Ruhsantini melompat turun di tanah, tegak mendongak ke langit penuh gemas. Satu tangan memegang bahu perempuan ini.
"Tak usah kecewa. Satu saat pembalasan akan menjadi bagian makhluk durjana itu. Kau tidak apa-apa Ruhsantini?" Yang bertanya adalah Maithatarun. Lelaki ini cepat memeriksa bahu di balik pakaian yang terbakar. Dia merasa lega karena kulit bahu itu hanya lecet saja.
Ruhsantini palingkan wajahnya. Dia tersenyum pada Maithatarun yang barusan bicara dan mengkhawatirkan, keselamatan dirinya. Sejak lelaki itu menolongnya di Gunung Pabatuhitam tempo hari, walau mereka lama tidak bertemu namun antara kedua orang ini telah terjalin satu sambung rasa yang hari demi hari semakin mendalam.
Melihat keadaan kedua kaki Maithatarun serta mengetahui riwayat lelaki itu di masa lalu timbullah rasa hiba Ruhsantini terhadap lelaki berkaki batu ini. Rasa hiba berubah menjadi suka dan selanjutnya rasa suka itu berganti dengan perasaan cinta kasih sayang.
Maithataru
"Tapi setahuku kitab itu memang pernah ada. Hanya saja dikabarkan lenyap lima puluh tahun lalu. Bukan mustahil Pateleng memang memilikinya..” kata Maithatarun pula."Lalu apa sebenarnya yang dicari kakek teleng itu? Hingga tega membunuh orang-orang yang datang ke tempatnya?!""Dia sulit dituduh melakukan pembunuhan. Bukankah orang-orang itu datang sengaja untuk menjajal kehebatan Lonceng Kematian. Apalagi dengan janji akan diberikan kitab sakti kepada siapa yang berhasil bertahan sampai tiga kali putaran di atas roda lonceng..” jawab Maithatarun pula. Sejenak dia berpikir lalu baru melanjutkan ucapannya. ”Menurutmu, seperti yang kau saksikan dan malah kau alami sendiri, ada keanehan di atas roda lonceng itu. Pertama kakimu mendadak terasa berat, tak bisa melompat”"Keanehan itu bisa saja hasil perbuatan Pateleng dengan mengerahkan tenaga dalam membuat siapa saja yang ada di atas roda lonceng menjadi merasa berat kedua kakinya. Tak sanggup
"Sebelum kalian berdua bicara, aku perlu bicara denganmu lebih dulu, Ruhjelita," kata Maithatarun.Sementara itu Ruhsantini yang semula hendak beristirahat membaringkan badan telah berada di tempat itu, terbangun oleh suara menguik dan deru sosok Paecoklat, kura-kura raksasa tunggangan Ruhjelita.Dia segera bangkit berdiri mendatangi. Begitu melihat Ruhjelita, Ruhsantini ingin sekali menemui dan merangkul gadis itu. Sewaktu dulu Patandai alias Jin Bara Neraka hendak membunuhnya di kawah Gunung Patinggimeru, Ruhjelitalah yang menyelamatkannya walau bayi yang ada dalam dukungannya akhirnya yang kena celaka. Dia berhutang budi dan nyawa pada gadis berpakaian Jingga itu. Namun ketika mendengar percakapan Maithatarun dengan Ruhjelita, Ruhsantini batalkan niatnya menemui gadis itu. Dadanya berdebar dan rasa cemburu membuat parasnya serta merta menjadi merah. Berat dugaannya antara Maithatarun dan Ruhjelita ada hubungan yang agaknya bukan cuma hubungan biasa."Hai Mait
"Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu. Tapi tidak tepat waktunya kalau dibicarakan sekarang”Ruhjelita jadi lega. ”Pemuda ini jauh lebih punya perasaan dibanding dengan lelaki berkaki batu bernama Maithatarun itu," kata si gadis dalam hati."Tongkat biru itu," Bintang berkata seraya menunjuk ke sebuah tongkat batu yang memancarkan warna biru redup dan terselip di pinggang Ruhjelita. ”Setahuku kau tidak pernah membawa tongkat atau memiliki senjata seperti itu. Kalau aku boleh bertanya, sejak kapan kau memiliki benda itu. Apa memang itu milikmu?"Pertanyaan Bintang membuat terkejut dua orang. Yang pertama tentu saja Ruhjelita sendiri dan yang kedua adalah Maithatarun. Jin Kaki Batu segera berbisik pada Bintang."Hai, kalau kau tidak menyebut aku sampai tidak memperhatikan tongkat itu. Ingat ceritaku sebelumnya tentang seorang tokoh sakti berjuluk Si Tongkat Biru Pengukur Bumi? Yang lenyap tanpa diketahui ke mana perginya?"
Bintang angkat tangan kirinya lalu menjawab. ”Aku datang membawa dua teman. Mereka ingin mencoba kepandaian menjajal kehebatan Lonceng Kematianmu! Apa kau berani menerima tantangan?!"Kakek di atas rumah lonceng menatap tajam pada Maithatarun yang berkaki batu dan Ruhsantini. Dalam hati dia menggeram. ”Jahanam berambut kuda itu! Dia benar-benar membuat kesulitan besar padaku! Si kaki batu itu mungkin saja dia menyembunyikan benda yang aku cari di salah satu kakinya. Tapi aku tahu betul kehebatan batu yang dijuluki Bola Bola Neraka itu. Apa aku sanggup menghancurkannya? Lalu perempuan berpakaian serba merah itu. Dia pantas jadi temanku bersenang-senang. Tapi kini malah bisa menimbulkan bahaya bagiku!"Walau hatinya merasa tidak enak namun kakek. kepala teleng umbar tawa bergelak. ”Hai kalian berlima dengar ucapanku baik-baik! Pagi ini aku masih merasa segar dan berhati senang. Tapi dalam sekejap pikiranku bisa berubah. Sebelum pikiranku berubah aku per
Ketika Pateleng berpaling ke arah Ruhsantini, perempuan cantik ini lemparkan senyum manis lalu berkata dengan suara merdu. ”Hai kakek gagah pemilik Lonceng Kematian. Bukankah kau minta aku menemanimu? Bukankah temanku itu menjanjikan diriku untukmu jika kau menerima tantangan si kaki batu itu? Sekarang aku adalah milikmu..”Selagi si kakek teleng kelihatan seperti terkesiap, Ruhsantini cabut bendera kuning di atas atap lalu serahkan pada si kakek. Mau tak mau Pateleng terima bendera itu namun dalam hati dia membatin. ”Orang-orang ini. Agaknya mereka merencanakan sesuatu. Gila! Mungkin aku sudah terperangkap dalam jebakan mereka! Jahanam betul! Untung sampai saat ini mereka masih belum tahu siapa diriku sebenarnya. Awas kalian! Yang empat orang itu akan kuhabisi sebentar lagi!""Kakek gagah, apakah kita bisa mulai?" bertanya Ruhsantini dengan suara merdu serta layangkan senyum."Ya... ya! Kita segera mulai!" jawab Pateleng. Lalu dia berpaling pa
"Clak... elak... elak!"Dari pinggiran roda kereta mendadak mencuat sinar putih menyilaukan, menyambar wajah Maithatarun, membutakan pemandangannya. Luar biasanya cuatan sinar menyilaukan itu juga menyambar ke arah mata semua orang yang ada di atas atap. Sebelum sinar menyilaukan itu sempat membutakan pemandangan mereka keempat orang di atas atap telah lebih dulu bergerak."Celaka! Aku tidak bisa mengangkat dua kakiku!" teriak Maithatarun.Lalu "traannggg!" Kaki batunya sebelah kiri dihantam benda keras tajam berkilat hingga terbelah dua. Pateleng buka mulutnya lebar-lebar lalu semburkan asap merah ke arah Bintang dan kawan-kawannya. Tangan kanannya ikut bergerak menghantam. Selarik sinar hijau menderu ke arah tiga sasaran yakni, Bintang, Bayu dan Arya. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Jin Hijau Penjungkir Roh. Siapa saja yang terkena akan menemui ajal dengan tubuh hijau meleleh seperti lumpur!Walau semua itu terjadi dengan cepat namun Bintang sempat m
"Cerdik dan keji!" ujar Bintang sambil geleng-geleng kepala. ”Yang aku belum mengerti mengapa Jin Muka Seribu melakukan kegilaan itu! Apa sebenarnya yang dicari bangsat kepala dua itu? Senjata sakti mandraguna...?" Sambil geleng-geleng kepala Bintang ambil satu kepingan baja putih dari reruntuhan roda lonceng lalu melangkah mendapatkan Maithatarun untuk memperlihatkan lempengan benda maut itu.Namun langkah sang pendekar terhenti ketika tiba-tiba seorang kakek berpakaian ungu gelap penuh debu. Entah dari mana munculnya tahu-tahu sudah berada di tengah lapangan. Melangkah perlahan mendekati Maithatarun yang masih terduduk di tanah, didampingi Bayu, Ruhsantini dan Arya.Kakek tak dikenal itu berhenti di hadapan Maithatarun, sesaat menatap wajah Jin Kaki Batu itu lalu setelah melirik pada sepasang kaki batu Maithatarun dia berkata."Puluhan hari aku habisi untuk melakukan perjalanan ini. Ternyata tidak sia-sia. Hai, apakah kau orang yang bernama Maithatarun,
PAHAMBALANG lari laksana dikejar setan. Walau sekujur tubuhnya telah mandi keringat dan tenaganya hampir terkuras namun dia lari terus. Dalam dukungannya terbujur sosok Ruhmintari yang telah jadi mayat, mulai kaku dan dingin. Walau telah berkurang namun masih ada darah yang mengucur dari luka besar di perut perempuan malang ini.Di satu kawasan bebukitan berbatu-batu, Pahambalang mulai terhuyung. Nafasnya menyengat panas di tenggorokan dan dadanya menggemuruh sesak. Dalam keadaan seperti itu dia masih juga terus berlari. Puncak bukit! Dia berusaha mencapai puncak bukit batu itu! Tapi ketika satu tonjolan batu menyandung kaki kirinya, tak ampun lagi Pahambalang terguling jatuh. Dengan sosok istrinya masih dalam dukungan, lelaki ini menggelinding belasan tombak ke bawah bukit lalu terhampar di samping sebuah batu besar.Pahambalang mengerang pendek lalu bangkit dan duduk. Mayat istrinya diletakkan di pangkuan. Dia memandang berkeliling. "Ruhmintari istriku! Di mana aku j