, dia sudah menipuku!"Para anak buah pun mempersilakan Selina masuk karena mereka memang sudah mengenalnya dan saat akhirnya Selina bertemu dengan seorang pria bengis yang dipanggil Bos Besar itu, Selina pun langsung dibakar emosinya.Selina langsung menggebrak meja di hadapan pria itu."Dasar pria brengsek! Berani sekali kau menipuku, hah?"Bos Besar yang sedang duduk di kursi kerjanya pun mengangkat alisnya. "Apa yang kau katakan? Siapa yang menipumu? Bahkan aku sudah mendapatkan bayaran dari orang yang memakai jasa kita!" Pria itu menepuk koper kecil di mejanya dengan santai.Selain sebagai rentenir, Bos Besar dan para anak buahnya juga melakukan tindakan kriminal lain. Mereka bisa dibayar untuk menipu, menculik, menjebak, atau kekerasan lain, dengan kata lain, mereka adalah penjahat.Selina sendiri terpaksa bekerja pada mereka demi melunasi hutang ayahnya agar keluarganya bisa hidup tenang.Selina pun menatap koper kecil di meja itu dan mendadak kemarahannya sedikit teredam."Kau sudah mendapat bayaran? Kalau begitu cepat berikan padaku! Aku harus minta bagianku dua kali lipat karena CEO gila itu sudah merenggut keperawananku!"Bos Besar pun mengernyit mendengarnya. "Merenggut apa? Kau tidur dengannya?""Ck, dasar brengsek! Jangan pura-pura tidak tahu! Obat apa yang kumasukkan ke dalam minumannya sampai dia mendadak menggila dan meniduriku?"Bos Besar pun terdiam sejenak. "Benarkah itu? Jadi karena obat itu, dia tidur denganmu? Ck, malang sekali nasibmu, tapi siapa yang percaya kalau kau masih perawan, hah? Apa kau bisa membuktikannya?""Dasar brengsek! Kau pikir aku berbohong, hah?""Jangan mengataiku terus, Selina! Hidupmu itu bergantung padaku jadi jangan berani-berani melawanku!" Bos Besar mulai marah dan menggebrak mejanya juga dan Selina pun mendadak menciut hingga tidak berani bicara lagi.Bos Besar langsung membuka kopernya dan mengambil dua bendel uang lalu melemparnya ke hadapan Selina."Ambil uang itu dan sisanya ini untuk mencicil hutang ayahmu yang masih segunung, belum ditambah bunganya yang semakin hari juga semakin besar!"Selina pun menatap nanar pada dua bendel uang yang tergeletak di lantai.Selina membungkuk dan mengambil uang itu sambil melayangkan protesnya."Hanya segini? Apa kau tidak salah? Aku tahu hutang ayahku masih sangat banyak tapi aku tidur dengan CEO itu, tidak bisakah aku mendapat bayaran yang lebih?""Ck, itu masalahmu sendiri, Selina! Sudah untung aku memberimu bagian! Kalau kau tidak mau menerimanya, kembalikan saja! Suruh dia keluar!" perintah Bos Besar pada anak buahnya.Dengan cepat para anak buah pun menyeret Selina keluar."Hei, tunggu, dasar brengsek! Berikan aku lebih! Dasar pria brengsek!" teriak Selina frustasi.Cukup lama Selina membuat keributan sendiri di depan markas Bos Besar namun para anak buah terus mengusirnya hingga Selina tidak punya pilihan lain selain menyeret langkahnya pergi dari sana."Sial! Aku bekerja seharian, kehilangan keperawanan, berlari seperti orang gila karena dikejar oleh CEO itu dan sekarang aku juga diperlakukan seperti ini oleh Bos Besar itu?" lirih Selina sambil melangkah gontai menjauh dari markas rentenir itu.Selina pun menatap dua bendel uang di tangannya dan mendadak melow."Ck, aku benci keadaan seperti ini! Sial! Ayah, di mana kau sekarang? Bisakah kau lebih bertanggung jawab pada keluargamu, hah? Kalau kau berani, muncullah sendiri dan bekerjalah pada rentenir itu untuk melunasi hutangmu sendiri! Jangan jadikan anakmu sebagai korbannya!" teriak Selina lagi dengan frustasi."Sial!" geram Selina lagi yang akhirnya melangkah pulang.Selina sempat mampir ke sebuah depot untuk membeli makanan, sebelum akhirnya langkah kakinya pun berhenti di sebuah rumah kecil di gang yang cukup sempit.Selina menenangkan napasnya, merapikan dirinya, dan menampilkan senyum sumringahnya sebelum ia membuka pintunya dengan bersemangat."Aku pulang!" teriak Selina dengan senyuman yang merekah."Eh, Kakak sudah pulang, Ibu!" pekik Juna, adik laki-laki Selina yang baru berumur sepuluh tahun itu.Umur Selina yang berbeda jauh dengan adiknya membuat Selina sangat memanjakan Juna dan over protektif padanya.Selina pun berusaha memberikan pendidikan yang terbaik untuk Juna dan Selina juga tidak akan pernah membiarkan adik semata wayangnya itu tahu apa yang ia kerjakan karena selamanya ia berharap bisa menjadi kakak yang membanggakan untuk adiknya itu."Eh, kau membawa apa, Kak? Kau tahu Ibu sangat kebingungan karena kau tidak pulang semalaman. Kami meneleponmu tapi ponselmu tidak aktif.""Ah, itu ... ponselku kehabisan baterai! Kemarin aku bekerja lembur dan tertidur di rumah temanku, maaf ya tidak memberi kabar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Selina berusaha bersikap biasa saja."Benarkah itu? Syukurlah kalau begitu. Aku sudah tahu kau pasti bisa menjaga dirimu tapi Ibu yang kebingungan tidak jelas," seru Juna sambil langsung mengambil makanan dari tangan Selina dan membukanya di meja makan.Selina pun menatap Juna dan tersenyum melihat betapa adiknya itu bahagia hanya dengan melihat makanan enak.Sambil masih tersenyum, Selina pun melangkah ke kamar dan melihat Aula, ibunya, yang baru saja bangkit berdiri dari ranjangnya."Ibu?""Selina, kau membuat Ibu tidak bisa tidur sepanjang malam.""Astaga, maafkan aku, Ibu! Aku sibuk bekerja.""Pekerjaan macam apa yang membuatmu sampai tidak pulang?""Ah, sudahlah, ini salahku yang tidak mengabari tapi sungguh aku baik-baik saja."Aula pun terus mengomel sedangkan Selina hanya bisa menunduk mendengarkan omelan itu sambil menenangkan ibunya itu. Hingga akhirnya Selina pun membawa Aula duduk di meja makan dan melayaninya makan."Makanlah ini, Ibu! Ini enak sekali!""Sudah cukup, untukmu saja! Ibu yang sudah tua dan sakit-sakitan ini tidak perlu banyak makan!" balas Aula sambil mengambilkan Selina makan."Astaga, apa maksudmu, Ibu? Orang tua dan sakit pun tetap harus banyak makan. Ayo, kita makan bersama!""Ah, baiklah, kau juga makan. Ibu lega sekali melihatmu, kau tahu Ibu sampai mimpi buruk semalam karena kau tidak pulang, Selina."Selina tersenyum mendengarnya. "Mimpi itu hanya bunga tidur, memangnya kau mimpi apa, Ibu?""Mimpi yang mengerikan! Ibu bermimpi kau bangun di ranjang seorang pria asing dan jantung Ibu berdebar tidak karuan, Ibu takut sekali, Selina!"Senyuman Selina langsung menghilang mendengarnya dan debar jantungnya langsung memacu kencang."Apa? Itu ... sudah kubilang mimpi hanya bunga tidur, Ibu! Jangan dipikirkan, ayo makan saja! Tapi aku hampir lupa, ada sedikit uang untuk Ibu simpan dan ini ada uang jajan untuk Juna, sisanya akan kubuat membayar uang sekolah Juna nanti."Selina yang sedikit gugup pun langsung membagikan uang itu untuk Juna dan Aula. Juna sendiri langsung sumringah, sedangkan Aula langsung menatap uang itu dengan penuh syukur, sebelum mendadak Aula mengatakan hal yang membuat debar jantung Selina makin tidak terkendali."Uang yang didapat secara halal pasti akan menjadi berkah, terima kasih, Selina! Tapi kali ini, pekerjaan apa yang kau lakukan sampai hasilnya cukup banyak, Nak?"**"Itu ... aku menjaga gudang. Ya, kebetulan aku diminta membantu temanku untuk menjaga gudang bosnya jadi aku terima saja, karena itu aku tidak pulang," dusta Selina dengan perasaan yang tidak karuan. Selama ini Selina selalu berbohong bahwa ia bekerja serabutan di sebuah toko pecah belah dan mengambil banyak pekerjaan sampingan lain sampai Aula tidak mengerti apa saja yang Selina kerjakan, hanya saja, Aula selalu percaya pada anaknya itu yang jujur dan bisa menjaga dirinya sendiri. "Syukurlah kalau kau mendapat pekerjaan bagus, Selina," sahut Aula akhirnya. "Ah, iya, Ibu! Tapi ayo makan saja! Ayo, Juna, makan!" Selina memaksakan tawanya seolah ia begitu bahagia, dan tawa itu pun membuat Aula dan Juna ikut tertawa sampai perasaan Selina menjadi sedikit lebih baik, walaupun tetap saja ada rasa sakit di hatinya karena ia sudah membohongi keluarganya. Beberapa hari berlalu dan Selina kebetulan tidak bekerja hari itu pun mengunjungi Bora, sahabatnya. Seperti biasa, saat sama-sama sed
Jantung Selina masih berdebar tidak karuan melihat Dhexel di sana. Selina pun menelan salivanya dan langsung membalikkan tubuhnya membelakangi Dhexel. "CEO itu di sana, Bora. Aku harus pergi!" "CEO siapa? Apa maksudmu, Selina?" "Yang tidur denganku." Bora memiringkan wajahnya menatap Dhexel yang sedang memicingkan matanya menatap Selina dan Bora pun seketika juga membelalak. "Tunggu dulu! Maksudmu CEO yang tidur denganmu itu adalah dia? Dhexel Harris Wijaya?" "Apapun itu namanya tapi dia yang tidur denganku, Bora, dan aku harus pergi!" "Tapi bagaimana dengan pekerjaannya, Selina?" "Tolong bantu aku, Bora! Aku tidak tahu bagaimana dengan pekerjaannya, tapi yang jelas aku tidak boleh sampai tertangkap atau aku akan masuk penjara! Aku pergi dulu, Bora!" Dengan cepat Selina pun pergi dari Bora dan Dhexel yang melihatnya pun menegang. Tadinya Dhexel masih mengobrol dengan rekan bisnisnya sampai tatapannya bertemu dengan tatapan wanita penipu itu dan Dhexel pun langsung mengejarny
"Kau?" Dhexel dan Selina masih saling menatap dengan kaget. Bukan hanya Dhexel yang kaget, namun Marlo juga sudah membelalak melihat wanita yang sudah menipu Dhexel itu. Sedangkan Selina sudah panik luar biasa. Selina mendadak gemetar, ia ingin kabur lagi tapi ia tidak bisa kabur karena ibunya sedang dirawat. Namun Selina tidak mau sampai Ibu dan adiknya mengetahui apa yang sudah ia lakukan. Dhexel sendiri sudah menatap Selina berapi-api dan Dhexel masih kesal luar biasa pada Selina yang berhasil membuat Dhexel cukup lama tersiksa oleh berita skandal itu. Ditambah lagi Selina yang mendadak muncul di pesta kemarin lalu menghilang begitu saja. "Akhirnya aku menemukanmu lagi, wanita..." Belum sempat Dhexel menyelesaikan ucapannya namun Selina yang panik langsung bersuara dengan lantang. "Ah, jadi kau yang menyelamatkan ibuku, Pak? Terima kasih banyak, tapi bisa kita bicara di luar saja? Tidak enak di sini banyak orang sakit! Haha! Ibu, Juna, Kakak keluar dulu untuk bicara dengan B
"Kau tahu kalau kau dan CEO itu seperti jodoh saja. Sudah berapa kali kau bertemu dengannya? Ini kebetulan yang terlalu kebetulan, Selina!" Selina sudah bersembunyi di rumah Bora sejak pagi dan Selina mematikan ponselnya. Selina pun menceritakan semuanya pada Bora namun Bora malah mengatakan hal yang absurd tentang jodoh. "Ck, jodoh apanya? Justru itu kesialan bagiku, Bora! Aku tidak mau pulang dulu, pasti dia sedang mencariku karena ingkar janji, Bora!" "Haha, baiklah, maafkan aku, Selina!" "Tapi Bora, apa masih ada pekerjaan halal untukku? Setelah memikirkannya lagi, ucapan CEO itu benar juga, bagaimana kalau suatu hari ibuku tahu semuanya dan dia pasti akan sangat kecewa padaku. Memikirkan Juna akan membenciku saja rasanya sesak sekali di dada ini, Bora." Tangan Selina pun memegangi dadanya sendiri. "Karena itu aku bertekad untuk bekerja halal saja, aku tidak mau jadi penipu lagi, bahkan sekalipun pekerjaan itu cleaning service, aku akan rela melakukannya dibanding harus meni
Jantung Selina masih memacu tidak karuan menatap Dhexel yang duduk di kursi CEO. Entah takdir apa yang sedang mempermainkan mereka sampai mereka harus terus menerus dipertemukan seperti ini. Selina mematung. Kali ini tubuhnya kaku seperti mumi. Otaknya sudah memerintahkan untuk kabur, tapi sialnya tubuhnya tidak bisa bereaksi. Begitu juga dengan Dhexel yang sama kagetnya. Bahkan Dhexel sampai berdiri dari kursinya dan dengan cepat memutari mejanya lalu mencekal lengan Selina sampai Selina terperanjat kaget. "Selina, akhirnya kita bertemu setelah kau menipuku lagi dan lagi, wanita sialan!" Selina membelalak dan menelan salivanya gugup. "Apa? Apa? Bagaimana bisa kau ada di sini dan duduk di kursi CEO?" cemas Selina. "Jangan bilang kau CEO di sini, ini..." Dhexel memicingkan matanya dan untuk sesaat, Dhexel pun menatap seragam cleaning service yang Selina pakai. Dhexel mengamati tubuh Selina dari atas sampai bawah sampai Selina sendiri merasa ditelanjangi oleh tatapan Dhexel. "Itu
"Dia sedang membalas dendam padaku, Bora! Ya, aku yakin dia akan melakukan sesuatu untuk membuatku menderita!" "Oh, aku stres sekali, Bora! Tidak bisa resign tapi malah disuruh menjadi badut selama satu bulan! Oh..." Selina tidak berhenti mengomel sepanjang perjalanan pulang sore itu. Bora yang menyetir motornya pun hanya bisa terus menenangkan Selina dan memberi semangat pada sahabatnya itu, sampai akhirnya mereka pun tiba di rumah Selina.Aula sendiri langsung menyambut mereka dan Aula senang sekali melihat Selina dan Bora bekerja bersama. "Ibu menyukai pekerjaan barumu ini, Selina, apalagi kau bekerja bersama Bora! Sekarang setiap sore kau akan ada di rumah jadi Ibu tidak khawatir lagi!" seru Aula saat Selina sudah masuk ke dalam rumah. "Ck, sudah kubilang aku bisa menjaga diriku sendiri, bekerja apapun untukku sama saja, tidak usah mengkhawatirkan aku, Ibu!"Aula tersenyum mendengarnya namun Juna nampak begitu antusias. "Jadi kau bekerja di bagian apa, Kak? Pasti keren ya b
"Akhh, kau mengambil kesempatan lagi! Pergi kau! Pergi!" pekik Selina sambil langsung memalingkan wajahnya dan mendorong tubuh Dhexel dari atasnya. "Sial! Kau pikir aku mau menciummu? Kau pasti sengaja menjatuhkan dirimu kan?" sahut Dhexel sambil langsung bangkit berdiri dari atas Selina. "Aku menjatuhkan diriku? Kau yang menimpaku, sialan! Kau yang menciumku, mengapa aku yang kau salahkan? Malahan seharusnya aku yang marah, sudah kubilang jangan menarik ekorku!" seru Selina menggebu.Selina berusaha bangun dengan cepat namun ia tidak bisa. "Ah, aku tidak bisa bangun! Aku tidak bisa bangun!" Dhexel yang sudah berdiri pun menggeram kesal sambil mengelap bibir dengan tangannya. Marlo yang melihatnya pun buru-buru memberikan sapu tangannya. "Kau butuh ini, Bos?" Dengan cepat, Dhexel menyambar sapu tangan itu dan mengelap bibirnya lagi dengan kasar seolah ada noda yang sulit dihilangkan di sana. Selina yang melihatnya pun sampai sakit hati sendiri. Masih dalam posisi berbaring, S
"Aku pulang!" Setelah bersembunyi cukup lama dan menunggu sampai para rentenir pergi, akhirnya Selina pun pulang ke rumahnya. Aula langsung menyambutnya dengan senyum sumringah sedangkan Juna sendiri memasang ekspresi datarnya karena kejadian tadi. Namun Aula mati-matian meminta Juna menyembunyikan kedatangan rentenir itu agar Selina tidak kepikiran. "Apa ada yang terjadi di rumah selama aku bekerja, Ibu? Mengapa rumahnya agak berantakan?" Selina berpura-pura tidak mengerti. "Tidak ada, Selina! Tidak ada, hanya saja Ibu sedang bersih-bersih, tapi kau bawa apa? Makanan? Sini Ibu buka, ayo makan, Juna sudah kelaparan, Ibu hanya masak apa adanya tadi. Ayo! Kau pasti lelah, Selina! Segera makan dan istirahatlah, biar Ibu yang mencuci piring nanti ya!" Aula terus tersenyum sambil berusaha bersikap biasa saja namun Selina yang sedih sendiri melihatnya. Saat Selina berusaha keras menjaga perasaan ibunya, begitu juga dengan Aula yang berusaha keras menjaga perasaan Selina. Sungguh mer