DIATAS sebuah pembaringan batu yang dialasi permadani dan bantal-bantal empuk terbuat dari rumput kering, Jin Muka Seribu berbaring dengan mata terpejam, ditemani setengah lusin gadis cantik berpakaian serba minim. Diantara mereka ada yang memijat-mijat tangan atau kaki, ada pula yang memijit-mijit kepalanya. Seorang gadis bermuka bulat berbadan sintal sesekali menyuapkan sejenis buah menyerupai anggur ke dalam mulut Jin Muka Seribu yang saat itu terbaring dengan penampilan wajah seorang lelaki separuh baya. Sudah beberapa kali gadis ini berusaha memasukkan buah itu ke dalam mulut Jin Muka Seribu, namun Jin Muka Seribu entah apa sebabnya sejak tadi selalu mengatupkan mulut.
Di sisi kanan bersimpuh gadis ke enam, gadis paling cantik dari semua gadis yang ada di ruangan itu. Gadis ini memegang sehelai kipas daun yang dikipas-kipaskannya ke arah Jin Muka Seribu dan menebar bau harum. Beberapa waktu berlalu tanpa ada yang berani bicara dan Jin Muka Seribu masih saja berbaring den
Jin Muka Seribu sesaat masih menetap Ruhkiniki. Kemudian dia memandang ke pintu. ”Sudah belasan hari mereka pergi. Sampai saat ini apakah masih belum kembali?""Hai, gerangan siapa yang Junjungan pertanyakan? Sudilah menyebut nama agar kami bisa menjawab.” berkata Ruhkiniki."Yang kutanyakan adalah tiga sahabat tangan kananku di Istana Surga Dunia ini. Si Pahidungbesar, Papicakkanan dan Pasulingmaut!” jawab Jin Muka Seribu pula dengan suara agak berang.Baru saja Jin Muka Seribu selesai berucap tiba-tiba di luar ruangan ada orang berseru."Jin Muka Seribu Junjungan Penguasa Istana Surga Dunia! Kami bertiga yang kau tanyakan ada di luar sini! Mohon waktu untuk menghadap! Kami membawa kabar buruk!"Empat wajah Jin Muka Seribu sesaat berubah men-jadi wajah kakek-kakek pucat. Setelah hatinya tenang wajahnya depan belakang kiri dan kanan kembali pada wajah dua lelaki separuh baya."Pintu batu tidak dikunci. Dorong dan masuklah!&
Jin Muka Seribu perhatikan buntungan di paha Papicakkanan.” Ini bukan luka biasa. Sebagian pahanya yang masih bersisa kelihatan hangus seperti dipanggang.”“Kakek bernama Pasulingmaut mendongak. Matanya berkaca-kaca. Dari mulutnya keluar suara bergumam. Setelah meniup sulingnya satu kali kakek ini usut air matanya."Hai Jin Muka Seribu. Sahabatku ini terkena sambaran Pedang Pilar Bumi" wajah Jin Muka Seribu langsung berubah mendengar nama Pedang Pilar Bumi."Jahanam besar! Kalian bertiga ternyata tidak becus!” Empat muka Jin Muka Seribu kembali berubah menjadi wajah-wajah raksasa menggidikkan."Sebenarnya hal mudah bagi kami untuk membereskan pemuda itu. Malah Dewi Awan Putih telah kami tawan.”"Apa?!” Jin Muka Seribu tersentak. ”Di mana Dewi Itu sekarang?""Aku sembunyikan di sebuah sumur melintang dekat jalan masuk ke Istana Surga Dunia di sebelah utara.”"Jangan bermain culas de
Mendengar keterangan Pahidungbesar itu sepasang mata Jin Muka Seribu mendelik besar. Lalu dia usap-usap mukanya sebelah depan berulang kali. Dalam hati dia membatin. ”Pukulan Menebar Budi Hari Ketiga saja sudah membuat anak buahku kelabakan. Belum lagi Pukulan Menebar Budi Hari Keempat, Kelima, Keenam dan Ketujuh! Siapa adanya manusia satu ini harus diselidiki, diringkus dan dihabisi. Tapi mungkinkah dia Dewa yang turun ke bumi melakukan penyamaran?” Jin Muka Seribu memandang pada dua kakek di hadapannya lalu berkata. "Aku melihat pertanda buruk. Sudah sebelas malam aku seolah melihat wajah-wajah aneh. Beberapa kali aku melihat gambar bunga dalam lingkaran. Sayang Pagandrung dan Pagandring sudah mampus! Kalau mereka masih hidup mungkin bisa memberi keterangan yang aku harapkan. Selama ini kabut rahasia selalu menyelubungi kehidupanku. Aku tak pernah tahu asal usulku. Aku tak pernah tahu siapa ayah siapa ibuku!” Sambil bicara rawan seperti itu Jin Muka S
"Pecah kepalamu!” teriak Pasedayu. Patumpangan rundukkan kepalanya. Sambil selamatkan diri dia tusukkan Parang Langit Biru ke arah dada lawan yang mengambang di atasnya. Pasedayu kertakkan rahang, menggeram marah karena dia tahu bagaimanapun cepatnya hantaman tangannya ke kepala Patumpangan, ujung parang lawan akan menembus dadanya lebih dulu!Masih melayang di udara Pasedayu pergunakan kaki kiri untuk menendang. Namun luput! Sementara itu parang biru terus menusuk ke atas! Pasedayu keluarkan teriakan keras. Bersamaan dengan itu dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya seolah terbanting ke samping. Patumpangan percepat gerakannya menusuk,"Rasakan!” teriaknya. Parang biru amblas ditubuh sebelah kanan Pasedayu. Ternyata hanya menusuk di celah sempit antara ketiak dan rusuk lawan! Walau selamat tapi Pasedayu tahu betul bahaya besar yang mengancamnya. Jika lawan bertindak cepat dan sigap, mata parang yang sangat tajam itu bisa mero
Sepasang mata si kakek yang juga seolah dikobari api menatap tajam pada Pasedayu. Begitu dia membuka mulut dan bicara, lidahnya tampak seperti dibuat dari api."Pasedayu, lekas kau serahkan Jimat Hati Dewa Itu padaku!""Hai! Kau siapa?” tanya Pasedayu. Suaranya keras dan dalam hati dia menduga-duga siapa adanya makhluk aneh di hadapannya itu.Kobaran api di dua mata dan lidah si kakek yang muncul dari atas langit menjilat ke depan."Aku Wakil atau Utusan Para Dewa! Datang di perintahkan untuk mengambil Jimat Hati Dewa yang kini kau pegang itu.” Si kakek ulurkan tangan kirinya.Ternyata telapak dan jari-jari tangannya itu juga dijilati api! Terkejutlah Pasedayu mendengar ucapan si kakek.” Tunggu dulu! Aku juga Wakil Para Dewa di Negeri Jin ini! Antara kita berada dalam kedudukan sama! Jangan kau berani memerintah diriku!""Pasedayu, kedudukanmu sebagai Wakil Para Dewa, seperti dikatakan Patumpangan telah dicabut
Di depan sana, ketika cambuk api membuat dua kali putaran di udara dengan segala kedahsyatannya, Pasedayu tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya. Jimat Hati Dewa yang berupa gumpalan daging merah hidup itu dimasukkannya ke dalam mulutnya lalu dikunyahnya mentah-mentah!Kakek Wakil Para Dewa berteriak kaget.” Tidak! Jangan lakukan itu!"Seperti orang kesurupan Pasedayu mempercepat kunyahannya. Daging yang dikunyah keluarkan darah merah kehitaman dan mengucur dari dalam mulutnya. Dari tenggorokannya ada suara seperti srigala menggeram tak berkeputusan. Sepasang matanya menatap membeliak dan garang pada si kakek."Jangan! Pasedayu! Jangan kau telan benda dalam mulutmu! Semburkan keluar!"Pasedayu tidak peduli. Kunyahannya semakin cepat. Darah yang keluar dari mulutnya bertambah banyak. Lalu gluk... gluk... gluk! Haaaaah! Jimat Hati Dewa ditelannya, amblas ke dalam perut lewat tenggorokannya. Begitu sang jimat berada dalam tubuh Pasedayu, terjadilah satu
Beberapa belas tahun setelah kejadian di tepi jurang... ”Hai istriku Ruhpingitan, aku akan meninggalkanmu dan anak-anak. Aku pergi tak akan lama, hanya sekitar sepuluh tahunan. Jika aku kembali maka aku akan membawa kalian ke Lembah Bulan Sabit. Di situ aku sudah membangun satu rumah besar untuk tempat tinggal kita yang baru.”Perempuan bernama Ruhpingitan memandang sedih pada suaminya. Walau masa sepuluh tahun di Negeri Jin sama dengan setahun di tanah Jawa namun seolah tak sanggup dia menatap mata sang suami, perempuan itu alihkan pandangannya ke arah tempat tidur besar terbuat dari batu berlapiskan jerami kering. Di atas tempat tidur itu terbaring empat anak laki-laki masing-masing berusia setahun, dua tahun, tiga tahun dan empat tahun sesuai ukuran usia di Negeri Jin yang tidak sama dengan negeri lainnya pada masa itu. Keempat anak itu tengah tertidur nyenyak dalam dinginnya udara menjelang pagi."Pasedayu Hai suamiku. Sebelum kau pergi, apakah kau tida
PASEDAYU duduk terbungkuk-bungkuk di tanah yang becek. Sekujur tubuhnya terutama di sebelah belakang mendenyut sakit Mukanya pucat dan pandangan matanya sayu. Kalau saja dia bisa meminta rasanya saat itu dia lebih suka memilih mati. Perlahan-lahan dia turunkan tangan kanan yang sejak tadi dipergunakan untuk menopang keningnya. Memandang ke depan dia hanya melihat tanah rata yang disana-sini masih digenangi air. Pasedayu sampai di tempat itu malam tadi. Dan kini matahari menjelang tenggelam. Berarti hampir satu hari penuh dia terduduk di situ, didera oleh rasa sakit di sekujur tubuh serta perasaan hancur di dalam hati. Otaknya seperti mau gila menghadapi kenyataan ini."Rata semua.... Rumahku, lenyap tak berbekas. Para Dewa. Hai tunjukkan padaku dimana mereka berada. Mengapa kau jatuhkan cobaan maha berat ini padaku! Anak istriku... Ruhpingitan, anak-anakku.... Apakah mereka masih hidup? Dimana mereka sekarang?” Tenggorokan Pasedayu turun naik. Dadanya terasa sesak. Mata