Ana bersandar di dinding kamar mandi, merasakan dingin menempel di punggungnya, tapi tetap tak mampu meredakan rasa sakit di hatinya.
"Sakit, Mas..." bisiknya pelan, berharap kata-katanya bisa terbang dan sampai ke dalam hati Sam. Isakan kecil keluar dari bibirnya, tangis yang ia tahan akhirnya pecah dalam sunyi ruangan itu. Ia tahu seharusnya ia kuat, seharusnya ia tak terpengaruh, tapi kenyataannya melihat Sam dengan wanita lain, menyaksikan keakraban mereka, membuat pertahanannya runtuh. Ana mengusap air mata yang menetes di pipinya, berusaha mengumpulkan kembali kekuatannya. "Aku harus kuat...," gumamnya lirih pada diri sendiri. Namun, semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin besar pula rasa perih yang menyelimuti. Ana keluar dari sana dengan langkah pelan, menguatkan hati untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia menarik napas panjang, berusaha menata diri agar tak ada yang menyadari gejolak di dalam hatinya. Setelah kembali ke dapur, Ana segera mencuci piring-piring kotor. Beberapa pelayan lainnya membicarakan Ana, namun ia tak begitu peduli. Ternyata sulit bersosialisasi dengan mereka, terlebih mereka memiliki pandangan buruk tentang cara berpakaian Ana. "Biar aku bantu Ana," suara Gella membuyarkan fokusnya Ana. Ana menoleh dan tersenyum kecil kepada Gella. "Terima kasih, Gella. Tapi aku bisa melakukannya sendiri." Gella hanya menggeleng pelan sambil mengambil piring kotor di samping Ana. “Jangan sungkan Ana. Aku perhatikan wajahmu pucat sekali, kamu sakit?" "Ya, hanya tidak enak badan, tapi tidak apa-apa. Mungkin karena aku belum terbiasa dengan cuaca dingin di sini, kamu tahu, di negaraku hanya ada dua musim, panas dan hujan. "Aku bisa mengerti. Musim dingin memang bisa berat jika kamu belum terbiasa. Kadang tubuh butuh waktu untuk menyesuaikan diri," katanya sambil meletakkan piring di wastafel. Ana menghela napas, merasa sedikit lebih ringan setelah mendengar kata-kata Gella. "Iya, mungkin aku hanya butuh waktu. Terima kasih sudah peduli, Gella." Gella tersenyum lagi, kemudian meraih selimut kecil yang terlipat di kursi dekat meja makan. Dia membawanya ke arah Ana dan menyelimutinya dengan lembut. "Coba duduk dulu sebentar dan istirahat. Aku akan menyelesaikan sisanya. Dan nanti, aku akan buatkan teh hangat untukmu. Ana tersenyum hangat. "Terima kasih, Gella. Tapi pekerjaanku masih banyak." Gella membawa Ana untuk duduk, "Tak apa, biar aku yang selesaikan." "Baiklah, kalau begitu. Terima kasih, Gella.” Gella mengangguk puas dan segera mengambil alih pekerjaan Ana. “Jadi tujuanmu datang ke negara ini karena ingin mencari keberadaan suamimu?" Gela bertanya. Ana terdiam sejenak, menatap tangan-tangannya yang terlipat di pangkuannya. “Iya, begitulah…” jawabnya pelan, sambil menghela napas. “Aku sudah lama mencarinya, berharap dia ada di sini. Tapi setiap langkah yang kutempuh selalu saja berakhir tanpa hasil.” Gella menatap Ana dengan penuh simpati. “Kamu pasti sangat mencintainya, ya, sampai rela datang sejauh ini?” Ana tersenyum tipis, namun di balik senyum itu tersimpan luka yang dalam. “Kadang aku sendiri bertanya, apakah cintaku yang membuatku kuat bertahan atau justru rasa ingin tahu yang membuatku terus berjalan. Aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi, kenapa dia pergi begitu saja tanpa jejak.” Gella mengangguk pelan, seolah memahami perasaan Ana. “Mungkin, pada akhirnya kamu akan menemukan jawaban yang kamu cari. Tapi, jangan lupa untuk menjaga dirimu sendiri, Ana. Jangan sampai kamu kehilangan dirimu hanya karena pria itu yang sudah lari dari tanggungjawab nya." Ana tersenyum tipis, "Ya, kamu benar." Seorang pelayan lain masuk ke dalam dapur. "Ana, Tuan Sam ingin ruangannya kamu bersihkan sekarang." Ana menarik napas panjang, lalu berdiri melepas selimut tipis di bahunya. “Baik, aku akan segera ke sana.” Gella menepuk bahunya dengan lembut sebelum Ana pergi. "“Kamu beneran sudah tak apa?" "Aku baik-baik saja Gella," "Baiklah, “Ana...Tuan Sam orang yang cukup teliti, jadi pastikan semuanya bersih dan rapi. Jangan sampai ada yang tertinggal, ya.” Ana mengangguk, tersenyum tipis, lalu ia melangkah keluar dapur menuju ruang kerja Samuel. Ana mengetuk pintu dengan ragu, merasa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Dari dalam, terdengar suara berat Sam yang mempersilahkan masuk. “Masuklah," Ana membuka pintu dan mendapati Samuel, suaminya, sedang duduk di balik meja kerjanya. Wajahnya terlihat dingin, dan pandangannya tetap tajam. "Ya Tuan, apa saja yang harus saya bersihkan?" Tanyanya berusaha tegar. "Bersihkan rak-rak buku saya, sudah berdebu. Saya mau kamu bersihkan sampai tidak ada sedikit pun debu yang menempel." Ana mengangguk pelan. Ia melangkah menuju rak-rak buku yang tinggi dan mulai bekerja, mengusap debu dengan kemoceng, memastikan setiap sudut bersih seperti yang diperintahkan. Samuel memperhatikannya dalam diam, pandangannya sesekali tak bisa lepas dari Ana. "Saya masih berbaik hati untuk membelikan tiket pesawat untukmu Ana," ucapnyamenawarkan. "Tidak perlu, aku bilang aku akan bekerja disini." Sam terkekeh dingin, "Bukankah kamu memiliki pekerjaan yang lebih layak di Indonesia?" "Aku tinggalkan semuanya demi mencari kamu, aku datang kemari dengan harapan besar." Katanya tanpa menoleh sekalipun ke arah Sam. Sam menghela nafas panjang, "Ayolah Ana, jangan lebay dengan perasaan picisan seperti itu. Kamu harusnya sadar diri bahwa saya sudah tidak memiliki rasa seperti itu lagi padamu. Sekarang saya memiliki seseorang yang berharga, itu bukan lagi kamu dan sebenarnya sejak awal kamu tidak lah seberharga itu." "Terima kasih sudah jujur." Ana hanya membalasnya dengan singkat. Ia tetap fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya. "Keras kepala!" Sam mendecih kesal. Setelah beberapa saat, Ana menyelesaikan pekerjaannya dan berdiri tegak, menatap Samuel dengan penuh kesungguhan. "Tuan, sudah selesai," katanya singkat, suaranya tetap tenang meski ia terlihat kelelahan. Samuel mengangguk, lalu berdiri dari kursinya, mendekati Ana hingga jarak mereka begitu dekat. "Saya tidak lagi mencintai kamu, Ana. Tahu diri dan cepat kembali ke Indonesia." Ia menegaskan lagi berharap perempuan ini mengerti. Ana menatap mata Sam tak kalah tajam, namun terlihat sekali sorotnya yang sedih. "Kalau tidak benar-benar mencintai jangan berbohong..." Suara Ana melirih. "Jangan buat janji yang tidak bisa ditepati. Pada Tuhan, ayahku, dan pernikahan kita, mas." Lanjutnya dengan air mata yang akhirnya luruh juga. Sorot tajam Sam menghilang seketika, namun rahangnya mengeras, juga tangannya yang mengepal erat. "Keluar! Keluar dari ruangan saya!" teriaknya. Dengan napas tercekat, Ana memalingkan wajahnya dan melangkah keluar dari ruangan Samuel. Cepat-cepat Ana langsung mengusap air mata yang menjejak di pipinya dan ia pun segera pergi dari sana.Ana merasakan Dekapan Hangat seseorang ditubuhnya, rasanya familiar dan ia tahu siapa yang tengah mendekap nya saat ini. "Mas..." "Tidurlah kembali Ana," bisik nya. Tangan besar Sam mengelus lembut kepalanya membuat Ana semakin berat sekadar untuk membuka matanya. "Jangan tinggalkan lagi aku ya, Samy." "Mas mencintaimu Ana." Dan ciuman yang hangat di keningnya terasa sekali. Ana dapat tertidur nyenyak. Ia terbangun mendengar suara azan subuh dari handphonenya, menyadari dirinya hanya sendirian di kamar. Ia mengedarkan pandangan, mencoba meresapi sisa hangat yang seolah masih terasa di tubuhnya. Rasa familiar dari pelukan tadi membekas di hatinya, membuatnya sulit membedakan antara mimpi dan kenyataan. "Mas..." bisiknya pelan, masih berharap bahwa kehadirannya barusan bukan sekadar ilusi. Ana duduk di pinggir ranjang, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Perasaannya masih bercampur aduk antara harapan yang muncul kembali dan kenyataan yang dingin. Perlahan ia berdiri da
"Mas..." Tubuhnya tergelitik geli oleh tangan besar suaminya, Samuel. Perihal Anarahayu yang menghindar dikecup bibirnya. Karena tidak tahan, akhirnya menyerah juga. "Ah nyebelin kamu, aku lagi potong buah nih Mas! Lagipula ini di tempat makan, tidak baik. Di kamar saja ya?" Tawarnya, "T-tapi tunggu sebentar, aku mau makan buah dulu. Tangan Sam tetap nakal bergerak menyelusup ke dalam gaun rumahan Ana, tangan kekarnya membuka pengait bra dan menarik benda yang menutupi milik indah perempuannya hingga benda itu terjatuh di lantai. "Samy..." Ia panggil lagi dengan sebutan sayangnya pada sang suami. "Kenapa? Padahal ini spot menantang yang kita suka loh." Ana segera membungkam mulut Sam dengan tangan kanannya, "Ngga mau, pindah aja sayang! Sekarang kan ada Mbak Yati." Rengek Ana tak mau melakukannya di tempat terbuka seperti ini. Sam tertawa kecil, menahan geli di wajahnya ketika tangan Ana menutupi mulutnya. "Oke, oke, pindah," jawabnya sambil mengangkat kedua tangan, seol
"Bang Hawa sudah dapat petunjuk, Sab," suara Ana terdengar lirih saat ia berbicara kepada keponakannya, Sabrina. "Mas Sam benar ada di US, dia tinggal di rumah besar di sana."Sabrina yang duduk di hadapannya menatap Ana dengan cemas. "Jadi itu benar dia? Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Mbak?" Ana menggigit bibirnya, bingung antara marah, lega, dan putus asa. "Aku... aku ngga tahu, Sab," gumam Ana, menunduk menatap lantai. "Sebenarnya, aku senang karena akhirnya aku punya petunjuk. Tapi, aku juga takut... takut apa yang aku temukan nanti lebih menyakitkan daripada yang sudah aku bayangkan sekarang."Sabrina menggenggam tangan Ana dengan erat, berusaha memberikan dukungan. "Mbak Ana, kamu sudah lama terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian. Mungkin ini waktunya untuk mendapatkan jawaban yang jelas, meskipun itu berat."Ana menghela napas panjang, merasakan kekosongan dalam dirinya semakin menganga. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Setiap hari, setiap malam, ia be
"Wanita itu masih menunggu di depan gerbang, tuan." "Bagaimana keadaannya?" "Dia kedinginan," Sam mendesah berat, bebal sekali Ana itu. "Biarkan disana sampai ia pergi sendiri." Ana datang kembali setelah hari kemarin, ia bersikeras untuk menemui Sam. Ana punya rencana, ia harus bisa tinggal di mansion pria itu. Setengah jam berlalu. Sam berjalan mondar-mandir di ruang pribadinya. Bayangan Ana yang berdiri kedinginan di depan gerbang membuat hatinya tak tenang. Bukan karena ia khawatir tetapi karena ia tak suka dengan cara perempuan itu mengganggunya. Akhirnya, dengan napas berat, ia memutuskan untuk menyerah pada egonya sejenak. "Bawa dia masuk ke dalam, segera!" perintahnya dengan nada tegas. Tak lama kemudian, Ana dibawa masuk oleh para pengawal dan ditempatkan di ruang tamu. Tubuhnya menggigil, namun matanya lembut menatap sang suami. Sam mendekatinya, menatap Ana dengan pandangan dingin namun penuh pengendalian. “Apa tujuanmu lagi, Ana? Kenapa kamu memaksa da
Ana merasakan Dekapan Hangat seseorang ditubuhnya, rasanya familiar dan ia tahu siapa yang tengah mendekap nya saat ini. "Mas..." "Tidurlah kembali Ana," bisik nya. Tangan besar Sam mengelus lembut kepalanya membuat Ana semakin berat sekadar untuk membuka matanya. "Jangan tinggalkan lagi aku ya, Samy." "Mas mencintaimu Ana." Dan ciuman yang hangat di keningnya terasa sekali. Ana dapat tertidur nyenyak. Ia terbangun mendengar suara azan subuh dari handphonenya, menyadari dirinya hanya sendirian di kamar. Ia mengedarkan pandangan, mencoba meresapi sisa hangat yang seolah masih terasa di tubuhnya. Rasa familiar dari pelukan tadi membekas di hatinya, membuatnya sulit membedakan antara mimpi dan kenyataan. "Mas..." bisiknya pelan, masih berharap bahwa kehadirannya barusan bukan sekadar ilusi. Ana duduk di pinggir ranjang, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Perasaannya masih bercampur aduk antara harapan yang muncul kembali dan kenyataan yang dingin. Perlahan ia berdiri da
Ana bersandar di dinding kamar mandi, merasakan dingin menempel di punggungnya, tapi tetap tak mampu meredakan rasa sakit di hatinya. "Sakit, Mas..." bisiknya pelan, berharap kata-katanya bisa terbang dan sampai ke dalam hati Sam. Isakan kecil keluar dari bibirnya, tangis yang ia tahan akhirnya pecah dalam sunyi ruangan itu. Ia tahu seharusnya ia kuat, seharusnya ia tak terpengaruh, tapi kenyataannya melihat Sam dengan wanita lain, menyaksikan keakraban mereka, membuat pertahanannya runtuh. Ana mengusap air mata yang menetes di pipinya, berusaha mengumpulkan kembali kekuatannya. "Aku harus kuat...," gumamnya lirih pada diri sendiri. Namun, semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin besar pula rasa perih yang menyelimuti. Ana keluar dari sana dengan langkah pelan, menguatkan hati untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia menarik napas panjang, berusaha menata diri agar tak ada yang menyadari gejolak di dalam hatinya. Setelah kembali ke dapur, Ana segera mencuci piring-piring ko
"Wanita itu masih menunggu di depan gerbang, tuan." "Bagaimana keadaannya?" "Dia kedinginan," Sam mendesah berat, bebal sekali Ana itu. "Biarkan disana sampai ia pergi sendiri." Ana datang kembali setelah hari kemarin, ia bersikeras untuk menemui Sam. Ana punya rencana, ia harus bisa tinggal di mansion pria itu. Setengah jam berlalu. Sam berjalan mondar-mandir di ruang pribadinya. Bayangan Ana yang berdiri kedinginan di depan gerbang membuat hatinya tak tenang. Bukan karena ia khawatir tetapi karena ia tak suka dengan cara perempuan itu mengganggunya. Akhirnya, dengan napas berat, ia memutuskan untuk menyerah pada egonya sejenak. "Bawa dia masuk ke dalam, segera!" perintahnya dengan nada tegas. Tak lama kemudian, Ana dibawa masuk oleh para pengawal dan ditempatkan di ruang tamu. Tubuhnya menggigil, namun matanya lembut menatap sang suami. Sam mendekatinya, menatap Ana dengan pandangan dingin namun penuh pengendalian. “Apa tujuanmu lagi, Ana? Kenapa kamu memaksa da
"Bang Hawa sudah dapat petunjuk, Sab," suara Ana terdengar lirih saat ia berbicara kepada keponakannya, Sabrina. "Mas Sam benar ada di US, dia tinggal di rumah besar di sana."Sabrina yang duduk di hadapannya menatap Ana dengan cemas. "Jadi itu benar dia? Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Mbak?" Ana menggigit bibirnya, bingung antara marah, lega, dan putus asa. "Aku... aku ngga tahu, Sab," gumam Ana, menunduk menatap lantai. "Sebenarnya, aku senang karena akhirnya aku punya petunjuk. Tapi, aku juga takut... takut apa yang aku temukan nanti lebih menyakitkan daripada yang sudah aku bayangkan sekarang."Sabrina menggenggam tangan Ana dengan erat, berusaha memberikan dukungan. "Mbak Ana, kamu sudah lama terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian. Mungkin ini waktunya untuk mendapatkan jawaban yang jelas, meskipun itu berat."Ana menghela napas panjang, merasakan kekosongan dalam dirinya semakin menganga. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Setiap hari, setiap malam, ia be
"Mas..." Tubuhnya tergelitik geli oleh tangan besar suaminya, Samuel. Perihal Anarahayu yang menghindar dikecup bibirnya. Karena tidak tahan, akhirnya menyerah juga. "Ah nyebelin kamu, aku lagi potong buah nih Mas! Lagipula ini di tempat makan, tidak baik. Di kamar saja ya?" Tawarnya, "T-tapi tunggu sebentar, aku mau makan buah dulu. Tangan Sam tetap nakal bergerak menyelusup ke dalam gaun rumahan Ana, tangan kekarnya membuka pengait bra dan menarik benda yang menutupi milik indah perempuannya hingga benda itu terjatuh di lantai. "Samy..." Ia panggil lagi dengan sebutan sayangnya pada sang suami. "Kenapa? Padahal ini spot menantang yang kita suka loh." Ana segera membungkam mulut Sam dengan tangan kanannya, "Ngga mau, pindah aja sayang! Sekarang kan ada Mbak Yati." Rengek Ana tak mau melakukannya di tempat terbuka seperti ini. Sam tertawa kecil, menahan geli di wajahnya ketika tangan Ana menutupi mulutnya. "Oke, oke, pindah," jawabnya sambil mengangkat kedua tangan, seol