Seperti pernah dituturkan sebelumnya, diketahui bahwa Jin Muka Seribu memiliki satu tempat kediaman rahasia terletak di bawah Telaga Pasituhitam. Pada kejadian dia membawa Ruhcinta ke tempat itu belum ada ruangan yang disebut Ruangan Obor Tunggal yaitu ruang penyiksaan terkutuk bagi perempuan-perempuan yang dibencinya. Yang ada barulah Ruang Dua Belas Obor yakni satu ruangan batu diterangi dua belas obor dan menjadi tempat ketiduran Jin Muka Seribu.
Jin Muka Seribu langsung membawa murid Nenek Lembah Paekatakhijau itu ke dalam Ruang Dua Belas Obor. Saat itu di dalam ruangan terdapat tiga orang gadis yang rata-rata berpakaian seronok nyaris bugil. Pemandangan ini membuat Ruhcinta serta merta menjadi tidak enak, khawatir serta curiga. Apa lagi di situ tidak ada bangku atau kursi.
Yang ada hanya sebuah batu besar dialasi anyaman rumput kering dan dijadikan ranjang tempat tidur. Walaupun hatinya tidak enak namun Ruhcinta tetap saja memoles senyum di bibirnya yang bagus.
“Jin Muka Seribu, mengapa kau berlaku kasar!” Berseru Ruhcinta. Pada saat Itu Jin Muka Seribu sudah mendobraknya. Memeluk penuh nafsu dan menciumi wajahnya dengan beringas.“Ternyata dirimu begini adanya!” seru Ruhcinta yang kini sadar kalau dirinya telah terjebak. Dengan kanannya bergerak. Telapak menempel di perut Jin Muka Seribu. Begitu dia mendorong terpekiklah Jin Muka Seribu. Tubuhnya terpental dan terbanting ke dinding batu!“Pukulan kasih Mendorong Bumi!” seru Jin Muka Seribu dengan wajah kaget dan empat muka di kepalanya langsung berubah menjadi wajah kakek-kakek pucat pasi. Sambil pegangi perutnya yang mendenyut sakit sementara tulang punggungnya serasa hancur, kemarahan meluap dalam diri Jin Muka Seribu. Saat itu juga empat mukanya kembali berubah. Kali ini berupa empat muka raksasa mengerikan. “Pukulan itu hanya dimiliki nenek keparat di lembah Katak. Berarti kau adalah muridnya Nenek Lembah Paekatakhijau!” Du
“Nenek keparat! Kalau saja aku tidak punya pantangan membunuh perempuan! Pasti sudah kuhabisi dirimu saat ini!” teriak Jin Muka Seribu.“Hik... hik... hik! Kau takut membunuh perempuan! Anggap saja aku ini laki-laki! Lihat diriku!”“Wusss!!”Asap merah di atas kepala si nenek yang berbentuk kerucut mengepul tinggi ke atas menyondak langit-langit ruangan batu. Ketika asap itu kembali ke bentuknya semula maka keadaan si nenek telah berubah menjadi seorang lelaki separuh baya, tegak berkacak pinggang.“Aku sudah menjadi laki-laki! Apa kau masih takut membunuhku?! Hik... hik... hik!”“Perempuan jahanam! Aku bersumpah akan menjebloskanmu ke ruang penyiksaan abadi!” teriak Jin Muka Seribu. Lalu tangan kanannya bergegas ke balik pakaian.“Wusss! Dessss!”Satu kepulan asap hijau pekat membumbung menutupi pemandangan. Sosok Jin Muka Seribu berkelebat lenyap ke arah pintu r
SEPASANG mata merah berbentuk kerucut aneh Jin Penjunjung Roh memandang seputar lembah. Ruhcinta yang berdiri di sebelah si nenek ikut memperhatikan berkeliling. Kemanapun mata memandang hanya katak-katak hijau yang kelihatan. Di tanah, di atas bebatuan, di dalam sungai kecil, di batang-batang dan cabang-cabang pohon bahkan sampai ke daun-daunnya dipenuhi oleh ribuan katak-katak hijau mulai dari yang sekecil ibu jari kaki sampai sebesar buah kelapa.“Aku tidak melihat nenek sialan itu!” kata Jin Penjunjung Roh. “Dimana dia?!”“Saya juga tidak melihatnya Nek,” jawab Ruhcinta sambil terus memperhatikan ke setiap sudut lembah. “Di goanya dia tidak ada. Jangan-jangan sedang pergi keluyuran! tua bangka geblek! Masih suka jual tampang!” kata Jin Penjunjung Roh lagi. Dia luruskan tubuhnya yang bungkuk, lalu berteriak.“Ruhmasigi! Nenek Jin Lembah Paekatakhijau! Dimana kau?! Kalau ada di sini jangan sembunyi! Apa kau
“Tua bangka sialan!” maki Jin Penjunjung Roh. “Coba asah dulu otakmu! Coba kau ingat-ingat! Waktu kau menemukan mayat tergantung itu, apa kau masih ingat bagaimana wajahnya?”“Memangnya kenapa?!”“Sialan kau! Jawab saja pertanyaanku!” bentak Jin Penjunjung Roh.“Perempuan yang mati tergantung itu adalah ibu muridku ini.”“Itu aku sudah tahu. Dia sudah cerita padaku! Jawab saja pertanyaanku tadi! Terangkan ciri-ciri perempuan itu!”“Orangnya masih muda.”“Sialan kau Ruhmasigi! Aku tidak tanya muda atau tua! Aku ingin tahu ciri-ciri wajahnya. Bentuk rupanya.”“Wajahnya cantik. Seperti muridku ini. Kulitnya putih. Kalau aku tidak salah ada tahi lalat di dagunya sebelah kiri..,.”Jin Penjunjung Roh tiba-tiba menjerit. “Sialan! Kau jangan mengejutkan aku! Berteriak seperti orang kemasukan setan!” Memben
Dua mata si nenek bernama Ruhniknik yang berbentuk kerucut aneh itu melesak masuk ke dalam. Kelopak mata menutup. Beberapa saat lamanya dia kelihatan duduk tak bergerak dengan mata terpejam. Sepertinya tengah berusaha. memusatkan pikiran, mungkin juga berusaha menguatkan hati.Tak lama kemudian bersamaan dengan terbukanya dua mata itu meluncurlah kata demi kata dari mulut si nenek.“Waktu itu hujan turun cukup lebat. Namun anehnya di langit kelihatan matahari bersinar terang. Selagi aku berusaha menepekuri keanehan itu tiba-tiba muncul Ruhpiranti, ibumu. Dia tampak gagah. Datang dengan menunggang seekor capung raksasa. Ini adalah aneh. Aku bertanya-tanya dari mana dia mendapatkan tunggangan aneh itu. Ibumu memang telah berbuat kesalahan. Meninggalkan tempat kediaman lebih lama dari yang sudah kutentukan. Mungkin aku masih bisa memberi maaf. Namun ketika dia turun dari tunggangannya dan aku melihat keadaan sosok tubuhnya,rasanya tubuhku dipanggang. Darahku tersira
“Anak yang kau kandung itu adalah anak si jahanam bernama Pajundai itu!” kata Jin Penjunjung Roh lagi. Kembali Ruhpiranti menggeleng. “Maksud keji Pajundai mungkin akan terlaksana, malapetaka dan aib besar akan menimpa diri saya kalau saja saat itu tidak muncul secara tiba-tiba seorang pemuda gagah menolong saya. Pemuda itu menyerang Pajundai. Antara mereka terjadi perkelahian hebat selama belasan jurus. Rupanya Pajundai kalah ilmu. Dalam keadaan babak belur akhirnya dia melarikan diri. Saya mengucapkan terima kasih pada pemuda yang menolong. Mengingat dia telah menanam budi dan sikapnya sangat baik serta tulus, saya tidak menolak sewaktu dia mengatakan ingin mengantarkan saya kembali ke tempat kediaman guru. Kami sengaja mengambil jalan pintas agar bisa lekas sampai. Namun di tengah jalan kami dilanda hujan lebat yang turun terus menerus selama beberapa hari disertai banjir besar. Kami terpaksa mencari perlindungan di dalam sebuah goa di puncak bukit. Di tempat it
Wajah lelaki muda di hadapan Jin Penjunjung Roh kelihatan menjadi merah. Tanpa angkat kepalanya orang ini anggukkan kepala. “Benar Hai Ibunda. Saya bernama Patampi dan Ruhpiranti adalah istri saya. Saya datang untuk meminta maaf.”“Jangan bicara segala maaf dulu! Aku ingin menyelidik perihal dirimu! Siapa nama ibumu? Dimana dia sekarang?!”“Maafkan saya Ibunda. Saya tidak tahu siapa nama ibu saya dan dimana dia berada sekarang. Ayah tidak pernah mengatakan apa-apa.”“Lalu siapa nama ayahmu?” tanya Ruhniknik yang saat itu mendadak saja merasa dadanya sesak.“Ayah bernama Pasegara,” jawab Patampi.Dua kaki Jin Penjunjung Roh tersurut dua langkah. Dari tenggorokannya keluar suara parau. Mata kerucutnya melesat keluar lalu masuk kembali. Tubuhnya huyung.“Bunda, wajahmu pucat sekali. Apakah kau sakit Hai Bunda?” tanya Ruhpiranti sambil bangkit berdiri dan memegang lengan Ruh
“Lalu apa yang kemudian terjadi? Ruhpiranti ibu muridku ini hati gantung diri? Kau tidak tahu. Tidak berusaha mencegah nya?”“Ketika aku sadar dari pingsan, kudapati Ruhpiranti dan Patampi tak ada lagi ditempat itu. Capung sakti juga lenyap. Berarti mereka sudah kabur entah kemana. Beberapa waktu kemudian aku menyirap kabar tentang adanya mayat perempuan muda yang mati! tergantung di rimba belantara. Aku tidak begitu menaruh perhatian karena tidak akan menyangka setelah melahirkan anak Ruhpiranti kemudian mati menggantung diri. Saat itu waktuku lebih banyak tersita dalam menuntut ilmu kesaktian. Aku berhasil mendapatkan ilmu aneh dan langka seperti yang kalian lihat. Di kepalaku ada kerucut asap merah. Aku berhasil mendapatkan ilmu tetapi aku menelantarkan anak-anakku sendiri.”“Sudahlah, kau tak usah terlalu menyalahi dan menyesali diri sendiri Ruhniknik. Itu sebabnya aku t