Beberapa belas tahun setelah kejadian di tepi jurang... ”Hai istriku Ruhpingitan, aku akan meninggalkanmu dan anak-anak. Aku pergi tak akan lama, hanya sekitar sepuluh tahunan. Jika aku kembali maka aku akan membawa kalian ke Lembah Bulan Sabit. Di situ aku sudah membangun satu rumah besar untuk tempat tinggal kita yang baru.”
Perempuan bernama Ruhpingitan memandang sedih pada suaminya. Walau masa sepuluh tahun di Negeri Jin sama dengan setahun di tanah Jawa namun seolah tak sanggup dia menatap mata sang suami, perempuan itu alihkan pandangannya ke arah tempat tidur besar terbuat dari batu berlapiskan jerami kering. Di atas tempat tidur itu terbaring empat anak laki-laki masing-masing berusia setahun, dua tahun, tiga tahun dan empat tahun sesuai ukuran usia di Negeri Jin yang tidak sama dengan negeri lainnya pada masa itu. Keempat anak itu tengah tertidur nyenyak dalam dinginnya udara menjelang pagi.
"Pasedayu Hai suamiku. Sebelum kau pergi, apakah kau tida
PASEDAYU duduk terbungkuk-bungkuk di tanah yang becek. Sekujur tubuhnya terutama di sebelah belakang mendenyut sakit Mukanya pucat dan pandangan matanya sayu. Kalau saja dia bisa meminta rasanya saat itu dia lebih suka memilih mati. Perlahan-lahan dia turunkan tangan kanan yang sejak tadi dipergunakan untuk menopang keningnya. Memandang ke depan dia hanya melihat tanah rata yang disana-sini masih digenangi air. Pasedayu sampai di tempat itu malam tadi. Dan kini matahari menjelang tenggelam. Berarti hampir satu hari penuh dia terduduk di situ, didera oleh rasa sakit di sekujur tubuh serta perasaan hancur di dalam hati. Otaknya seperti mau gila menghadapi kenyataan ini."Rata semua.... Rumahku, lenyap tak berbekas. Para Dewa. Hai tunjukkan padaku dimana mereka berada. Mengapa kau jatuhkan cobaan maha berat ini padaku! Anak istriku... Ruhpingitan, anak-anakku.... Apakah mereka masih hidup? Dimana mereka sekarang?” Tenggorokan Pasedayu turun naik. Dadanya terasa sesak. Mata
"Hai makhluk di puncak batu karang tempat arus berputar! Jika kau mengikuti petunjukku, kau tak perlu harus menunggu sampai sepuluh tahun lagi! Sebelum sang surya tenggelam hari ini, kau sudah boleh meninggalkan pulau karang!"Makhluk di atas batu karang tersentak kaget. Dia mendongak ke atas. Di antara silaunya Matahari Terik dia melihat ada sebuah benda berwarna merah melayang turun dari sebelah utara. Belum sempat dia berkejap, benda ini tahu-tahu sudah sampai di hadapannya! Kejut si makhluk aneh bukan alang kepalang!Sosok yang tegak di depannya saat itu adalah sosok seorang kakek yang keadaannya sungguh mengerikan. Sekujur badannya dikobari nyala api. Namun sosok sebelah kanan yaitu bagian bahu sampai ke pinggang hanya merupakan satu lobang besar menggidikkan. Makhluk berlumut di atas batu bisa melihat isi dada dan perut serta genangan darah di dalamnya. ”Makhluk api yang sosokmu hanya tinggal sebelah! Siapa kau adanya! Apa maksud ucapanmu tadi?!" Yang
"Wuuttt! Seetttt! Setttt!Bluuupppp!"Lobang besar akibat hantaman pukulan tadi kini tertutup oleh gumpalan debu, rata tak berbekas seperti keadaan semula! Pabahala hanya bisa leletkan lidah menyaksikan kejadian itu. Kakek api menyeringai lebar lalu berkata."Sungguh hebat ilmu pukulan Menghancur Karang Membentuk Debu yang kau perlihatkan padaku. Hai, bukankah itu nama pukulan yang barusan kau Perlihatkan padaku? Hik... hik... hik!"Makhluk berlumut terkesiap kaget. Tidak mengerti bagaimana si kakek api tahu nama pukulan yang barusan dikeluarkannya."Makhluk berlumut yang aku beri nama Pabahala, jika kau mengikuti petunjukku kau akan dapatkan berbagai ilmu yang jauh lebih hebat dari yang barusan kau Perlihatkan. Kau tak Perlu menunggu sepuluh tahun. Sebelum sang surya tenggelam hari ini kau sudah boleh meninggalkan pulau ini! Terserah apakah kau mau menerima berkah atau tetap jadi cacing tanah dengan sejuta ketololan!"Makhluk berlumut meren
"Aku paham Hai Pamanyala. Namun jika Pasedayu memiliki kepandaian tinggi tentu sulit untuk mencungkil merampas pusarnya”"Kau benar. Tapi jika kau mempergunakan alat ini pekerjaan itu akan jadi mudah.” Kakek api lalu masukkan tangan kirinya ke dalam lobang di sisi kanan tubuhnya. Dari dalam rongga ini dikeluarkannya sebuah benda yang diselimuti darah kental.Pabahala kernyitkan kening. Dia tidak tahu benda apa yang dipegang si kakek api Wakil Para Dewa itu. Si kakek mendongak ke langit, pejamkan matanya lalu meniup. Serta merta darah yang melumuri benda yang dipegangnya lenyap. Kini kelihatan ujud benda itu, ternyata adalah sebuah sendok aneh bergagang pendek, terbuat dari emas murni memancarkan cahaya kuning berkilauan."Ini adalah Sendok Pelangkah Nasib. Dengan benda ini dengan mudah kau bisa mengorek pusar Pasedayu. Ambillah, simpan baik-baik. Benda ini hanya boleh kau keluarkan pada saat kau siap mencungkil pusar Pasedayu. Jika telah selesai kau
Rahang si kakek api menggembung. Telinganya panas dan hatinya meradang. ”Hai Para Junjungan, sudah nasib diri kami manusia di bumi ini. Jika salah langsung diterpa, jika celaka tidak pernah diambil kira. Puluhan tahun aku hidup dengan sosok hanya tinggal sebelah! Siapa yang peduli akan kesembuhanku? Manusia di bumi tidak, para Dewa di langit juga tidak! Tapi ketika aku mengambil keputusan memperkarakan makhluk jahat bernama Pasedayu, kesalahan justru ditimpakan pada diriku! Hai Junjungan, seperti katamu, aku akan bertanggung jawab akan segala apa yang terjadi sebagai akibat perbuatanku! Tapi ketahuilah, mulai saat ini jangan disebut lagi diriku ini sebagai Wakil Para Dewa Di Negeri Jin! Kelak Pabahala tidak hanya akan membuat kegegeran di permukaan bumi Jin tapi juga akan membuat heboh Para Dewa di atas langit sana!"Si kakek tundukkan kepala, tekuk lututnya lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Di langit sinar putih menyambar ke atas pulau namun Pamanyala telah lenyap
"Sebentar Hai Junjungan. Sumur ini agak sempit...” jawab Pahidungbesar yang disambut dengan suara tiupan suling semberoleh Pasulingmaut. Kakek satu ini agaknya sudah tahu apa yang tengah dilakukan kawannya itu.Ketika menarik sepasang kaki itu dalam gelap Pahidungbesar merasa heran dan membatin. ”Aneh, mengapa sosok Dewi ini jadi sangat berat. Waktu kakinya kupegang terasa kasar. Lalu mengapa betisnya seperti ada bulu-bulunya. Keras berotot. Seharusnya halus dan lembut.” Sesaat kakek hidung besar ini berhenti menarik. Dia mengendus-endus. Lalu kembali berkata dalam hati. ”Seingatku sosok Dewi Awan Putih menebar bau harum mewangi. Saat ini aku seperti mencium bau keringat. Ada yang tidak beres”Walau hatinya kini mendadak merasa tidak enak Pahidungbesar kembali menarik dua kaki. Ketika dia sampai di ujung sumur melintang, pada bagian yang terang dia melihat ke bawah, memperhatikan."Hai!” Pahidungbesar berseru. Tampangnya berub
Kemunculannya pasti membawa dendam. Karena Jin Muka Seribu tahu Ruhcinta bukan gadis sembarangan dan merupakan murid seorang nenek sakti bernama Jin Lembah Paekatakhijau dan juga merupakan cucu kandung nenek sakti lainnya yang dijuluki Jin Penjunjung Roh.Mengingat sampai di situ Jin Muka Seribu diam-diam menjadi was-was. Apalagi dia mempunyai pantangan membunuh perempuan. Akan cukup sulit baginya untuk menghadapi langsung dua gadis jelita berkepandaian tinggi itu. Dia memandang berkeliling, menghitung jumlah orang dan mengukur kekuatan di pihaknya. Walau dia tidak meremehkan kemampuan dua kakek sakti yang ada bersamanya namun Jin Muka Seribu tetap saja merasa khawatir. Kakek hidung besar jelas tidak bisa diandalkan lagi.Maka makhluk yang mengaku Raja Diraja Segala Jin ini lantas memberi isyarat pada empat orang lelaki berjubah yang menjadi pengusungnya. Melihat tanda ini Keempat orang itu segera keluarkan suitan keras. Dua kali berturut-turut. Hanya beberapa saat set
Habis berkata begitu Si Betina Bercula melompat ke hadapan Bintang. Bintang segera mundur menjauh. Tapi lengannya sudah terpegang dan tahu-tahu mulut Betina Bercula sudah berada dekat telinga kirinya. Bintang cepat tarik tangan dan jauhkan kepalanya. Namun Betina Bercula masih sempat menjilat daun telinga sang pendekar. Sambil tertawa cekikikan lelaki yang berperangai banci ini kembali ke tempatnya semula. ”Hai! Telingamu pahit-pahit asin. Tapi lumayan! Enak juga! Hik... hik. hik!"Bintang usap telinganya yang barusan dijilat tengkuknya terasa merinding. Dalam hati dia memaki panjang pendek."Kalian semua dengar!” Tiba-tiba Jin Muka Seribu membentak.”Kita kemari bukan untuk bergurau. Tapi untuk menangkap Dewi itu hidup-hidup, juga kawannya yang berpakaian biru itu. Tugas paling utama adalah membunuh pemuda asing bernama Bintang itu!""Penguasa tertinggi Istana Surga Dunia! Kami siap melakukan!” kata Pahidungbesar sambil