MALAM itu adalah satu hari setelah pertemuan Ruhcinta dengan Bintang. Di dalam gua di kaki bukit Ruhcinta dan Ruhsantini tertidur pulas. Di langit bulan sabit bersinar redup dan sesekaii menghilang di balik saputan awan hitam. Ketika awan hitam menutupi bulan sabit itu untuk kesekian kalinya dan suasana kaki bukit kembali menjadi gelap gulita serta diselimuti kesunyian dan udara dingin mencekam.
Saat itulah tiba-tiba dari arah timur kaki bukit. berkelebat satu bayangan hitam. Gerakannya cepat seperti bayang-bayang. Di satu tempat sosok ini hentikan gerakannya. Dia berdiri tak bergerak. lalu memandang berkekeliling seperdi mencari sesuatu. Matanya yang tajam akhirnya menemui apa yang dicarinya yakni mulut gua di dalam mana Ruhsantini dan Ruhcinta tengah tertidur nyenyak. Segera saja orang ini hendak melangkah cepat menuju mulut gua. Tapi mendadak telinganya mendengar sambaran angin di kejauhan.
"ltu bukan desir daun pepohonan, bukan suara kepak binatang malam. Ada seseo
"Orang yang menolongmu itu aku yakin adalah Jin Santet Laknat. Dia yang memusnahkan jala api biru""Bagaimana kau bisa berkata sepasti itu Ruhcinta?" tanya Si Jin Budiman."Dia dikenal sebagai dukun jahat yang menganggap nyawa binatang lebih berharga dari nyawa manusia! Bagaimana mungkin dia menolong diriku?" ikut bicara Ruhsantini."Ada kalanya hati yang sangat jahat itu bisa berubah setelah tersentuh oleh apa yang dinamakan kasih" jawab Ruhcinta. Ruhsantini tidak mengerti maksud kata-kata si gadis sedang Si Jin Budiman kernyitkan wajah tanah liatnya, menduga-duga apa arti ucapan Ruhcinta barusan.Tentu saja Ruhcinta tidak mau menerangkan bahwa dia telah melihat pertemuan dan mendengar pembicaraan antara Jin Santet Laknat dan Ksatria Pengembara. Gadis ini berpaling pada si muka tanah liat lalu ajukan pertanyaan. "Kau sendiri, bagaimana bisa berada di tempat ini?"Si Jin Budiman tidak bisa menjawab. Sebenarnya malam itu dia memang sengaja meninggal
Ramahila mengerling pada Paduliu lalu menatap Jin Santet Laknat Si nenek muka burung gagak yang mengerti arti tatapan itu menjadi gelisah. Dia memandang ke depan, menyusuri lereng bukit sampai ke bawah sana. Dia hanya melihat kegelapan yang menambah kecemasan hatinya. "Hai, hampir tengah malam ..." kata si nenek bernama Ramahila."Yang kita tunggu orang belum juga muncul" Ramahila termasuk orang-orang tua di Negeri Jin yang kalau bicara susunan kata-katanya suka terbalik-balik. Lelaki bernama Paduliu ikut bicara."Jin Santet Laknat, kau yakin orang itu akan datang ke sini?""Harap kalian mau bersabar. Aku yakin dia akan memenuhi janji." Menjawab Jin Santet Laknat. Baru saja nenek muka burung gagak ini berkata begitu tiba-tiba di bawah bukit sana samar-samar kelihatan satu bayangan putih berkelebat."Dia datang!" kata Jin Santet Laknat. "Paduliu, lekas beri tanda agar dia tahu kalau kita berada di sini!"Dari balik pakaiannya Paduliu keluarkan sebua
Jin Santet Laknat mamandang pada sang juru nikah Ramahila. Nenek berambut riap-riapan ini anggukan kepala. Jin Santet Laknat lalu bersuara menjawab pertanyaan Bintang tadi."Kutuk yang jatuh pada diriku sulit untuk ditelusuri pangkal sebabnya. Selain itu tidak ada satu makhluk pun baik di bumi maupun di atas langit sana yang mampu membebaskan diriku dari dosa warisan kutuk celaka ini. Kutuk telah merubah hatiku, merubah jalan pikiranku. Lebih lanjut merubah diriku menjadi seorang buruk rupa dan jahat hati. Aku melakukan kekejian apa saja menurut sukaku. Apa lagi jika ada yang mendorong. Lebih celaka ketika aku jatuh ke tangan Jin Muka Seribu dan sempat menjadi budak suruhannya ""Kalau begitu, mungkin Jin Muka Seribu yang bisa menolongmu lepas dari kutuk dosa warisan itu," kata Bintang pula. Jin Santet Laknat gelengkan kepala. "Aku pernah mendapat petunjuk yang datangnya dalam mimpi. Konon kutuk tersebut bisa disingkirkan sementara pada waktu-waktu tertentu. Yakni keti
Jin Santet Laknat seka deraian air mata yang jatuh ke pipinya. Pada saat itulah Ksatria Pengembara keluarkan seruan tertahan. Matanya membeliak besar, memandang si nenek tak berkesip. Kakinya kembali bergerak tersurut."Apa yang terjadi? Mengapa bisa begini? Jangan jangan dia pergunakan ilmu hitam untuk merubah dirinya. Tapi ... Astaga, bukankah dia "Di hadapan Bintang, Ramahila dan Paduliu, sosok Jin Santet Laknat perlahan-lahan mengalami perubahan. Mula-mula pakaiannya. Jubah hitamnya berubah menjadi sehelai baju panjang berwarna putih. Lalu perubahan terjadi pada rambutnya. Rambutnya yang pendek acak-acakan dan sebagian telah berwarna kelabu berganti dengan rambut hitam panjang, berkilat bagus dan tergerai lepas sampai ke pinggang. Sosoknya yang seperti pohon lapuk penuh keriput kini berganti menjadi sosok yang bagus mulus, langsing semampai. Dan yang membuat Ksatria Pengembara jadi tercekat besar adalah ketika menyaksikan perubahan pada wajah si nenek.
Bintang memandang pada Jin Santet Laknat Si nenek balas menatapnya dengan pandangan sayu. Ketika matanya berkaca-kaca kembali wajah aslinya membayang. Hampir raut wajah itu akan sempurna tiba-tiba lenyap kembali. Ramahila melirik pada Paduliu yang duduk di sebelahnya. Lelaki ini balas melirik lalu anggukan kepalanya."Kalau hatimu begitu teguh dan tak bisa dirubah Hai pemuda asing, aku ataupun Jin Santet Laknat tak dapat memaksa. Berarti pertemuan kita berakhir di tempat ini. Malang nasibmu Hai kerabatku Jin Santet Laknat. Entah sampai kapan kau akan tetap berada daiam keadaan ujudmu sekarang ini. Sebentar lagi masing-masing kita akan segera meninggalkan Tebing Batu Terjal ini. Namun sebelum berpisah, agar hati sama bersih, tiada perasaan yang jadi ganjalan, tak ada rasa sakit hati apalagi dendam kesumat, ada baiknya kita sama sama meneguk air suci yang di sebut embun murni”Kata-kata Ramahila itu membuat hati dan perasaan Jin santer laknat jadi terenyuh. Dia ber
Ksatria Pengembara diam seperti merenung. Akhirnya dia berucap. "Menolong sesama manusia adalah satu kebaikan. Aku banyak menerima budi besar dari nenek ini. Kurasa kurang pantas rasanya kalau aku membiarkan dirinya sengsara seumur-umur. Padahal aku bisa dan mampu menolongnya ""Jadi kau bersedia aku nikahkan dengan Jin Santet Laknat?""Tidak dengan Jin Santet Laknat Tapi dengan gadis berpakaian serba putih yang kau sebut dengan nama Ruhrembulan itu " jawab Bintang.Jin Santet Laknat keluarkan pekik halus. Dua tangannya dinaikkan ke atas dengan telapak terbuka. Matanya dipejamkan dan mulutnya yang berbentuk paruh burung gagak bergetar. Makhluk ini kelihatan seperti tengah menghaturkan doa. Perlahan-lahan air mata mengucur ke pipinya yang tertutup bulu hitam. Ramahila bangkit berdiri dari duduknya, diikuti Paduliu. Dipegangnya bahu Ksatria Pengembara seraya berkata"Budimu sungguh luhur! Lihatlah, gadis bernama Ruhrembulan itu telah menunjukkan ujudnya di
"Piala perak.." desis Ruhsantini. "Aku rasa-rasa pernah melihat piala seperti ini sebelumnya. Dimana... kapan ... ?" Ruhsantini dekatkan piala perak itu ke hidungnya. Dia menghirup bau minuman aneh. Mungkinkah minuman suci bernama Embun Murni?" Lalu berulang-ulang perempuan ini menyebut "Tebing Batu Terjal ... Piala perak. Bintang ... Jin Santet Laknat ... Agaknya telah terjadi satu upacara pemanjatan doa di tempat ini. Doa khusus karena jarang yang mempergunakan piala dari perak. Biasanya cukup piala dari tanah ""Ruhsantini, lihat! Ada tiga piala lagi bertebaran di tempat ini!" berseru Ruhcinta lalu menunjuk pada tiga buah piala yang bertebaran di pedataran batu yang gelap itu."Tiga piala perak. Empat dengan yang kupegang. Berarti ada empat orang melakukan satu upacara di tempat ini. Bintang, Jin Santet Laknat Lalu siapa dua orang lagi?" Ruhsantini coba berpikir menduga-duga. Dalam hati dia membatin. "Hanya ada satu kemungkinan. Dua orang itu mungkin Ramahila dan pe
"Kita memang terlambat Ruhcinta. Upacara pernikahan sudah dilaksanakan... Mereka telah berpegangan tangan ""Mereka siapa?" tanya Ruhcinta dengan suara gemetar. Gadis ini sibakkan semak belukar lalu memandang ke depan. Saat itu terdengar suara lantang sang juru nikah Ramahila."Bintang dan Ruhrembulan! Kalian berdua telah aku nikahkan disaksikan langit dan bumi. Apa yang kalian ucapkan di dengar oleh para Dewa dan semua roh yang tergantung antara langit dan bumi. Semoga kalian mendapat berkah. Saat ini kalian telah resmi menjadi suami istri!""Menjadi suami istri?" Bintang kerenyitkan kening. Di batik batu besar dan semak belukar, Ruhcinta merasa lututnya goyah. Tanah yang dipijaknya seolah runtuh. Sosoknya niscaya jatuh terduduk kalau tidak lekas dipegang oleh huhsanthi."Siapa gadis berpakaian putih itu... Siapa dia?" Ucapan itu taerulang kali kesuar dari mufut Ruhcinta."Ruhcinta, ada apa dengan kau? Astaga kau menangis! Tubuhmu berguncang! Kau