"Wanita itu masih menunggu di depan gerbang, tuan."
"Bagaimana keadaannya?" "Dia kedinginan," Sam mendesah berat, bebal sekali Ana itu. "Biarkan disana sampai ia pergi sendiri." Ana datang kembali setelah hari kemarin, ia bersikeras untuk menemui Sam. Ana punya rencana, ia harus bisa tinggal di mansion pria itu. Setengah jam berlalu. Sam berjalan mondar-mandir di ruang pribadinya. Bayangan Ana yang berdiri kedinginan di depan gerbang membuat hatinya tak tenang. Bukan karena ia khawatir tetapi karena ia tak suka dengan cara perempuan itu mengganggunya. Akhirnya, dengan napas berat, ia memutuskan untuk menyerah pada egonya sejenak. "Bawa dia masuk ke dalam, segera!" perintahnya dengan nada tegas. Tak lama kemudian, Ana dibawa masuk oleh para pengawal dan ditempatkan di ruang tamu. Tubuhnya menggigil, namun matanya lembut menatap sang suami. Sam mendekatinya, menatap Ana dengan pandangan dingin namun penuh pengendalian. “Apa tujuanmu lagi, Ana? Kenapa kamu memaksa datang ke sini?” tanya Sam geram. Ana tersenyum tipis, menahan rasa dingin yang masih menjalari tubuhnya. “Aku dengar kepala pelayan membutuhkan seorang pelayan pengganti karena pelayan sebelumnya resign, karena itu aku ingin mengambil posisi ini." Ana mengeluarkan surat-surat lamaran pekerjaan. "Jika kamu tidak ingin aku di sini sebagai istrimu, maka biarkan aku di sini sebagai pelayan. Aku akan bekerja dengan baik." Sam menatapnya dengan pandangan tak percaya. “Apa kamu bercanda Ana?" Ana menggeleng pelan, matanya menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan. “Aku serius, Samy. Aku ingin berada di sini. Jika ini satu-satunya cara untuk tetap tinggal—" ia berbicara dalam hati setelah itu, "dan berada di dekatmu, maka aku akan mengambil pekerjaan ini.” Sam menghela napas panjang, tampak frustasi. Ia segera pergi dari hadapan Ana dengan langkah lebarnya. "Gella!" Seru Sam memanggil seorang pelayan. Seorang wanita muda segera menghampiri Sam dan membungkukkan sedikit tubuhnya. "Iya Tuan, ada yang bisa saya bantu?" "Bawa perempuan itu ke kamar pelayan, dia akan bekerja disini. Beritahu apa saja tugasnya sebagai pelayan di mansion ini, besok dia akan mulai bekerja." Gella mengangguk paham, "B-baik tuan." Ana melihat Sam yang pergi begitu saja, tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya setelah memberikan instruksi pada pelayan itu. Rasa perih menyelusup di hati Ana, namun ia mencoba untuk menguatkan dirinya. Jika inilah yang harus ia hadapi demi bertahan di sisi pria yang dicintainya dan mencari alasan dibalik kepergian suaminya, maka ia akan melakukannya. Gella menatap Ana dengan penuh perhatian, lalu berkata dengan nada lembut, "Mari Nona, saya akan menunjukkan kamar anda dan bertemu dengan kepala pelayan." Ana mengangguk, berusaha menahan melankolis dalam dirinya. Ia mengikuti langkah Gella, melewati koridor-koridor panjang mansion yang megah itu. Suasananya terasa begitu hening dan dingin, auranya tidak begitu Ana sukai. Setibanya di kamar kecil yang disediakan untuk pelayan, Gella membuka pintu dan mempersilakan Ana masuk. “Ini kamar anda, Nona. Saya akan memperkenalkan anda pada kepala pelayan, mari Nona." Ana mengangguk lemah, menatap sekeliling kamar sederhana itu dan meletakkan tas cukup besar berisi pakaian dan kebutuhan yang ia bawa, kemudian ia mengikuti Gella. "Oh iya, siapa namamu?" Tanya Ana. "Gella, Nona," "Oke Gella, panggil saja aku Ana. Kita sama-sama bekerja disini sebagai pelayan jadi kamu tak harus seformal itu padaku. Senang berkenalan denganmu." Kata Ana tersenyum lembut padanya. Gella mengangguk singkat, ia malu-malu karena baru pertama kali ada yang seramah ini padanya. "Ah ya, baik Ana. Senang juga berkenalan denganmu." Keduanya akhirnya tiba di sebuah ruangan besar di mana kepala pelayan, seorang pria paruh baya dengan tatapan serius, sudah menunggu. “Nona Ana,” Gella memperkenalkan, “ini Tuan Michael, kepala pelayan mansion.” Tuan Michael menatap Ana dengan pandangan profesional, namun tidak bisa menyembunyikan sedikit rasa penasaran dalam sorot matanya melihat bagaimana ia berpakaian. "Selamat datang. Saya diberi tahu bahwa kamu akan mulai bekerja di sini. Ada beberapa aturan yang harus kamu patuhi. Apakah kamu siap untuk itu?" tanyanya dengan suara yang tegas. Ana mengangguk mantap. “Saya siap, Tuan Michael.” “Baik. Maka mulai besok pagi, kamu akan bekerja sebagai bagian dari pelayan di Mansion Mavros. Ada banyak tugas yang perlu kamu pelajari,” jelas Tuan Michael. “Gella akan membantumu dalam proses penyesuaian ini.” Ana menunduk sedikit sebagai tanda hormat. Ia tahu, jalan ini tidak mudah, tetapi demi menemukan jawaban atas kepergian dan perubahan sikap Sam, ia akan bertahan di mansion ini. ••• Ana berpakaian layaknya seorang pelayan, dan ia cukup lega karena pakaian maid yang ia kenakan berlengan panjang dan bagian bawahnya menjuntai hingga menutupi mata kaki. Seragam itu sederhana dengan potongan klasik, namun masih memungkinkannya untuk tetap nyaman dan bergerak bebas. Hijabnya dipilih dengan warna yang senada yaitu hitam, rapi membingkai wajahnya tanpa perlu mencolok, seakan menjadi bagian alami dari keseluruhan penampilannya. Saat ia berjalan menyusuri lorong-lorong mansion, beberapa pelayan lain menatapnya dengan heran, meski tidak ada yang berani langsung bertanya. Mereka tampak penasaran, melihat wanita berhijab yang membawa diri dengan tenang dan percaya diri meski berpenampilan sederhana. Sebagai orang baru, apalagi dengan latar belakang yang berbeda, Ana tahu bahwa ia akan menjadi pusat perhatian. Namun, ia tak mengizinkan hal itu mengganggu fokusnya. Ketika tiba di dapur, Gella segera menyambutnya. "Ana, tugas hari ini cukup banyak, tetapi aku yakin kamu bisa. Kamu sudah siap?" Ana tersenyum dan mengangguk. “Insya Allah, aku siap, Gella.” Tugas pertama Ana adalah membawa hidangan sarapan untuk tuan rumah. Setelah semua hidangan tertata rapi di meja makan, suara langkah pantofel yang beradu dengan lantai terdengar di kejauhan, disusul oleh suara langkah heels yang beriringan. Sam... suaminya, berjalan mendekat bersama seorang wanita di sisinya. Wanita itu cantik, wajahnya khas orang Eropa dengan rambut panjang ikal berwarna pirang dan mata sebiru samudra—persis seperti apa yang ia lihat di artikel berita. Tangan wanita itu melingkar di lengan Sam, ah...Ana tak suka. Melihatnya, Ana tak bisa menahan rasa cemburu yang tiba-tiba menyusup di hatinya. Mereka tampak serasi, seolah sempurna bersama. Ana hanya bisa menunduk, mencoba menenangkan perasaannya sambil tetap menjalankan tugasnya dengan profesional. "Pagi, Tuan," semua pelayan menyapa dengan hormat, dan Ana mengikuti salam mereka dengan menundukkan kepala, menunjukkan rasa hormatnya kepada tuan rumah. Sam dan wanita itu duduk dengan anggun di kursi mereka. Mereka duduk berdekatan karena wanita tersebut memilih tempat di samping Sam. Ana memahami tugas yang harus dilakukannya untuk menjamu mereka di pagi hari. Dengan langkah tenang, ia maju dan merundukkan tubuhnya sedikit sebagai tanda penghormatan. "Izinkan saya untuk menuangkan teh," katanya dengan suara lembut, berusaha tetap tenang meskipun perasaannya bergolak. Sam melihat dengan sudut matanya bahwa tangan Ana menggenggam erat pegangan teko teh, seolah berusaha menahan perasaan yang tengah bergejolak di hatinya. Ia bisa merasakan ketegangan yang berusaha Ana sembunyikan di balik ekspresi tenangnya. Wanita di samping Sam tersenyum sambil melirik Ana dengan tatapan lembut. "Terima kasih, kamu pelayan baru disini?" "Ya Nona, saya baru disini." "Ah...kamu sangat cantik, siapa namamu?" tanyanya, suaranya terdengar anggun dan lembut, mengalun di telinga Ana. Tak heran jika suaminya terpikat dengan perempuan ini, sikapnya anggun dan penuh percaya diri, memancarkan pesona yang sulit untuk diabaikan. Ana tersenyum tipis, berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya terasa perih. "Nama saya Ana, Nona," jawabnya dengan nada datar. Wanita itu mengangguk, tersenyum seolah memberi kesan ramah namun penuh kontrol. "Ana... Nama yang indah, seperti wajahmu cantik sekali." Dia kembali memuji Ana. Benar, Ana memang cantik sekali untuk ukuran perempuan asia, walaupun usianya sudah menginjak dua puluh enam tahun wajahnya tetap terlihat seperti perempuan usia delapan belas tahun. Sam tetap diam, hanya mengamati interaksi keduanya tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Namun, Ana bisa merasakan matanya yang sesekali memperhatikannya dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. "Terima kasih, Nona," jawab Ana singkat, mencoba menyembunyikan rasa sakit di hatinya. Setelah itu, ia melanjutkan tugasnya dengan diam, memastikan semuanya tertata rapi di meja makan, berusaha agar tidak terpancing oleh suasana yang terasa semakin menekan. Meski terasa berat, Ana memutuskan akan bertahan, tetap berada di sisi Sam, meski hanya dalam bayang-bayang. "Semuanya keluar dari sini. Tapi, kamu tetap di sini," kata Sam dengan nada dingin, matanya menatap Ana tajam. Sam ingin melihat seberapa jauh kesabaran Ana. Ana hanya menunduk, menerima perintah itu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Pelayan-pelayan lain segera meninggalkan ruangan dengan patuh, menyisakan Ana sendirian bersama Sam dan wanita yang belum Ana ketahui namanya. Sam menatapnya seolah ingin menembus lapisan ketenangan yang Ana coba pertahankan. "Ashley, pilihlah hidangan yang kamu suka," ujar Sam sambil menoleh pada wanita di sampingnya. Ashley tersenyum tipis, melirik Ana sekilas sebelum matanya kembali pada Sam. “Terima kasih, Sam. Semua terlihat enak,” jawabnya dengan suara lembut, tangannya yang lentik mengambil sepotong roti yang sudah tertata di piring. Ana tetap berdiri di tempatnya, menunduk dengan tangan yang terlipat rapi di depan. Ia mencoba untuk tidak memandang mereka, terutama ketika menyaksikan kemesraan kecil di antara keduanya. Perasaannya berkecamuk, namun ia tahu, ia tidak boleh menunjukkan apa pun. "Ashley, buka mulutmu." Sam berkata lembut sambil mengambil sepotong kecil roti dan mengarahkannya ke bibir wanita itu. Ashley tersenyum manis, membuka mulutnya dan menerima suapan dari Sam. Sementara itu, Ana hanya bisa menundukkan pandangannya, mencoba mengabaikan rasa sesak yang tiba-tiba menyelusup di dadanya. Ia berusaha fokus pada tugasnya, tetapi pemandangan di depannya membuat hatinya mencelos sakit. “Enak?” tanya Sam, masih dengan nada lembut yang membuat Ana merasa terasing. Ashley mengangguk sambil tersenyum puas. “Sangat enak, terima kasih, Sam.” Tangannya kemudian menyentuh lengan Sam dengan akrab, dan mereka berbagi senyum yang terasa penuh keakraban. Ana menggenggam tangannya erat-erat di depan tubuhnya, memaksa dirinya untuk tidak menunjukkan perasaannya. Ia merasa ingin melangkah pergi dari ruangan itu, sakit sekali hatinya terasa. Tetapi, inilah ujian kesabaran yang harus ia hadapi jika ingin tetap berada di mansion ini, meski harus melihat Sam dengan wanita lain.Ana bersandar di dinding kamar mandi, merasakan dingin menempel di punggungnya, tapi tetap tak mampu meredakan rasa sakit di hatinya. "Sakit, Mas..." bisiknya pelan, berharap kata-katanya bisa terbang dan sampai ke dalam hati Sam. Isakan kecil keluar dari bibirnya, tangis yang ia tahan akhirnya pecah dalam sunyi ruangan itu. Ia tahu seharusnya ia kuat, seharusnya ia tak terpengaruh, tapi kenyataannya melihat Sam dengan wanita lain, menyaksikan keakraban mereka, membuat pertahanannya runtuh. Ana mengusap air mata yang menetes di pipinya, berusaha mengumpulkan kembali kekuatannya. "Aku harus kuat...," gumamnya lirih pada diri sendiri. Namun, semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin besar pula rasa perih yang menyelimuti. Ana keluar dari sana dengan langkah pelan, menguatkan hati untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia menarik napas panjang, berusaha menata diri agar tak ada yang menyadari gejolak di dalam hatinya. Setelah kembali ke dapur, Ana segera mencuci piring-piring ko
Ana merasakan Dekapan Hangat seseorang ditubuhnya, rasanya familiar dan ia tahu siapa yang tengah mendekap nya saat ini. "Mas..." "Tidurlah kembali Ana," bisik nya. Tangan besar Sam mengelus lembut kepalanya membuat Ana semakin berat sekadar untuk membuka matanya. "Jangan tinggalkan lagi aku ya, Samy." "Mas mencintaimu Ana." Dan ciuman yang hangat di keningnya terasa sekali. Ana dapat tertidur nyenyak. Ia terbangun mendengar suara azan subuh dari handphonenya, menyadari dirinya hanya sendirian di kamar. Ia mengedarkan pandangan, mencoba meresapi sisa hangat yang seolah masih terasa di tubuhnya. Rasa familiar dari pelukan tadi membekas di hatinya, membuatnya sulit membedakan antara mimpi dan kenyataan. "Mas..." bisiknya pelan, masih berharap bahwa kehadirannya barusan bukan sekadar ilusi. Ana duduk di pinggir ranjang, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Perasaannya masih bercampur aduk antara harapan yang muncul kembali dan kenyataan yang dingin. Perlahan ia berdiri da
"Mas..." Tubuhnya tergelitik geli oleh tangan besar suaminya, Samuel. Perihal Anarahayu yang menghindar dikecup bibirnya. Karena tidak tahan, akhirnya menyerah juga. "Ah nyebelin kamu, aku lagi potong buah nih Mas! Lagipula ini di tempat makan, tidak baik. Di kamar saja ya?" Tawarnya, "T-tapi tunggu sebentar, aku mau makan buah dulu. Tangan Sam tetap nakal bergerak menyelusup ke dalam gaun rumahan Ana, tangan kekarnya membuka pengait bra dan menarik benda yang menutupi milik indah perempuannya hingga benda itu terjatuh di lantai. "Samy..." Ia panggil lagi dengan sebutan sayangnya pada sang suami. "Kenapa? Padahal ini spot menantang yang kita suka loh." Ana segera membungkam mulut Sam dengan tangan kanannya, "Ngga mau, pindah aja sayang! Sekarang kan ada Mbak Yati." Rengek Ana tak mau melakukannya di tempat terbuka seperti ini. Sam tertawa kecil, menahan geli di wajahnya ketika tangan Ana menutupi mulutnya. "Oke, oke, pindah," jawabnya sambil mengangkat kedua tangan, seol
"Bang Hawa sudah dapat petunjuk, Sab," suara Ana terdengar lirih saat ia berbicara kepada keponakannya, Sabrina. "Mas Sam benar ada di US, dia tinggal di rumah besar di sana."Sabrina yang duduk di hadapannya menatap Ana dengan cemas. "Jadi itu benar dia? Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Mbak?" Ana menggigit bibirnya, bingung antara marah, lega, dan putus asa. "Aku... aku ngga tahu, Sab," gumam Ana, menunduk menatap lantai. "Sebenarnya, aku senang karena akhirnya aku punya petunjuk. Tapi, aku juga takut... takut apa yang aku temukan nanti lebih menyakitkan daripada yang sudah aku bayangkan sekarang."Sabrina menggenggam tangan Ana dengan erat, berusaha memberikan dukungan. "Mbak Ana, kamu sudah lama terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian. Mungkin ini waktunya untuk mendapatkan jawaban yang jelas, meskipun itu berat."Ana menghela napas panjang, merasakan kekosongan dalam dirinya semakin menganga. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Setiap hari, setiap malam, ia be
Ana merasakan Dekapan Hangat seseorang ditubuhnya, rasanya familiar dan ia tahu siapa yang tengah mendekap nya saat ini. "Mas..." "Tidurlah kembali Ana," bisik nya. Tangan besar Sam mengelus lembut kepalanya membuat Ana semakin berat sekadar untuk membuka matanya. "Jangan tinggalkan lagi aku ya, Samy." "Mas mencintaimu Ana." Dan ciuman yang hangat di keningnya terasa sekali. Ana dapat tertidur nyenyak. Ia terbangun mendengar suara azan subuh dari handphonenya, menyadari dirinya hanya sendirian di kamar. Ia mengedarkan pandangan, mencoba meresapi sisa hangat yang seolah masih terasa di tubuhnya. Rasa familiar dari pelukan tadi membekas di hatinya, membuatnya sulit membedakan antara mimpi dan kenyataan. "Mas..." bisiknya pelan, masih berharap bahwa kehadirannya barusan bukan sekadar ilusi. Ana duduk di pinggir ranjang, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Perasaannya masih bercampur aduk antara harapan yang muncul kembali dan kenyataan yang dingin. Perlahan ia berdiri da
Ana bersandar di dinding kamar mandi, merasakan dingin menempel di punggungnya, tapi tetap tak mampu meredakan rasa sakit di hatinya. "Sakit, Mas..." bisiknya pelan, berharap kata-katanya bisa terbang dan sampai ke dalam hati Sam. Isakan kecil keluar dari bibirnya, tangis yang ia tahan akhirnya pecah dalam sunyi ruangan itu. Ia tahu seharusnya ia kuat, seharusnya ia tak terpengaruh, tapi kenyataannya melihat Sam dengan wanita lain, menyaksikan keakraban mereka, membuat pertahanannya runtuh. Ana mengusap air mata yang menetes di pipinya, berusaha mengumpulkan kembali kekuatannya. "Aku harus kuat...," gumamnya lirih pada diri sendiri. Namun, semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin besar pula rasa perih yang menyelimuti. Ana keluar dari sana dengan langkah pelan, menguatkan hati untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia menarik napas panjang, berusaha menata diri agar tak ada yang menyadari gejolak di dalam hatinya. Setelah kembali ke dapur, Ana segera mencuci piring-piring ko
"Wanita itu masih menunggu di depan gerbang, tuan." "Bagaimana keadaannya?" "Dia kedinginan," Sam mendesah berat, bebal sekali Ana itu. "Biarkan disana sampai ia pergi sendiri." Ana datang kembali setelah hari kemarin, ia bersikeras untuk menemui Sam. Ana punya rencana, ia harus bisa tinggal di mansion pria itu. Setengah jam berlalu. Sam berjalan mondar-mandir di ruang pribadinya. Bayangan Ana yang berdiri kedinginan di depan gerbang membuat hatinya tak tenang. Bukan karena ia khawatir tetapi karena ia tak suka dengan cara perempuan itu mengganggunya. Akhirnya, dengan napas berat, ia memutuskan untuk menyerah pada egonya sejenak. "Bawa dia masuk ke dalam, segera!" perintahnya dengan nada tegas. Tak lama kemudian, Ana dibawa masuk oleh para pengawal dan ditempatkan di ruang tamu. Tubuhnya menggigil, namun matanya lembut menatap sang suami. Sam mendekatinya, menatap Ana dengan pandangan dingin namun penuh pengendalian. “Apa tujuanmu lagi, Ana? Kenapa kamu memaksa da
"Bang Hawa sudah dapat petunjuk, Sab," suara Ana terdengar lirih saat ia berbicara kepada keponakannya, Sabrina. "Mas Sam benar ada di US, dia tinggal di rumah besar di sana."Sabrina yang duduk di hadapannya menatap Ana dengan cemas. "Jadi itu benar dia? Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Mbak?" Ana menggigit bibirnya, bingung antara marah, lega, dan putus asa. "Aku... aku ngga tahu, Sab," gumam Ana, menunduk menatap lantai. "Sebenarnya, aku senang karena akhirnya aku punya petunjuk. Tapi, aku juga takut... takut apa yang aku temukan nanti lebih menyakitkan daripada yang sudah aku bayangkan sekarang."Sabrina menggenggam tangan Ana dengan erat, berusaha memberikan dukungan. "Mbak Ana, kamu sudah lama terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian. Mungkin ini waktunya untuk mendapatkan jawaban yang jelas, meskipun itu berat."Ana menghela napas panjang, merasakan kekosongan dalam dirinya semakin menganga. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Setiap hari, setiap malam, ia be
"Mas..." Tubuhnya tergelitik geli oleh tangan besar suaminya, Samuel. Perihal Anarahayu yang menghindar dikecup bibirnya. Karena tidak tahan, akhirnya menyerah juga. "Ah nyebelin kamu, aku lagi potong buah nih Mas! Lagipula ini di tempat makan, tidak baik. Di kamar saja ya?" Tawarnya, "T-tapi tunggu sebentar, aku mau makan buah dulu. Tangan Sam tetap nakal bergerak menyelusup ke dalam gaun rumahan Ana, tangan kekarnya membuka pengait bra dan menarik benda yang menutupi milik indah perempuannya hingga benda itu terjatuh di lantai. "Samy..." Ia panggil lagi dengan sebutan sayangnya pada sang suami. "Kenapa? Padahal ini spot menantang yang kita suka loh." Ana segera membungkam mulut Sam dengan tangan kanannya, "Ngga mau, pindah aja sayang! Sekarang kan ada Mbak Yati." Rengek Ana tak mau melakukannya di tempat terbuka seperti ini. Sam tertawa kecil, menahan geli di wajahnya ketika tangan Ana menutupi mulutnya. "Oke, oke, pindah," jawabnya sambil mengangkat kedua tangan, seol