Tengah malam, Athalia harus terbangun saat ia samar-samar mendengar suara tangisan seseorang.
Perlahan Athalia membuka kelopak matanya, ia menajamkan telinga untuk mencari di mana sumber suara itu.
Dan ia terkejut saat menyadari jika suara tangisan yang seperti merintih itu berasal dari bibir Mahesa.
“Mahesa?” Athalia bangkit duduk, menatap Mahesa dengan kening yang berkerut dalam.
“Apa dia sedang mimpi buruk? Mengapa dia menangis dalam tidurnya?” gumam Athalia sambil terus menumbukkan pandangannya pada wajah Mahesa, memperhatikan raut wajah lelaki itu yang saat ini sedang gelisah seperti sedang mimpi buruk.
Keringat dingin membanjiri kening dan pelipisnya, bibir lelaki itu bergetar pelan, menggumamkan kalimat yang tidak Athalia pahami.
“Tolong! Jangan! Jangan membunuhku! Aku mohon, jangan! Jangan membunuhku!” Athalia terkejut saat ia mencoba mendekatkan telinganya ke bibir Mahesa untuk mendengar lebih jelas gumaman lelaki itu.
“Si—siapa yang akan membunuhnya? Mengapa dia sampai ketakutan seperti itu dalam tidurnya?” tangan Athalia bergerak lembut, mengusap keringat dingin di sekitar wajah Mahesa.
Athalia mendekatkan wajahnya, berusaha membangunkan Mahesa dari mimpi buruk yang sedang menyiksanya.
“Mahesa. Bangunlah! Ayo, bangunlah!”
“Tidak! Jangan membunuhku!” bibir Mahesa makin bergetar, suara rintihannya begitu menyayat hati Athalia.
Melihat Mahesa yang seperti ini, membuat Athalia merasa iba. Meski seberapa garangpun lelaki itu, tapi tetap saja hati Athalia tak tega.
“Tidak akan ada yang membunuhmu. Kau aman di sini. Kau hanya sedang mimpi buruk, Mahesa. Jadi bangunlah! Buka matamu!” Athalia menaruh kepala Mahesa di atas pangkuannya, tangannya menepuk-nepuk pipi lelaki itu untuk membuatnya sadar.
Berkali-kali Athalia berusaha membangunkan Mahesa, namun usahanya hanya sia-sia. Entah mengapa Mahesa sulit untuk dibangunkan. Bibirnya terus saja meracaukan kalimat yang sama.
“Jangan membunuhku! Jangan memukulku! Aku mohon!”
Athalia merasa hatinya ikut pilu. Matanya menatap nanar wajah Mahesa yang terus saja berkeringat dingin.
Athalia mengambil beberapa lembar tissue kering untuk mengusap keringat itu, lalu ia mendekap kepala Mahesa ke dadanya. Kini Athalia mengubah posisi menjadi setengah duduk dengan kaki yang berselonjor.
Sesekali bibirnya mengecupi puncak kepala Mahesa, lalu berkata.
“Tenanglah. Tidak akan ada yang menyakitimu. Kau bersamaku. Kau bersamaku, Mahesa,” bisik Athalia mendekap tubuh tegap Mahesa yang tampak lemah itu ke dalam pelukannya.
***
Pagi hari, Mahesa baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuh jangkungnya hanya tertutupi oleh bathrobe putih yang menampilkan otot-otot kakinya yang kekar dan keras.
Athalia yang sedang berhias di depan cermin, seketika menghentikan gerakannya. Matanya melirik ke arah Mahesa yang saat ini sedang sibuk memilih dasi.
“Athalia. Menurutmu aku lebih bagus mengenakan yang mana? Yang navy atau yang maroon?” Mahesa membalikan badannya, kedua tangannya mengangkat dua buah dasi sambil matanya menatap Athalia untuk meminta pendapat.
Diam-diam Athalia mengulum senyum. Ini kali pertama lelaki itu meminta pendapat darinya mengenai apa yang akan ia pakai.
“Aku lebih suka yang navy,” jawab Athalia.
Namun Mahesa justru malah mengangkat sebelah alisnya. “Wait. Aku tidak bertanya kau suka yang mana. Aku hanya bertanya menurutmu, aku lebih cocok menggunakan dasi yang mana?” Mahesa memperjelas pertanyaannya.
Dan Athalia menghela seraya merotasi bola matanya.
‘Dasar pria arogan! Padahal tidak ada yang salah dengan jawabanku,’ decaknya dalam hati.
“Sorry. Kalau begitu aku meralat jawabanku tadi. Kau lebih cocok dengan dasi yang berwarna navy itu. Puas?” jelas Athalia.
Mahesa hanya mengangkat kedua pundaknya, lalu menoleh pada dasi berwarna navy yang ada di tangan kananya.
“It’s oke. Aku akan menggunakan yang ini,” katanya dengan senyum jumawa.
Athalia mengamati punggung Mahesa yang sedang memasukan dasi berwarna maroon itu ke dalam lemari. Melihat punggung tegap itu, seketika Athalia kembali teringat dengan apa yang terjadi semalam. Dimana Mahesa terus merintih dan meracau ketakutan. Lelaki itu tidur sambil menangis.
Rasanya Athalia ingin sekali mempertanyakan hal itu pada Mahesa. Ia sangat penasaran, apa yang menyebabkan Mahesa sampai bermimpi buruk seperti tadi malam?
“Athalia! Apa kau hanya akan diam saja seperti patung di sana? Kemarilah! Bantu aku berpakaian!”
Suara maskulin Mahesa membuat Athalia mengerjap dan tersadar dari lamunannya.
“Apa? Membantumu berpakaian? Maksudmu, aku?” Athalia terkejut, ia bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Memastikan bahwa apa yang didengarnya tidak salah.
Mahesa memutar kepala, menoleh pada Athalia. “Iya. Memangnya siapa lagi yang ada di sini selain kau? Apa menurutmu aku sedang berbicara dengan tembok-tembok di sekelilingku?” Mahesa mulai kesal.
Dan Athalia menyadari itu.
“Ayo ke sini! Cepat bantu aku berpakaian atau kita akan terlambat masuk ke kantor!” Mahesa memerintah.
Menghela napasnya, Athalia hanya mengangguk dan melangkah pelan mendekati Mahesa. Kini ia sudah berdiri di hadapan lelaki yang hobi marah-marah itu.
“Pakaikan kemejaku!” Mahesa melempar kemejanya ke wajah Athalia dan Athalia segera menangkapnya.
Karena kesal, Athalia tak sadar bibirnya menggumamkan sesuatu. “Ck! Dasar manja! Apa dia tidak malu dengan tubuhnya yang besar? Bahkan anak SD saja sudah bisa menggunakan bajunya tanpa bantuan orang lain,” Athalia menggerutu.
Dan sialnya, gerutuan itu yang meski pelan, masih bisa terdengar ke telinga Mahesa. Kini Mahesa mengerutkan dahinya pada Athalia.
“Apa kau sedang mengataiku?”
Sadar ucapannya didengar oleh Mahesa, Athalia terkesiap dan segera menutup mulutnya dengan tangannya sendiri.
“Jangan terbiasa menggunakan bibir untuk bekerja, Athalia. Tapi gunakan tanganmu saja. Kecuali jika kau sedang melayaniku di atas ranjang, barulah kau bisa berpuas-puas diri menggunakan bibirmu,” ejek Mahesa.
Yang siapa sangka, ternyata berhasil membungkam mulut Athalia. Sekarang wanita itu melakukan pekerjaannya tanpa suara. Mahesa terkekeh dalam hati. Ia tidak menyangka jika hanya dengan kalimat seperti itu saja, Athalia si pemberani bisa sampai tidak berkutik.
Sampai di tahap terakhir, Athalia memasangkan dasi berwarna navy itu di leher Mahesa. Barulah Athalia berani kembali membuka suaranya.
“Emmhh … sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.”
Mahesa memicingkan matanya, sedangkan tangan Athalia masih bergerak pelan, memasangkan dasi di leher lelaki itu.
“Ini tentang apa yang terjadi padamu semalam.”
Kerutan di kening Mahesa tampak semakin dalam, rasa penasaran menyelinap dalam hatinya, bertanya-tanya apa kiranya yang terjadi padanya tadi malam?
“Memangnya ada apa semalam?” tanya Mahesa lagi.
Athalia menelan ludahnya sesaat, sebelum akhirnya ia bicara. “Semalam kau mimpi buruk. Meski aku sudah berusaha membangunkanmu, tapi kau tetap saja menangis dan menggumamkan sesuatu dalam tidurmu. Aku masih ingat apa yang kau katakan. Kau bilang, jangan membunuhku! Jangan memukulku! Kau terus mengatakannya sambil memohon dan meneteskan air mata."
"Apakah mimpimu seburuk itu, Mahesa?” tanya Athalia sembari menatap Mahesa yang kini wajahnya tampak sangat terkejut.
Tampaknya, dia tak menyangka jika Athalia akan menanyakan hal itu.
Bukannya menjawab, Mahesa langsung merenggut kedua pergelangan tangan Athalia yang berada di dasinya. “Aaakhh … “ Athalia meringis saat tangan Mahesa terlalu keras mencekal pergelangan tangannya. “Bukankah sudah kukatakan padamu. Jangan bertanya tentang hal-hal yang pribadi tentangku! Karena aku tidak suka urusanku dicampuri oleh orang lain. Kau tidak berhak mengetahui semua urusanku. Urus saja urusanmu sendiri! Ingatlah kalau tugasmu hanya melayaniku di atas tempat tidur!” Athalia terkejut menatap Mahesa yang saat ini sedang menyilatkan kemarahan di wajahnya. Athalia hanya ingin bertanya, ia tidak menyangka jika Mahesa akan menjadi semarah ini. “Ma-maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi,” cicit Athalia yang merasa takut melihat wajah geram Mahesa. Mahesa tidak menjawab, lelaki itu hanya mendengus kesal lalu melepaskan cekalannya dari tangan Athalia dengan menyentaknya. Kemudian Mahesa berlalu masuk ke dalam walk-in closet yang terdapat di dalam kamar itu. Athalia tergugu meme
Setelah berhasil menguasai diri, malam ini Mahesa telah gagah dengan setelan jass yang ia kenakan. Tubuhnya yang tegap dan jangkung, tampak sangat proporsional dengan jass berwarna hitam itu. Lelaki itu baru saja selesai menelpon bawahannya, lalu ia meneguk air minum sambil berdiri di samping meja ruang tengah. “Athalia! Apa yang sedang kau lakukan di atas? Ayo kita berangkat sekarang!” serunya memanggil Athalia yang belum juga menuruni tangga. Tak lama, suara ketukan heels terdengar, membuat Mahesa menoleh ke sumber suara. Akan tetapi, hasratnya seketika kembali melambung tinggi. Gaun merah itu tak berlengan, hanya bertali spageti dan tentu saja membuat pundak Athalia yang putih bersih itu terbuka. Namun tetap elegan dan cantik.Merasa canggung ditatap sangat dalam oleh Mahesa, Athalia pun bertanya, “Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan penampilanku? Apa gaun ini terlalu terbuka?” Ia memang tidak pernah memanggil Mahesa dengan embel-embel ‘Tuan’ jika
“Tidak perlu malu mengatakannya padaku, Athalia. It’s oke. Aku mengerti kalau Mahesa mungkin saja sedang membutuhkan hiburan. Maka dari itu dia memintamu untuk menemani tidurnya. Tapi bolehkan aku tahu, berapa Mahesa membayar tubuhmu?” Ayaz sengaja berbisik di akhir kalimatnya. Kedua tangan Athalia mengepal di atas paha, ia merasa sangat terhina mendengar pertanyaan Ayaz. “Kenapa diam, Athalia? Katakan saja. Kau tahu kalau aku tidak ingin berniat jahat padamu. Aku hanya ingin tahu ada apa di antara kau dengan Mahesa. Itu saja.” Athalia menarik napasnya dalam, menahan kekesalan yang mengumpul dalam hatinya. “Maaf, Tuan Ayaz. Aku ingin pergi ke toilet. Permisi!” baru saja Athalia bangkit dan akan menghindar. Namun Ayaz lebih cepat menahan pergelangan tangannya. “Eitss. Tunggu dulu! Aku belum selesai bicara, Athalia.” Ayaz pun berdiri, tangannya masih memegangi pergelangan tangan Athalia agar wanita itu tidak lari. “Apapun yang Anda katakan dan tanyakan, aku tidak ingin menjawa
Di sisi lain, Mahesa langsung menggendong Athalia. Otomatis, wanita itu melingkarkan kedua lengannya di leher Mahesa. Hal ini jelas membuat semua orang terkejut melihat tubuh basah kuyup Mahesa dan Athalia. Mereka bertanya-tanya, apa yang membuat tubuh mereka basah seperti itu? Jessica dan Leuwis pun sama terkejutnya. “Mahesa. Kau mau ke mana? Mengapa tubuhmu basah kuyup? Lalu kenapa kau menggendong wanita itu?” menghampiri Mahesa, Leuwis segera memberondongnya dengan pertanyaan. Mahesa menghentikan langkah, ia memutar kepalanya dan menoleh pada Leuwis. “Athalia tenggelam di kolam renang. Dan aku yakin kalau kejadian ini bukan kebetulan. Ada seseorang yang sengaja mendorongnya. Begitu pesta selesai, aku ingin bicara dengan Papa dan semua anak-anak tiri Papa,” ucap Mahesa lantas berlalu meninggalkan Leuwis begitu saja. Leuwis menatap bingung pada punggung tegap Mahesa yang perlahan menjauh. “Jadi sekretarisnya Mahesa tenggelam? Bagaimana bisa? Apa iya ada orang yang sengaja me
"Detik ini aku memberimu peringatan untuk tidak mencoba menyakiti Athalia lagi. Jika kau berani melakukannya, maka aku tidak akan segan membalasnya dengan menggunakan tanganku sendiri! Camkan itu baik-baik!" desis Mahesa sambil menghujamkan tatapan penuh kemarahan pada Bianca."Sayang! Lihat kelakuan putramu! Apa yang dia lakukan pada Bianca.” Jessica mengadu pada Leuwis.Dengan emosi, Leuwis menggertakkan gigi dan menatap Mahesa dengan tajam. “Pulanglah sekarang, Mahesa! Jangan membuat keributan lagi di rumahku. Aku mengundangmu kemari untuk ikut merayakan pesta ulang tahun ibu tirimu. Bukan untuk membuat kegaduhan seperti ini!”Dengan entengnya Mahesa menjawab. “Bahkan tanpa diminta pun, aku memang akan pulang sekarang. Lagipula aku muak lebih lama berada di sekitar orang-orang licik seperti kalian! Selamat malam!” Mahesa membalikan badannya, berjalan tegas keluar meninggalkan semua orang yang saat ini sedang menatap tajam punggung lebarnya.Tapi Mahesa tak peduli. Yang jelas sekara
"Sudah selesai. Apa yang kau rasakan sekarang? Apakah lukamu masih sakit?" Mahesa bertanya sambil menyetuh pelan luka Athalia. "Tidak. Sekarang sudah jauh lebih baik. Terimakasih banyak.""Hmmm ... " Athalia memanyunkan bibirnya, saat lelaki itu hanya menjawabnya dengan dehaman. Selesai mengobati luka di sikut Athalia, Mahesa kembali memasukan salep ke dalam kotak obat, menutup kotak obat itu dengan rapat. Sampai suara bell yang terdengar, membuat kepala mereka sama-sama menoleh ke arah pintu. "Siapa yang datang?" gumam Athalia bertanya-tanya. Suaranya yang pelan masih mampu terdengar oleh telinga Mahesa. "Paling juga yang datang Jossy dan Ambar," tebak Mahesa asal. Jossy dan Ambar adalah dua orang pelayan yang selalu datang di pagi hari dan pulang sore hari di apartmen milik Mahesa. "Tapi apa iya mereka akan datang sepagi ini?" Athalia sedikit ragu. "Biar aku yang membukanya," kata Mahesa lalu berjalan menuju pintu. Tangannya membuka daun pintu itu, akan tetapi setelahnya, Mah
“Lepaskan aku! Kau tidak perlu mendorong-dorong tubuhku seperti ini! Tanpa kau minta pun, aku memang akan pergi.” Leuwis menyentak tangan Mahesa, kemudian ia membenarkan kelepak jassnya. Leuwis menatap Mahesa dengan sedikit perasaan takut yang ia sembunyikan. Pasalnya, Mahesa menatapnya dengan mata yang dingin dan begitu tajam. Leuwis pun keluar dan Mahesa segera menutup pintu apartmennya rapat-rapat. Mahesa tidak ingin Leuwis datang lagi dan kembali menyakitinya dengan cara membuka semua luka di masa lalunya.“Dia tidak boleh kembali! Dia tidak boleh kembali!” gumam Mahesa mengunci pintu apartmennya dengan bibir yang sedikit gemetar.Setelahnya, Mahesa mendudukan dirinya di sofa dengan tangan yang sedikit gemetar pula. Ini adalah hal yang kerap terjadi padanya ketika ia teringat dengan masa lalunya yang kelam.Mahesa menangkup wajahnya dengan kedua tangan, meremas rambutnya dengan mata yang memanas menahan tangis.Tangannya bergetar setiap kali habis berdebat dengan Leuwis soal San
Athalia kembali menatap Mahesa. Tapi seperti yang Mahesa bilang, Athalia sama sekali tidak jera. ‘Mahesa tidak mau mengunjungi psikolog. Mungkin dia tidak sadar kalau ada masalah dengan dirinya. Aku sama sekali tidak takut dengan ancamannya. Justru aku merasa kasihan. Dia tampan, kaya, memiliki kehidupan mewah yang diimpikan banyak orang. Tetapi hatinya kosong. Aku sama sekali tidak melihat ada kebahagiaan dalam dirinya,’ gumam Athalia dalam hati.Merasa puas telah memberikan pelajaran dan hukuman pada Athalia, Mahesa pun kembali melajukan mobil menuju kantor.*** Sementara itu, di kantor, kabar tentang kedekatan Athalia dan Mahesa tampaknya mulai merebak dan tercium oleh sebagian besar karyawan. Banyak yang merasa cemburu tapi mencoba mengabaikan masalah itu. Para model cantik kelas atas yang biasa dipanggil Mahesa pun ketar-ketir. Mereka bingung, entah mengapa Mahesa tidak pernah meminta mereka datang ke perusahaannya untuk sekadar bermain dan memanjakannya di sana.Siang ini At
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s