Sekarang wanita di sebelahku semakin membuatku panik. Wajahnya menggambarkan seolah dia tidak ingin bertemu denganku lagi. Tapi kami adalah seorang sepasang kekasih yang akan segera bertunangan mingu depan. Mengapa dia berubah?
“Honey, tenangkan dirimu! Ceritakan yang sebenarnya,” kataku dengan tenang.
Menyatakan sesuatu kebenaran disaat berkendara adalah ide yang buruk menurutku. Tapi dia memaksa untuk menyatakannya sekarang.
“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita.” Suaranya parau dengan raut wajah yang ketakutan.
Aku mengepalkan jemariku pada setir sampai buku-buku jariku terlihat.
“A-apa?! Kenapa? Apakah aku membuat kesalahan?!” tanyaku dengan panik.
Tentu saja aku panik, dia ingin mengakhiri hubungan kami disaat perjalanan cinta kami baru saja dimulai minggu depan. Aku berantakan, emosiku mulai tidak terkendali. Tapi aku masih berusaha untuk mengemudi mobil putih ini dengan baik.
“Aku tidak perlu mengatakan alasannya. Intinya aku ingin hubungan kita segera berakhir,” kata wanita berambut hitam panjang yang lurus itu. Wajahnya bahkan selalu menghampiri ketika aku ingin tidur. Kami sudah bersama selama 3 tahun. Tidak mudah menerima kenyataan pahit ini begitu saja.
“Kamu perlu mengatakan alasannya. Aku tidak akan mengakhiri hubungan kita begitu saja, Honey!” ucapku dengan tegas. Rahangku mengeras. Mataku bergantian dengan cepat ke arah jalanan dan wanita di sampingku.
Sekarang dia mulai menangis yang membuat hatiku semakin hancur. Ada apa sebenarnya? Dia tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Aku tahu ada kesalahan yang menyelinap di dalam benaknya.
“Aku berselingkuh.”
Dua kata yang membuat bibirku pucat dan jantungku berhenti sepersekian detik. Apakah dia bercanda? Tidak mungkin. Wanita itu sangat jatuh cinta padaku.
Aku memberikan tatapan tajam sekaligus tidak percaya padanya. Kakiku menginjak pedal gas semakin keras yang membuat laju mobil menambah.
“Hei, kendalikan mengemudimu!” teriaknya diiringi isak tangis.
Aku tidak memperdulikan ucapannya, tapi masih terus fokus pada setir dan kedua matanya yang terlihat semakin ketakutan.
“Kamu bohong! Tidak mungkin kamu berselingkuh disaat kita akan bertunangan minggu depan!” kataku dengan keras.
“Mario, aku mohon hentikan mobilnya, kamu sudah mulai tidak terkendali.”
“TIDAK!” Aku berteriak lagi padanya. Hal yang tidak pernah aku lakukan semasa hidupku, tapi kondisi saat ini memaksaku untuk melakukan itu.
“Mario, kamu mulai gila! Aku ingin berhenti di sini! Hentikan mobilnya!” Wanita itu berteriak tepat di samping telingaku. Mobil semakin melaju dengan cepat di jalanan malam yang berkabut.
Aku semakin kacau. Dia bahkan mulai bersikap seperti remaja wanita yang baru datang bulan. Aku menyukainya karena sikap lembut dan hangatnya. Hatinya bahkan selembut sutra, tidak mungkin dia berani mengkhianatiku.
Tangannya mencoba untuk mengambil alih setir mobil, tapi aku menahannya dan berusaha menyingkirkannya. Ini adalah pertama kalinya kami bertengkar dan saling menatap tajam satu sama lain.
“AAAAAAAA!!!”
Teriakan wanita itu membuatku tersadar jika mobil kami akan segera menabrak sebuah truk besar. Cahayanya semakin menusuk ke dalam mataku dan sejak saat itu, aku kehilangan kesadaran.
###
1 Bulan kemudian
Sudah seminggu aku sadar dari kejadian yang menimpaku dan juga calon tunanganku, Ruby Zaneth. Dia adalah cinta pertamaku di masa kuliah. Kami bersama merangkai dan menjalin cinta hingga memutuskan untuk bertunangan dan membangun sebuah keluarga di Australia.
Tapi kejadian malam itu membuat semua rencana kami gagal. Aku masih memiliki pertanyaan padanya kenapa dia ingin mengakhiri hubungan kami. Selain itu, sekarang aku tidak diizinkan untuk bertemu dengannya setelah aku berhasil sadar dari 21 hari yang menentukan apakah aku hidup atau tidak.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali untuk memastikan atap putih yang aku lihat masih sama. Ibu berkata jika aku sudah satu bulan dirawat di rumah sakit ini. Tapi dia tidak pernah memberikanku sedikit informasi apapun tentang Ruby.
*Krreekkk*
Pintu terbuka memperlihatkan seorang wanita berusia 50-an tersenyum dengan plastik kresek di tangannya. Dialah ibuku, yang selalu datang untuk merawatku. Tidak ada yang lebih menenangkan selain melihat senyum hangatnya.
“Kau sudah bangun. Bagaiamana tidurmu? Lebih baik dari sebelumnya?” Dia bertanya seraya duduk di kursi dan mulai membuka isi dari plastik itu.
Aku menagguk lemah sebagai jawaban. Bibirku masih terasa pucat dan kaku setelah kecelakaan itu. Tapi kata Ibu, aku harus banyak bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk hidup.
“Ibu membawakan kamu jus.” Wanita tua itu memberikan sedotan yang siap untuk aku sedot kapanpun. Aliran jus itu mengalir lancar di tenggorokanku dan membuat badanku terasa segar.
Pipiku terus mengempis ketika menyedot jus itu sampai sisa setengah. Sedangkan Ibu hanya memperhatikanku dengan senyum yang tidak pernah luntur.
“Bu, bagaimana kondisi Ruby? Dimana dia sekarang?” Tanyaku setelah melepaskan sedotan.
Sekarang dia merubah raut wajahnya kembali setiap aku bertanya seperti itu. Sudah lebih dari sepuluh kali aku bertanya sejak aku sadar. Tapi Ibuku tidak pernah menjawabnya.
“Aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Kamu harus segera sembuh, Mario.”
Lagi dan lagi kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Aku menatap matanya yang kini teralihkan dengan semangkuk bubur di meja.
“Aku sudah sembuh, Bu. Bahkan Dokter bilang perkembangan kesehatanku sangat cepat. Aku bahkan sudah bisa berjalan seperti normal,” ucapku.
“Bu… aku mohon.” Aku memegang tangannya dengan lembut.
Dia hanya mematung dan menunduk pada mangkuk itu tanpa menatapku. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku hanya ingin bertemu calon tunanganku, itu saja.
“Baiklah jika kamu memaksa. Aku akan mengantarkanmu pada Ruby,” ujarnya yang kali ini menatapku dengan penuh kesedihan. Aku bisa melihat genangan air mata di dalam bola matanya.
Kemudian Ibuku mencoba membantuku untuk berdiri padahal aku sudah bisa. Kami melangkah keluar ruangan yang sudah kutempati selama satu bulan terakhir ini. Keadaannya tidak terlalu ramai karena jam sudah menunjukkan pukul 9 malam.
Aku benci baju rumah sakit dan semua yang ada di tempat ini. Ibu menggenggam tanganku melewati setiap koridor rumah sakit itu. Suasanya sunyi dan cukup mencekam. Udara dingin begitu menusuk kulitku karena baju ini tidak tebal.
Sesampainya kami di ruangan yang kuyakini tempat kekasihku dirawat, Ibu berjalan mendahuluiku dan membuka pintu ruangan itu. Sedangkan aku hanya menunggu dari kejauhan, rasanya sekarang aku tidak sanggup melihat kondisi kekasihku.
Tapi tiba-tiba kejadian di luar dugaanku muncul. Paman Boby yang merupakan Ayah Ruby mendorong kasar Ibuku untuk keluar dari ruangan itu.
Aku mendekatinya tapi tidak sampai melihat keadaan di dalam ruangan itu.
“BERANINYA KALIAN MENDEKATI PUTRIKU!” Teriakan Paman Boby membuatku terkejut.
Lelaki yang beberapa bulan lalu merayakan ulang tahunnya yang ke-47 itu berubah menjadi seperti monster yang menyeramkan. Ditambah dengan perawakannya yang gemuk serta janggut dan kumis tipis yang menghiasi wajahnya.
“Mario hanya ingin bertemu Ruby!” Ibuku mencoba untuk mengendalikan emosinya.
“Terlambat… kalian tidak akan pernah bisa menemui putriku lagi…” isak tangisnya mulai keluar.
Aku terpaku dengan kalimatnya. Lalu aku mencoba mendekatinya lagi, tapi usahaku gagal karena dia langsung mendorongku sampai aku terbentur tembok. Rasanya cukup sakit tapi aku yakin tidak sebanding apa yang dia rasakan sekarang.
“Pa-paman, aku mohon! Aku hanya ingin bertemu dengannya,” ucapku dengan bibir bergetar. Ibu membantuku untuk kembali berdiri. Tapi lagi dan lagi, dengan sekuat tenaga, lelaki itu menarik bajuku lalu meninjukan tangannya tepat di bibirku.
Aku jatuh tersungkur dengan darah yang sudah berceceran di lantai rumah sakit. Ibuku semakin menangis dan menjerit melihat putranya diperlakukan seperti itu.
“Karena kamu… karena kamu, Bajingan! Putriku sudah meninggal!”
Wajahku masih menunduk lemas, tapi seketika ribuan jarum seperti menghujam hatiku setelah mendengar kalimatnya. Sekarang aku tahu kenapa dia bersikap ini kepadaku. Aku pantas mendapatkan ini semua.
“Tidak mungkin, Paman. Itu tidak mungkin…,” ucapku dengan lirih. Tidak terasa air mataku mulai keluar diiringi isak tangis.
“Itu sudah terjadi, Brengsek! Mengapa kamu mengemudi diluar batas kecepatan lalu lintas?! Putriku sudah mengingatkanmu untuk memberhentikan mobil itu! Tapi kamu Brengsek, tidak mau mendengarkannya!”
Aku tidak heran mengapa dia tahu kejadian pertengkaran kami di mobil malam itu. Karena mobil itu memiliki kamera kecil di bagian depan. Dia benar, aku terlalu marah malam itu, tidak bisa mengendalikan emosiku sendiri sampai akhirnya kecelakaan itu menimpa kami.
“Aku minta maaf, Paman.”
Lelaki itu mencoba untuk membuat tubuhku berdiri dan berusaha untuk memukulku lagi. Tapi petugas rumah sakit segera datang sehingga memisahkan kami berdua. Aku bisa melihat kemarahan dan kesedihan di mata pria itu. Itu wajar, karena aku telah membuat putri satu-satunya meninggal dunia.
Ibu dan salah satu petugas rumah sakit mencoba membawaku menjauh dari tempat itu.
“JANGAN PERNAH DATANG MEMPERLIHATKAN WAJAHMU LAGI, BRENGSEK!”
Tapi kata-katanya masih bisa kudengar, seluruh tubuhku membeku dan terasa sakit karena memar di bagian wajah. Aku tidak yakin kehilangan wanita yang paling aku cintai dan itu semua adalah perbuatanku. Aku membuatnya kehilangan nyawa, aku yang membunuh calon tunanganku sendiri malam itu. Aku kacau.
4 Tahun kemudian di Los Angeles Bunyi alarm mengagetkanku pada sore hari. Tidak seperti kebanyakan orang-orang yang mengatur alarm di pagi hari, karena aku bekerja mulai dari sore hingga tengah malam. Pemilik Restoran tempatku bekerja adalah seorang pria yang sudah berusia hampir 50 tahunan, sehingga tanggung jawabnya diserahkan kepada keponakannya bernama Mischelle. Aku nyaman bekerja di tempat itu karena bisa mengurangi tekanan masa laluku yang buruk. Bertemu dengan orang banyak tanpa harus berbicara terlalu panjang. Memperhatikan setiap gerak orang-orang yang memiliki kesibukannya masing-masing. Suara keran menyala membuat air mengguyur ke seluruh badanku. Itu terasa menyegarkan bukan hanya tubuhku, tetapi juga pikiranku. Jaket terakhir kukenakan sebagai penutup baju seragam kerja. Berjalan keluar dari apartemen buruk dan kecil yang selalu bisa menjadi tempat terakhirku saat ini ketika ada masalah. Melihat orang-orang berjalan berg
Kedua pria itu saling memandang lalu tertawa terbahak-bahak. Aku tidak mengerti seberapa keras alkohol yang mereka minum. Tapi itu membuat keduanya menjadi bodoh dan wanita aneh itu juga bodoh, mengapa tidak lari. Mengelabuhi pria mabuk adalah hal yang mudah bagiku.“Oooow… jadi wanita ini kekasihmu? Dia sangat aneh, tapi juga sangat manis,” kata pria itu dan temannya mengangguk setuju.“Ya, dia kekasihku. Aku mohon maaf karena dia telah mengganggu kalian. Jadi, aku mohon pamit bersamanya,” ucapku seraya menggenggam tangan wanita itu yang berkeringat dingin. Meninggalkan keduanya dengan berjalan perlahan menjauh.Kami berjalan perlahan dan semakin menambah kecepatan hingga sampai di persimpangan ketiga. Wanita itu menarik tangannya dari genggamanku.“Lepaskan!” katanya dengan ketakutan.Aku bisa melihat wajahnya yang seperti bayi, dengan mata kucingnya yang menggemaskan. Tapi dia sudah dewasa bukan? Mengap
Anna, wanita ini, wanita yang baru kutemui beberapa jam yang lalu sudah mampu membuat hatiku runtuh dan mulai merasa empati padanya. Dia seperti memiliki kekuatan sihir yang mampu membuatku merasa terpesona dengannya.Perkataan Anna bermakna dalam bagiku. Andai saja dia tahu jika aku pernah membuat orang yang kusayangi tiada, pasti dia tidak akan berkata begitu.Tidak ingin terbawa suasana sedih darinya, aku bangkit dari sofa menuju kamar mandi. Aku menatap cermin dengan dalam, melihat wajahku yang merasa iba karenanya.Setelah berlama di kamar mandi, aku baru ingat jika ini masih pagi hari, dan seharusnya aku melanjutkan tidurku sampai siang. Jadi, aku beranjak kembali ke sofa dan melihat Anna yang masih mematung di sana.“Aku bekerja pukul 4 sore dan sekarang, aku ingin melanjutkan tidurku. Kamu boleh melakukan apapun di tempat ini asal jangan membuat masalah,” kataku memperingatinya.“Maaf, karena telah membuatmu masuk ke dalam
Suasana malam di Café kali ini sangat ramai. Itu dikarenakan kedatangan segerombolan pria dan juga wanita muda yang sedang berpesta merayakan kelulusannya. Terkadang aku merasa iri jika melihat orang-orang yang tengah menikmati masa mudanya dengan belajar ataupun berkumpul bersama teman. Penyakit yang ada di dalam diriku membuat sangat menyiksa. Tidak ada waktu untuk tidak melintas bayangan mantan kekasihku yang sudah tiada, sangat tragis. “Hey, Sayang! Bisakah kita jalan nanti malam?” Mischelle membuka pintu dengan bibir merahnya yang tebal. Aku pikir Mac berhasil mengalihkan wanita ini dariku. “Hum, maaf Mischelle, aku punya urusan lain,” kataku tanpa memperhatikannya dan terus memandang pada sajian minuman. Dia semakin mendekat. “Apa kamu punya wanita lain?” Sekarang dia meraih daguku agar menatap matanya yang lentik. “Tidak, hanya saja, belakang ini aku sering lelah.” Bagaimana caranya untuk menjauh dari wanita ini selain aku berhe
Suasana malam di Café kali ini sangat ramai. Itu dikarenakan kedatangan segerombolan pria dan juga wanita muda yang sedang berpesta merayakan kelulusannya. Terkadang aku merasa iri jika melihat orang-orang yang tengah menikmati masa mudanya dengan belajar ataupun berkumpul bersama teman. Penyakit yang ada di dalam diriku membuat sangat menyiksa. Tidak ada waktu untuk tidak melintas bayangan mantan kekasihku yang sudah tiada, sangat tragis. “Hey, Sayang! Bisakah kita jalan nanti malam?” Mischelle membuka pintu dengan bibir merahnya yang tebal. Aku pikir Mac berhasil mengalihkan wanita ini dariku. “Hum, maaf Mischelle, aku punya urusan lain,” kataku tanpa memperhatikannya dan terus memandang pada sajian minuman. Dia semakin mendekat. “Apa kamu punya wanita lain?” Sekarang dia meraih daguku agar menatap matanya yang lentik. “Tidak, hanya saja, belakang ini aku sering lelah.” Bagaimana caranya untuk menjauh dari wanita ini selain aku berhe
Anna, wanita ini, wanita yang baru kutemui beberapa jam yang lalu sudah mampu membuat hatiku runtuh dan mulai merasa empati padanya. Dia seperti memiliki kekuatan sihir yang mampu membuatku merasa terpesona dengannya.Perkataan Anna bermakna dalam bagiku. Andai saja dia tahu jika aku pernah membuat orang yang kusayangi tiada, pasti dia tidak akan berkata begitu.Tidak ingin terbawa suasana sedih darinya, aku bangkit dari sofa menuju kamar mandi. Aku menatap cermin dengan dalam, melihat wajahku yang merasa iba karenanya.Setelah berlama di kamar mandi, aku baru ingat jika ini masih pagi hari, dan seharusnya aku melanjutkan tidurku sampai siang. Jadi, aku beranjak kembali ke sofa dan melihat Anna yang masih mematung di sana.“Aku bekerja pukul 4 sore dan sekarang, aku ingin melanjutkan tidurku. Kamu boleh melakukan apapun di tempat ini asal jangan membuat masalah,” kataku memperingatinya.“Maaf, karena telah membuatmu masuk ke dalam
Kedua pria itu saling memandang lalu tertawa terbahak-bahak. Aku tidak mengerti seberapa keras alkohol yang mereka minum. Tapi itu membuat keduanya menjadi bodoh dan wanita aneh itu juga bodoh, mengapa tidak lari. Mengelabuhi pria mabuk adalah hal yang mudah bagiku.“Oooow… jadi wanita ini kekasihmu? Dia sangat aneh, tapi juga sangat manis,” kata pria itu dan temannya mengangguk setuju.“Ya, dia kekasihku. Aku mohon maaf karena dia telah mengganggu kalian. Jadi, aku mohon pamit bersamanya,” ucapku seraya menggenggam tangan wanita itu yang berkeringat dingin. Meninggalkan keduanya dengan berjalan perlahan menjauh.Kami berjalan perlahan dan semakin menambah kecepatan hingga sampai di persimpangan ketiga. Wanita itu menarik tangannya dari genggamanku.“Lepaskan!” katanya dengan ketakutan.Aku bisa melihat wajahnya yang seperti bayi, dengan mata kucingnya yang menggemaskan. Tapi dia sudah dewasa bukan? Mengap
4 Tahun kemudian di Los Angeles Bunyi alarm mengagetkanku pada sore hari. Tidak seperti kebanyakan orang-orang yang mengatur alarm di pagi hari, karena aku bekerja mulai dari sore hingga tengah malam. Pemilik Restoran tempatku bekerja adalah seorang pria yang sudah berusia hampir 50 tahunan, sehingga tanggung jawabnya diserahkan kepada keponakannya bernama Mischelle. Aku nyaman bekerja di tempat itu karena bisa mengurangi tekanan masa laluku yang buruk. Bertemu dengan orang banyak tanpa harus berbicara terlalu panjang. Memperhatikan setiap gerak orang-orang yang memiliki kesibukannya masing-masing. Suara keran menyala membuat air mengguyur ke seluruh badanku. Itu terasa menyegarkan bukan hanya tubuhku, tetapi juga pikiranku. Jaket terakhir kukenakan sebagai penutup baju seragam kerja. Berjalan keluar dari apartemen buruk dan kecil yang selalu bisa menjadi tempat terakhirku saat ini ketika ada masalah. Melihat orang-orang berjalan berg
Sekarang wanita di sebelahku semakin membuatku panik. Wajahnya menggambarkan seolah dia tidak ingin bertemu denganku lagi. Tapi kami adalah seorang sepasang kekasih yang akan segera bertunangan mingu depan. Mengapa dia berubah?“Honey, tenangkan dirimu! Ceritakan yang sebenarnya,” kataku dengan tenang.Menyatakan sesuatu kebenaran disaat berkendara adalah ide yang buruk menurutku. Tapi dia memaksa untuk menyatakannya sekarang.“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita.” Suaranya parau dengan raut wajah yang ketakutan.Aku mengepalkan jemariku pada setir sampai buku-buku jariku terlihat.“A-apa?! Kenapa? Apakah aku membuat kesalahan?!” tanyaku dengan panik.Tentu saja aku panik, dia ingin mengakhiri hubungan kami disaat perjalanan cinta kami baru saja dimulai minggu depan. Aku berantakan, emosiku mulai tidak terkendali. Tapi aku masih berusaha untuk mengemudi mobil putih ini dengan baik.“Aku t