Namun Athalia hanya mengulum senyum tipis, dia tak terlalu menanggapi ucapan Mahesa kali ini.
Dan Mahesa menyadarinya.“Aku tidak mau menjadi Tatiana, kau juga tidak sama dengan Pangeran Axel. Kisah kita berbeda dengan mereka, lagipula … “ “Lagipula apa?” Mahesa mengangkat sebelah alisnya.“Kisah mereka tak berakhir bahagia, itu sebabnya mengapa aku merobek bagian akhir ceritanya,” papar Athalia yang seketika membuat Mahesa sedikit terkejut.Tapi kemudian Mahesa kembali tersenyum, merangkul pundak Athalia dan mendekapnya. Menumpukan dagunya di puncak kepala wanita itu.“It’s oke, Athalia. Kalau begitu mari kita buat kisah yang baru, kisah yang jauh lebih menarik, dan kisah yang akan terukir bahagia sampai bagian akhirnya.” Mahesa berkata seakan ia lupa bahwa dalam hidup, pasti ada yang namanya luka dan air mata.***Hari ini, untuk yang pertama kali dalam hidupnya,“Tentang ucapan ibumu,” desah Mahesa yang kemudian membuat Athalia menundukan kepalanya.Mahesa mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, hembusan napas kasar lolos dari mulutnya.“Kau dengar apa yang diucapkannya tadi, Athalia? Ibumu menganggapmu sebagai berlian, sangat berharga. Dan dia begitu mempercayakanmu padaku. Aku takut, dia akan kecewa andai tahu kalau lelaki yang sangat ia percayai ini adalah orang yang telah merusakmu,” ucap Mahesa, suaranya terdengar lembut.Athalia menaikan pandangan, mata mereka bertemu, Athalia bisa menemukan ketulusan lewat tatapan itu. Ada sesal yang menggunung di dalam hati mereka.Mahesa meremas tangannya, hanya untuk menyembunyikan jemarinya yang gemetar. Kemudian digenggamnya kedua tangan Athalia, sedang matanya menatap lurus.“Maafkan aku, Athalia. Maaf karena aku sudah menjadi lelaki bejat yang sudah merusak kehormatanmu. Selama ini aku pikir semua wanita itu sa
“Ada apa ini, Pa? Mengapa aku mendengar suara ribut di rumah ini?” dari arah tangga, Kiran turun dengan pakaian santainya, kaki jenjangnya menapakki anak tangga itu satu per satu. Sementara keningnya berkerut melihat pada ayahnya.“Sayang! Apa kau merasa terganggu? Kalau begitu, sebaiknya Papa usir saja dia dari sini.”Ucapan Tuan Gwen langsung membuat Leuwis menggeleng cepat, sementara matanya melebar.“Jangan! Kumohon, Tuan Gwen. Tolong pikirkan lagi permohonanku!” Leuwis kembali mengatupkan kedua tangannya di depan Tuan Gwen, meski lelaki tua itu hanya memasang raut tak peduli.Kemudian Leuwis beralih menatap Kiran yang saat ini sudah berdiri di samping sofa yang diduduki ayahnya. Matanya menatap Leuwis malas, sementara kedua tangannya melipat di depan dada.“Kiran. Om mohon, Kiran. Beri Om kesempatan! Om janji tidak akan menyia-nyiakannya. Om pasti akan melakukan apa yang kau mau. Tolong ban
Athalia menurut, kaki jenjangnya melangkah menghampiri Mahesa, lalu duduk di sebelahnya. Mahesa langsung merangkul pundak kiri Athalia sambil memainkan surai lembut wanita itu yang menguarkan aroma shampo.Athalia mendongkak, menatap Mahesa. Alisnya bertaut saat menebak seperti ada sesuatu yang serius yang hendak dikatakan oleh lelaki itu.“Ada apa?” tanya Athalia, tak bisa membendung rasa penasarannya. “Kau ingin mengatakan sesuatu?”Mahesa menarik kedua sudut bibirnya, lalu menjawil hidung mancung Athalia, gemas.“Kau ini tahu saja kalau ada hal yang ingin kubicarakan. Jangan-jangan kau bisa menebak isi kepalaku.”“Dari ekspresimu, jika kau sudah terlihat serius, pasti kau ingin mengatakan sesuatu. Dan aku ingin tahu apa itu?”Mahesa terdiam sesaat, sedang berpikir bagaimana ia mengatakannya. Sebenarnya kalimat itu sudah berusaha ia pilah dan tata sebaik mungkin sebelum keluar dari mulu
Athalia ingat, ketika ia masih menjadi teman tidur Mahesa, tak pernah sekali pun mereka memakai pengaman. Bukankah hal itu akan beresiko besar terhadap jadinya pembuahan?Mata Athalia pun makin melebar, seiring suara terkesiap dari mulutnya.“Apa, apa jangan-jangan aku hamil?”*** Athalia tak bisa membiarkan dirinya terus gellisah dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk dalam benaknya.Akhir-akhir ini ia merasa mual. Dirinya pun tak kunjung datang bulan.Athalia harus memastikan kebenarannya. Maka dari itu ia pergi ke apotek dan membeli beberapa buah testpack. Lalu secara diam-diam mencobanya di dalam kamar mandi.Bola mata itu membeliak lebar saat melihat dua garis merah yang tertera di testpacknya.Mulut Athalia terbuka, nyaris tak percaya, tapi dua garis merah itu bukan hanya ia lihat di satu buah testpack. Melainkan di lima buah testpack dengan merek yang berbeda.Itu artinya, hasilnya benar-benar
Narsih mengangguk. Lalu duduk di balik meja makan, dan memilih untuk makan terlebih dahulu.“Yasna! Sudah dulu belajarnya. Temani Ibu makan!” Narsih sedikit berteriak, agar Yasna yang sedang duduk di depan TV sambil mengerjakan tugasnya, bisa mendengar.“Iya Bu!” Yasna menyahut, cepat membereskan tumpukan kertas di atas meja.Baru saja ia meraih remote dan hendak mematikan TV, Yasna tiba-tiba tertegun melihat layar televisi itu menayangkan sebuah berita tentang kecelakaan lalu lintas.Saat kamera menyorot pada seorang lelaki bertubuh jangkung yang sedang dibopong oleh beberapa orang dan dimasukkan ke dalam ambulan, Yasna langsung terkesiap membekap mulutnya, jatuh sudah remote itu ke lantai saat tangannya tak memiliki kekuatan untuk menggenggam.“Kak Athalia! Kak Athalia ke mari!” teriaknya, setengah menjerit.“Ada apa, Yasna?” Athalia mendekat, diikuti Narsih di belakangnya. Rupanya jeritan Ya
Athalia pikir, kenyataan terpahit dalam hidupnya adalah saat Mahesa tak sadarkan diri di atas ranjang rawat itu. Athalia pikir, setelah Mahesa terbangun dan melihatnya, maka semuanya akan menjadi lebih baik.Tapi ternyata semuanya tak sesederhana itu.Hari ini, ia dipukul oleh sebuah kenyataan yang terpahit lainnya. Mahesa sudah sadar setelah koma selama dua hari. Dan untuk pertama kali, Athalia diperbolehkan masuk ke dalam ruang rawat itu.“Mahesa? Apa yang kau rasakan?” tanya Leuwis, berdiri di samping kiri ranjang Mahesa. Bertanya pada lelaki yang baru sadar dari komanya delapan jam yang lalu.“Kepalaku sakit, tubuhku juga.”“Itu wajar, tapi nanti semuanya akan berangsur pulih setelah Mahesa menjalani perawatan intensif di rumah sakit ini. Yang terpenting sekarang, Mahesa telah melewati masa kritisnya dan dia juga sudah sadar dari komanya.” Dokter Erdi menyela. Leuwis mengangguk-anggukan kepalany
Mereka keluar dari kamar Mahesa. Setiap kali sepatunya berdecit dengan lantai saat melangkah menuju ke ruangan Dokter Erdi, jantung Athalia berdegup resah. Semoga apa yang akan disampaikan oleh Dokter Erdi bukanlah sebuah kabar buruk.***Tiga puluh menit berlalu…Pintu ruangan Dokter Erdi terbuka, Athalia keluar dari dalam sana. Langkahnya gontai, tatapannya yang teduh itu terlihat nyalang. Kedua tangannya terhempas ke sisi paha. Tak memiliki kekuatan untuk sekadar mengepal.Leuwis pun keluar setelah Athalia. Senyum miring tersungging di wajah tua itu. Matanya menatap penuh kepuasan.Saat langkah Athalia terhenti dan wanita itu menyenderkan tubuhnya ke tembok, Leuwis segera mengambil posisi, berdiri di hadapannya sambil berpangku tangan.“Aku harap kau sudah mendengar jelas apa yang dijelaskan oleh Dokter Erdi barusan. Aku yakin telingamu masih berfungsi dengan baik, Athalia. Jadi kurasa, kau tidak perlu lagi bertanya apa dan k
Sementara Yasna merasa kasihan pada kakaknya, tapi ia pun bingung harus melakukan apa. Usianya belum terlalu dewasa untuk memahami apa yang harus dilakukannya, selain hanya mengusap bahu ibunya yang bergetar.Narsih mengusap air matanya dengan tangan, gerakannya sedikit kasar. Lalu ia meraih kedua belah pipi Athalia, kemudian didongkakannya, hingga mata bulat basah itu kini saling menatap satu sama lain.“Tadi katamu kau terpaksa melakukannya? Boleh Ibu tahu apa yang membuatmu terpaksa?” tanya Narsih, tatapannya kali ini melembut, meski Athalia tahu sorot itu masih menyimpan kekecewaan yang mendalam.Meski malu, Athalia mengangguk untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya. Ia pun berpikir bahwa mungkin sudah saatnya ia bicara.Dengan sedikit bergetar, bibir Athalia mulai merangkai kalimat untuk menjelaskan dari awal tentang mengapa ia bisa menjadi teman tidur Mahesa.Yang pertama terkejut mendengar ucapan Athalia adalah Yasna