"Aku tidak menyangka kamu bisa segila itu. Apa kamu ingin menjadi seorang pembunuh!" teriak Alex garang didepan wajah wanita yang saat ini terlihat kesakitan karena cengkraman tangan Alex di lehernya.Alex menghempaskan tubuh itu hingga jatuh di atas sofa. Wanita itu terbatuk-batuk, sambil meraup napas dalam-dalam."Apa kamu ingin membunuhku,""Jika kamu seorang pria, aku bisa saja melakukan itu, Tari!"Alex berdiri berkacak pinggang di depan Tari yang sedang tersengal, dia tidak menyangka Alex akan memperlakukan dia sangat kasar."Aku peringatkan, jika sekali lagi kamu mencoba menyakiti Lara, aku tak akan segan-segan denganmu.""Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan," tutur Tari masih terbatuk-batuk."Jangan menyangkalnya, aku tau kamu orangnya, kamu sengaja ingin mencelakakan, Lara.""Aku benar-benar tidak tau apa maksudmu, Lex!""Hentikan sandiwaramu, kamu pikir dengan kamu melenyapkan Lara lalu aku akan menjadi milikmu, hah?! Justru aku orang yang akan membencimu seumur hidup
Kening Alex terangkat, matanya terus memperhatikan wanita itu, dengan tajam. Ada sesuatu bergejolak di dalam dadanya. Tidak, ini bukan kemarahan mengenai misinya karena dipastikan misi mereka malam ini akan gagal karena kehadiran wanita itu, yang berada di antara target team Alex saat ini.Ini kemarahan tentang sesuatu yang lain, yang belum bisa Alex tangkap dengan logikanya.Alex beringsut bangkit dari duduknya ke arah meja bartender, matanya sengaja tak lepas dari wanita itu.Dia sengaja menunjukkan keberadaannya, agar wanita itu menyadari ke hadirannya. Jika ingin mengikuti ego, dia bisa saja langsung menyeret wanita itu keluar. Tapi tidak mungkin dia melakukan hal yang bisa saja mengacaukan keadaan saat ini.Alex memesan racikan yang bisa membuatnya menghilangkan rasa tidak nyaman di hatinya. Dia menegak minuman itu, berulang-ulang. Hingga pandangan mereka bertemu.Sesaat wanita di sana menatapnya dengan ekspresi terkejut, detik berikutnya malah mencumbu lelaki di sampingnya denga
Alex mengikuti mereka dari belakang dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Mereka menuju ruang VIP. Alex tadi cepat- cepat membayar begitu melihat pria itu dan Tari melenggang sambil berpelukan menuju ke arah dalam.Bugh! Dengan cepat Alex melayangkan pukulannya hingga pria itu terhuyung. Alex meraih kerah kemeja nya."Lex ...." Pekik Tari, sambil membantu pria itu agar tidak jatuh.Mata Alex menatap pada Tari dengan kilatan yang seolah ingin menelan dirinya.Alex semakin kalap saat melihat Tari lebih peduli dengan pria itu."Jangan coba-coba menyentuh kekasihku, atau aku akan menghabisimu." dengan penuh amarah Alex kembali melayangkan pukulannya."Stop, kamu bisa membunuhnya!""Aku akan membunuhnya jika kamu tetap berada di situ." Alex memperhatikan tangan Tari yang memeluk pria itu agar tidak terjatuh.Dengan segera Tari melepasnya, dia takut Alex bertambah marah dan menghajar pria itu."Aku sudah bilang kamu untuk pulang, tapi rupanya kamu ingin mencobaiku. Aku akan membuatnya cac
Alex berjalan pelan menuju kamarnya, dia sudah sampai di apartemen Rey. Terhenti di depan kamar Rey, berdiri sejenak menajamkan pendengarannya, untuk memastikan apakah Lara sudah tidur atau belum. Tidak ada suara apapun.Alex menghempas tubuhnya ke ranjang, ingin memejamkan matanya, namun teringat akan Lara. Dia kuatir Lara belum makan. Tak tahan Alex meraih ponselnya.[Sudah tidur? Maaf aku baru kembali.]Alex menatap ponselnya berkali-kali, tidak ada balasan apapun. 'pasti sudah tidur' batin Alex sambil memejamkan matanya. Hari ini dia menyadari sesuatu, ada perasaan yang lebih untuk Tari. Mungkin sudah ada sebelumnya tapi tidak disadarinya. Dia menjadi sangat cemburu saat melihat Tari bersama orang lain, hatinya tidak rela. Bukankah itu tandanya cinta? Namun tempat istimewa untuk Lara, yang sejak dulu ada, masih bertahta dengan kokoh. Apakah hati bisa menyimpan dua nama dengan tulus, entahlah. Yang pasti Alex sudah bertekad untuk mencintai Tari, karena biar bagaimanapun Lara tidak
Sementara itu di pulau dewata, Bali. Rey sudah seminggu menghindar dari Anggela karena harus fokus mencari bukti lebih banyak, info yang didapat dari Anggela sudah cukup baginya untuk mendapat petunjuk. Dia harus bergerak cepat untuk memutus mata rantai penyelundupan senjata ilegal ke timur Indonesia.[Aku rindu padamu] pesan dari Angela, Rey hanya membacanya tanpa berniat membalas. Banyak yang harus ia kerjakan malam nanti.[Aku ingin ketemu.][Tidak bisa kah sejenak, kamu luangkan waktu untukku?]Rey membiarkan hingga benda pipih itu, tak lagi berbunyi.Malam tengah larut ketika tampak seseorang berbaju hitam, dari kepala sampai kaki dengan penutup wajah menyelinap masuk di ruang generator, dari sebuah perusahaan terbesar di pulau itu. Dengan gerakan seperti kapas yang diterbangkan oleh angin, langkahnya ringan tak bersuara, jari-jarinya yang terbungkus sarung tangan karet bekerja dengan lincah, mempreteli beberapa kabel yang saling terkait, terakhir pada kabel yang terhubung pada
Seperti orang kehilangan akal, Angela terdiam membisu. Syok dengan perlakuan Rey padanya. Kesadarannya kembali saat Rey dengan kasar meletakkan gelas di atas mini bar, lalu mulai menyeduh kopi.Tubuh Angela menggigil. Hatinya tercabik, terluka saat dengan santainya, Rey duduk menyesap kopi dan memandang ke arahnya, dengan tatapan tajam, meremehkan. Angela mengigit bibirnya hingga perih, demi menekan rasa yang ingin meledak di dalam dirinya.Sedangkan pikiran Rey liar membayangkan Alex dan Lara di apartemennya, bayangan Lara yang polos dan Alex sedang memandangnya. Rey menggelengkan kepala mengenyahkan bayangan itu dari pikirannya."Aku bukan lelaki brengsek, jika aku salah satu dari mereka sudah sejak awal aku menidurimu." Rey menandas kopi di cangkirnya sampai habis."Pake bajumu."Angela menatap nanar ke arah Rey, matanya memanas. Tanggul di pelupuk matanya akan jebol dengan sekali kerjapan. Dia masih di posisi tadi, bertahan dengan menekan jari-jari kakinya pada lantai agar tetap b
Rey tersentak, melerai pelukannya. Dev ... itu bukan namanya. Dia hanya sedang menjalankan perannya sebagai Devin. Jika semuanya terkuak, orang yang paling terluka adalah Angela.Apakah peran yang sedang dia mainkan saat ini sebagai Devin atau sebagai Rey. Semua mengabur saat hati mulai terbalut oleh rasa cemburu.Mereka telah bersandar pada headrest masing-masing dengan napas yang masih memburu."Aku terkadang bingung, kamu seperti memiliki kepribadian ganda," ucap Angela pelan menatap lurus ke depan.Rey menoleh padanya, Angela dapat menangkap dengan ekor matanya."Terkadang aku merasa kamu benar-benar mencintaiku, kadang aku merasa kamu hanya mempermainkanku. Sebenarnya apa yang ada di hatimu. Apa aku saja yang terlalu bodoh?" Angela berpaling menatap Rey yang kini menatap lurus ke depan. Angela meraih lengan itu memeluk sambil menyandarkan kepalanya."Cintailah aku," bisik Angela.Hanya terdengar suara ombak yang memecah, mengisi kebisuan di antara mereka. Rey merunduk mencium punc
Dengan cepat Rey membereskan semua barang yang ada di atas mejanya, bergegas menyimpannya di kamar.Keningnya mengernyit, banyak tanya dan duga mulai terangkai dalam otaknya, ada urusan apa sampai pebisnis sepenting dan serepot itu bisa berkunjung padanya. Apakah ini ada hubungannya dengan penyusup tadi. Rey mulai waspada dengan segala kemungkinan. Dia menuju kamar mandi, mencuci wajahnya, lalu membasahi rambutnya kemudian mengeringkannya. Melangkah menuju pintu, mengedarkan pandangannya lagi ke seantero ruangan itu, aman, tidak ada hal yang mencurigakan. Diintipnya sekali lagi lalu membuka pintu, sosok di balik pintu itu tersenyum ramah dengan jas mahal membungkus badannya yang tidak begitu gemuk. Masih terlihat bugar di usianya yang sudah mencapai kepala lima. Dengan seorang asisten yang mengekor di belakangnya."Halo, Pak Hengky, suatu kejutan dan tentu saja merupakan kehormatan bagi saya, anda berkunjung ke sini." Rey tersenyum lebar.Mereka saling berjabat tangan."Saya kebetula
Hengky memencet nomor yang ditujunya, hendak melakukan panggilan kepada seseorang yang sangat penting baginya. Orang yang saat ini menjadi satu-satunya orang kepercayaannya, yang akan menyelamatkan dirinya dan keluarganya.[Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah melewati masa kritisnya?] tanya Hengky pada seseorang di seberang sana dengan raut kuatir.[Sudah tuan Hengky. Masa kritisnya telah lewat cuma sampai saat ini belum sadarkan diri.][Tidak mengapa, yang terpenting dia sudah melewati masa kritisnya. Lakukan pelayanan yang terbaik. Apapun itu, lakukanlah saya tidak ingin kehilangan dia.][Bagaimana jika dia siuman dan ingin kembali lagi ke Indonesia?][Saya tidak ingin dia kembali lagi ke sini. Jika kita tidak menyelamatkan dia, tentu saja saat ini dia sudah tiada. Mereka semua pengkhianat, karna itu kedua orang tuanya tiada. Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.][Dia orang yang berdedikasi pasti akan kembali pada negara dan keluarganya.][Kamu tidak usah kuatir, ha
"Aku punya rahasia," bisik Lara.Alis tebal Alex tertaut, dengan wajah penuh tanya."Kamu ingin tau?"Alex mengganguk ragu."Mereka akan mengambil anak-anakku," bisik Lara tepat di telinga Alex."Jika aku bersedih mereka akan mengambil anak-anakku," ulang Lara dengan wajah serius."Jangan bilang-bilang sama mereka jika aku hanya berpura-pura bahagia, agar mereka tidak mengambil anak-anakku.""Janji kamu tidak akan memberitahu siapapun ya?"Alex mengganguk seperti orang kehilangan akal. Dengan mata lekat pada dua netra bening yang berselimut duka."Mereka siapa?""Dokter dan suster.""Dokter dan suster?""Ssttt ... jangan keras-keras, nanti kedengaran." Mata Lara melebar dengan telunjuk di bibirnya, seolah pembicaraan mereka sangat rahasia dan tidak boleh ada yang mendengarnya. Dengan mata melirik kiri kanan, kuatir ada orang lain di sekitar mereka.Alex menegakkan badannya bersandar di kursi, mengurut-ngurut pelipisnya yang berdenyut nyeri. Dia bingung dengan tingkah Lara yang ambigu,
"A-apa ini kamu, Bang?" tanya Alex sangsi, ketika melihat tubuh yang terbujur kaku dengan seragam kebanggaannya.Saat ini Alex sedang berdiri di depan peti jenasah, yang telah berada di rumah Lara. Baru saja ibadah penutupan untuk selanjutnya akan mengantar jenasah menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.Alex yang penasaran mencoba membuka penutup benda yang terbuat dari kayu jati itu dengan ukiran di tiap sisinya. Namun tidak bisa, memang sudah didesain demikian agar tidak lagi bisa terbuka, harus membuka memakai kunci khusus. Alex hanya dapat melihat tanpa menyentuhnya, penutupnya terdiri dari dua lapisan. lapisan teratas terbuat dari kayu yang melindungi lapisan bawahnya yang terbuat dari kaca tapi hanya sebagian saja, dari batas dada ke atas kepala."I-ini bukan kamu, Bang! Aku tau ini bukan kamu." Alex menggeleng tak percaya, karena wajah itu tak dikenalinya. Sudah tak utuh, dan ada perban yang menutupi sebagian wajahnya. Mungkin untuk menutupi agar terlihat lebih baik
Metha berdiri berusaha menenangkan putrinya, namun kedua kakinya pun melemah, hingga sempoyongan, mencengkram piggiran ranjang. Bibi Sri panik, cepat-cepat membantu Metha."Maaass, sakiiit!" lengking Lara dengan kedua tangan masih memegang perutnya, wajahnya terlihat menahan kesakitan yang luar biasa."Dokter, suster!" teriak Bi Sri sekuat-kuatnya, tidak peduli jika itu akan mengganggu pasien lainnya. Memperbaiki duduk Metha lalu menuju tombol menekannya berulang-ulang. Kembali menahan tubuh Metha jangan sampai terjatuh. Metha berusaha mempertahankan dirinya sendiri, kesadarannya hampir hilang, namun kekuatiran pada putrinya membuatnya berusaha untuk tetap sadar."Tolong!"Merasa tidak ada yang mendengar, Bi Sri berlari menuju pintu."Tolooong. Dokter, Suster!"Suara Bi Sri menggema di koridor yang sunyi itu. Memancing gerakan dari orang sekitarnya yang langsung keluar dari ruangan masing-masing. Beberapa orang sudah menuju ruangan Lara lalu berusaha menenangkan Lara dan Metha. Seba
Lara terbangun, melirik ke arah Metha dan kedua kakak perempuannya di samping. Dia tidak tahu jika ayahnya dan Alex sudah menuju bandara untuk penyambutan dan penyerahan jenasah. Sebentar kedua kakaknya akan ikut serta juga, tentunya secara diam-diam tanpa diketahui oleh Lara."Mi, apa belum dapat ponsel Dedek, Mi?" tanya Lara pada Metha yang sedang sibuk menyiapkan sarapannya.Metha menjadi panik mendapat pertanyaan seperti itu lagi dari Lara. Sebelumnya mereka selalu beralasan jika ponselnya belum ditemukan. Sekarang akan tampak mencurigakan bila mengatakan hal itu lagi. Alex sudah menyarankan jika sebaiknya ponselnya diberikan. Sama juga, jika Lara hubungi suaminya, tidak akan tersambung, karena sejak hari itu ponsel Rey tidak aktif lagi.Metha melirik pada kedua saudara Lara yang juga tampak bingung. Kebohongan apalagi yang harus mereka buat untuk menutupi semua itu."Sebentar, Bik Sri akan bawakan, katanya sudah ketemu Dek." Metha mengambil ponselnya, mengirim pesan untuk Bi S
Kenapa kamu mencintaiku," tanya Alex tiba-tiba.Tari menoleh ke arah Alex dengan mimik heran. Tidak biasanya Alex menanyakan hal itu."Kenapa aku mencintaimu?" Tari mengulangi pertanyaan Alex."Iya, kenapa kamu mencintaiku?""A-aku ... apa aku harus menjawabnya?""Aku bertanya karna ingin mendengar jawabannya,tentu saja kamu harus menjawabnya.""Aku .... "Alex mengangkat keningnya menanti jawaban Tari. Tatapannya menghanyutkan. Semua wanita yang melihatnya akan terhanyut dalam pesonanya. Satu-satunya wanita yang tidak terseret dalam arusnya hanya Lara, karena dia telah memiliki Rey. Namun kini Rey telah pergi, menciptakan ketakutan tersendiri bagi Tari."Karena sejak awal aku menyukaimu. Semakin hari semakin dalam, bukan sekedar menyukai ... tapi sudah sangat mencintaimu, dan ... hatiku tidak bisa berpaling pada yang lain." Kedua pasang netra mereka saling memindai."Kenapa tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?" lanjut Tari.Alex berjalan mendekat. Serta merta membawa Tari dalam p
Tangan Alex menggenggam erat ponselnya hingga jari tangannya memutih. Dia baru saja menerima kabar jika jasat Rey telah ditemukan, bersama ketiga jasad lainnya.Sudah lima hari sejak penyambutan dua jenasah yang diterbangkan duluan. Hari ini baru mereka memberi kabar jika jenasah akan diterbangkan setelah melakukan persiapan di sana. Sesegera mungkin, paling terlambat besok, karena kondisi jasad yang tidak memungkinkan lagi untuk bertahan lebih lama.Dunia Alex kembali hancur, sangat terasa lebih hancur dari sebelumnya. Setelah berangan-angan ada sedikit harapan dengan belum ditemukan jasad Rey, masih ada asa saat itu. Berharap Rey berada di suatu tempat dengan nyawa yang masih berada di badannya. Ternyata itu hanya harapan kosong. Rey telah pergi, semuanya sirna sudah.Bagaimana dengan Lara dan kembarnya, bagaimana dengan amanat yang Rey tinggalkan tiap kali dia pergi satgas, bagaimana dengan Tari? Semua itu berkecamuk dalam pikiran Alex."Kenapa kamu menempatkan aku dalam posis
"Aku mau mengecek persiapan penyambutan Jenasah. Setelah urusanku beres kita akan membahasnya.""Kamu tidak berubah pikirankan, Lex?" Mata Tari yang berkaca-kaca mulai menciptakan kristal. Dia ingin segera mendapat jawaban Alex agar hatinya tenang.Alex menoleh ke dalam, Lara masih terlelap. Meraup wajahnya lalu berpaling ke arah Tari. Sesaat dia bimbang, lalu kemudian menarik Tari dalam pelukkannya."Kasih aku waktu dua hari ini, untuk mengurus segalanya. Setelah itu kita bertemu."Tari mengganguk terpaksa."A-aku .... Aku takut kamu berubah pikiran." Kristal bening itu luruh begitu saja. Alex trenyuh menatap Tari, diusap pelan butiran yang mengalir. Dia telah memiliki impian untuk menghabiskan masa tua bersamanya. Ruang hatinya hampir terisi penuh oleh Tari."Kamu pake apa ke sini.""Taksi. Kamu tau mobilku ada di bengkel. Tidak mungkin aku pake motor, karna kamu pasti marah."Tari pernah dua kali kecelakaan dengan motor hingga tulangnya patah, karena balapan. Hal yang disukainya du
[Aku lagi di rumah sakit, sedang menjaga Lara.] Tari dengan cepat membaca pesan Alex yang masuk. Saat tahu jika orang yang melamarnya sedang bersama wanita idamannya, hati Tari menjadi tak karuan. Apalagi dia baru saja mengetahui kabar gugurnya Rey dari ayahnya. Tari semakin tak tenang saat nomor Alex tak lagi aktif.Tari mencoba tidak berpikir berlebihan. Hal yang wajar jika Alex ada di rumah sakit karena istri sahabatnya pasti syok, mendengar berita suaminya. Apalagi saat ini sedang hamil. Tari ingin memahami hal itu, namun sisi dirinya yang lain sangat kuatir. Kini tidak ada halangan lagi bagi Alex jika dia ingin meraih hati Lara.Tadinya Tari ingin menanyakan berita tentang Rey, dia akan membahas hal itu setelah mereka bertemu namun rupanya sudah terjawab, Lara berada di rumah sakit pasti karena berita itu. Tari memukul-mukul pelan kepalanya berulang kali."Kenapa kamu masih memikirkan hal konyol seperti itu, sudah jelas-jelas akan menikah kenapa masih cemburu juga." Tari beru