Athalia sangat membutuhkan uang itu untuk Yasna—adiknya yang sakit. Tapi apa ia harus menyerahkan kehormatannya pada Mahesa? Tidak! Athalia tidak akan melakukan itu.
Seperti nasihat ibu. Kehormatan bagi wanita selayaknya sebuah mahkota. Athalia harus menjaganya, lalu memberikannya pada suaminya kelak. Bukan pada lelaki di hadapannya yang saat ini sedang menatapnya dengan senyum penuh hinaan.
Athalia balas menatap tajam, matanya menyiratkan kemarahan yang tertahan.
Tangan rampingnya merebut cek dari tangan Mahesa, membuat Mahesa tersenyum puas karena berpikir Athalia akan menerima tawarannya.
Namun selanjutnya Mahesa terkejut melihat apa yang Athalia lakukan di depan matanya. Athalia merobek cek itu, kemudian melemparnya ke wajah Mahesa.
“Meski seribu kali Anda bertanya padaku, jawabanku akan tetap sama. Aku tidak sudi menyerahkan kehormatanku pada lelaki seperti Anda. Jika memang aku dipecat hari ini, maka aku akan pergi. Dan aku bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kakiku lagi di perusahaan ini!” tegas Athalia dengan berani.
Napasnya memburu penuh emosi. Keberaniannya membuat Mahesa terkesiap. Selama hidupnya, ini kali pertama ia dibentak oleh seorang wanita miskin seperti Athalia.
Kini Athalia membalikan badan, bergegas keluar dari ruang kerja Mahesa. Bola mata abu milik Mahesa terus memindai punggung wanita itu sampai benar-benar menghilang dari pandangannya.
“Menarik sekali. Ini pertama kalinya aku melihat wanita yang menolak uang dengan jumlah sebesar itu.” Mahesa tersenyum tipis.
Jujur, ada sedikit kekaguman dalam hatinya terhadap sikap Athalia yang tetap bersikeras ingin mempertahankan kehormatannya dan menolak tawaran menggiurkan yang diberikan oleh Mahesa.
Mengingat, para aktris serta model papan atas justru saling berebut mendekatinya. Tentu saja mereka sangat terpikat pada paras Mahesa yang tampan dan berkarisma. Lebih lagi pada kekayaannya yang tak terhitung banyaknya.
Tetapi manusia tidak pernah ada yang benar-benar sempurna. Pasti ada cela yang tersembunyi dalam kehidupan pribadi mereka.
Maka Mahesa pun memiliki sisi kekurangannya sendiri. Dan kekurangannya itu adalah akibat dari kelamnya masa lalu yang sangat tidak ingin Mahesa ingat.
Masa lalu itu pula lah yang akhirnya membentuk Mahesa menjadi seorang lelaki yang tak percaya dengan adanya cinta.
“Tapi bukankah semua wanita itu sama saja? Aku yakin, dalam satu atau dua hari, Athalia pasti akan kembali menghadapku untuk menyetujui apa yang kutawarkan,” gumamnya tersenyum kecut.
***
Pasrah, Athalia memilih menyerahkan semuanya pada Tuhan. Mungkin esok hari ia akan mendapatkan pinjaman dari orang lain.
Namun, begitu pulang ke rumah, Athalia justru mendengar kabar buruk. Adiknya dilarikan ke rumah sakit.
“Sebelum semuanya makin parah, sebaiknya proses transplantasinya segera dilakukan. Mungkin kami tidak bisa menjamin kesembuhannya. Tetapi dari sebagian besar kasus leukimia jenis ini, memiliki kemungkinan sembuh yang lebih besar setelah melakukan cangkok sumsum tulang belakang. Sumsum tulang belakangnya Yasna yang telah rusak harus diganti dengan sumsum tulang belakang sehat yang cocok dengannya.” Dokter Andri memaparkan hal yang sebenarnya sudah Athalia ketahui sejak beberapa hari ke belakang.
Ini kedua kalinya Dokter Andri mengatakan itu pada Athalia.
Athalia mengetahui tentang kondisi Yasna yang harus melakukan transplantasi. Tetapi ia tidak tahu harus mencari uang sebanyak itu dari mana.
Sebenarnya untuk pendonornya sendiri, Dokter Andri mengatakan kemungkinan besar yang paling cocok adalah ibunya. Meskipun nantinya tetap harus dilakukan tes kecocokan terlebih dahulu.
“Aku tahu ini tidak mudah, Athalia. Biayanya memang sangat besar. Aku mengerti keadaan ekonomi keluargamu. Sebagai dokter, aku harus mengatakan apa jalan terbaik untuk kesembuhan Yasna.”
Athalia mengangguk, tersenyum pahit. Keadaan Yasna semakin serius. Apa yang bisa ia lakukan untuk adiknya itu?
‘Aku pengangguran. Uang di dompetku sudah habis semua hari ini. Sedangkan Yasna sangat membutuhkannya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?’ batin Athalia.
Kini ia melangkah keluar dari ruangan Dokter Andri. Athalia berdiri menyandarkan punggungnya di tembok, matanya menatap sayu ke depan, sementara benaknya berkecamuk memikirkan banyak hal.
Sampai tiba-tiba ucapan Mahesa kembali terngiang di telinganya.
‘Pilihannya hanya dua, Athalia. Terima tawaranku dan selamatkan adikmu. Atau kau kupecat dan adikmu tidak akan tertolong.’
“Adikku tidak akan tertolong…” Athalia mengulang kalimat Mahesa sambil memejamkan mata, membuat setetes air jatuh melewati pelipisnya.
Ada rasa sesal dalam hatinya, mengapa ia harus berada dalam situasi yang sangat berat seperti ini? Jika ia menerima tawaran Mahesa, kemungkinan Yasna untuk sembuh sangat besar. Tetapi ia harus melakukan sebuah pengorbanan yang besar pula. Athalia harus merelakan keperawanannya untuk Mahesa, serta menjadi teman tidur lelaki itu selama satu bulan penuh.
“Tapi jika aku menolaknya, di mana aku harus mencari uang untuk biaya transplantasinya Yasna?” desahnya lelah.
Hembusan napas pelan lolos dari bibir mungilnya. Athalia sudah berkata pada Mahesa bahwa ia tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di perusahaan milik lelaki itu.
Kemudian benaknya membayangkan kondisi Yasna yang kemungkinan akan semakin bertambah parah lagi seandainya tidak segera mendapat tindakan.
Tidak! Athalia tidak bisa kehilangan Yasna.
***
Pagi ini Mahesa sedang sibuk berjibaku dengan pekerjaannya.
Lelaki berwajah tampan itu kemudian mengangkat kepalanya dari berkas yang sedang ia tandatangani saat mendengar suara pintu yang diketuk, lalu pintu pun terbuka begitu ia mempersilakan masuk.
“Athalia?!” mata Mahesa menyipit melihat Athalia yang masuk dengan wajah tertunduk. Gurat pasrah di wajah wanita itu membuat sebelah ujung bibir Mahesa tertarik.
Athalia datang? Bukankah dia sudah dipecat? Mahesa tersenyum miring dalam hati. Ia sudah bisa menduga apa niat kedatangan Athalia ke ruangannya.
“Kemarin kau bilang tidak akan sudi lagi menginjakkan kaki di perusahaanku. Tapi sekarang kau datang. Lucu sekali, Athalia. Ternyata wanita pemberani sepertimu pandai menarik ucapannya sendiri.” Mahesa meletakan bolpoin yang tadi dipegangnya ke atas meja.
Menatap Athalia, ia menautkan kedua tangannya di bawah dagu, sementara siku tangannya tertumpu di tepi meja. Kedua bola mata abunya sempurna melekat pada wajah Athalia yang tampak memerah.
Athalia pun menaikan pandangan, membuat mata hazel berwarna cokelat muda miliknya, dapat melihat wajah Mahesa yang menampilkan raut jumawa. Athalia sadar, Mahesa pasti telah menebak niat kedatangannya.
“Kau akan bicara atau hanya tetap diam saja? Katakan, Athalia! Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggumu membuka mulut.” Mahesa mendesak.
Cepat Athalia menarik napasnya dalam, membuangnya kasar sebelum kemudian ia meremas tangan, memejamkan mata dan berkata.
“Aku mau menerima tawaran Anda yang kemarin, Tuan.”
Meski sudah menebaknya, Mahesa tetap saja merasa terkejut. Netranya semakin lamat memperhatikan gerak bibir bawah Athalia yang bergetar pelan, lalu pandangannya turun pada kedua tangan Athalia yang mengepal erat.
“Tawaranku yang mana? Aku tidak ingat.”
Dengan sengaja Mahesa mempermainkan Athalia, membuat Athalia menatap Mahesa tak percaya.“Jawab Athalia! Memangnya aku pernah memberi tawaran apa padamu?” tanya pria itu lagi.
Kini, Athalia menelan ludahnya berat.
Ia sadar, Mahesa hanya ingin membuatnya semakin merasa malu dan terhina.
“Tawaran Anda yang mengatakan akan membiayai seluruh biaya pengobatan adikku sampai sembuh, dan aku harus membayarnya dengan menjadi teman tidurmu selama satu bulan.”
Kini senyum miring tercetak jelas di bibir Mahesa. “Sudah kubilang, bukan? Aku terbiasa mendapatkan apa yang kuinginkan, Athalia.” Athalia menahan sesak di dada. Terlebih, kala menyadari langkah kaki panjang Mahesa makin mendekat padanya. Mahesa menduduki tepi meja tepat di depan Athalia seraya memindai tubuh wanita itu dari atas ke bawah. Hal itu membuat Athalia menahan napas sekuat tenaga. Tatapan Mahesa begitu merendahkan. “Aku sudah setuju dengan penawaran Anda, Tuan. Dan aku tidak ingin berdebat lagi. Terserah dengan apa tanggapan Anda tentang diriku. Aku hanya ingin meminta uang satu miliar itu. Adikku sangat membutuhkannya sekarang.” “Hei? Apa aku tidak salah dengar, Athalia? Kau ingin meminta bayaranmu sementara kau belum memberikan apa yang seharusnya kudapatkan.” Mahesa mengangkat alis, membuyarkan tangannya yang terlipat di dada. Ketukan sepatu mahal itu terdengar kembali, mengusik jantung Athalia yang semakin berdetak resah. Satu tangan Mahesa menjepit dagu Athali
Athalia terkejut saat Mahesa memeluknya dari belakang.“Jujur, aku sedikit kecewa karena kau tak menuruti permintaanku,” bisik Mahesa menumpukan dagunya di pundak kiri Athalia. Tentu Athalia ingat Mahesa memintanya mengenakan gaun yang seksi. Namun Athalia tak mungkin memakainya. Ibunya akan curiga. Terlebih ia tak memilikinya. “Aku tidak akan melakukan hal segila itu!” tegas Athalia yang akhirnya bicara juga setelah terdiam sejak tadi.Mahesa menyeringai.“Hal yang gila? Lalu apa yang akan kita lakukan di dalam kamar ini sekarang? Apa menurutmu ini bukan kegilaan?” Athalia menahan napas, sebisa mungkin ia tidak ingin mengeluarkan suara yang akan membuat Mahesa senang.“Sebelum melakukannya, aku ingin kau mengatakan sesuatu. Katakan kalau tubuhmu adalah milikku.” Mahesa memerintah.Bibir Athalia bergerak perlahan. “Tubuhku adalah milikmu.” ia menuruti setiap yang Mahesa suruh.Karena Mahesa adalah orang yang akan menyelamatkan adiknya. Setidaknya begitulah yang Athalia pikir.Senyu
Hari ini, Mahesa disibukkan dengan setumpuk pekerjaan yang membuatnya nyaris kewalahan. Duduk di balik meja kerjanya, sesekali ia memijat keningnya sambil tangannya berkutat dengan berkas yang menggunung di atas meja. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu terdengar mengusik telinga, membuat Mahesa membuang napasnya kesal. “Masuk!” suara baritone itu berseru. Daun pintu terbuka, dan Athalia masuk dengan kepala yang sedikit menunduk. “Athalia! Apa kau tidak tahu kalau hari ini aku sangat sibuk? Mengapa kau menggangguku?” Mahesa baru saja akan marah, Namun Athalia langsung menyela. “Maaf, Tuan Mahesa. Ada Tuan Leuwis yang ingin bertemu dengan Anda.” Mendengar nama Leuwis, seketika Mahesa mendengkus masam. Namun ia menganggukan kepala pada Athalia. “Suruh dia masuk!” Athalia pun membentangkan pintu, mempersilakan Leuwis—ayah kandung Mahesa untuk masuk ke dalam ruang kerja putranya. Begitu Athalia menghilang dengan pintu yang menutup rapat, Mahesa langsung melayangkan tatapan seng
Saat jam makan siang, Athalia segera membereskan pekerjaannya secepat mungkin. Perutnya lapar sekali. Dan ia ingin secepatnya pergi ke pantry kantor.“Haah, akhirnya selesai juga. Sekarang baru aku bisa mengisi perutku.”Athalia mendorong kursinya ke belakang, bangkit berdiri, lalu kakinya melangkah cepat menuju pintu lift.Akan tetapi, saat pintu lift terbuka dan Athalia akan masuk, saat itu juga Athalia tersandung kakinya sendiri dan nyaris terjatuh.“Aakhhh … “ Athalia menjerit, tubuhnya hampir ambruk ke bawah. Namun seorang lelaki yang baru keluar dari lift itu segera menahannya.“Hei Nona! Kau tidak apa-apa?” tanya lelaki itu dengan suara maskulin yang terdengar halus.Dalam dekapan tangan lelaki itu, Athalia menaikan pandangannya, hingga kedua pasang bola mata mereka berserobok satu sama lain.Dalam sekejap mata, lelaki itu langsung terperangah melihat wajah Athalia yang menurutnya sangat memesona. Bola mata wanita itu yang cokelat muda, tampak cantik baginya.Athalia segera ter
Tengah malam, Athalia harus terbangun saat ia samar-samar mendengar suara tangisan seseorang. Perlahan Athalia membuka kelopak matanya, ia menajamkan telinga untuk mencari di mana sumber suara itu. Dan ia terkejut saat menyadari jika suara tangisan yang seperti merintih itu berasal dari bibir Mahesa. “Mahesa?” Athalia bangkit duduk, menatap Mahesa dengan kening yang berkerut dalam. “Apa dia sedang mimpi buruk? Mengapa dia menangis dalam tidurnya?” gumam Athalia sambil terus menumbukkan pandangannya pada wajah Mahesa, memperhatikan raut wajah lelaki itu yang saat ini sedang gelisah seperti sedang mimpi buruk. Keringat dingin membanjiri kening dan pelipisnya, bibir lelaki itu bergetar pelan, menggumamkan kalimat yang tidak Athalia pahami. “Tolong! Jangan! Jangan membunuhku! Aku mohon, jangan! Jangan membunuhku!” Athalia terkejut saat ia mencoba mendekatkan telinganya ke bibir Mahesa untuk mendengar lebih jelas gumaman lelaki itu. “Si—siapa yang akan membunuhnya? Mengapa dia sa
Bukannya menjawab, Mahesa langsung merenggut kedua pergelangan tangan Athalia yang berada di dasinya. “Aaakhh … “ Athalia meringis saat tangan Mahesa terlalu keras mencekal pergelangan tangannya. “Bukankah sudah kukatakan padamu. Jangan bertanya tentang hal-hal yang pribadi tentangku! Karena aku tidak suka urusanku dicampuri oleh orang lain. Kau tidak berhak mengetahui semua urusanku. Urus saja urusanmu sendiri! Ingatlah kalau tugasmu hanya melayaniku di atas tempat tidur!” Athalia terkejut menatap Mahesa yang saat ini sedang menyilatkan kemarahan di wajahnya. Athalia hanya ingin bertanya, ia tidak menyangka jika Mahesa akan menjadi semarah ini. “Ma-maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi,” cicit Athalia yang merasa takut melihat wajah geram Mahesa. Mahesa tidak menjawab, lelaki itu hanya mendengus kesal lalu melepaskan cekalannya dari tangan Athalia dengan menyentaknya. Kemudian Mahesa berlalu masuk ke dalam walk-in closet yang terdapat di dalam kamar itu. Athalia tergugu meme
Setelah berhasil menguasai diri, malam ini Mahesa telah gagah dengan setelan jass yang ia kenakan. Tubuhnya yang tegap dan jangkung, tampak sangat proporsional dengan jass berwarna hitam itu. Lelaki itu baru saja selesai menelpon bawahannya, lalu ia meneguk air minum sambil berdiri di samping meja ruang tengah. “Athalia! Apa yang sedang kau lakukan di atas? Ayo kita berangkat sekarang!” serunya memanggil Athalia yang belum juga menuruni tangga. Tak lama, suara ketukan heels terdengar, membuat Mahesa menoleh ke sumber suara. Akan tetapi, hasratnya seketika kembali melambung tinggi. Gaun merah itu tak berlengan, hanya bertali spageti dan tentu saja membuat pundak Athalia yang putih bersih itu terbuka. Namun tetap elegan dan cantik.Merasa canggung ditatap sangat dalam oleh Mahesa, Athalia pun bertanya, “Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan penampilanku? Apa gaun ini terlalu terbuka?” Ia memang tidak pernah memanggil Mahesa dengan embel-embel ‘Tuan’ jika
“Tidak perlu malu mengatakannya padaku, Athalia. It’s oke. Aku mengerti kalau Mahesa mungkin saja sedang membutuhkan hiburan. Maka dari itu dia memintamu untuk menemani tidurnya. Tapi bolehkan aku tahu, berapa Mahesa membayar tubuhmu?” Ayaz sengaja berbisik di akhir kalimatnya. Kedua tangan Athalia mengepal di atas paha, ia merasa sangat terhina mendengar pertanyaan Ayaz. “Kenapa diam, Athalia? Katakan saja. Kau tahu kalau aku tidak ingin berniat jahat padamu. Aku hanya ingin tahu ada apa di antara kau dengan Mahesa. Itu saja.” Athalia menarik napasnya dalam, menahan kekesalan yang mengumpul dalam hatinya. “Maaf, Tuan Ayaz. Aku ingin pergi ke toilet. Permisi!” baru saja Athalia bangkit dan akan menghindar. Namun Ayaz lebih cepat menahan pergelangan tangannya. “Eitss. Tunggu dulu! Aku belum selesai bicara, Athalia.” Ayaz pun berdiri, tangannya masih memegangi pergelangan tangan Athalia agar wanita itu tidak lari. “Apapun yang Anda katakan dan tanyakan, aku tidak ingin menjawa
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s