Bab 76. Amarah RaniSudah satu Minggu Rani tidak pulang ke rumah. Dia meminta izin untuk pulang ke rumah orang tuanya. Nyonya Fatma sakit ingin ditemani anak semata wayangnya. Aku dan Aisyah berjalan-jalan menikmati pemandangan sore.Sepanjang jalan tanganku menggenggam jemari Aisyah. Senyumnya membuatku terpatri. Hingga tidak ingin pindah kelain hati. Lesung pipi Aisyah membuatku selalu merindukannya.Saat itu, kakiku sudah terasa pegal bagai ditusuk duri. Namun, tetap tak ingin mengeluh di depan Aisyah. Tidak ingin mengecewakan wanita, yang mengandung benihku. Hingga aku harus berpura-pura tidak lelah. Meski sejujurnya badanku penat, dan remuk redam. Sebisa mungkin membuat Aisyah tetap tersenyum.Hilang sudah rasa lelah, kini diganti dengan kebahagiaan bersama Aisyah dan calon buah hati. Kurangkul pinggang Aisyah. Takut dia akan terpeleset jalan yang kami lalui sedikit licin. Akibat guyuran hujan semalam.Ketika kami sudah mencapai gerbang rumah yang menjulang tinggi. Mataku tertegu
Bab 77. Demi TuhanWaktu terus berlalu. Kandungan Aisyah kini, memasuki usia tiga bulan. Seringai kehidupan rumah tanggaku yang adem ayem. Tidak lagi ada drama dari Rani seperti biasa. Perempuan yang berkulit kemerah-merahan itu, tak menunjukkan lagi sifat iri dan benci. Dia kelihatan kalem dan lebih banyak memperhatikan Aisyah.Kadang, aku berpikir dengan sikap Rani. Dia terlihat seolah sedang depresi. Mengalami tekanan batin, dan juga mental. Entah terbuat dari apa jiwanya. Di satu sisi dia lembut, tetapi di sisi yang lain kelihatan sifat premannya."Mas Danu, boleh Ais izin ke rumah sakit? Hari ini Bapak diperbolehkan pulang ke rumah. Kondisinya sudah semakin baik,""Iya, boleh. Nanti Mang Dadang yang akan mengantarmu ke rumah sakit.""Makasih, Mas. Kamu sudah mau perhatian sama Bapak.""Maaf, Mas gak bisa ikut kamu ke rumah sakit.""Ndak apa-apa, Mas. Ais ngerti kalau kamu sedang sibuk.""Makasih, Sayang. Jaga diri kamu baik-baik, ya?""Iya, Mas," jawab Aisyah mengulas senyum. Tan
Bab 78. Drama Para IstriRasa lelah membuatku ingin segera pulang. Setelah seharian berada di kantor polisi. Juga mengurus administrasi rumah sakit. Terakhir ikut berbela sungkawa ke rumah para korban. Memberikan uang santunan sebesar dua puluh lima juta.Tubuhku rasanya remuk redam. Seolah tulang belulang akan lepas dari engselnya. Pun jiwaku yang terasa rapuh. Berkali-kali aku menghubungi nomor kakek. Namun, sudah sejak tadi siang ponselnya tidak aktif. Membuat hati bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kakek? Apakah kakek tidak membaca pesanku.Mungkinkah kakek sudah tahu kejadian itu? Ataukah kakek memang sengaja belum mengklarifikasi masalah ini. Memikirkan masalah perusahaan semakin membuat kepala rasanya mau pecah."Tutup kejadian ini dari semua media massa. Jangan biarkan pers mengupload wajah presdir. Usahakan para wartawan tidak masuk ke dalam gedung," ucap Arga memberi titah pada semua karyawan.Hari itu, semua sibuk menutupi berita kecelakaan yang meruntuhkan
Bab 79. Tabir Kepalsuan"Kakek!" Seruku.Ketika Aisyah diseret Rani, kakek muncul dari arah kamarnya. Saat itu, pandangan tertuju pada Rani. Lelaki yang sudah banyak makan asam garam itu, terlihat tenang. Berdiri sambil menatap wajah kami satu persatu."Kakek kecewa sama kamu, Rani," ucapnya datar. Wajahnya tanpa ekspresi."Kakek, Aisyah adalah wanita pezina. Sudah selayaknya dia diusir dari sini," sahut Rani."Apa yang membuatmu menuduh Aisyah adalah wanita pezina?""Aku punya bukti, Kakek.""Tunjukkan!"Rani mengeluarkan ponselnya, lalu memberikan kepada kakek. Kening kakek mengerut. Ketika menatap foto Aisyah bersama dokter. Dalam keadaan berpelukkan. Jika dipikir secara logika. Foto-foto itu terlihat seperti editan. Akan tetapi, aku tidak bisa mengatakan apa pun sebelum punya bukti.Sesuatu yang kelihatan abu-abu bisa jadi fitnah. Belakangan masalah terus datang silih berganti. Bagaikan hujan yang datang dan diganti dengan musim panas. Begitupun dengan kehidupanku."Kakek sudah me
Bab 80. Membalas KecuranganKubuka laporan dari Arga tentang harga saham yang anjlok. Perusahaan sudah mengalami kerugian akibat berita miring. Ketika membuka pasaran perdagangan penjualan hanya naik satu persen. Ini jauh dari kata sejahtera.Kemudian, aku melihat tabel grafik penjualan. Tanpa sengaja mataku melihat iklan yang lagi viral. Iklan makanan dengan label TN. Diproduksi dari dalam negeri. Namun, tidak ada sertifikat BPOM dan halal dari MUI.Dipasaran produk yang mereka iklankan laku keras. Bahkan, penjualannya laris manis. Dalam waktu tiga bulan omset meroket tinggi. Sebuah ide muncul untuk melakukan hal sama. Memasang iklan agar kepercayaan masyarakat bisa kembali. Hingga memesan hunian mewah Real Estate.Segera kuraih ponsel dan berbicara pada Arga lewat telepon. Untuk mempersiapkan iklan yang akan menjadi daya tarik untuk pembeli. Baik dari kalangan atas maupun pebisnis."Arga, aku minta kamu siapkan kru untuk membuat iklan.""Iklan?" tanya Arga dari arah seberang."Iya,
Bab 81. Persaingan BisnisArga tersenyum sinis. Ketika melihat wajah Rendra yang ketakutan. Saat anak buah Arga ingin membawa istrinya, yang lagi hamil ke tempat ini."Tuan, tolong jangan libatkan istriku. Dia tidak tahu apa-apa. Jika kau ingin menghukumku bunuh saja aku. Tapi jangan bawa-bawa istriku. Dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini.""Tanaka membayarmu mahal untuk menghancurkan reputasi kami. Bagaimana kalau sebaliknya. Kau melakukan tugas untukku. Dan aku akan memberi imbalan sesuai dengan apa yang diberikan oleh Tanaka?" tanya Arga."Aku tidak bisa. Tugasku hanya untuk menukar bahan bangunan menjadi kualitas tidak baik. Masalah lain tidak ada dalam perjanjian. Setelah berhasil menyelesaikan misi aku akan pergi ke luar negeri.""Oh, baiklah. Aku mengerti orang sepertimu tidak mungkin akan berkhianat. Sayang sekali anak buahku sudah menjemput istrimu sekarang. Mungkin lima menit lagi akan segera sampai di sini," ujar Arga. Duduk dengan tenang bersandar pada kursi. Menat
Bab 82. Hargai AkuSiang itu, aku pulang terburu-buru setelah mendapat telepon dari Mina. Perasaan bercampur aduk. Aku semakin tak mengerti dengan sikap Rani. Mengapa selalu saja merepotkan. Bukankah dia dulu yang meminta untuk menikah. Kini, seratus delapan puluh derajat terbalik. Bersikap arogan seolah-olah dia teraniaya.Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Membelah jalanan kota menuju ke rumah. Ingin segera sampai dan menemui Rani. Memastikan keadaannya baik-baik saja.Sampai di rumah suasana terlihat sepi. Tak ada siapa pun yang kutemui. Bergegas menuju ke kamar Rani, tetapi tak sengaja berpapasan dengan Aisyah."Mas Danu, kamu sudah pulang?""Iya," jawabku tanpa ekspresi."Ada apa? Kenapa masih siang kok cepat pulang?""Aku baru saja mendapat telepon dari Mina. Katanya, Rani mengamuk.""Oh, itu. Sudah diam kok dari tadi. Rani sekarang sudah beristirahat. Aku sudah memberinya makan. Setelah itu, dia minum obat dan beristirahat dan tidur.""Syukurlah kalau begitu. Aku akan meliha
Bab 83. Rafa Tahu"Dari mana saja kamu, Rafa? Sudah sore begini baru pulang."Rafa melemparkan tas di atas sofa begitu saja. Tak lama kemudian, dia langsung menghempaskan tubuhnya. Sikapnya membuatku bingung. Tidak biasanya Rafa acuh. Mengabaikan pertanyaanku. Sudah pukul lima sore baru pulang sekolah. Melihat wajah Rafa yang cemberut seperti jam 12 pas, membuatku bertanya-tanya. Ada apa dengan Rafa?"Rafa!" Panggilku. "Kalau orang tua bertanya dijawab jangan diam saja begitu. gak sopan tau."Rafa masih bergeming. Tidak mau menjawab pertanyaanku. Sikapnya acuh tak acuh. Seragam sekolah yang dipakainya juga lusuh. Persis orang yang habis kalah judi. Wajahnya pun kelihatan lelah. Bahkan, senyum pun tak ada seperti yang biasa dia lakukan. Mukanya merengut kelihatan garis ditekuk. Ah, Rafa kelihatan jelek banget saat sedang begitu."Dari rumah pacar Bu Rani," jawab Rafa lantang."Apa? Pacar?""Iya, Yah. Memang Ayah gak tahu kalau Bu Rani itu selingkuh di belakang Ayah.""Rafa, apa yang ka