Kini senyum miring tercetak jelas di bibir Mahesa. “Sudah kubilang, bukan? Aku terbiasa mendapatkan apa yang kuinginkan, Athalia.”
Athalia menahan sesak di dada. Terlebih, kala menyadari langkah kaki panjang Mahesa makin mendekat padanya.
Mahesa menduduki tepi meja tepat di depan Athalia seraya memindai tubuh wanita itu dari atas ke bawah. Hal itu membuat Athalia menahan napas sekuat tenaga. Tatapan Mahesa begitu merendahkan.
“Aku sudah setuju dengan penawaran Anda, Tuan. Dan aku tidak ingin berdebat lagi. Terserah dengan apa tanggapan Anda tentang diriku. Aku hanya ingin meminta uang satu miliar itu. Adikku sangat membutuhkannya sekarang.”
“Hei? Apa aku tidak salah dengar, Athalia? Kau ingin meminta bayaranmu sementara kau belum memberikan apa yang seharusnya kudapatkan.” Mahesa mengangkat alis, membuyarkan tangannya yang terlipat di dada.
Ketukan sepatu mahal itu terdengar kembali, mengusik jantung Athalia yang semakin berdetak resah.
Satu tangan Mahesa menjepit dagu Athalia dan menariknya hingga mata mereka kembali bersinggungan.
Athalia menelan ludah. Dada mereka yang nyaris tak berjarak membuat Athalia harus sedikit menahan napasnya.
“Aku tidak akan memberikan uang itu sebelum kau melakukan tugasmu,” bisik Mahesa mengingatkan. Terpaan napasnya terasa hangat di permukaan wajah Athalia. “Kau sudah menyepakati tawaranku untuk mendapatkan uang itu, bukan? Kau ingin aku membiayai seluruh pengobatan adikmu sampai dia benar-benar sembuh? Kau ingin uang itu secepatnya?” lanjutnya bertanya pada Athalia.
Athalia sedikit bergidik ketika telapak tangan Mahesa yang lebar menelisik ke dalam rambutnya, mengelusnya dengan gerakan halus, sebelum akhirnya menyelipkannya ke belakang telinga.
Tetapi kepala Athalia tak urung mengangguk sebagai jawaban.
“Adikku harus segera melakukan transplantasi. Dia tidak punya banyak waktu.” suara Athalia agak bergetar saat mengatakan itu.
Pundaknya berjengit menghindari sentuhan tangan Mahesa yang mencoba mengelus leher jenjangnya. Terasa geli dan aneh bagi Athalia yang tak pernah merasakan sentuhan dari laki-laki dewasa.
Mahesa tersenyum menang. “Baiklah. Tampaknya kau sudah sangat tidak sabar ingin segera mendesah di atas ranjangku,” ejeknya membuat Athalia mendengus dan mengalihkan pandangan ke samping.
Menyeringai tipis, Mahesa memindai wajah Athalia yang begitu polos. Wajah yang meski jarang terpoles oleh make-up tebal, tetapi masih menampilkan kesan cantik yang unik.
Tangannya mengambil sebuah kartu di dompet, lalu memberikannya pada Athalia.
“Itu kartu namaku. Di sana ada alamat apartmenku. Kalau kau ingin semua dilakukan secepatnya, maka datanglah malam ini. Mulai nanti malam kau sudah bisa bekerja sebagai teman tidurku,” ucap Mahesa.
Athalia menerima kartu nama itu dengan tangan yang agak bergetar. Meski hati kecilnya sangat menentang apa yang ia putuskan saat ini. Tetapi Athalia tetap harus melakukannya untuk Yasna.
Mata bulatnya melekat pada kartu nama yang tadi disodorkan Mahesa. Tiba-tiba Athalia menelan ludahnya berat, benaknya membayangkan apa yang akan terjadi nanti malam dengan dirinya?
“Kenapa kau terlihat gugup? Kau tahu ‘kan, sekali kau memutuskan maka kau tidak akan pernah bisa membatalkannya.” matanya mengamati keresahan yang tergambar jelas di wajah Athalia.
“Selama satu bulan penuh, tubuhmu adalah milikku. Dan tugasmu adalah menghangatkan ranjangku,” bisik Mahesa, mengelus leher jenjang Athalia dengan gerakan seringan bulu. Membuat Athalia sejenak memejamkan mata.
Ingin rasanya ia menghindar, tetapi sialnya Athalia tak bisa melakukan itu.
Hembusan napas lelaki itu di kulit pipinya membuat Athalia bergidik.
“Lalu… bagaimana dengan pekerjaanku? Apa aku tetap dipecat?”
Mahesa tertawa pelan.
“Jika aku memecatmu, lalu siapa yang akan melayani hasratku saat aku di kantor? Aku membayarmu bukan hanya untuk dipajang di apartmenku. Tapi untuk melayaniku selagi aku menginginkanmu dimanapun dan kapanpun.”
Athalia sedikit terhenyak.
Dimanapun dan kapanpun katanya? Bagaimana jika Mahesa meminta dirinya di tempat dan waktu yang tak terduga?
“Apa kata-kataku cukup jelas untuk kau pahami, Athalia? Kau mengerti dengan yang aku maksud?”
Athalia mengangguk pelan. Itu artinya ia tidak jadi dipecat. Tapi kabar buruknya, bukan tidak mungkin Mahesa akan memanggilnya sewaktu-waktu ke ruang kerja lelaki itu, hanya untuk menuntaskan hasratnya yang seperti kuda liar.
“Aku mengerti.”
“Bagus! Sekarang keluarlah dan lakukan pekerjaanmu seperti biasa.” sebelah tangan Mahesa mengibas di depan Athalia.
Athalia baru akan berbalik ketika Mahesa mendudukan dirinya kembali di kursi kerjanya. Namun saat tangan Athalia hendak mengayunkan daun pintu, suara baritone itu terdengar memanggilnya.
“Athalia!”
Athalia menoleh, menatap dengan raut penuh tanya.
“Iya Tuan?”
Mahesa tidak langsung menjawab. Ia tampak berdeham sejenak, sebelum kemudian bicara.
“Saat datang ke apartmenku nanti malam, pakailah gaun yang seksi!”
Seketika bola mata Athalia membeliak lebar.
***
“Athalia. Kau mau pergi ke mana? Tidak biasanya kau dandan malam-malam begini?”
Spontan Athalia menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengoles lipstick di depan cermin, ketika tiba-tiba Dian datang dan memergokinya di dalam kamar.
“Ibu. Aku pikir Ibu sudah tidur dengan Yasna.”
Diam mengangguk, mengelap keningnya yang sedikit berkeringat sambil menghampiri Athalia yang sibuk dengan peralatan make-up murah seadanya yang ia miliki.
“Yasna memang sudah tidur. Tapi Ibu belum. Tidak tahu kenapa, malam ini rasanya Ibu susah sekali untuk tidur. Padahal hanya tinggal memejamkan mata. Hati Ibu seperti merasa tidak tenang. Rasanya resah sekali. Perasaan Ibu tidak enak. Ibu juga bingung, mengapa Ibu merasakan perasaan aneh seperti ini.”
Mendengar itu, Athalia tergugu di tempatnya berdiri. Matanya menatap nyalang pada cermin yang memantulkan bayangannya sendiri.
‘Ibu tidak tahu. Sebenarnya apa yang sedang Ibu rasakan adalah sebuah firasat buruk. Sesuatu yang buruk akan menimpa diriku, Bu. Malam ini aku akan menyerahkan kehormatanku dan menjadi wanita murahan bagi bossku sendiri. Maafkan aku, Bu.’ Athalia membatin.
Dengan alasan akan menginap di rumah teman, akhirnya Dian mengizinkan Athalia keluar rumah malam ini.
Padahal Dian tidak tahu jika sebenarnya Athalia akan pergi ke apartmen Mahesa.
Menggunakan ojek online, Athalia pun sampai di depan pintu apartmen milik bossnya. Tangannya ragu-ragu memencet bel, sampai akhirnya daun pintu berayun terbuka dan sosok Mahesa yang masih terbalut lengkap dengan kemeja kerjanya, kini berdiri menjulang di hadapannya.
“Kupikir kau tidak akan datang,” katanya pada Athalia, bibirnya menyungging senyum kemenangan.
“Masuklah! Selamat datang di tempat kerjamu yang baru,” ledek Mahesa sembari membuka daun pintu lebih lebar.
Athalia membuang napasnya pelan, merasa kesal. Tetapi kakinya tetap melangkah masuk. Dan mata Mahesa memindai tubuh bagian belakang Athalia yang tampak ramping.
“Apa kau ingin minum?” Mahesa sudah duduk kembali di sofanya, tangannya mengangkat gelas berisi minuman memabukan pada Athalia.
Athalia yang masih berdiri di tempatnya hanya menggeleng. “Tidak. Terima Kasih,” jawabnya sembari mengalihkan pandangan dan mengusap lengannya sendiri.
Mahesa meneguk minumannya cepat sementara matanya masih lekat menatap wajah Athalia.
“Duduklah, Athalia. Jika kau duduk terus, nanti darahmu turun.” Mahesa mengedikkan dagu ke arah sofa di seberangnya.
Athalia menurut, ia menghempaskan pantatnya di sana. Namun seketika itu juga Athalia menjadi semakin gelisah.
Menyadari bahwa mereka hanya berdua saja di apartmen ini, membuat Athalia menelan salivanya berat.
‘Mahesa terus saja menatapku setajam itu. Aku tahu kalau malam ini aku sudah tidak bisa melepaskan diri darinya. Karena aku sudah menjatuhkan pilihan dengan menjadi teman tidurnya. Hanya satu bulan, Athalia, semua ini hanya satu bulan saja. Setelah itu aku bisa bebas dari lelaki ini.’
Athalia berusaha menyemangati dirinya sendiri. Meskipun ia tak bisa menyembunyikan kegelisahan luar biasa yang sedang dirasakannya.
“Mengapa kau terlihat gugup? Apa karena ini yang pertama kalinya bagimu? Hmmm?”
“Tenang saja, Athalia. Aku bukan seorang lelaki yang menyentuh sambil menyakiti. Aku tidak akan menyakitimu saat melakukannya. Aku pastikan kau pun akan menyukainya. Bahkan mungkin … kau lah yang akan candu denganku.” tersenyum, Mahesa kembali meneguk minumannya dalam sekali tenggak.
Athalia memainkan jemarinya gelisah di atas paha, perutnya terasa bergejolak.
Mahesa menaruh gelas kosong di atas meja, matanya terangkat menatap pada Athalia yang sudah berkeringat dingin.
“Kenapa kau diam saja? Mana Athalia pemberani yang biasanya menyela ucapanku?” Mahesa mengangkat sebelah alisnya. Sejak tadi ia hanya melihat Athalia diam dan membisu.
Padahal saat di kantor kemarin, wanita itu tampak berani berdebat dengannya.
Athalia tak menanggapi ucapan Mahesa. Ia tetap diam. Ia takut jika ia bicara, malah membuat Mahesa marah lalu membatalkan janjinya untuk membiayai seluruh pengobatan Yasna.
“Baiklah. Sepertinya kau sudah merasa tidak nyaman duduk di sini. Kau ingin segera merebahkan diri di atas ranjangku? Tentu saja. Mari ikut aku!”
Mahesa bangkit berdiri, diikuti oleh Athalia yang mengekori dari belakang. Mereka berjalan menaiki tangga. Athalia tidak heran mengapa apartmen milik Mahesa terlihat mewah. Lelaki itu bisa membeli apapun yang ia tunjuk.
Tiba di depan pintu kamar yang Athalia tebak adalah kamar Mahesa, Mahesa membuka pintu dan mereka berdua masuk ke dalam.
Athalia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar itu. Athalia sempat terkesiap karena seumur hidupnya, ia tak pernah melihat kamar sebagus ini. Apalagi ranjang di kamar Mahesa sangat besar, mungkin seukuran kolam renang.
Seolah Mahesa memang diciptakan untuk memiliki segalanya, kecuali cinta.
“Apa kau sudah siap, Athalia?”
Athalia terkejut saat Mahesa memeluknya dari belakang.“Jujur, aku sedikit kecewa karena kau tak menuruti permintaanku,” bisik Mahesa menumpukan dagunya di pundak kiri Athalia. Tentu Athalia ingat Mahesa memintanya mengenakan gaun yang seksi. Namun Athalia tak mungkin memakainya. Ibunya akan curiga. Terlebih ia tak memilikinya. “Aku tidak akan melakukan hal segila itu!” tegas Athalia yang akhirnya bicara juga setelah terdiam sejak tadi.Mahesa menyeringai.“Hal yang gila? Lalu apa yang akan kita lakukan di dalam kamar ini sekarang? Apa menurutmu ini bukan kegilaan?” Athalia menahan napas, sebisa mungkin ia tidak ingin mengeluarkan suara yang akan membuat Mahesa senang.“Sebelum melakukannya, aku ingin kau mengatakan sesuatu. Katakan kalau tubuhmu adalah milikku.” Mahesa memerintah.Bibir Athalia bergerak perlahan. “Tubuhku adalah milikmu.” ia menuruti setiap yang Mahesa suruh.Karena Mahesa adalah orang yang akan menyelamatkan adiknya. Setidaknya begitulah yang Athalia pikir.Senyu
Hari ini, Mahesa disibukkan dengan setumpuk pekerjaan yang membuatnya nyaris kewalahan. Duduk di balik meja kerjanya, sesekali ia memijat keningnya sambil tangannya berkutat dengan berkas yang menggunung di atas meja. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu terdengar mengusik telinga, membuat Mahesa membuang napasnya kesal. “Masuk!” suara baritone itu berseru. Daun pintu terbuka, dan Athalia masuk dengan kepala yang sedikit menunduk. “Athalia! Apa kau tidak tahu kalau hari ini aku sangat sibuk? Mengapa kau menggangguku?” Mahesa baru saja akan marah, Namun Athalia langsung menyela. “Maaf, Tuan Mahesa. Ada Tuan Leuwis yang ingin bertemu dengan Anda.” Mendengar nama Leuwis, seketika Mahesa mendengkus masam. Namun ia menganggukan kepala pada Athalia. “Suruh dia masuk!” Athalia pun membentangkan pintu, mempersilakan Leuwis—ayah kandung Mahesa untuk masuk ke dalam ruang kerja putranya. Begitu Athalia menghilang dengan pintu yang menutup rapat, Mahesa langsung melayangkan tatapan seng
Saat jam makan siang, Athalia segera membereskan pekerjaannya secepat mungkin. Perutnya lapar sekali. Dan ia ingin secepatnya pergi ke pantry kantor.“Haah, akhirnya selesai juga. Sekarang baru aku bisa mengisi perutku.”Athalia mendorong kursinya ke belakang, bangkit berdiri, lalu kakinya melangkah cepat menuju pintu lift.Akan tetapi, saat pintu lift terbuka dan Athalia akan masuk, saat itu juga Athalia tersandung kakinya sendiri dan nyaris terjatuh.“Aakhhh … “ Athalia menjerit, tubuhnya hampir ambruk ke bawah. Namun seorang lelaki yang baru keluar dari lift itu segera menahannya.“Hei Nona! Kau tidak apa-apa?” tanya lelaki itu dengan suara maskulin yang terdengar halus.Dalam dekapan tangan lelaki itu, Athalia menaikan pandangannya, hingga kedua pasang bola mata mereka berserobok satu sama lain.Dalam sekejap mata, lelaki itu langsung terperangah melihat wajah Athalia yang menurutnya sangat memesona. Bola mata wanita itu yang cokelat muda, tampak cantik baginya.Athalia segera ter
Tengah malam, Athalia harus terbangun saat ia samar-samar mendengar suara tangisan seseorang. Perlahan Athalia membuka kelopak matanya, ia menajamkan telinga untuk mencari di mana sumber suara itu. Dan ia terkejut saat menyadari jika suara tangisan yang seperti merintih itu berasal dari bibir Mahesa. “Mahesa?” Athalia bangkit duduk, menatap Mahesa dengan kening yang berkerut dalam. “Apa dia sedang mimpi buruk? Mengapa dia menangis dalam tidurnya?” gumam Athalia sambil terus menumbukkan pandangannya pada wajah Mahesa, memperhatikan raut wajah lelaki itu yang saat ini sedang gelisah seperti sedang mimpi buruk. Keringat dingin membanjiri kening dan pelipisnya, bibir lelaki itu bergetar pelan, menggumamkan kalimat yang tidak Athalia pahami. “Tolong! Jangan! Jangan membunuhku! Aku mohon, jangan! Jangan membunuhku!” Athalia terkejut saat ia mencoba mendekatkan telinganya ke bibir Mahesa untuk mendengar lebih jelas gumaman lelaki itu. “Si—siapa yang akan membunuhnya? Mengapa dia sa
Bukannya menjawab, Mahesa langsung merenggut kedua pergelangan tangan Athalia yang berada di dasinya. “Aaakhh … “ Athalia meringis saat tangan Mahesa terlalu keras mencekal pergelangan tangannya. “Bukankah sudah kukatakan padamu. Jangan bertanya tentang hal-hal yang pribadi tentangku! Karena aku tidak suka urusanku dicampuri oleh orang lain. Kau tidak berhak mengetahui semua urusanku. Urus saja urusanmu sendiri! Ingatlah kalau tugasmu hanya melayaniku di atas tempat tidur!” Athalia terkejut menatap Mahesa yang saat ini sedang menyilatkan kemarahan di wajahnya. Athalia hanya ingin bertanya, ia tidak menyangka jika Mahesa akan menjadi semarah ini. “Ma-maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi,” cicit Athalia yang merasa takut melihat wajah geram Mahesa. Mahesa tidak menjawab, lelaki itu hanya mendengus kesal lalu melepaskan cekalannya dari tangan Athalia dengan menyentaknya. Kemudian Mahesa berlalu masuk ke dalam walk-in closet yang terdapat di dalam kamar itu. Athalia tergugu meme
Setelah berhasil menguasai diri, malam ini Mahesa telah gagah dengan setelan jass yang ia kenakan. Tubuhnya yang tegap dan jangkung, tampak sangat proporsional dengan jass berwarna hitam itu. Lelaki itu baru saja selesai menelpon bawahannya, lalu ia meneguk air minum sambil berdiri di samping meja ruang tengah. “Athalia! Apa yang sedang kau lakukan di atas? Ayo kita berangkat sekarang!” serunya memanggil Athalia yang belum juga menuruni tangga. Tak lama, suara ketukan heels terdengar, membuat Mahesa menoleh ke sumber suara. Akan tetapi, hasratnya seketika kembali melambung tinggi. Gaun merah itu tak berlengan, hanya bertali spageti dan tentu saja membuat pundak Athalia yang putih bersih itu terbuka. Namun tetap elegan dan cantik.Merasa canggung ditatap sangat dalam oleh Mahesa, Athalia pun bertanya, “Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan penampilanku? Apa gaun ini terlalu terbuka?” Ia memang tidak pernah memanggil Mahesa dengan embel-embel ‘Tuan’ jika
“Tidak perlu malu mengatakannya padaku, Athalia. It’s oke. Aku mengerti kalau Mahesa mungkin saja sedang membutuhkan hiburan. Maka dari itu dia memintamu untuk menemani tidurnya. Tapi bolehkan aku tahu, berapa Mahesa membayar tubuhmu?” Ayaz sengaja berbisik di akhir kalimatnya. Kedua tangan Athalia mengepal di atas paha, ia merasa sangat terhina mendengar pertanyaan Ayaz. “Kenapa diam, Athalia? Katakan saja. Kau tahu kalau aku tidak ingin berniat jahat padamu. Aku hanya ingin tahu ada apa di antara kau dengan Mahesa. Itu saja.” Athalia menarik napasnya dalam, menahan kekesalan yang mengumpul dalam hatinya. “Maaf, Tuan Ayaz. Aku ingin pergi ke toilet. Permisi!” baru saja Athalia bangkit dan akan menghindar. Namun Ayaz lebih cepat menahan pergelangan tangannya. “Eitss. Tunggu dulu! Aku belum selesai bicara, Athalia.” Ayaz pun berdiri, tangannya masih memegangi pergelangan tangan Athalia agar wanita itu tidak lari. “Apapun yang Anda katakan dan tanyakan, aku tidak ingin menjawa
Di sisi lain, Mahesa langsung menggendong Athalia. Otomatis, wanita itu melingkarkan kedua lengannya di leher Mahesa. Hal ini jelas membuat semua orang terkejut melihat tubuh basah kuyup Mahesa dan Athalia. Mereka bertanya-tanya, apa yang membuat tubuh mereka basah seperti itu? Jessica dan Leuwis pun sama terkejutnya. “Mahesa. Kau mau ke mana? Mengapa tubuhmu basah kuyup? Lalu kenapa kau menggendong wanita itu?” menghampiri Mahesa, Leuwis segera memberondongnya dengan pertanyaan. Mahesa menghentikan langkah, ia memutar kepalanya dan menoleh pada Leuwis. “Athalia tenggelam di kolam renang. Dan aku yakin kalau kejadian ini bukan kebetulan. Ada seseorang yang sengaja mendorongnya. Begitu pesta selesai, aku ingin bicara dengan Papa dan semua anak-anak tiri Papa,” ucap Mahesa lantas berlalu meninggalkan Leuwis begitu saja. Leuwis menatap bingung pada punggung tegap Mahesa yang perlahan menjauh. “Jadi sekretarisnya Mahesa tenggelam? Bagaimana bisa? Apa iya ada orang yang sengaja me
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s