Bab 71. PencarianSudah sepanjang kota aku mencari Rani. Bahkan, sampai ke teman-temannya pun ditanya tidak ada yang melihat Rani. Ah, kepalaku rasanya mau pecah. Di tak kunjung ku temui. Sementara, ibunya terus mengirim pesan. Menanyakan kabar Rani bagaimana."Ke mana kau, Rani? Kenapa kamu tiba-tiba saja pergi dari rumah?" tanyaku dalam hati.Menyusuri jalanan membelah langit malam. Membuatku terus melajukan kuda besi dengan kecepatan lambat. Berharap Rani ada di tepi jalan. Sedang menungguku meminta pertolongan.Tak peduli cacing di perutku meriuk-riuk minta diisi. Sebum bertemu Rani, aku tak bisa makan dengan lahap. Tidur pun tak akan nyenyak."Ya Tuhan! Tolong pertemukan aku dengan istriku. Tunjukan di mana dia berada," ucapku dalam doa.Menghentikan mobil di pusat kota. Memandangi indahnya suasana malam. Dipenuhi pedagang keliling yang sengaja mangkal di pinggir jalan. Menatap keramaian berpuluh-puluh pasangan muda dan mudi. Saling duduk berdampingan sambil makan jajanan pasar.
Bab 73. Api CemburuPada saat yang tepat Rani muncul membantuku. Melawan Togar dan anak buahnya. Wanita yang kucari akhirnya tiba juga. Dia menghajar Togar dengan tangan kosong. Tidak butuh waktu lama Togar dan Baron bisa ditaklukkan."Aku tahu sepak terjang mu di belakangku, Baron. Sekarang aku minta kembalikan apa yang sudah kau curi dari wanita itu," ujar Rani. Tangannya masih mencengkram erat lengan Togar."Ba … baik, Rani. Akan ku kembalikan uang wanita itu. Tapi tolong lepaskan aku dulu. Ini sakit sekali," ucap Togar terbata-bata. Meringis kesakitan karena Rani menekannya dengan sekuat tenaga."Baiklah, akan kulepaskan sekarang juga. Tapi ingat, ya. Jika kau mencoba ingkar janji maka akan kupatahkan kedua tanganmu ini. Dasar banci! Beraninya menindas orang lemah."Rani melepaskan tangan Baron. Ah, istriku hebat sekali. Di saat aku tak bisa melawan para berandalan, dia datang tepat waktu. Bahkan, seperti Superhero yang membela kebenaran. Luar biasa!"Ini ambilah uangmu!" Togar me
Bab 74. Dua Hati WanitaNetraku menatap taman yang ditumbuhi pohon cemara. Bunga-bunga tersusun indah bermekaran di musimnya. Melepaskan pandangan kala senja itu. Angin berhembus spoi-spoi basah menyapu wajahku. Memperhatikan bunga mawar yang tertiup angin sore.Ada ketenangan sendiri memandang taman yang dipenuhi tumbuhan. Tukang kebun merawatnya tiap hari. Hingga semua tumbuhan terawat dan terjaga. Sesekali kupu-kupu menghisap madu di atas putik. Pun dengan kumbang ikut menikmati cairan manis.Suasana sore semakin menjadi gelap. Kala azan maghrib terdengar berkumandang. Lamunanku terhenti dan segera melaksanakan salat. Selesai menjalankan kewajiban lima waktu aku duduk membaca buku di ruang kerja, hingga waktu Isya tiba. Ketika itu terdengar suara ketukan pintu dari luar. Membuatku menghentikan aktivitas."Masuk!""Mas Danu, makan malam sudah siap. Ayo, segera menuju ke meja makan. Kakek dan Rafa sudah menunggu kedatanganku," ujar Aisyah berkata. Nada suaranya yang merdu terdengar m
Bab 75. Aisyah HamilKututup jendela ketika malam telah tiba. Setelah puas menikmati sinar bulan purnama yang indah. Angin malam berhembus sepoi-sepoi menyapu kulitku. Membuat bulu kuduk berdiri. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Kulihat Rani sudah terbang ke alam mimpi. Setelah aku selesai menjalankan kewajiban sebagai suami.Dengkuran halus terdengar dari suara tidurnya. Kupandangi wajah cantik Rani yang terlihat memesona. Alis matanya yang tebal membuatku tak pernah bosan memandangnya. Ditambah bibir manis tipis merah jambu.Perlahan ku ayunkan kaki menuju ranjang. Agar tak menimbulkan bunyi. Takut membangunkan tidurnya yang lelap. Baru saja berbaring di atas ranjang, mendadak terdengar suara ketukan pintu.Tok tok tok!Kuacak rambut frustasi. Sial! Baru saja hendak memejamkan mata. Sudah diganggu."Den Danu, tolong buka pintunya! Itu Non Aisyah sedang …."Itu suara bibi asisten rumah tangga. Dia mengetuk pintu menyebutkan nama Aisyah. Buru-buru aku bangkit dari ranjang.
Bab 76. Amarah RaniSudah satu Minggu Rani tidak pulang ke rumah. Dia meminta izin untuk pulang ke rumah orang tuanya. Nyonya Fatma sakit ingin ditemani anak semata wayangnya. Aku dan Aisyah berjalan-jalan menikmati pemandangan sore.Sepanjang jalan tanganku menggenggam jemari Aisyah. Senyumnya membuatku terpatri. Hingga tidak ingin pindah kelain hati. Lesung pipi Aisyah membuatku selalu merindukannya.Saat itu, kakiku sudah terasa pegal bagai ditusuk duri. Namun, tetap tak ingin mengeluh di depan Aisyah. Tidak ingin mengecewakan wanita, yang mengandung benihku. Hingga aku harus berpura-pura tidak lelah. Meski sejujurnya badanku penat, dan remuk redam. Sebisa mungkin membuat Aisyah tetap tersenyum.Hilang sudah rasa lelah, kini diganti dengan kebahagiaan bersama Aisyah dan calon buah hati. Kurangkul pinggang Aisyah. Takut dia akan terpeleset jalan yang kami lalui sedikit licin. Akibat guyuran hujan semalam.Ketika kami sudah mencapai gerbang rumah yang menjulang tinggi. Mataku tertegu
Bab 77. Demi TuhanWaktu terus berlalu. Kandungan Aisyah kini, memasuki usia tiga bulan. Seringai kehidupan rumah tanggaku yang adem ayem. Tidak lagi ada drama dari Rani seperti biasa. Perempuan yang berkulit kemerah-merahan itu, tak menunjukkan lagi sifat iri dan benci. Dia kelihatan kalem dan lebih banyak memperhatikan Aisyah.Kadang, aku berpikir dengan sikap Rani. Dia terlihat seolah sedang depresi. Mengalami tekanan batin, dan juga mental. Entah terbuat dari apa jiwanya. Di satu sisi dia lembut, tetapi di sisi yang lain kelihatan sifat premannya."Mas Danu, boleh Ais izin ke rumah sakit? Hari ini Bapak diperbolehkan pulang ke rumah. Kondisinya sudah semakin baik,""Iya, boleh. Nanti Mang Dadang yang akan mengantarmu ke rumah sakit.""Makasih, Mas. Kamu sudah mau perhatian sama Bapak.""Maaf, Mas gak bisa ikut kamu ke rumah sakit.""Ndak apa-apa, Mas. Ais ngerti kalau kamu sedang sibuk.""Makasih, Sayang. Jaga diri kamu baik-baik, ya?""Iya, Mas," jawab Aisyah mengulas senyum. Tan
Bab 78. Drama Para IstriRasa lelah membuatku ingin segera pulang. Setelah seharian berada di kantor polisi. Juga mengurus administrasi rumah sakit. Terakhir ikut berbela sungkawa ke rumah para korban. Memberikan uang santunan sebesar dua puluh lima juta.Tubuhku rasanya remuk redam. Seolah tulang belulang akan lepas dari engselnya. Pun jiwaku yang terasa rapuh. Berkali-kali aku menghubungi nomor kakek. Namun, sudah sejak tadi siang ponselnya tidak aktif. Membuat hati bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kakek? Apakah kakek tidak membaca pesanku.Mungkinkah kakek sudah tahu kejadian itu? Ataukah kakek memang sengaja belum mengklarifikasi masalah ini. Memikirkan masalah perusahaan semakin membuat kepala rasanya mau pecah."Tutup kejadian ini dari semua media massa. Jangan biarkan pers mengupload wajah presdir. Usahakan para wartawan tidak masuk ke dalam gedung," ucap Arga memberi titah pada semua karyawan.Hari itu, semua sibuk menutupi berita kecelakaan yang meruntuhkan
Bab 79. Tabir Kepalsuan"Kakek!" Seruku.Ketika Aisyah diseret Rani, kakek muncul dari arah kamarnya. Saat itu, pandangan tertuju pada Rani. Lelaki yang sudah banyak makan asam garam itu, terlihat tenang. Berdiri sambil menatap wajah kami satu persatu."Kakek kecewa sama kamu, Rani," ucapnya datar. Wajahnya tanpa ekspresi."Kakek, Aisyah adalah wanita pezina. Sudah selayaknya dia diusir dari sini," sahut Rani."Apa yang membuatmu menuduh Aisyah adalah wanita pezina?""Aku punya bukti, Kakek.""Tunjukkan!"Rani mengeluarkan ponselnya, lalu memberikan kepada kakek. Kening kakek mengerut. Ketika menatap foto Aisyah bersama dokter. Dalam keadaan berpelukkan. Jika dipikir secara logika. Foto-foto itu terlihat seperti editan. Akan tetapi, aku tidak bisa mengatakan apa pun sebelum punya bukti.Sesuatu yang kelihatan abu-abu bisa jadi fitnah. Belakangan masalah terus datang silih berganti. Bagaikan hujan yang datang dan diganti dengan musim panas. Begitupun dengan kehidupanku."Kakek sudah me