Home / Romansa / Pengkhianatan Tercintaku / 2. Pertemuan Menyakiti Hati

Share

2. Pertemuan Menyakiti Hati

Author: nonaserenade
last update Last Updated: 2025-04-24 21:00:37

"Bang Hawa sudah dapat petunjuk, Sab," suara Ana terdengar lirih saat ia berbicara kepada keponakannya, Sabrina. "Mas Sam benar ada di US, dia tinggal di rumah besar di sana."

Sabrina yang duduk di hadapannya menatap Ana dengan cemas. "Jadi itu benar dia? Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Mbak?"

Ana menggigit bibirnya, bingung antara marah, lega, dan putus asa. "Aku... aku ngga tahu, Sab," gumam Ana, menunduk menatap lantai. "Sebenarnya, aku senang karena akhirnya aku punya petunjuk. Tapi, aku juga takut... takut apa yang aku temukan nanti lebih menyakitkan daripada yang sudah aku bayangkan sekarang."

Sabrina menggenggam tangan Ana dengan erat, berusaha memberikan dukungan. "Mbak Ana, kamu sudah lama terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian. Mungkin ini waktunya untuk mendapatkan jawaban yang jelas, meskipun itu berat."

Ana menghela napas panjang, merasakan kekosongan dalam dirinya semakin menganga. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Setiap hari, setiap malam, ia bertanya-tanya, di mana suaminya? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Sam meninggalkannya tanpa penjelasan?

“Kamu benar, Sab. Ini waktunya aku mencari jawaban.” Ana menegakkan tubuhnya, berusaha menguatkan diri. “Aku ngga bisa terus hidup dalam ketidakpastian seperti ini. Aku harus tahu kenapa dia pergi seperti itu, dengan hanya meninggalkan selembar surat cerai." ujarnya lirih.

"Kamu ngga sendiri, Mbak. Aku disini pasti akan bantu kamu apa pun yang kamu butuhkan."

Ana tersenyum samar. Meski hatinya masih terasa hancur, ia merasa sedikit lebih kuat dengan dukungan dari Sabrina.

Ana tak bisa terus hidup dalam teka-teki yang tak berkesudahan ini. Sam mungkin ada di ujung lain dunia, tapi Ana harus tahu. Ia harus melihat langsung dan mendapatkan jawaban yang selama ini ia nantikan. Meskipun jawaban itu bisa menghancurkan hatinya lebih lebur lagi, ia harus berani menghadapinya.

•••

Satu minggu kemudian, Ana sudah bersiap untuk perjalanan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tiket pesawat menuju Amerika sudah di tangan, dan perasaannya berkecamuk menginginkan harapan. Sabrina mendukungnya sepenuhnya walaupun paman Haris justru sebaliknya, tak mengizinkan.

"Saat kamu sampai di sana, jangan terlalu berharap terlalu banyak ya, Mbak," pesan Sabrina sebelum Ana berangkat. "Yang penting, kamu bisa dapat kejelasan, apapun itu."

Ana mengangguk, meski hatinya tahu apa yang dia inginkan. "Iya Sab. Terimakasih banyak ya."

Sebab Ia menginginkan penjelasan, penutupan, atau mungkin, harapan terakhir untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari pernikahannya. Namun, apapun yang akan ia temukan di Amerika nanti, satu hal yang pasti, dia akan kembali sebagai seseorang yang berbeda. Entah dengan hati yang akhirnya bisa melepaskan, atau dengan luka yang lebih dalam.

•••

New York City.

Di bawah langit kelabu New York City, Ana berdiri di luar bandara, menatap hiruk-pikuk kota yang selama ini hanya ia dengar dari cerita dan layar kaca. Tempat yang mungkin menyimpan jawaban atas ketidakpastian yang telah ia tanggung selama empat tahun.

Ana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdegup kencang. Ia tahu bahwa langkah-langkah berikutnya akan menentukan segalanya.

Di tangannya, ia menggenggam secarik kertas berisi alamat sebuah rumah besar yang diberikan oleh Hawariyyun, petunjuk yang didapatnya setelah begitu banyak pencarian. Ia melangkah pelan ke arah taksi yang menunggunya, menyebutkan alamat itu dengan suara lirih. Sopir taksi mengangguk dan langsung melajukan kendaraannya, membawa Ana menuju tempat yang ia yakini sebagai titik temu dengan Sam.

Perjalanan itu terasa begitu panjang bagi Ana, meskipun hanya memakan waktu setengah jam. Pikirannya melayang-layang, membayangkan berbagai kemungkinan yang mungkin ia temui.

Tak lama kemudian, taksi itu berhenti di depan sebuah rumah besar yang terlihat elegan dan kokoh—ah lebih tepatnya seperti mansion. Ana menghela napas dalam, mencoba menenangkan gemuruh dalam hatinya. Ia berjalan perlahan menuju pintu gerbang rumah itu yang amat tinggi.

"Ada yang bisa saya bantu Nona?" Tanya seorang keamanan yang memakai pakaian serba hitam.

Ana terkejut mendengar suara itu. Ia menoleh dan melihat seorang pria berdiri di dekat pintu gerbang, menatapnya dengan pandangan penuh tanya.

"Oh... iya, saya datang mencari seseorang," jawab Ana, mencoba terdengar tenang meski hatinya berdegup kencang. "Saya ingin bertemu dengan Tuan Keenan Samuel Adinata. Apakah dia sedang berada dirumah?"

Pria itu menatapnya sejenak, ragu-ragu. “Anda siapa?" tanyanya tak ingin segera menjawab sebab privasi tuan nya perlu di jaga.

Begitu Ana ingin menjawab, seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian coat yang melekat gagah di tubuhnya keluar dari rumah besar itu, yang diikuti oleh jajaran para pengawal berpakaian serba hitam dibelakangnya.

Ana terpaku di tempatnya, "Mas..."

Bagaikan bisikan yang lembut, mata Sam terhenti pada sosok wanita yang berdiri di depan gerbang itu. Ia tampak terkejut, dan raut wajahnya berubah saat mengenali Ana yang berdiri terpaku. Sesaat, suasana di sekitarnya seolah terhenti, hanya ada tatapan mereka dari kejauhan yang bertemu dalam keheningan penuh makna.

Beberapa pengawal di belakangnya melirik satu sama lain, bingung melihat tuan mereka yang tiba-tiba terdiam. Salah seorang pengawal mencoba mendekat untuk memberikan instruksi, namun Sam mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk menahan diri.

"Perintahkan penjaga di depan gerbang untuk bawa perempuan itu ke hadapan saya."

Salah seorang pengawal segera memberikan instruksi melalui alat komunikasi di telinganya. Tak lama, penjaga di depan gerbang mendekati Ana, dan membawanya masuk ke pelataran rumah besar milik Sam.

Tatapan mereka tetap tak lepas, seakan-akan waktu berhenti di antara mereka. Ana merasa gemuruh di dadanya semakin hebat, sementara Sam hanya berdiri tegak di ujung halaman, matanya tak beranjak dari sosok Ana yang perlahan mendekat.

Setelah beberapa langkah, Ana berhenti, jarak mereka kini hanya beberapa meter. Sam tampak berusaha menjaga ketenangannya, tetapi pandangan matanya mengisyaratkan sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan—lebih pada keheranan.

"Samy..." suara Ana terdengar pelan, hampir seperti bisikan.

Sam menarik napas dalam, menahan perasaannya yang kompleks. "Bawa perempuan itu ke ruang pribadi saya." Ucapnya tegas dan dingin, ia segera mengalihkan pandangannya dan kembali masuk ke dalam rumah besarnya.

Ana hanya bisa terpaku saat mendengar instruksi tegas dari Sam. Kata-kata itu terasa asing, tak sehangat dan selembut yang pernah ia kenal dulu. Sam yang sekarang terlihat begitu berbeda. Tatapan tajamnya penuh wibawa, tetapi dingin dan seolah tak tersentuh lagi hatinya.

Apa benar Samy-nya seperti itu?

Dengan langkah pelan, Ana mengikuti langkah pengawal. Dan ketika kakinya memasuki rumah itu, ia merasakan suasana tegang dan berat. Rumah Sam benar-benar besar dan juga mewah.

Sampai akhirnya, ia pun sampai di ruang kerja milik Sam, pria itu sudah berdiri di dekat jendela besar yang menghadap taman, dengan punggung tegap dan satu tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya.

Tanpa sepatah kata, Sam memberikan isyarat kepada para pengawal untuk meninggalkan mereka berdua. Satu per satu, pengawalnya keluar dari ruangan, menutup pintu dengan pelan, hingga akhirnya hanya Sam dan Ana yang tersisa dalam keheningan yang terasa mencekam.

Ketika Sam akhirnya berbalik dan menatapnya, mata mereka bertemu dalam diam yang panjang. Wajah Sam tetap tanpa ekspresi, tetapi dalam tatapannya ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang sulit diuraikan.

"Kenapa kamu datang kesini?" Suara pertama yang keluar dari bibirnya adalah pertanyaan yang sangat tidak masuk akal bagi Ana.

"Aku merindukan kamu Mas,"

"Saya tidak menyuruhmu untuk memiliki perasaan lebay seperti itu."

Apa? Apakah telinga Ana bermasalah? Ah...tidak. Pria itu yang bermasalah dengan cara bicaranya yang seformal itu padanya.

Ana tak bisa lagi menahan perasaannya. Dalam sekejap, ia mendekat dan melingkarkan tangannya di tubuh tegap Sam, memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi.

Hatinya bergejolak, penuh dengan kerinduan yang sudah terlalu lama mengendap di hatinya. Namun, tubuh Sam tetap kaku dalam pelukannya, tidak memberikan respons, hanya membiarkan Ana memeluknya tanpa balasan.

"Aku sudah terlalu lama mencari jawaban, Mas," bisik Ana dengan suara bergetar. "Kamu tiba-tiba menghilang tanpa penjelasan, meninggalkanku dalam tanda tanya yang menyakitkan. Sekarang, kamu malah bersikap dingin dan seasing ini. Apa kamu sudah melupakan tentang kita, Samy?"

Sam menghela napas panjang, matanya menatap lurus ke depan. Dengan perlahan, ia melepaskan tangan Ana dari tubuhnya, membuat Ana merasa kosong dan terluka. "Saya sudah tidak memiliki perasaan apapun lagi padamu, apa yang perlu saya harapkan dari istri yang koma? Saya butuh perempuan yang bisa mengurusi saya."

Hati Ana mencelos. Kata-kata Sam terasa seperti belati yang menancap dalam di hati Ana. Tubuhnya melemas, pandangannya sedikit kabur oleh air mata yang mulai menggenang. Ia tak pernah menyangka, kata-kata yang selama ini ia takutkan ketika bertemu dengannya akan keluar dari mulut Sam dengan begitu dinginnya.

"Jadi... kamu meninggalkanku karena aku tak berdaya lagi dan kamu pun mencari yang lain?" Suaranya bergetar, hampir tak terdengar.

"Ya."

Hati Ana semakin mencelos. “Setelah semua yang kita lewati… hanya itu yang tersisa di hatimu untukku?”

Sam memalingkan wajah, menghindari tatapan Ana. Ada kesan dingin dan tak peduli dalam sikapnya, seolah-olah ia memang sudah menutup pintu hatinya.

"Saya sudah cukup menderita, Ana. Hidup ini tidak menunggu siapapun. Saya butuh seseorang yang bisa ada di sisi saya. Maaf, tapi saya sudah tidak memiliki rasa apapun padamu."

Perkataan itu menghancurkan Ana lebih dari apa pun. Rasanya seperti ia baru saja kehilangan segalanya. Selama ini, ia selalu berusaha untuk menguatkan diri, mempercayai bahwa cinta mereka bisa bertahan dalam segala badai. Tapi kini, kenyataan pahit itu terbentang jelas di depannya.

"Aku pikir… cinta kita akan bertahan, Mas," bisiknya lirih, dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Aku pikir kamu akan tetap di sisiku, apa pun yang terjadi. Tapi kamu bohong, janji yang kamu ucapkan saat akad itu bohong."

Sam tetap diam, ekspresinya tidak berubah. Seolah-olah segala perasaan yang pernah ada antara mereka telah terkubur jauh di masa lalu. Ana menatap pria di depannya, suami yang pernah ia cintai dengan seluruh hatinya, namun kini terasa seperti orang asing.

Dengan suara serak, ia berkata, “Lalu kalau begitu kenapa kamu tidak datang kembali padaku untuk menceraikan ku langsung? Mengapa Mas? Kamu pasti bohong, aku tidak percaya Samy-ku seperti ini!"

Sam hanya mendengus dingin mendengar Ana mengoceh.

"Samy-ku yang dulu bukan pria yang akan meninggalkan istrinya begitu saja, apalagi hanya karena alasan sepele," lanjut Ana dengan suara bergetar, tapi penuh keyakinan. "Aku tahu di dalam hatimu, kamu tidak benar-benar ingin mengakhiri ini semua. Kalau kamu tidak punya perasaan lagi, kamu tidak perlu repot-repot menggantungkan status ini. Aku bisa tandatangani surat cerai yang kamu kirim setelah aku bangun dari koma, asal kamu ada di hadapanku, memberikan alasan dan menghadapi ku dengan berani Mas!"

Sam tertawa pelan, nadanya terdengar sarkastik, seolah mengejek harapan Ana. "Kamu terlalu naif, Ana," ujarnya sambil menggeleng pelan. "Apa kamu pikir pernikahan ini masih berarti bagi saya? Apa kamu pikir saya peduli soal status kita? Kamu benar-benar masih hidup dalam dongeng."

Ana menelan ludah, berusaha menahan luka yang semakin dalam. "Aku hanya hidup dalam kenyataan yang pernah kita bangun bersama. Kamu yang dulu berbeda, Mas, kamu bukan orang yang akan membuang segalanya begitu saja."

"Ana, bangunlah. Dunia kita sudah berubah," jawab Sam dengan nada datar. "Kamu pikir saya akan terus bertahan hanya karena perasaan yang sudah lama mati? Orang berubah, dan saya juga. Jangan menutup matamu terhadap kenyataan."

"Tapi aku belum berubah, Mas," kata Ana dengan tegas, air mata tak hentinya luruh membasahi pipinya. "Aku masih seperti yang dulu, masih mencintaimu dan masih ingin memperbaiki semuanya. Bukankah pernah ada janji di antara kita?"

Sam berhenti sejenak, napasnya terdengar lebih berat. "Persetan dengan janji yang lalu, saya tidak mau mengingat kenangan yang sudah tak berarti apa-apa untuk saya sekarang."

Sesaat, hening menggantung di antara mereka, hanya detak jantung Ana yang terdengar jelas di antara mereka.

"Kalau begitu… jika memang ini yang kamu mau, lepaskan aku. Beri aku kebebasan," ujar Ana dengan suara pelan tapi mantap, walau hatinya sakit mengucapkannya.

Sam menatapnya dalam, ekspresi wajahnya sulit ditebak. "Pulanglah ke negara mu, saya akan kirimkan surat perpisahan lagi segera—"

"Ucapkan Sam! Ucapkan bahwa kamu menceraikanku!" Pekik Ana keras sekali menantang suaminya, kali ini ia tak bisa menahan diri lagi.

Sam terdiam, matanya berkedip sesaat. "Tidak perlu drama, Ana. Semua sudah jelas. Saya sudah tidak ingin terikat dengan masa lalu," jawabnya pelan namun tajam, meski ada sekilas keraguan yang melintas di matanya, itu yang dilihat oleh Ana.

Ana menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya meski hatinya hancur. "Kalau begitu, kenapa kamu tidak bisa mengatakannya langsung? Kenapa harus melalui surat? Bukankah lebih mudah bagimu untuk menyelesaikannya di sini, di depan mataku?"

Sam memalingkan wajah, menatap ke arah jendela, menghindari tatapan Ana yang penuh luka. "Karena… saya tidak ingin ada konfrontasi yang tak perlu," katanya tegas.

Ana mendekat, mencoba mencari penjelasan di balik wajah dingin itu. "Sam, jika kamu benar-benar tak ingin lagi terikat, katakan sekarang. Lepaskan aku. Biar aku tahu, agar aku bisa melanjutkan hidupku tanpa ada sisa harapan."

Sam menutup mata sejenak, menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara tinggi.

"Pengawal!" Teriak Sam keras sekali.

Para pengawal segera masuk kedalam, menunduk di hadapan Sam.

"Ada yang bisa kami bantu Tuan?"

"Pesankan satu tiket pesawat untuk ke Indonesia, bawa perempuan ini dari hadapan saya."

Ana menatap Sam dengan mata penuh kemarahan dan air mata yang tertahan. “Apa maksudmu, Sam?” teriaknya, suaranya pecah kembali. "Setelah semua ini, kamu hanya ingin aku pergi begitu saja? Tanpa penjelasan yang layak?"

"Tuan, maaf..." Salah satu pengawal menyela pembicaraan bersitegang mereka. "Cuaca untuk perjalanan udara menuju Indonesia sedang buruk, penerbangan ditunda sampai cuaca membaik Tuan."

Sam menghela napas panjang, tampak tidak senang dengan gangguan itu. Ia berpaling dari Ana dan mengangguk dingin pada pengawalnya. "Baik, pastikan dia tidak meninggalkan mansion ini sampai penerbangan berikutnya tersedia."

Ana, yang awalnya terpaku karena emosi yang berkecamuk, mendengarkan perintah Sam dengan hati yang semakin teriris. "Aku datang ke negara ini karena inginku sendiri, kamu tidak perlu memperlakukanku serendah ini. Samy... Aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan menyerah mencari tahu alasan yang sebenarnya kamu meninggalkanku begini. Ingat kata-kata ku ini, aku tidak akan menyerah!"

Ana melangkah keluar dari ruangan Sam dengan kepala terangkat, meski hatinya terluka. Setiap langkahnya terasa berat, namun tekadnya untuk mencari kebenaran semakin kuat.

Para pengawal mengikuti di belakangnya dengan sikap waspada, namun Ana mengabaikan kehadiran mereka. Ia tidak akan mundur, bahkan jika Sam berusaha menyingkirkannya dengan cara yang dingin dan kejam.

Saat sampai di lorong, Ana berhenti sejenak, memandang sekeliling mansion yang besar dan megah, penuh dengan keanggunan yang terasa dingin dan tak berjiwa. Dalam hatinya, ia berjanji akan menempatkan dirinya di mansion ini. Ia akan menemukan alasan dan jawaban sebenarnya di balik perubahan Sam, apapun yang harus ia lakukan.

Tanpa sepatah kata pun, Ana melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar dan ia pun pergi dari halaman rumah besar suaminya. Nanti lagi, Ana butuh rencana.

Sam berdiri diam di balik jendela, menyaksikan Ana yang melangkah menjauh dengan mantap.

Tangan Sam terkepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih, rahangnya mengeras, dan matanya memancarkan sorot tajam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Pengkhianatan Tercintaku   3. Sam Dengan Wanita Lain

    "Wanita itu masih menunggu di depan gerbang, tuan." "Bagaimana keadaannya?" "Dia kedinginan," Sam mendesah berat, bebal sekali Ana itu. "Biarkan disana sampai ia pergi sendiri." Ana datang kembali setelah hari kemarin, ia bersikeras untuk menemui Sam. Ana punya rencana, ia harus bisa tinggal di mansion pria itu. Setengah jam berlalu. Sam berjalan mondar-mandir di ruang pribadinya. Bayangan Ana yang berdiri kedinginan di depan gerbang membuat hatinya tak tenang. Bukan karena ia khawatir tetapi karena ia tak suka dengan cara perempuan itu mengganggunya. Akhirnya, dengan napas berat, ia memutuskan untuk menyerah pada egonya sejenak. "Bawa dia masuk ke dalam, segera!" perintahnya dengan nada tegas. Tak lama kemudian, Ana dibawa masuk oleh para pengawal dan ditempatkan di ruang tamu. Tubuhnya menggigil, namun matanya lembut menatap sang suami. Sam mendekatinya, menatap Ana dengan pandangan dingin namun penuh pengendalian. “Apa tujuanmu lagi, Ana? Kenapa kamu memaksa da

    Last Updated : 2025-04-24
  • Pengkhianatan Tercintaku   4. Keduanya Bersitegang

    Ana bersandar di dinding kamar mandi, merasakan dingin menempel di punggungnya, tapi tetap tak mampu meredakan rasa sakit di hatinya. "Sakit, Mas..." bisiknya pelan, berharap kata-katanya bisa terbang dan sampai ke dalam hati Sam. Isakan kecil keluar dari bibirnya, tangis yang ia tahan akhirnya pecah dalam sunyi ruangan itu. Ia tahu seharusnya ia kuat, seharusnya ia tak terpengaruh, tapi kenyataannya melihat Sam dengan wanita lain, menyaksikan keakraban mereka, membuat pertahanannya runtuh. Ana mengusap air mata yang menetes di pipinya, berusaha mengumpulkan kembali kekuatannya. "Aku harus kuat...," gumamnya lirih pada diri sendiri. Namun, semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin besar pula rasa perih yang menyelimuti. Ana keluar dari sana dengan langkah pelan, menguatkan hati untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia menarik napas panjang, berusaha menata diri agar tak ada yang menyadari gejolak di dalam hatinya. Setelah kembali ke dapur, Ana segera mencuci piring-piring ko

    Last Updated : 2025-04-24
  • Pengkhianatan Tercintaku   5. Tamparan Seorang Istri

    Ana merasakan Dekapan Hangat seseorang ditubuhnya, rasanya familiar dan ia tahu siapa yang tengah mendekap nya saat ini. "Mas..." "Tidurlah kembali Ana," bisik nya. Tangan besar Sam mengelus lembut kepalanya membuat Ana semakin berat sekadar untuk membuka matanya. "Jangan tinggalkan lagi aku ya, Samy." "Mas mencintaimu Ana." Dan ciuman yang hangat di keningnya terasa sekali. Ana dapat tertidur nyenyak. Ia terbangun mendengar suara azan subuh dari handphonenya, menyadari dirinya hanya sendirian di kamar. Ia mengedarkan pandangan, mencoba meresapi sisa hangat yang seolah masih terasa di tubuhnya. Rasa familiar dari pelukan tadi membekas di hatinya, membuatnya sulit membedakan antara mimpi dan kenyataan. "Mas..." bisiknya pelan, masih berharap bahwa kehadirannya barusan bukan sekadar ilusi. Ana duduk di pinggir ranjang, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Perasaannya masih bercampur aduk antara harapan yang muncul kembali dan kenyataan yang dingin. Perlahan ia berdiri da

    Last Updated : 2025-04-24
  • Pengkhianatan Tercintaku   1. Pengkhianatan Tercintaku (Pembuka)

    "Mas..." Tubuhnya tergelitik geli oleh tangan besar suaminya, Samuel. Perihal Anarahayu yang menghindar dikecup bibirnya. Karena tidak tahan, akhirnya menyerah juga. "Ah nyebelin kamu, aku lagi potong buah nih Mas! Lagipula ini di tempat makan, tidak baik. Di kamar saja ya?" Tawarnya, "T-tapi tunggu sebentar, aku mau makan buah dulu. Tangan Sam tetap nakal bergerak menyelusup ke dalam gaun rumahan Ana, tangan kekarnya membuka pengait bra dan menarik benda yang menutupi milik indah perempuannya hingga benda itu terjatuh di lantai. "Samy..." Ia panggil lagi dengan sebutan sayangnya pada sang suami. "Kenapa? Padahal ini spot menantang yang kita suka loh." Ana segera membungkam mulut Sam dengan tangan kanannya, "Ngga mau, pindah aja sayang! Sekarang kan ada Mbak Yati." Rengek Ana tak mau melakukannya di tempat terbuka seperti ini. Sam tertawa kecil, menahan geli di wajahnya ketika tangan Ana menutupi mulutnya. "Oke, oke, pindah," jawabnya sambil mengangkat kedua tangan, seol

    Last Updated : 2025-04-24

Latest chapter

  • Pengkhianatan Tercintaku   5. Tamparan Seorang Istri

    Ana merasakan Dekapan Hangat seseorang ditubuhnya, rasanya familiar dan ia tahu siapa yang tengah mendekap nya saat ini. "Mas..." "Tidurlah kembali Ana," bisik nya. Tangan besar Sam mengelus lembut kepalanya membuat Ana semakin berat sekadar untuk membuka matanya. "Jangan tinggalkan lagi aku ya, Samy." "Mas mencintaimu Ana." Dan ciuman yang hangat di keningnya terasa sekali. Ana dapat tertidur nyenyak. Ia terbangun mendengar suara azan subuh dari handphonenya, menyadari dirinya hanya sendirian di kamar. Ia mengedarkan pandangan, mencoba meresapi sisa hangat yang seolah masih terasa di tubuhnya. Rasa familiar dari pelukan tadi membekas di hatinya, membuatnya sulit membedakan antara mimpi dan kenyataan. "Mas..." bisiknya pelan, masih berharap bahwa kehadirannya barusan bukan sekadar ilusi. Ana duduk di pinggir ranjang, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Perasaannya masih bercampur aduk antara harapan yang muncul kembali dan kenyataan yang dingin. Perlahan ia berdiri da

  • Pengkhianatan Tercintaku   4. Keduanya Bersitegang

    Ana bersandar di dinding kamar mandi, merasakan dingin menempel di punggungnya, tapi tetap tak mampu meredakan rasa sakit di hatinya. "Sakit, Mas..." bisiknya pelan, berharap kata-katanya bisa terbang dan sampai ke dalam hati Sam. Isakan kecil keluar dari bibirnya, tangis yang ia tahan akhirnya pecah dalam sunyi ruangan itu. Ia tahu seharusnya ia kuat, seharusnya ia tak terpengaruh, tapi kenyataannya melihat Sam dengan wanita lain, menyaksikan keakraban mereka, membuat pertahanannya runtuh. Ana mengusap air mata yang menetes di pipinya, berusaha mengumpulkan kembali kekuatannya. "Aku harus kuat...," gumamnya lirih pada diri sendiri. Namun, semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin besar pula rasa perih yang menyelimuti. Ana keluar dari sana dengan langkah pelan, menguatkan hati untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia menarik napas panjang, berusaha menata diri agar tak ada yang menyadari gejolak di dalam hatinya. Setelah kembali ke dapur, Ana segera mencuci piring-piring ko

  • Pengkhianatan Tercintaku   3. Sam Dengan Wanita Lain

    "Wanita itu masih menunggu di depan gerbang, tuan." "Bagaimana keadaannya?" "Dia kedinginan," Sam mendesah berat, bebal sekali Ana itu. "Biarkan disana sampai ia pergi sendiri." Ana datang kembali setelah hari kemarin, ia bersikeras untuk menemui Sam. Ana punya rencana, ia harus bisa tinggal di mansion pria itu. Setengah jam berlalu. Sam berjalan mondar-mandir di ruang pribadinya. Bayangan Ana yang berdiri kedinginan di depan gerbang membuat hatinya tak tenang. Bukan karena ia khawatir tetapi karena ia tak suka dengan cara perempuan itu mengganggunya. Akhirnya, dengan napas berat, ia memutuskan untuk menyerah pada egonya sejenak. "Bawa dia masuk ke dalam, segera!" perintahnya dengan nada tegas. Tak lama kemudian, Ana dibawa masuk oleh para pengawal dan ditempatkan di ruang tamu. Tubuhnya menggigil, namun matanya lembut menatap sang suami. Sam mendekatinya, menatap Ana dengan pandangan dingin namun penuh pengendalian. “Apa tujuanmu lagi, Ana? Kenapa kamu memaksa da

  • Pengkhianatan Tercintaku   2. Pertemuan Menyakiti Hati

    "Bang Hawa sudah dapat petunjuk, Sab," suara Ana terdengar lirih saat ia berbicara kepada keponakannya, Sabrina. "Mas Sam benar ada di US, dia tinggal di rumah besar di sana."Sabrina yang duduk di hadapannya menatap Ana dengan cemas. "Jadi itu benar dia? Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Mbak?" Ana menggigit bibirnya, bingung antara marah, lega, dan putus asa. "Aku... aku ngga tahu, Sab," gumam Ana, menunduk menatap lantai. "Sebenarnya, aku senang karena akhirnya aku punya petunjuk. Tapi, aku juga takut... takut apa yang aku temukan nanti lebih menyakitkan daripada yang sudah aku bayangkan sekarang."Sabrina menggenggam tangan Ana dengan erat, berusaha memberikan dukungan. "Mbak Ana, kamu sudah lama terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian. Mungkin ini waktunya untuk mendapatkan jawaban yang jelas, meskipun itu berat."Ana menghela napas panjang, merasakan kekosongan dalam dirinya semakin menganga. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Setiap hari, setiap malam, ia be

  • Pengkhianatan Tercintaku   1. Pengkhianatan Tercintaku (Pembuka)

    "Mas..." Tubuhnya tergelitik geli oleh tangan besar suaminya, Samuel. Perihal Anarahayu yang menghindar dikecup bibirnya. Karena tidak tahan, akhirnya menyerah juga. "Ah nyebelin kamu, aku lagi potong buah nih Mas! Lagipula ini di tempat makan, tidak baik. Di kamar saja ya?" Tawarnya, "T-tapi tunggu sebentar, aku mau makan buah dulu. Tangan Sam tetap nakal bergerak menyelusup ke dalam gaun rumahan Ana, tangan kekarnya membuka pengait bra dan menarik benda yang menutupi milik indah perempuannya hingga benda itu terjatuh di lantai. "Samy..." Ia panggil lagi dengan sebutan sayangnya pada sang suami. "Kenapa? Padahal ini spot menantang yang kita suka loh." Ana segera membungkam mulut Sam dengan tangan kanannya, "Ngga mau, pindah aja sayang! Sekarang kan ada Mbak Yati." Rengek Ana tak mau melakukannya di tempat terbuka seperti ini. Sam tertawa kecil, menahan geli di wajahnya ketika tangan Ana menutupi mulutnya. "Oke, oke, pindah," jawabnya sambil mengangkat kedua tangan, seol

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status