Tiba-tiba ada bau harum semerbak memenuhi tempat itu. Lalu satu cahaya biru terang muncul di kejauhan, bergerak di antara pepohonan. Makin lama makin besar dan makin dekat.
"Astaga! Lihat!" seru Bayu sambil menunjuk ke atas. Sementara Bintang dan juga Arya pelototkan mata terheran-heran. Saat itu cahaya biru tadi telah berubah menjadi sosok seorang perempuan separuh baya cantik sekali. Tubuhnya terselubung lilitan pakaian biru bergulung- gulung panjang seolah tergantung sampai ke langit. Di kepalanya ada sebentuk mahkota yang ditebari batu-batu permata berkilauan.
"Bunda Dewi, terima hormat saya!" kata Maithatarun begitu melihat siapa yang berada di atasnya.
"Maithatarun menyebut perempuan cantik itu Bunda Dewi..." bisik Bintang pada dua temannya.
"Setahuku yang namanya Dewi itu hanya ada dalam dongeng..." menyahuti Arya.
"Di negeri serba aneh ini bisa saja terjadi. Bukankah saat ini kita berada di Negeri Jin?" ujar Bintang.”Yang aku herankan
Hujan lebat membuat Maithatarun tidak dapat memacu kencang kuda tunggangannya. Di dalam kocek jerami yang basah, Bintang, Bayu dan Arya kedinginan setengah mati. Bukan saja karena kocek yang basah oleh air hujan, tapi juga akibat terpaan angin deras yang menembus masuk melalui celah-celah anyaman jerami. Menjelang pagi dalam keadaan letih dan mata mengantuk Maithatarun hentikan kudanya di tepi sebuah rimba belantara. Saat itulah Lapat-lapat telinganya menangkap suara aneh. ”Seperti suara orang meracau. Tapi juga seperti seseorang mengerang. Eh, malah berubah seperti suara tangis anak-anak," membatin Maithatarun sambil terus memasang telinga. Di dalam kocek suara itu juga terdengar oleh Bintang dan kawan-kawannya. Mereka berusaha mengangkat penutup kocek untuk melihat. Namun baru sedikit tersingkap ketiganya jatuh terduduk karena saat itu Maithatarun menyentakkan kudanya, bergerak masuk ke dalam rimba. Ingin menyelidik suara apa adanya yang barusan didengarnya
Maithatarun tersenyum. dia coba tenangkan anak perempuan itu. Sambil mengusap keningnya dia berkata.”Anak, jangan takut! Aku bukan orang jahat..." "Kau...” Hanya sepotong bicara si anak hentikan ucapannya. Leher dan lidahnya terasa sakit. Dari mulutnya masih meleleh darah. "Totok tenggorokannya di bawah dagu sebelah kanan!'' Bintang berteriak. ”Sakit pada mulut dan lidah anak itu pasti berkurang" Maithatarun palingkan kepalanya pada Bintang. ”Aku pernah menutuk orang. Akibatnya luar biasa! Bagian bawah perutnya jadi melembung bengkaki Apa saat ini kau juga hendak menipuku, mencelakai anak perempuan ini?" "Aku tidak seberengsek itu! Yang dulu kau lakukan adalah petunjuk gila bocah bernama Bayu ini!" sahut Bintang. "Maithatarun, sobatku ini memang benar. Totok di tempat yang tadi dikatakannya. Leher di bawah dagu sebelah kanan. Waktu dengan Jin Bara Neraka aku sengaja berbuat gila agar manusia itu tahu rasa" "Hemm. Baik, tapi jika
Di atas telapak tangan anak perempuan itu Bayu lalu bersalto tiga kali berturut-turut membuat si anak perempuan tertawa senang. "Hai! Ruhkimkim, aku ikut senang kalau kau suka pada tiga saudaraku itu. Sekarang harap kau suka menjawab pertanyaanku tadi. Mengapa kau berada di tempat ini. Siapa yang telah berlaku jahat terhadapmu." Ruhkimkim seperti hendak menangis. Tapi anak ini berusaha tabahkan diri agar tidak mengeluarkan air mata. Setelah mengusap lelehan darah yang masih melekat di sudut bibirnya Ruhkimkim lalu memberi keterangan. "Makhluk jahat bernama Jin Muka Seribu yang menjatuhkan tangan jahat mencelakai saya...” "Jin Muka Seribu?" mengulang Maithatarun. ”Dia memang terkenal jahat, menganggap diri Raja Di Raja para Jin di Negeri Jin. Tapi sungguh tak kupercaya Hai! Ruhkimkim kalau dia tega berlaku sekeji ini terhadap seorang anak kecil sepertimu. Kesalahan apa yang telah kau lakukan? Dendam apa yang bersarang di hati makhluk biadab
Gunung Pabatuhitam sesuai dengan namanya merupakan satu gunung batu berwarna hitam. Tak satu tetumbuhanpun hidup di sana kecuali sejenis lumut. Di bawah panas teriknya matahari, di kaki selatan gunung kelihatan melesat satu bayangan merah, berkelebat cepat dari satu gundukan batu ke gundukan lainnya. Mengingat batu-batu di tempat itu diselimuti lumut licin dan orang tersebut dapat bergerak begitu cepat tanpa kakinya terpeleset, jelas dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Di satu lamping batu orang ini tendangkan kaki kirinya. "Bukkl" Satu gerakan hebat melanda lamping batu. Batu yang ditendang sama sekali tidak cacat atau rusak sedikitpun, apa lagi hancur. Tapi justru sebuah batu besar yang terletak di belakang batu yang ditendang keluarkan suara berderak. Lalu seolah menjadi rapuh secara tiba-tiba batu itu hancur menjadi bubuk dan bertebaran hampir sama rata dengan batu rendah di sekitarnya! Dan jelas orang berpakaian merah itu tengah melatih diri, mulai
Untuk beberapa lamanya Ruhsantini tegak tak bergerak, sepasang mata tak berkesip pandangi lelaki yang pernah hidup sebagai suaminya. Di luar sadar dua mata yang tidak berkesip itu tampak berkaca-kaca. Getaran-getaran muncul di dadanya."Hai! Patandai, jika niatmu sebersih itu, jika pintamu sesuci yang aku dengar, aku yakin para Dewa dan para Dewi mendengar pintamu. Tetapi apakah diri yang hina ini bisa memintakan apa yang kau mohonkan itu dan sudikah para Dewa dan para Dewi mengabulkan permintaan kita?""Hai! Ruhsantini. Belum lama berselang aku didatangi Bunda Dewi. Simpul Agung Dari Segala Dewi, Dewi Junjungan Dari Segala Junjungan. Dia memberi petunjuk bahwa keadaan diriku bisa pulih kembali jika kau bersedia memohonkan ampun kepada para Dewa, para Dewi dan para roh...”"Jika begitu Patandai bisa memang begitu janji Bunda Dewi, aku ikhlas menerima kenyataan, aku rela memohon...”. Ruhsantini jatuhkan diri berlutut di atas batu, berhadap-hadapan den
Tapi Patandai tidak buta. Tangan kirinya secepat kilat di babatkan ke bawah. "Bukkk!" Dua lengan saling beradu keras. Kedua orang itu terpental dan sama-sama kesakitan. Begitu lepas dari cekikan Patandai, Ruhsantini berteriak marah. ”Manusia laknat! Binatang saja kalau ditolong tidak akan pernah berkhianat! Kau memang Jin jahanam yang harus dimusnahkan!" untuk kedua kalinya Ruhsantini menyerang Patandai cepat menyingkir. Gerakannya memang tidak terlalu cepat akibat kendala di bagian bawah perutnya. Sadar dan khawatir serangan lawan bisa mencelakainya maka lelaki ini menangkis dengan melepaskan pukulan sakti Bianglala Hitam. Dua belas larikan sinar hitam halus menggebubu. Ruhsantini seperti gila melihat berkiblatnya dua belas sinar hitam itu. Delapan puluh tahun silam, pukulan inilah yang telah membuat cacat puteranya Ramatahati! Seperti hendak mengadu jiwa, dengan nekad Ruhsantini sambuti pukulan lawan. Kali ini dengan tangan kiri kanan sekaligus. Kes
Walau tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan anak perempuan itu namun Maithatarun bisa juga menangkap arti ucapan Ruhkimkim. Memang jika dia menggempur dari jarak jauh berarti lawan akan mampu menghujaninya dengan pukulan-pukulan sakti yang mengeluarkan dua belas jalur hitam maut itu. Maka Maithatarun pusatkan tenaga dalamnya ke kaki. Bola Boia Neraka mengeluarkan suara menghentak menggetarkan tanah dan bebatuan di tempat itu begitu Maithatarun melangkah cepat mendekati lawan.Tubuhnya melesat ke udara. Bola batu di kaki kanannya menyambar ke kepala lawan. Serangan ini bukan olah-olah hebatnya karena seperti diketahui di dalam dua kaki Maithatarun masih tersimpan ilmu kesaktian yang disebut Kaki Roh Pengantar Maut. Di samping itu sesekali Maithatarun barengi pula serangan dua kakinya dengan pukulan sakti Kutuk Api Dari Langit. Lima sinar hitam menderu ganas. Patandai yang tahu keganasan pukulan lawan tidak berani menyambuti dan semakin terdesak. Dalam keadaan sepert
Tiba-tiba dari langit sebelah timur ada satu sinar biru terang sekali. Makin lama makin besar dan bergerak ke bawah ke arah walet terbang. Sesaat kemudian cahaya biru itu berubah menjadi sosok seorang perempuan yang bergoyang-goyang seperti asap. Bersamaan dengan itu bau harum semerbak memenuhi udara."Bunda Dewi!" seru Maithatarun dan Ruhsantini begitu dia melihat lebih jelas dan mengenali siapa adanya sosok biru, di atas sana. Kedua orang ini segera jatuhkan diri berlutut. Sampai saat itu Maithatarun secara tidak sadar masih memegangi tangan kiri Ruhsantini yang tadi hendak memukul. Ruhsantini sendiri tidak pula berusaha untuk melepaskan tangannya dari pegangan orang.Patandai yang ada di atas walet terbang jadi berubah kecut tampangnya ketika dia melihat siapa yang muncul dari langit di atasnya. Dia berusaha mempertenang diri karena sampai saat itu masih menguasai Ruhkimkim yang tetap terus dijambaknya.”Kalau Dewi itu berbuat macam-macam kupecahkan kep